Oleh
Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
(‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Bahwa
doktrin Syiah mengenai imamah pada dasarnya beda dengan doktrin Sunni, sudah
kami bahas. Jadi, tidaklah benar kalau dikatakan bahwa Syiah maupun Sunni
kepercayaan tentang imamahnya sama. Imam dalam konsep Syiah beda sekali dengan
imam dalam konsep Sunni. Dalam konsep Sunni imam diangkat berdasarkan
musyawarah dan pemilihan umum. Berbagai tahap dan kondisi imamah sudah kami
bahas. Di sana kami jelaskan bahwa Syiah memulai pemikiran tentang masalah ini
dari atas dan kemudian turun ke fakta-fakta yang ada untuk memastikan bahwa
teori mereka bukanlah sekadar hipotetis. Mereka menegaskan bahwa Al-Qur'an
mengatakan sesuatu dalam hal ini, dan Nabi saw memang menunjuk seseorang untuk
memegang jabatan tinggi ini. Pertama-tama kami hendak membahas poin-poin yang
relevan seperti disebutkan oleh Khwaja Nasiruddin. Namun karena 'led al-Ghadir
(Hari Raya Ghadir) sebentar lagi tiba, kami rasa sebaiknya dijelaskan dahulu
ayat-ayat yang berhubungan dengan 'led al-Ghadir.
Al-Qur'an
al-Karim mengatakan: Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama
bagimu (QS. al-Mâ`idah: 3).
Dua
bagian dari ayat ini diawali dengan "Pada hari ini." Kedua bagian ini
tentu saja saling berkaitan. Dalam ayat ini, "Pada hari ini" bisa
berarti "sekarang ini" atau "hari yang sudah disebutkan
sebelumnya." Bila kita katakan bahwa si polan sudah tiba pada hari ini,
itu artinya si polan sekarang ini sudah tiba. Allah SWT berfirman bahwa pada
hari ini (nanti akan kami jelaskan hari yang mana) orang-orang kafir tengah
putus asa untuk menghancurkan agamamu. Karena merasa tak ada harapan untuk
berhasil, maka kaum kafir menghentikan aktivitas permusuhan mereka terhadap
Islam. Jadi janganlah takut kepada mereka. Kalimat selanjutnya sangat mengherankan.
Tetapi takutlah kepada-Ku. Dapat dicatat bahwa di situ ada masalah agama.
Apakah Allah SWT bermaksud mengatakan bahwa "orang-orang kafir tak lagi
dapat menghancurkan agamamu, dan kalau penghancuran dilakukan terhadap
agamamu, maka akan dilakukan oleh-Ku?" Nanti akan kami jelaskan bagaimana
sesungguhnya arti atau maksud ayat ini. Kemudian Allah SWT berfirman,
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku." Dalam bagian ini, digunakan dua kata: disempurnakan
dan dicukupkan. Kedua kata ini kira-kira artinya sama, meski ada bedanya juga.
Beda antara Menyempurnakan dan Mencukupkan
Sesuatu,
selama bagian finalnya belum ada, maka sesuatu itu tidak lengkap. Kalau bagian
finalnya sudah ada, berarti sesuatu itu sudah lengkap. Sebuah bangunan belumlah
lengkap meski pilar-pilar dan atapnya sudah ada. Bangunan barulah lengkap kalau
semua bagiannya sudah terbentuk dan akhirnya bangunan itu layak untuk dihuni.
Sesuatu dapat dikatakan tidak sempurna, sekalipun semua bagiannya sudah
lengkap, kalau pembentukannya belum sampai pada puncaknya. Di dalam rahim,
janin memperoleh kelengkapan. Dengan kata lain, semua bagian janin terbentuk.
Ketika lahir, janin belumlah seorang manusia yang sempurna. Artinya janin belum
matang. Kondisi berkembang sepenuhnya dan matang beda dengan kondisi lengkap.
Sesungguhnya beda antara lengkap dan sempurna seperti beda antara kuantitas dan
kualitas.
Al-Qur'an
mengatakan, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu," dan
kemudian ditambahkan, "Telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku
pilihkan untukmu Islam sebagai agamamu." Dengan kata lain, sekarang Islam
seperti yang diinginkan Allah SWT. Maksudnya bukanlah bahwa Islam tetap seperti
sebelumnya, namun Allah SWT telah mengubah pandangan-Nya tentangnya. Maksudnya
adalah bahwa sekarang Islam, agama pilihan Allah SWT, telah sampai pada tahap
lengkap dan sempurna. Begitulah maksud ayat tersebut. Kini pertanyaannya adalah
hari apa yang dimaksud frase "pada hari ini." Hari apa yang menurut
Al-Qur'an agama kaum Muslim disempumakan dan nikmat Allah SWT dicukupkan? Hari
ketika suatu peristiwa luar biasa berlangsung tentunya merupakan hari yang
sangat penting. Ini disepakati baik oleh kaum Syiah maupun Sunni.
Mengherankan
bahwa ayat sebelum dan sesudahnya tidak menunjukkan apa yang dimaksud dengan
"pada hari ini." Konteksnya tidak memberikan indikasi verbal. Dalam
ayat-ayat sebelumnya tidak disebut-sebut peristiwa penting yang berkenaan
dengan "pada hari ini." Norma hukum berkenaan dengan daging binatang
tertentu, daging bangkai, darah dan daging babi disebut-sebut dalam ayat-ayat
yang mendahului ayat ini. Kemudian tiba-tiba Al-Qur'an mengatakan, "Pada
hari ini orang-orang kafir telah kehilangan harapan untuk menghancurkan agamamu,
maka janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku. Pada hari ini
telah Aku sempurnakan agamamu bagimu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu,
dan telah Aku pilihkan Islam sebagai agamamu. Lalu Al-Qur'an sekali lagi
berpaling ke tema sebelumnya dan mengatakan, "Namun barangsiapa terpaksa
makan daging yang diharamkan karena lapar, bukan karena kehendak untuk berbuat
dosa, maka Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Pengasih." Ayat-ayat ini
posisinya sedemikian sehingga kalau ayat yang menyelanginya ditiadakan, maka
ayat-ayat lainnya tetap lancar-lancar saja, dan pokok masalahnya tidak
terganggu. Soal daging diulang-ulang di dua atau tiga tempat, namun tak ada
ayat yang menyelangi ini.
Pada Hari Ini Maksudnya Apa?
Para
mufasir Al-Qur'an dari golongan Syiah maupun Sunni telah berupaya mengetahui
dengan pasti maksud "pada hari ini." Untuk itu ada dua cara. Cara pertama yaitu mengetahui artinya dari
konteksnya, dan cara kedua yaitu merujuk ke sejarah dan hadis untuk mengetahui
kapan ayat ini turun. Mereka yang menggunakan cara pertama tidak perhatian
terhadap apa yang dikatakan sejarah dan Sunnah tentang latar belakang ayat ini.
Mereka hanya melihat kepada substansi ayatnya, dan mengklaim bahwa ayat itu
berkaitan dengan hari ketika Nabi saw diangkat menjadi Rasul. Menurut mereka,
"Pada hari ini" maksudnya adalah hari itu, bukan pada hari ini.
Juga
dapat disebutkan bahwa ayat ini adalah bagian dari Surah al-Maidah, Surah
kelima Al-Qur'an, yang diawali dengan ayat: Hai orang-orang beriman, penuhilah
akad-akad itu (QS. al-Mâ`idah: 1). Semua mufasir Al-Qur'an sepakat bahwa Surah
ini adalah yang terakhir diturunkan di Madinah. Dibanding Surah an-Nashr,
turunnya bahkan lebih belakangan. Memang satu atau dua ayat yang ada di
surah-surah lain turunnya sesudah itu, namun bukan surah yang lengkap. Jadi
Surah al-Maidah adalah Surah yang terakhir turun kepada Nabi saw.
Berbagai
Pandangan tentang Makna "Pada Hari lni"
1. Hari Ketika Nabi saw Diangkat Menjadi Nabi
Telah
kami sebutkan bahwa, menurut sebagian orang, yang dimaksud dengan "Pada
hari ini "adalah pada hari itu, bukan pada hari ini. Pertanyaannya adalah
bagaimana indikasinya? Mereka mengatakan bahwa karena "pada hari ini"
telah digambarkan sebagai hari ketika Allah SWT memilih Islam sebagai agama bagi
umat manusia. Tentu saja "Pada hari ini" tentunya adalah hari ketika
Islam datang. Argumen ini didasarkan pada kata-kata "Aku pilih Islam
sebagai agamamu." Argumen ini tentu saja benar seandainya kata-kata ini
tidak didahului kalimat yang mengatakan, "Pada hari ini telah
Kusempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku untukmu." Hari ketika Islam datang merupakan hari
permulaan nikmat Allah, bukan hari kesempurnaannya. Karena itu "pada hari
ini" tidaklah mungkin hari ketika Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Nabi.
2. Hari Penaklukan Mekah
Kemungkinan
lainnya adalah bahwa "Pada hari ini "maksudnya adalah hari penaklukan
Mekah. Ini juga sekadar kemungkinan karena tak ada bukti yang memperkuatnya.
Ada argumen yang menyebutkan bahwa ada hari lain yang sangat penting dalam
sejarah Islam, yaitu hari ketika Mekah ditaklukkan, karena pada hari itu turun
ayat-ayat ini: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang
nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu
dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu
kejalan yang lurus (QS. al-Fath: 1-2).
Tak
diragukan lagi bahwa "hari itu" sangat penting. Di Jazirah Arab,
secara spiritual, posisi Mekah unik. Sejak serangan terhadap Ka'bah oleh
Pasukan Gajah dan kekalahan pasukan itu dengan cara yang mengherankan, semua
orang Arab sangat menghormati Ka'bah. Mereka memandang Ka'bah sebagai tempat
ibadah yang sangat suci. Setelah peristiwa ini kaum Quraisy jadi merasa bangga
diri. Mereka mengatakan bahwa Ka'bah sedemikian suci sehingga tentara hebat
yang menyerang Ka'bah mendapat bencana yang datang dari langit dan semuanya
musnah. Kaum Quraisy percaya bahwa peristiwa itu memperlihatkan arti penting
mereka. Peristiwa itu juga kuat pengaruh psikologisnya pada orang-orang Arab
lainnya, yang mulai menghormati dan mematuhi kaum Quraisy.
Sejak
saat itu orang Arab mulai percaya bahwa kaum Quraisy tak mungkin terkalahkan,
dan bahwa Ka'bah tak mungkin dapat diserang. Namun tak seperti yang mereka
perkirakan, Nabi saw berhasil menaklukkan Mekah dengan mudah tanpa adanya
pertumpahan darah. Selama penaklukan itu, tak ada seorang pun yang terluka,
walau sedikit. Barangkali inilah yang memang dikehendaki Nabi saw, di samping
pertimbangan kesucian Mekah, ketika Nabi saw mengambil tindakan khusus
menaklukkan Mekah tanpa pertumpahan darah. Kalau di tempat lain terjadi
pertempuran, dan seratus Muslim gugur, tentu tak ada orang yang beranggapan
bahwa gugurnya seratus Muslim itu adalah akibat alasan khusus. Namun seandainya
kaum Muslim mengalami kekalahan pada peristiwa Penaklukan Mekah, tentu kaum
kafir akan mengatakan, "Lihat, para sahabat Muhammad nasibnya sama dengan
Pasukan Gajah." Karena itu Nabi saw mempersiapkan segala sesuatunya
sedemikian rupa sehingga tak ada korban mati atau terluka di pihak mana pun. Hanya Khalid bin Walid, karena niat
jahatnya, membunuh dua atau tiga orang di daerah pinggiran Mekah. Di daerah
pinggiran ini beberapa orang memperlihatkan perlawanan. Ketika Nabi saw
mendengar kabar ini, Nabi saw mencela perbuatan Khalid. Nabi saw berkata,
"Ya Allah, aku tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku membenci
perbuatannya."
Inilah
alasan kenapa dari sudut pandang psikologis Penaklukan Mekah luar biasanya
pengaruhnya pada masyarakat Arabia. Mereka amat terkesan bahwa ternyata Nabi
mampu menaklukkan Mekah tanpa menimbulkan kerugian pada pihak mana pun.
Konsekuensinya, penduduk lain Jazirah Arab juga melakukan penyerahan diri.
Mereka pun datang ke Madinah dalam jumlah besar untuk memeluk Islam. Al-Qur'an
mengatakan: Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan
berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada
orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu (QS.
al-Hadîd: 10).
Karena
sebelum Penaklukan Mekah kaum Muslim sedikit jumlahnya, maka kalau mereka
berbuat kebajikan, itu karena iman yang kuat. Namun setelah penaklukan,
situasinya jadi lain. Orang pada berbondong'-bondong masuk Islam. Namun
Islamnya mereka tak sama nilainya dengan Islamnya orang-orang yang memeluk
Islam sebelum penaklukan. Karena itu, tak dapat dipungkiri bahwa Penaklukan
Mekah merupakan kemenangan besar Islam. Fakta ini juga tak dapat dibantah.
Seperti
telah kami jelaskan, sebagian orang beranggapan bahwa hari yang dipandang
begitu penting oleh Islam adalah hari penaklukan. Orang-orang itu mengutip ayat
yang mengatakan, "Pada hari ini orang-orang kafir telah kehilangan harapan
untuk mengalahkan agamamu. Maka janganlah takut kepada mereka, namun takutlah
kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagimu dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilih Islam sebagai agamamu".
Namun
sebagaimana sudah kami jelaskan, dalam teks atau dalam sejarah tak ada sesuatu
yang membuktikan bahwa ayat ini berkenaan dengan Penaklukan Mekah. Sebagian
dari ayat ini tidak mendukung argumen orang-orang ini. Kata-kata, "Telah
Aku sempurnakan agamamu bagimu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu"
menunjukkan bahwa pada saat itu segala sesuatu tentang agama telah diwahyukan,
dan tak ada yang belum difirmankan, namun kita tahu pasti bahwa banyak
petunjuk, perintah atau ajaran agama justru turun setelah Penaklukan Mekah.
Posisi ini tidak sesuai dengan kata-kata, "Telah Aku lengkapkan nikmat-Ku
atasmu." Kalau seseorahg mengatakan telah lengkap membangun gedung, maka
dia tidak merujuk ke sebuah bangunan yang masih belum lengkap. Banyak ayat
Al-Qur'an—termasuk ayat-ayat Surah al-Mâ`idah, sebuah Surah yang panjang dan berisi
banyak norma hukum—yang turun setelah Penaklukan Mekah. Mana mungkin ayat ini,
yang merupakan satu bagian dari Surah al-Mâ`idah, berkenaan dengan Penaklukan
Mekah yang terjadi pada tahun kedelapan Hijrah, padahal Surah ini turun
menjelang akhir tahun kesepuluh. Sekalipun dikatakan bahwa ayat ini turun
ketika Penaklukan Mekah, namun kesempurnaan nikmat Allah SWT tetap saja tidak
sesuai dengan peristiwa ini.
Ada
kesulitan lain kalau "pada hari ini" ditafsirkan hari Penaklukan
Mekah. Ayat ini mengatakan, "Pada hari ini orang-orang kafir telah
kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu." Sekarang pertanyaannya
adalah apakah kaum kafir memang kehilangan harapan untuk melawan Islam pada
hari Penaklukan Mekah. Penaklukan Mekah memang merupakan kemenangan yang sangat
penting efeknya, namun apakah betul kaum kafir pada hari itu kehilangan harapan
untuk mengalahkan Islam? Kelihatannya tidak begitu.
3. Pembacaan Surah al-Bara'ah oleh Imam Ali as
Ada
hari lain yang dianggap sangat penting, dan memang begitu adanya. Disebutkan
bahwa "pada hari ini" kemungkinan artinya adalah hati ketika Surah
al-Bara'ah dibacakan oleh Imam Ali as di Mina pada tahun kesembilan Hijrah.
Penaklukan Mekah merupakan kemenangan militer. Penaklukan ini menempatkan Islam
sebagai kekuatan militer dan bahkan sebagai kekuatan moral. Namun Nabi saw
tetap saja menaati Perjanjian Damai yang dibuatnya dengan kaum kafir. Di bawah
perjanjian ini kaum kafir berhak memasuki Mekah, tawaf mengelilingi Ka'bah, dan
bahkan ikut dalam seremoni haji. Kaum Muslim menjalankan haji menurut hukum
Islam, sedangkan kaum kafir menjalankannya menurut ritus mereka sendiri. Pada
tahun kesembilan Hijrah, Surah al-Bara'ah turun. Pada saat itu Imam Ali as
diputuskan untuk pergi ke Mina untuk membacakan Surah ini, dan di depan publik
menyatakan bahwa sejak saat itu kaum kafir tak berhak ikut dalam seremoni haji,
yang merupakan hak istimewa kaum Muslim.
Pada
umumnya dikatakan bahwa Nabi saw mula-mula mengutus Abu Bakar sebagai kepala
kafilah haji. Abu Bakar masih dalam perjalanan ketika turun ayat yang melarang
orang kafir berhaji ke Mekah. Ada perselisihan pendapat di kalangan mufasir
Al-Qur'an mengenai apakah Abu Bakar membawa Surah al-Bara'ah atau Abu Bakar
hanya sebagai kepala kafilah haji saja. Bagaimanapun juga, ini disepakati oleh
kaum Syiah dan Sunni dan dianggap sebagai poin keunggulan bagi Imam Ali as,
yaitu Nabi dengan duduk di atas untanya, mengutus Imam Ali as ke Mina sebagai
utusan khususnya. Nabi saw berkata kepada Imam Ali as, "Engkau harus pergi, karena aku telah
mendapat perintah dari Allah agar Surah ini hanya dibacakan olehmu atau oleh
seseorang yang berkaitan denganmu." Imam Ali as pergi menemui Abu
Bakar yang masih dalam perjalanan. Riwayat itu menyebutkan bahwa Abu Bakar
tengah ada di dalam kemah ketika unta khusus Nabi saw bersuara keras. Abu
Bakar, yang mengenai suara ini, keluar dan mendapati ternyata yang datang Imam
Ali as. Abu Bakar kaget, dan menduga bahwa tentu ada sesuatu yang sangat pen
ting. Kata Abu Bakar kepada Imam Ali as, "Apakah ada kabar khusus?"
Kata Imam Ali as, "Aku telah diberi tugas khusus untuk membacakan Surah
al-Bara'ah kepada umat." Kata Abu Bakar, "Apakah telah turun sesuatu
untukku?" "Tidak," kata Imam Ali as.
Di
sini sekali lagi ada perbedaan pendapat. Kaum Sunni mengatakan bahwa Imam Ali
as melanjutkan perjalanannya dan membacakan Surah itu sesuai dengan rencananya.
Sementara itu Abu Bakar melanjutkan perjalanannya, sekalipun salah satu misinya
telah dicabut. Namun kaum Syiah percaya, dan begitu pula banyak dari kalangan Sunni
seperti disebutkan dalam "al-Mizan", sebuah kitab tafsir Al-Qur'an,
bahwa Abu Bakar kemudian pulang, mendatangi Nabi saw. Abu Bakar berkata kepada
Nabi saw, "Ya Rasul Allah, apakah telah turun sesuatu dalam Surah ini
untukku?" Jawab Nabi saw, "Tidak."
Hari
dibacakannya Surah al-Bara'ah merupakan hari yang luar biasa bagi kaum Muslim,
karena pada hari itu kaum kafir dilarang ikut seremoni haji dan dilarang
memasuki kawasan suci. Dijelaskan kepada mereka bahwa mereka tidak dibolehkan
lagi hidup musyrik. Islam tidak membiarkan kemusyrikan. Islam menerima hidup
damai berdampingan dengan Yudaisme, Kristianitas dan Zoroastrianisme. Namun
Islam tidak bisa hidup bersama paganisme atau kemusyrikan. Sebagian orang
mengatakan bahwa mungkin "pada hari ini" maksudnya adalah hari
turunnya Surah al-Bara'ah. Untuk men-jawab mereka, dapat dikatakan bahwa
anggapan ini tidak sesuai dengan kata-kata Al-Qur'an, "Telah Aku
lengkapkan nikmat-Ku atasmu," karena banyak petunjuk keagamaan diterima
setelah itu. "Pada hari ini" tentu merupakan salah satu di antara
hari-hari terakhir masa hidup Nabi, setelah hari-hari terakhir ini tentu tak
akan ada lagi petunjuk keagamaan yang turun.[1]
Penjelasan-penjelasan
mengenai "pada hari ini" tak ada indikasi tekstualnya atau pun bukti
sejarahnya yang memperkuatnya.
Penjelasan Syiah
Dalam
hubungan ini ada penjelasan lain yang, menurut kaum Syiah, didukung oleh isi
ayat-ayat Al-Qur'an maupun sejarah. Karena itu penjelasan ini akan dipaparkan
dalam dua bagian. Pertama-tama kita lihat apa kata sejarah, baru kemudian apa
kata ayat Al-Qur'an.
1.
Kalau masalah ini dilihat dari sudut pandang sejarah, maka dapat ditemukan
banyak bukti yang memperkuat penjelasan kami. Kebanyakan buku yang ditulis
tentang persoalan ini menekankan bahwa sejarah dan hadis sepakat bahwa ayat
Al-Qur'an, "Pada hari ini orang-orang kafir telah kehilangan harapan untuk
mengalahkan agamamu, maka janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku.
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagimu dan telah Aku lengkapkan
nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilihkan bagimu Islam sebagai agama,"
turun di Ghadir Khum. Karya penelitian, "al-Ghadir", telah
membuktikan hal ini.
Selain
kitab-kitab hadis, kitab-kitab sejarah juga menuturkan kisah yang sama.
"Sejarah Yakubî merupakan salah satu kitab tertua yang sangat andal
tentang sejarah Islam, dan dianggap autentik baik oleh kaum Syiah maupun Sunni.
Kitab ini terdiri atas dua jilid, masing-masing jilid sudah diterjemahkan ke
bahasa Persia oleh almarhum Dr. Ayati. Kitab ini sangat bagus, dan ditulis pada
awal abad ke-3, tampaknya selama periode antara akhir pemerintahan Ma'mun dan
awal periode pemerintahan Mutawakkil. Kitab ini, yang merupakan kitab sejarah,
bukan kitab hadis, termasuk kitab yang menyebutkan peristiwa Ghadir Khum.
Banyak kitab lainnya, antara lain yang ditulis oleh kaum Sunni, juga
menyebutkan peristiwa ini.
Menurut
riwayat, ketika Nabi Saw. kembali dari menunaikan haji perpisahan[2] dan sampai
di sebuah tempat dekat Juhfah[3] yang dikenal dengan nama Ghadir Khum, Nabi saw
meminta kepada kafilah untuk berhenti, dan Nabi saw menyatakan ingin bicara
kepada umat mengenai suatu masalah. Lalu Nabi saw memerintahkan agar dibuatkan
mimbar. Setelah mimbar disiapkan, Nabi saw naik ke mimbar dan bicara
terperinci.
Nabi
saw berkata, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding
kalian sendiri?" Semua yang hadir menjawab, "Ya." Lalu Nabi saw
berkata, "Ali ini adalah pemimpin
bagi orang yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya." Pada saat inilah
turun ayat Al-Qur'an ini, "Pada hari ini orang-orang kafir telah
kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu; maka janganlah takut kepada
mereka, namun takutlah hepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu
bagimu, dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu."
Kalau
masalah ini mau dibahas dari sudut pandang sejarah, maka perlu dikaji buku-buku
yang menyebutkan peristiwa ini, khususnya buku-buku yang ditulis oleh kalangan
Sunni. Kutipan dari buku-buku ini dapat dijumpai dalam buku-buku seperti
"al-Ghadir" yang terbit di Masyhad beberapa tahun silam dan merupakan
ikhtisar persoalan ini yang bagus sekali dan patut dibaca.
Argumen
kaum Syiah didasarkan pada latar belakang sejarah ayat ini. Mereka mengatakan
bahwa frase "pada hari ini" artinya bukanlah hari ini. Lantas apa
artinya? Berkenaan dengan saat turunnya ayat ini, ternyata bukan satu atau dua
melainkan puluhan riwayat mutawatir mengatakan bahwa ayat ini turun di Ghadir
Khum pada hari Nabi saw menunjuk Imam Ali as sebagai penggantinya.
2.
Dalam ayat itu sendiri ada indikasi-indikasi internal yang menguatkan apa yang
ditegaskan oleh sejarah. Ayat itu mengatakan, "Pada hari ini kaum kafir
telah kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu." Mari kita bandingkan
ayat ini dengan ayat-ayat lain yang memperingatkan kaum Muslim dan mengatakan
bahwa kaum kafir termasuk ahlulkitab dan lainnya selalu bersekongkol melawan
mereka dan suka memalingkan mereka dari agama mereka: Sebagian besar ahlulkitab
menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran sesudah kamu
beriman, karena dengki yang (datang) dari diri mereka sendiri (QS. al-Baqarah:
109).
Kita
melihat bahwa sementara beberapa ayat lain mengatakan bahwa orang-orang kafir
ingin menghancurkan agama kaum Muslim, ayat yang sedang kita bahas ini
mengatakan bahwa sekarang mereka telah kehilangan harapan untuk menghancurkan
agama kaum Muslim, dan aktivitas permusuhan mereka terhadap kaum Muslim telah
berakhir. Jadi janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku. Allah
berfirman, Takutlah kepada-Ku. Ini maksudnya apa? Apakah Allah musuh agama-Nya
sendiri? Bukan. Ayat ini menetapkan prinsip dasar yang sama berkenaan dengan
nikmat Allah SWT yang telah disebutkan dalam begitu banyak ayat lainnya. Salah
satu ayat seperti ini mengatakan: Allah tidak mengubah kondisi suatu kaum
kecuali kaum itu sendiri, mengubah apa yang ada di hati mereka (QS. ar-Ra'd:
11). Memberikan alasan untuk ini, ayat yang lain mengatakan: Yang demikian itu adalah
karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang
telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang
ada di hati mereka (QS. al-Anfâl: 53).
Allah
SWT berfirman bahwa Dia sekali-kali tidak akan mengubah nikmat apa pun yang
telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum hingga kaum itu sendiri, melalui
perbuatan mereka sendiri, ingin mengubahnya. Ini merupakan salah satu prinsip
dasar yang disebutkan dalam Al-Qur'an.
Ayat Muhkamat (Spesifik) dan Mutasyabihat (Mendua)
Dalam
kaitan dengan ayat ini tampaknya perlu disebutkan satu poin yang bermanfaat di
banyak kesempatan. Menurut hadis, sebagian ayat Al-Qur'an menjelaskan sebagian
ayat lainnya. Al-Qur'an adalah sebuah Kitab yang jelas dan menjelaskan.
Al-Qur'an itu sendiri mengatakan bahwa ayat-ayatnya ada dua macam: muhkamat dan
mutasyabihat. Al-Qur'an menyebut ayat muhkamat ayat induk, yang tentu saja
merupakan ungkapan yang luar biasa: Dialah yang menurunkan Al-Qur'an kepada
kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi
Al-Qur'an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (QS. AH 'Imran: 7).
Ayat-ayat
mutasyabihat adalah ayat-ayat yang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara,
sedangkan ayat-ayat muhkamat hanya dapat ditafsirkan dengan satu cara.
Al-Qur'an menyebut ayat-ayat muhkamat ayat-ayat induk karena dengan bantuan
ayat-ayat ini ayat-ayat mutasyabihat dapat ditafsirkan. Kalau kita menjumpai
ayat Al-Qur'an yang dapat ditafsirkan dengan beberapa cara, kita tidak berhak
memastikan maknanya. Kita harus merujuk ke ayat-ayat lain untuk mengetahui
penjelasan terbaiknya. Ayat-ayat mutasyabihat bukan berarti tidak dapat
dipahami. Ayat seperti ini hanya berarti ayat yang dapat ditafsirkan dengan
lebih dari satu cara, yang masing-masing cara ini saling menyerupai.
Misal,
ada beberapa ayat yang berkaitan dengan Kehendak Mutlak Allah SWT yang
menyatakan bahwa segalanya bergantung pada Kehendak dan Perkenan Allah SWT.
Salah satunya adalah ayat mutasyabih berikut ini, Katakanlah: "Wahai Tuhan
yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa
atas segala sesuatu" (QS. AH 'Imran: 26).
Ayat
ini mutasyabih (mendua) karena dapat ditafsirkan dengan lebih dari satu cara.
Ayat ini hanya mengatakan bahwa segalanya bergantung pada Kehendak Allah SWT.
Ini mungkin dengan dua cara: Cara pertama adalah mengatakan bahwa Kehendak
Allah SWT adalah mutlak tanpa syarat. Sebagian orang menafsirkan ayat ini
dengan cara itu, dan membuat kesimpulan yang salah bahwa meski kondisinya
kondusif bagi kemuliaan namun bisa saja terjadi aib, dan begitu pula meski
kondisinya kondusif bagi kehinaan, bisa saja terjadi kemuliaan dan kekuasaan.
Menurut mereka, sukses di dunia dan akhirat tak ada prasyaratnya, karena segala
sesuatu bergantung pada Kehendak Allah SWT. Akibatnya, bisa saja suatu kaum
atau seseorang meraih sukses dalam urusan duniawinya tanpa ada prasyaratnya,
atau menemui kegagalan tanpa alasan yang jelas. Begitu pula, suatu kaum bisa
saja meraih puncak surga, atau terpuruk ke tingkat terhina neraka tanpa alasan.
Celakanya sebagian Muslim yang disebut
kaum Asy'ariyah telah mengambil kesimpulan seperti ini dari ayat ini.
Mereka mengatakan bahwa tidaklah mustahil kalau Nabi saw masuk neraka atau Abu
Jahal masuk surga. Namun ini merupakan penafsiran yang salah tentang ayat ini.
Karena ayat ini hanya mengatakan bahwa segalanya bergantung pada Kehendak
Allah SWT, sedangkan mengenai bagaimana sesungguhnya bekerjanya Kehendak ini
yang menentukan sukses dan gagal, mulia dan aib, ayat ini tidak bicara apa-apa.
Itulah sebabnya kenapa ayat ini dapat ditafsirkan beberapa macam.
Namun
kalau kita merujuk ke ayat-ayat lain, ayat-ayat itu merupakan ayat pokok
Al-Qur'an dan menjelaskan makna sesungguhnya ayat ini. Misal, satu ayat
mengatakan, "Itu karena Allah tak pernah mengubah nikmat yang telah
dianugerahkan-Nya kepada kaum apa pun sampai kaum itu sendiri mengubah apa yang
ada di hati mereka." Ayat yang lain mengatakan, "Sesungguhnya Allah
tidak mengubah kondisi suatu kaum sampai kaum itu mengubah apa yang ada di hati
mereka." Kedua ayat ini masing-masing mengatakan sesuatu yang tidak
dikatakan ayat yang lain. Ayat kedua mengatakan bahwa Allah tidak mengubah
kondisi suatu kaum, entah kondisi itu baik atau buruk, jika mereka sendiri
tidak melakukan tindakan untuk mengubahnya. Atau, Allah SWT tidak mencabut
nikmat yang telah dianugerahkan-Nya dan juga tidak mencabut aib yang telah
ditimpakan-Nya. Hanya kaum itu sendiri yang mengubah kondisi mereka. Ayat
pertama bukan mengenai kondisi menyedihkan. Ayat ini hanya bicara tentang
nikmat anugerah Allah SWT. Namun ayat ini menyebutkan poin tambahan. Kata ayat
ini, Itu karena Allah SWT tak pernah pernyataan ini! Yang dimaksud Imam Ali as
adalah bahwa situasinya rumit, dan perlu dikaji dari berbagai sisi. Imam Ali as
kemudian mengatakan, "Atmosfernya berat, dan rutenya sudah berubah."
Akhirnya Imam Ali as berkata, "Jika aku memerintahmu, aku akan mengikuti
jalan yang aku ketahui, dan tak akan berbuat seperti yang kalian mau."
Perkataan
Imam Ali as ini menunjukkan bahwa Imam Ali as sepenuhnya menyadari bahwa sejak
masa Nabi saw situasinya sudah rusak sekali dan sudah benar-benar berubah. Imam
Ali as membuat posisinya sangat jelas. Imam Ali as mau kalau umat berbaiat
kepadanya mereka harus mengikutinya karena begitulah arti berbaiat. Imam Ali as
tidak mengatakan bahwa khilafahnya akan sia-sia kalau mereka tidak berbaiat
kepadanya. Imam Ali as menginginkan mereka tulus janjinya sehingga mereka akan
memberikan dukungan kuat kepadanya dan mengikuti perintahnya.
Kaum
Syiah dan Sunni sepakat bahwa Umar menunjuk sebuah dewan yang beranggotakan
enam orang untuk memilih penggantinya. Imam Ali as sendiri termasuk di
antaranya. Tiga anggota dewan ini mundur untuk memberikan dukungan kepada tiga
anggota lainnya. Zubair mundur untuk memberikan dukungan kepada Imam Ali as.
Thalhah mundur untuk memberikan dukungan kepada Utsman, dan Sa'ad bin Waqqas
mundur untuk memberikan dukungan kepada Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman
mengatakan bahwa dirinya bukanlah kandidat. Sekarang tinggal dua orang. Pilihan
sekarang ada di tangan Abdurrahman. Siapa pun yang dipilihnya, maka dia akan
menjadi Khalifah. Mula-mula Abdurrahman mendatangi Imam Ali as. Katanya,
"Aku siap berbaiat kepada Anda asal Anda berjanji akan bertindak menurut
Kitab Allah, sunah Nabi-Nya dan kebijakan yang ditempuh Abu Bakar dan
Umar." Kata Imam Ali as, "Aku
mau menerima syarat harus mengikuti Kitab Allah dan sunah (jalan) Nabi-Nya,
namun untuk syarat harus mengikuti kebijakan Abu Bakar dan Umar tidak."
Kemudian Abdurrahman mendatangi Utsman dan mengatakan hal yang sama. Utsman mau
bertindak mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi-Nya dan kebijakan yang ditempuh Abu
Bakar dan Umar. Meskipun Utsman mau berjanji akan mengikuti kebijakan Abu Bakar
dan Umar namun, menurut Muhammad Taqi Syari'ati, Utsman sesungguhnya tidak
berbuat demikian. Kalau dibuat perbandingan, ternyata tindakan Imam Ali as
persis seperti Nabi saw. Perilaku Imam Ali as lebih dekat dengan perilaku
Syaikhan (Abu Bakar dan Umar) juga, sejauh mereka mengikuti jalan Nabi saw. Imam Ali as tidak menerima syarat harus
mengikuti kebijakan Syaikhan, karena kalau berbuat demikian berarti mendukung
penyimpangan keduanya juga, dan kalau demikian maka Imam Ali as tak mungkin
dapat lagi menentang penyimpangan keduanya. Misal, diskriminasi antara kaum
Muhajir dan Anshar terjadi di masa Umar. Imam Ali as menentang keras kebijakan
seperti ini. Kalau Imam Ali as mengatakan akan mengikuti kebijakan yang
ditempuh Abu Bakar dan Umar, tentu Imam Ali as harus membenarkan tindakan yang
dilakukan di masa Umar. Imam Ali as tak mau berdusta, juga tak mau ingkar
janji. Itulah sebabnya kenapa Imam Ali as mengatakan tak mau menjadi Khalifah.
Kita
tahu bahwa Abu Bakar dan Umar melakukan penyimpangan. Sepeninggal Umar, Imam
Ali as tetap tak mau berjanji mau mengikuti langkah Abu Bakar dan Umar. Tentu
wajar kalau sepeninggal Utsman ketika kondisinya parah dan, dalam kata-kata
Imam Ali as sendiri, masa depan banyak sisinya, Imam Ali as mengatakan kepada
orang-orang yang menginginkan Imam Ali as bertindak seperti yang mereka
inginkan bahwa jika Imam Ali as mengambil alih pemerintahan, Imam Ali as akan
melakukan apa yang dipandangnya benar, bukan melakukan apa yang mereka
inginkan. Kata-kata Imam Ali as ini tidak berarti Imam Ali as menolak tawaran
untuk memerintah. Imam Ali as hanya menjelas-kan sikapnya.
Tanya: Al-Qur'an sangat
menekankan persatuan. Mengapa kalau memang penting artinya, Imamah Imam Ali as
tidak disebutkan secara khusus dalam Al-Qur'an, juga Nabi saw tidak menyebut
masalah ini pada banyak kesempatan, yang semestinya harus Nabi saw lakukan?
Jawab: Di sini ada dua poin.
Poin pertama adalah kenapa masalah ini tidak disebutkan secara khusus dalam
Al-Qur'an? Poin kedua adalah apakah Nabi saw membicarakan masalah ini di
beberapa tempat atau tidak. Sejauh menyangkut poin kedua, kami katakan bahwa
itu merupakan masalah sejarah. Banyak dari kalangan Sunni mengakui bahwa Nabi
saw membicarakannya pada beberapa kesempatan, bukan saja di Ghadir Khum, namun
juga di tempat-tempat lain. Perinciannya ada dalam buku-buku tentang imamah.
Ketika di Tabuk, Nabi saw berkata kepada Ali as, "Engkau bagiku seperti
Harun bagi Musa, hanya saja tak ada nabi setelahku." Ketika di Perang
Khaibar, Nabi saw menegaskan posisi Imam Ali as dengan mengatakan, "Besok
akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Nabi-Nya
dan yang dicintai Allah serta Nabi-Nya." Bahkan selama periode awal Islam,
kepada kaum Quraisy Nabi saw berkata, "Barangsiapa di antara kalian yang
pertama berbaiat kepadaku, maka dia akan menjadi ahli waris dan wazirku
(menurut sebuah riwayat Nabi berkata, 'akan menjadi ahli waris, wazir dan
khalifahku')." Orang seperti itu hanyalah Imam Ali as.
Begitu
pula dengan Al-Qur'an. Masalah ini disebutkan bukan saja di satu atau dua
melainkan beberapa tempat. Persoalan satu-satunya adalah kenapa Al-Qur'an tidak
menyebut nama Imam Ali as. Masalah ini juga dibahas dalam buku "Khilafah
dan Wilayah". Kami yakin, tak ada perubahan dalam Al-Qur'an, dan juga tak
ada penambahan atau pengurangan. Kami yakin nama Imam Ali as tidak
disebut-sebut di bagian mana pun. Dua alasannya sudah dikemukakan. Salah
satunya, yang sudah dijelaskan lengkap dalam buku Muhammad Taqi Syari'ati,
adalah Al-Qur'an memiliki gayanya sendiri. Al-Qur'an selalu membicarakan
masalah-masalah seperti itu dalam bentuk sebuah prinsip, bukan sebagai kasus
individual. Ini sendiri sudah merupakan nilai Al-Qur'an. Ketika ayat, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu
bagimu" turun, kaum kafir kecewa karena mereka selalu mengatakan bahwa
selama orang itu (Nabi saw) masih hidup, maka tak ada yang dapat dilakukan,
namun begitu Nabi saw wafat, segalanya akan beres. Namun harapan terakhir
mereka kandas ketika mereka melihat Nabi saw telah mengambil langkah untuk
menjamin kesinambungan eksistensi umatnya dan telah mengangkat penggantinya.
Poin
lainnya yang juga disebutkan oleh penulis-penulis Sunni adalah bahwa selama
hari-hari terakhir hayat Nabi saw, Nabi saw merasa cemas dengan masa depan para
pengikutnya, dan ketakutan ini disebutkan dalam Al-Qur'an dengan kata-kata,
"Dan takutlah kepada-Ku. "Menurut sebuah riwayat yang juga
diriwayatkan oleh kaum Sunni, Abu Muzaihabah, seorang sahaya Aisyah, berkata:
"Selama hari-hari terakhir hayat Nabi, aku pernah melihat beliau keluar
dari ruangannya dan menuju ke pekuburan Baqi di tengah malam. Aku berkata
kepada diriku sendiri bahwa aku tidak boleh membiarkan beliau sendirian. Lalu
aku mengikuti beliau. Dari jauh aku melihat beliau berdoa memohon ampunan Allah
untuk orang-orang yang dimakamkan di Baqi. Aku mendengar beliau mengatakan,
'Kalian beruntung telah pergi duluan dan memperoleh keselamatan. Saat-saat yang
tidak menyenangkan akan datang seperti malam-malam gelap.'" Riwayat ini
menunjukkan bahwa Nabi saw membayangkan akan datangnya peristiwa demi peristiwa
buruk, dan tak diragukan bahwa salah satunya adalah perselisihan tentang
khilafah.
Menjawab
pertanyaan mengapa Al-Qur'an tidak menyebut nama Imam Ali as, telah dikemukakan
dua penjelasan: Pertama, gaya khas Al-Qur'an adalah menggambarkan beragam
problem dalam bentuk prinsip; kedua, Nabi saw dan Allah SWT tidak khusus
menyebut namanya karena Nabi saw dan Allah SWT mengetahui bahwa masalah
khilafah akan didistorsi dan disalahtafsirkan. Karena sabda Nabi saw disalahtafsirkan,
maka kalau ayat Al-Qur'an secara khusus menyebut nama Imam Ali as, juga akan
disalahtafsirkan. Nabi saw berkata, "Ali ini adalah pemimpin bagi orang
yang menjadikan aku pemimpinnya." Mungkinkah ada yang lebih jelas daripada
ini?
Namun
banyak perbedaan antara melanggar sabda jelas Nabi saw dan melanggar ayat yang
menunjuk Imam Ali as pada hari setelah wafatnya Nabi saw. Itulah sebabnya saya
kutipkan peristiwa berikut ini dalam pengantar buku "Khilafah dan
Wilayah": "Seorang Yahudi, dengan maksud mencela kaum Muslim karena
kejadian-kejadian buruk di awal periode Islam selama kekhalifahan Imam Ali as,
pernah berkata kepada Imam Ali as, 'Begitu kalian memakamkan Nabi kalian,
kalian mulai berselisih tentangnya.'Jawaban Imam Ali as luar biasa, 'Kami tidak
berselisih tentangnya. Kami hanya berselisih tentang perintah-perintah yang
kami terima darinya. Namun kalian, kaki kalian masih basah air laut ketika
kalian berkata kepada Nabi kalian, Tunjukkan untuk kami dewa seperti dewa-dewa
lawan kami. Kemudian Nabi kalian berkata, Sesungguhnya kalian adalah
orang-orang yang bodoh.'"
Jadi
Banyak bedanya antara apa yang terjadi pada kaum Muslim, dan apa yang terjadi
pada kaum Yahudi. Dengan kata lain, kaum Muslim tidak berselisih tentang Nabi
saw itu sendiri. Mereka berselisih tentang makna dan arti penting
petunjuk-petunjuknya saja. Karena itu, yang mereka lakukan tak dapat sekadar
dikatakan bahwa mereka salah memahami sabda Nabi saw. (Meskipun sesungguhnya
tidak begitu.) Namun, banyak bedanya antara salah memahami atau salah
menafsirkan sabda Nabi saw, dan mengabaikan atau mendistorsi ayat Al-Qur'an.
Tanya: Masalah di atas dapat
dirumuskan begini. Memang Al-Qur'an hanya memberikan prinsip-prinsip saja.
Namun prinsip suksesi dan pemerintahan dalam Islam tentu saja sangat penting.
Al-Qur'an tidak menyebut nama. Namun prosedurnya tentunya sudah digariskan
dengan jelas. Misal, bisa saja diwahyukan kepada Nabi saw agar Nabi saw
mengangkat penggantinya, dan agar penggantinya juga mengangkat penggantinya,
dan seterusnya. Begitu pula, semestinya digariskan dengan jelas apakah masalah
suksesi diputuskan melalui pengangkatan atau pemilu. Pendek kata, masalah
suksesi semestinya tidak dibiarkan tidak jelas, karena masalah suksesi bukan
masalah sepele bagi Islam yang merupakan sebuah agama .yang datang untuk
memberikan petunjuk. Problemnya bukanlah apakah nama Imam Ali as semestinya
disebutkan atau tidak. Namun kalau mengingat perselisihan pendapat mengenai
metode suksesi dan bentuk pemerintahan, maka perlu digariskan prosedur yang
jelas. Setidak-tidaknya bisa diwahyukan kepada Nabi saw bahwa Nabi saw
berkewajiban menunjuk penggantinya. Dalam kasus itu pun orang bisa saja tidak
sependapat mengenai siapa penggantinya. Namun akan jelas kalau Nabi sendiri
mengangkat penggantinya sehingga tak ada lagi semacam pemilu. Juga ada masalah
lain, apakah penerus Nabi saw menunjuk penerusnya atau imam berikutnya, atau
menyerahkan masalah ini kepada pilihan umat. Sepengetahuan saya, dalam
Al-Qur'an problem ini juga masih tidak jelas. Bagaimanapun juga, tak ada
prosedur yang jelas garisnya.
Poin
kedua adalah beberapa waktu silam saya membaca sebuah buku mengenai sistem
pemerintahan dalam Islam. Dalam buku itu banyak dikutip kata-kata Imam Ali as
dan lainnya, yang semuanya pada intinya mengatakan bahwa masalah Khilafah
ditentukan oleh kaum Muslim dan kaum Muslim diberi hak untuk mengungkapkan
pendapat mengenai masalah itu. Misal, Imam Ali as, pada berbagai kesempatan,
berkata, "Seorang khalifah ditunjuk oleh kaum Muslim dan diseleksi oleh
umat bersangkutan." Imam Ali as juga mengatakan bahwa masalah khilafah
bukan dirinya yang memutuskan, namun terserah kepada kaum Muslim untuk
bermusyawarah dan mengungkapkan pendapat mengenai masalah itu. Dalam buku ini banyak
argumen yang mendukung pandangan bahwa masalah pemerintahan merupakan masalah
pemilu, dan tak ada seorang pun yang berwenang menunjuk penerusnya. Bagai-mana
pendapat Anda mengenai hal ini?
Poin
ketiganya adalah misal saja imam berikutnya menggantikan Imam sebelumnya, dan
seterusnya sampai dua belas imam, kini bagaimana prosedur tetapnya untuk
mengangkat pemimpin masyarakat Muslim? Adakah ketentuan Allah SWT dalam hal
ini? Apakah pengangkatan selanjutnya didasarkan pada prinsip pemilu atau
prinsip lainnya? Apakah ada ketetapannya bahwa dua belas imam yang maksum
diangkat dengan petunjuk Allah SWT dan kemudian, misal, selama gaibnya Imam
kedua belas, baru diadakan pemilu? Apakah ada ketentuannya yang jelas? Apakah
kesimpulannya adalah bahwa mujtahid yang memenuhi syarat dapat menjadi pemimpin
pemerintahan selama gaibnya Imam kedua belas? Sesungguhnya Al-Qur'an semestinya
memberikan undang-undang kepada kaum Muslim yang memberikan petunjuk bahwa
Tuhan telah menentapkan bahwa dua belas imam adalah penerus Nabi saw dan
setelah itu kaum Muslim baru bebas memilih penguasa mereka, atau semestinya
dikatakan dengan jelas bahwa baru setelah itu mujtahid yang menjadi pemimpin
mereka. Namun masalah ini tetap saja tidak terpecahkan sejak wafatnya Imam
kesebelas, dan telah mengakibatkan perselisihan. Bagaimana pemecahan problem
ini dan sudut pandang kita?
Jawab: Sebagian poin ini
sudah kami bahas, namun Anda sekali lagi membelokkan masalah imamah ke masalah
pemerintahan saja. Seperti sudah kami jelaskan, masalah imamah beda dengan
masalah pemerintahan, dan masalah pemerintahan, kalau ada imam, persis seperti
kalau ada Nabi. Dengan kata lain, dalam kedua kasus ini ada suatu situasi yang
diatur dengan hukum khusus. Di masa hidup Nabi saw tidak muncul masalah siapa
yang menjadi kepala negara, dan dengan adanya imam yang ciri-ciri khasnya
seperti yang diyakini kaum Syiah, masalah ini hanya sekunder dan hipotetis.
Masalah bentuk pemerintahan hanya dapat dipertimbangkan kalau tak ada imam,
karena bagi kami tak ada zaman yang tak ada Imamnya. Namun mungkin ada suatu
masa ketika imam tidak hadir, dan itulah sebabnya kami tidak menafikan arti
ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa urusan kaum Muslim diselesaikan dengan
musyawarah. Namun urusan yang dapat diselesaikan dengan musyawarah adalah
urusan yang belum jelas hukum atau aturan syariatnya, bukan urusan yang ada
petunjuk atau ketentuan Al-Qur'annya.
Adapun
poin-poin yang disebutkan dalam buku "Pemerintahan dalam Islam", buku
ini belum saya telaah dengan seksama. Namun buku ini sayangnya, untuk sebagian
besar, sepihak. Argumen-argumennya sepihak. Tak ada argumen-argumen sebaliknya.
Inilah kekurangannya, karena semua argumen harus dikemukakan, lalu baru dilihat
argumen mana yang lebih kuat dan lebih andal.
Kekurangan
lain buku ini adalah banyak kutipan di dalamnya yang dibahas keluar dari
konteksnya. Saya belum melakukan studi seksama atas buku itu, namun mereka yang
telah melakukannya mengatakan bahwa awal dan akhir dari banyak kalimat yang
dikutip dalam buku ini telah mengalami pemotongan, akibatnya maknanya
terdistorsi. Jika bagian-bagian yang hilang ini ditambahkan pada
kalimat-kalimat ini, maka sangat beda artinya. Kalau imam tak hadir, tak ada
perselisihan tentang hal ini.
Catatan:
[1] Bagian pertama buku "Khilafah dan Wilayah" yang baru-baru ini
terbit, berisi kuliah-kuliah Muhammad Taqi Syari'ati yang disampaikan di
Husainiyah Irsyad sekitar empat tahun silam. Dalam kuliah-kuliahnya, dia
membahas persoalan yang juga saya bahas ini. Karena itu dua buku ini dapat dianggap
saling menambah.
[2] Nabi saw menunaikan haji perpisahan pada tahun
terakhir hayatnya, sekitar dua bulan sebelum wafat. Nabi saw wafat pada 28
Shafar atau, menurut kaum Sunni, 12 Rabiulawal. Nabi saw sampai di Ghadir Khum
pada 18 Zulhijah, yaitu dua bulan sepuluh hari sebelum wafat atau dua bulan dua puluh
empat hari menurut kaum Sunni.
[3] Ada di antara Anda mungkin pernah ke Julifah.
Saya ke Juhfah ketika menunaikan haji yang kedua. Kunjungan kami ke Madinah
mengalami penundaan. Maka kami ke Jeddah. Ada perbedaan dalam pandangan hukum
mengenai boleh tidaknya berihram di Jeddah. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa
ini bukanlah perbedaan hukum, melainkari perbedaan geografis. Berihram dapat
dilakukan dari titik yang paralel dengan miqat. Qrang yang tahu geografi Arabia
dapat mengatakan dengan pasti apakah Jeddah memenuhi syarat ini atau tidak.
Pada awalnya kami sendiri tidak percaya kalau itu demikian, namun belakangan
ketika memperoleh peta Arabia di Mekah dan Madinah, ternyata Jeddah paralel
dengan salah satu miqat, dengan asumsi peta tersebut akurat. Kalau mereka yang
bergerak dari Jeddah ke Mekah ingin ber-ihram dari salah satu miqat yang
Sebenarnya, mereka bergerak dari Jeddah ke Juhfah yang letaknya di rule menuju
Madinah dan merupakan miqat bagi orang Syria. Ghadir Khum letaknya dekat
Juhfah. Di tempat ini kaum Muslim yang pulang dari Mekah setelah menunaikan
ibadah haji berpencar Ada yang ke Madinah, dan ada yang ke tempat
masing-masing.