Sifat Jâhiliyah di Kalangan Para Sahabat


Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

H. Fuad Hashem dalam bukunya Sîrah Muhammad Rasûlullâh[1]melukiskan sifat jahiliah itu dengan jelas. Ia mengatakan:

Arti kata “jâhiliyah” yang dimaksud Rasûl tidak ada sangkut pautnya dengan kata “zaman” atau “periode”. Kalau kedatangan Islam itu memberantas kebiasaan jahiliah, itu tidak lantas berarti bahwa babakan sejarah menjadi “Zaman Jahiliah” dan “Zaman Islam”, sehingga implikasinya adalah bahwa “jâhiliyah” adalah periode yang telah lewat, sudah kadaluwarsa, sudah mati dikubur ajaran Islam. Pengertian yang menyamakan zaman jahiliah sebagai “Zaman Kebodohan” (Ignorance) mungkin suatu usaha untuk ikut membonceng pengertian agama Kristen bahwa jahiliah itu adalah “zaman sebelum datangnya Nabî”, seperti tercantum dalam Kitâb Injil (Kisah Rasûl-Rasûl 17:30), korban pengaruh Kristen seperti kata teolog Mikaelis. Memang banyak pengaruh itu yang disadari, misalnya dibuangnya bagian awal dari Sîrah Ibnu Ishâq. Tetapi ini hanya satu dari sekian aspirasi Kristen yang telah merasuk ke dalam karya literer Islam dan kalau tidak dicabut, duri ini akan tetap menyakiti daging.

Jahiliah itu benar-benar lepas dari pengertian zaman atau periode. Ini jelas terlihat dari kutipan ayat Al-Qur’ân: “Ketika orang kafir membangkitkan dalam dirinya kesombongan, kesombongan jahiliah, maka Allâh menurunkan ketenangan atas Rasûl dan mereka yang beriman, dan mewajibkan mereka menahan diri. Dan mereka memang berhak dan patut memilikinya. Dan Allâh sadar akan segalanya”.[2] Ayat ini jelas mempertentangkan jahiliah dengan ketenangan (sâkinah), sifat menahan diri dan takwa...arti kata pokok jahil (jhl) bukanlah lawan dari ‘ilm (kepintaran) melainkan hilm yang artinya sifat menahan diri sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qurân.

Maka perwujudan sifat jahiliah itu adalah antara lain rasa kecongkakan suku, semangat balas dendam yang tak berkesudahan, semangat kasar dan kejam yang keluar dari sikap nafsu tak terkendali dan perbuatan yang bertentangan dengan takwa. Ini bisa saja terjadi dalam zaman setelah kedatangan Islam dan keluar dari pribadi seorang Muslim.

Sebagai ilustrasi kita teliti tanggapan Rasûl dalam peristiwa Khâlid bin Walîd, yang terjadi sekitar pertengahan Januari 630, dalam penaklukan kota Makkah. Ibnu Ishâq bercerita[3]: “Rasûl mengirim pasukan ke daerah sekitar Makkah untuk mengajak mereka ke dalam Islam: beliau tidak memerintahkan mereka untuk bertempur. Di antara yang dikirim adalah Khâlid bin Walîd yang diperintahkannya ke kawasan datar sekitar perbukitan Makkah sebagai misionaris; ia tidak memerintahkan mereka bertempur.”

Mulanya klan Jadzimah, penghuni wilayah itu ragu, tetapi Khâlid mengatakan: “Letakkan senjata karena setiap orang telah menerima Islam.” Ada pertukaran kata karena curiga akan Khâlid, tetapi seorang anggota suku itu berkata: “Apakah Anda akan menumpahkan darah kami?” Semua telah memeluk Islam dan meletakkan senjata. Perang telah usai dan semua orang aman”, jawab Khalid.

Begitu mereka meletakkan senjata, Khâlid memerintahkan tangan mereka diikat ke belakang dan memancung leher mereka dengan pedangnya sampai sejumlah orang mati. Ketika berita ini sampai kepada Rasûl, ia menyuruh Alî ke sana dan menyelidiki hal itu dan memerintahkan agar menghapus semua praktek jahiliah.”

Alî berangkat membawa uang, yang dipinjam Rasûl dari beberapa saudagar Makkah untuk membayar tebusan darah dan kerugian lain, termasuk sebuah wadah makan anjing yang rusak.

Ketika semua lunas dan masih ada uang sisa, Alî menanyakan apakah masih ada yang belum dihitung; mereka menjawab tidak.

Alî memberikan semua sisa uang sebagai hadiah, atas nama Rasûl. Ketika Alî kembali melapor, Rasûl yang sedang berada di Ka’bah, menghadap Kiblat dan menengadahkan tangannya tinggi ke atas sampai ketiaknya tampak, seraya berseru: “Ya Allâh! Saya tak bersalah atas apa yang dilakukan Khâlid”, sampai tiga kali.

Abdurrahmân bin Auf mengatakan kepada Khâlid: “Anda telah melakukan perbuatan jahiliah di dalam Islam”. Demikian F. Hashem.[4]

Khâlid bin Walîd adalah panglima perang yang terpuji, tetapi sikap jahiliah yang merasuk ke dalam jiwanya tidak bisa segera hilang.

Ia dan asistennya Dhirâr bin Azwar setelah jadi Muslim tetap minum minuman keras, syârib al-khumûr, berzina dan membuat maksiat, shâhib al-fujûr.[5]

Orang mengetahui dendam Khâlid pada keluarga Banû Jadzîmah sebelum Islam. Terlihat jelas bahwa dendam pribadi di kalangan kaum Quraisy sangat kuat dan berlangsung lama seperti sering dikatakan Umar bin Khaththâb. Perintah Rasûl Allâh kepada Alî untuk menyelesaikan masalah Banû Jadzîmah agaknya membekas pada Khâlid bin Walîd.

Tatkala ia berada di bawah komando Alî berperang melawan Banû Zubaidah di Yaman, ia mengirim surat kepada Rasûl Allâh melalui Buraidah, yang mengadukan tindakan Alî mengambil seorang tawanan untuk dirinya sendiri. Wajah Rasûl berubah karena marah dan Buraidah memohon maaf kepada Rasûl dan menyatakan bahwa ia hanya menjalankan tugas. Rasûl Allâh lalu bersabda: “Janganlah kamu mencela Alî, sebab dia adalah bagian dari diriku dan aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah aku”. Lalu beliau mengulangi lagi:

“Dia adalah bagian dari diriku dan aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah aku.”[6] Dalam versi yang sedikit berbeda Nasâ’î meriwayatkan bahwa Rasûl Allâh bersabda: “Hai Buraidah, jangan kamu coba mempengaruhiku membenci Alî, karena Alî adalah sama denganku dan aku sama dengan Alî. Dan dia adalah walimu sesudahku.”[7] Ia adalah orang pertama sesudah Umar yang dicari Abû Bakar untuk penyerbuan ke rumah Alî dan Fâthimah, setelah Rasûl wafat.

Dia ditunjuk sebagai pemimpin pasukan memerangi “kaum pembangkang” yang tidak mengirim zakat ke pusat pemerintahan pada zaman khalîfah Abû Bakar. Di antara ulahnya adalah membunuh seorang sahabat pengumpul zakat yang diangkat Rasûl, secara berdarah dingin, shabran, yang bernama Mâlik bin Nuwairah dan sekaligus meniduri istri Mâlik yang terkenal cantik, pada malam itu juga. Cerita ini sangat terkenal dalam sejarah dan jadi topik perdebatan hukum fiqih.[8]

Tatkala Abû Bakar mengingatkannya akan kebiasaannya “main perempuan” dan dosanya membunuh 1.100 (seribu seratus) kaum Muslimîn secara berdarah dingin, ia hanya bersungut dan mengatakan bahwa “Umarlah yang menulis surat itu”.[9]

CATATAN:
[1] H. Fuad Hashem, Sîrah Muhammad Rasûlullâh, Penerbit Mizan, Bandung, 1989, hlm. 65, 66, 67.
[2] Al-Qurân 48:26; Lihat juga Al-Qurân 3:148, 154; 5:55, 50; 33:33.
[3] Ibnu Hisyâm, Sîrah, jilid 2, hlm. 283.
[4] Bacalah Ibnu Hisyâm, Sîrah, jilid 4, hlm. 53-57; Ibnu Sa’d, Thabaqât, hlm. 659, Bukhârî dalam Kitâb al-Maghâzî, bab pengiriman Khâlid ke Banû Jadzîmah, Târîkh Abu’l-Fidâ’, jilid 1, hlm. 145, Usdu’l-Ghâbah, jilid 3, hlm. 102; al-Ishâbah, jilid 1, hlm. 318; jilid 2, hlm. 81
[5] Al-Ishâbah, jilid 2, hlm. 209; Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 5, hlm. 30; Khazanah al-Adab, jilid 2, hlm. 8.
[6] Hadis ini berasal dari Abdullâh bin Buraidah. Lihat Imâm Ahmad, Musnad, jilid 5, hlm. 347
[7] Nasâ’î, al-Khashâ’ish al-‘Alawiyah hlm. 17. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Jarîr, Thabrânî dan lain-lain
[8] Akan dibicarakan di Bab 12, “Reaksi terhadap Peristiwa Saqîfah.”

[9] Thabarî, Târîkh, jilid 3, hlm. 254; Târîkh al-Khamîs, jilid 3, hlm. 343

Kajian & Kritik Hadits


Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

HADIS SHAHÎH BELUM TENTU SHAHÎH
Sumber sejarah kita adalah Al-Qur’ân, hadis dan naskah sejarah lainnya. Mengenai Al-Qur’ân, tidak ada beda pendapat. Al-Qur’ân hanya satu. Tetapi mengenai hadis kita harus memilih hadis shahîh. Namun haruslah diingat bahwa hadis yang “shahîh” belum tentu shahîh bila dihubungkan dengan sejarah atau ayat Al-Qur’ân. Misalnya hadis Abû Hurairah mengenai mizwâd, kantong mukjizat yang diikatkan di pinggangnya dan memberi makan pasukan-pasukan dan dirinya sendiri selama dua puluh tahun. Atau hadis Abû Hurairah tentang Âdam yang diciptakan seperti bentuk Allâh SWT dengan panjang enam puluh hasta, yang akan dibicarakan di bagian lain pengantar ini. Atau hadis yang bertentangan satu dengan yang lain, seperti, riwayat Â'isyah bahwa Rasûl Allâh wafat sambil bersandar di dada Âisyah dan hadis Ummu Salamah bahwa Rasûl meninggal tatkala sedang bersandar di dada Alî bin Abî Thâlib.

Di kemudian hari muncul hadis-hadis palsu yang jumlahnya sangat mencengangkan seperti “sinyalemen” Rasûl Allâh saw: “Sejumlah besar hadis palsu akan diceritakan atas namaku sesudah aku wafat, dan barangsiapa berbicara bohong terhadapku, ia akan dimasukkan ke dalam neraka.”[1]

H. Fuad Hashem[2] memberi gambaran menarik “...Khalîfah Abû Bakar, menurut sejarawan al-Dzahabî, dilaporkan membakar kumpulan lima ratus hadis, hanya sehari setelah ia menyerahkannya kepada putrinya Âisyah. “Saya menulis menurut tanggapan saya,” kata Abû Bakar, “namun bisa jadi ada hal yang tidak persis dengan yang diutamakan Nabî.” Kalau saja Abû Bakar hidup sampai dua ratus tahun kemudian dan menyaksikan betapa beraninya orang mengadakan jutaan hadis yang kiranya jauh dari “persis”, mungkin sekali ia menangis, seperti yang dilakukannya banyak kali.

Penggantinya khalîfah Umar, juga menolak menulis serupa karena ini tidak ada presedennya. Di depan jemaah Muslim, ia berkata: “Saya sedang menimbang menuliskan hadis Nabî,” katanya. “Tetapi saya ragu karena teringat kaum Ahlul Kitâb yang mendului kaum Muslim. Mereka menuliskan kitab selain wahyu; akibatnya, mereka akhirnya malahan meninggalkan kitab sucinya dan berpegang pada kumpulan hadis itu saja.” Semua ini menunda pencatatan keterangan mengenai kehidupan awal Islam.

“Tidak kita temui ulama memberi lebih banyak kepalsuan dari yang mereka lakukan atas hadis,” kata Muslim, pengumpul hadis tersohor. Banyak duri khurâfât yang kalau dicabut, akan mengeluarkan banyak darah dan membikin sekujur tubuh merasa demam; sudah terlalu dalam, terlalu lama tertanam. Di zaman Dinasti Abbâsiyah, semua keutamaan Umayyah dibilas... Peranan Abbâs, paman Rasûl, dibenahi; ia, selagi kafir, dijadikan “pahlawan” dengan mengawal Muhammad dalam bai’at Aqabah, atau ia sebenarnya telah lama masuk Islam dan dipaksa oleh kaum Quraisy untuk ikut berperang melawan Islam dalam Perang Badr. Semua untuk memberikan legitimasi atas tahta.

Tetapi kedua dinasti bermusuhan itu sepakat mengenai satu hal: mendiskreditkan para pengikut Alî dan berkepentingan agar Abû Thâlib mati kafir. Ia ayah Alî dan dengan begitu barangkali anak cucunya kurang berhak atas jabatan pimpinan umat Islam yang diperebutkan. Penulis zaman itu pun sedikit banyak harus memperhatikan pesanan dari istana, kalau masih mau menulis lagi. Dan mereka terpaksa menulis apa yang mereka tulis...

Dua ratus tahun sepeninggal Rasûl, jumlah hadis telah mencapai jutaan dan para ulama yang memburu dengan kuda dari Spanyol sampai India mulai heran karena persediaan hadis sudah jauh melampaui permintaan. Di situ sudah ditampung sabda Yesus, ungkapan Yunani, pepatah Persia dan aneka sisipan dan buatan yang sukar ditelusuri asal-muasalnya. Barulah ulama memikirkan cara mengontrol: memeriksa rangkaian penutur hadis ini (isnâd) dengan berbagai metode untuk menguji kebenarannya. Bukhârî dan Muslim serta beberapa lainnya menyortir secara ketat semua itu, lalu menggolongkannya menurut tingkat dan mutu kebenarannya, tugas yang hampir mustahil dilakukan manusia. Bagaimanapun, kerusakan telah terjadi. Sepanjang menyangkut catatan mengenai biografi Muhammad, mungkin sedikit saja motif jahat untuk megotori sisa hidup dan perjuangannya. Juga kita dapat men-cek dan menimbang lalu menyimpulkan “motif” kepentingan politik dari hadis mengenai selangkah atau sepatah kata Nabî, walaupun ini bukan mudah: sebab orang dulu pun pandai seperti kita untuk membuat motif itu mulus, luput dari utikan dan dengan mudahnya menjerat kita...

Motif itu hampir tak terbilang jumlahnya: ekonomi, kehormatan, politik atau sekadar kesadaran bahwa nama mereka masih akan dicatat dan disebut sampai detik-detik menjelang kiamatnya alam jagad ini, sebab Islam agama universal. Maka siapa pengikut pertama, siapa yang menjabat tangan Muhammad lebih dulu dalam ikrar Aqabah, siapa yang tidak hijrah, semua diperebutkan oleh anak keturunan, murid atau malahan tetangga mereka. Ahmad Amîn mengutip Ibnu Urafah, mengatakan bahwa “kebanyakan hadis yang mengutamakan para sahabat dan mutu sahabat Rasûl, dipalsukan selama periode Dinasti Umayyah.” Demikian H. Fuad Hashem.

HATI-HATI TERHADAP 700 PEMBUAT HADIS ASPAL
Berapa banyak jumlah hadis palsu ini dapat dibayangkan dengan contoh berikut. Dari 600.000 (enam ratus ribu) hadis yang dikumpulkan Al-Bukhârî, ia hanya memilih 2761 (dua ribu tujuh ratus enam puluh satu) hadis[3]. Muslim, dari 300.000 (tiga ratus ribu) hanya memilih 4.000 (empat ribu).[4] Abû Dâwud, dari 500.000 (lima ratus ribu) hanya memilih 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadis.[5] Ahmad bin Hanbal, dari sekitar 1.000.000 (sejuta) hadis hanya memilih 30.000 (tiga puluh ribu) hadis.[6]

Bukhârî (194-255 H., 810-869 M.), Muslim (204-261 H, 819-875 M.), Tirmidzî (209-279 H., 824-892 M.), Nasâ’î (214303 H. , 829-915 M.), Abû Dâwud (203-275 H., 818-888 M.) dan Ibnu Mâjah (209-295 H., 824-908 M.) misalnya telah menyeleksi untuk kita hadis-hadis yang menurut mereka adalah benar, shahîh.

Hadis-hadis ini telah terhimpun dalam enam buku shahîh, ashshihâh as-sittah, dengan judul kitab masing-masing menurut nama mereka, Shahîh Bukhârî, Shahîh Muslim, Shahîh (Sunan) Ibnu Mâjah, Shahîh (Sunan) Abû Dâwud, Shahîh (Jâmi) Tirmidzî dan Shahîh (Sunan) Nasâ’î.[7]

Tetapi, bila kita baca penelitian para ahli yang terkenal dengan nama Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl, maka masih banyak hadis shahîh ini akan gugur, karena ternyata banyak di antara pelapor hadis, setelah diteliti lebih dalam adalah pembuat hadis palsu.

Al-Amînî, misalnya, telah mengumpulkan tujuh ratus nama pembohong, yang diseleksi oleh Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl Sunnî, yang selama ini dianggap adil atau jujur, dan hadis yang mereka sampaikan selama ini dianggap shahîh dan tertera dalam buku shahîh enam. Ada di antara mereka yang menyampaikan, seorang diri, beribu-ribu hadis palsu.

Dan terdapat pula para pembohong zuhud[8], yang sembahyang, mengaji dan berdoa semalaman dan mulai pagi hari mengajar dan berbohong seharian. Para pembohong zuhud ini, bila ditanyakan kepada mereka, mengapa mereka membuat hadis palsu terhadap Rasûl Allâh saw yang diancam api neraka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak membuat hadis terhadap (alâ) Rasûl Allâh saw tetapi untuk (lî) Rasûl Allâh saw. Maksudnya, mereka ingin membuat agama Islam lebih bagus.[9]

Tidak mungkin mengutip semua. Sebagai contoh, kita ambil seorang perawi secara acak dari 700 orang perawi yang ditulis Amînî.[10]

Muqâtil bin Sulaimân Al-Bakhî, meninggal tahun 150 H. 767 M. Ia adalah pembohong dan pemalsu hadis. Nasâ’î memasukkannya sebagai seorang pembohong; terkenal sebagai pemalsu hadis terhadap Rasûl Allâh saw. Ia berkata terang-terangan kepada khalîfah Abû Ja’far al-Manshûr: “Bila Anda suka akan saya buat hadis dari Rasûl untukmu”. Ia lalu melakukannya. Dan ia berkata kepada khalîfah al-Mahdî dari Banû Abbâs: “Bila Anda suka akan aku buatkan hadis untuk (keagungan) Abbâs.”

Al-Mahdî menjawab: “Aku tidak menghendakinya!” Abû Bakar al-Khatîb, Târîkh Baghdâd, jilid 13, hal. 168; ‘Alâ’udîn Muttaqî al-Hindî, Kanzu’l-Ummâl, jilid 5, hal. 160; Syamsuddîn adz-Dzahabî, Mîzân al-I’tidâl, jilid 3, hal. 196; al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb, jilid 10, hal. 284; Jalâluddîn as-Suyûthî, al-La’âlî’ul Mashnû’ah, jilid 1, hal. 168, jilid 2, hal. 60, 122.”

Para pembohong ini bukanlah orang bodoh. Mereka mengetahui sifat-sifat dan cara berbicara para sahabat seperti Umar, Abû Bakar, Âisyah dan lain-lain. Mereka juga memakai nama para tâbi’în seperti Urwah bin Zubair sebagai pelapor pertama, dan rantai sanad dipilih dari orang-orang yang dianggap dapat dipercaya. Hadis-hadis ini disusun dengan rapih, kadang-kadang dengan rincian yang sangat menjebak. Tetapi kesalahan terjadi tentu saja karena namanya tercantum di dalam rangkaian perawi. Dengan demikian para ahli tentang cacat tidaknya suatu hadis yang dapat menyusuri riwayat pribadi yang buruk itu, menolak hadis-hadis tersebut.[11]

Demikian pula, misalnya hadis-hadis yang menggunakan kata-kata “mencerca sahabat” tidak mungkin diucapkan Rasûl, karena kata-kata tersebut mulai diucapkan di zaman Mu’awiyah, lama sesudah Rasûl wafat. Seperti kata-kata Rasûl “Barang siapa mencerca sahabat-sahabatku maka ia telah mencercaku dan barang siapa mencercaku maka ia telah mencerca Allâh dan mereka akan dilemparkan ke api neraka yang banyak jumlahnya.[12]

Juga hadis-hadis berupa perintah Rasûl agar secara lansung atau tidak lansung meneladani atau mengikuti seluruh sahabat, seperti “Para sahabatku laksana bintang-bintang, siapa saja yang kamu ikuti, pasti akan mendapat petunjuk” atau “Para sahabatku adalah penyelamat umatku”, tidaklah historis sifatnya.

Disamping perintah ini menjadi janggal, karena pendengarnya sendiri adalah sahabat, sehingga menggambarkan perintah agar para sahabat meneladani diri mereka sendiri, sejarah menunjukkan bahwa selama pemerintahan Banî Umayyah, cerca dan pelaknatan terhadap Ali bin Abî Thâlib serta keluarga dan pengikutnya, selama itu, tidak ada sahabat atau tabi’in yang menyampaikan hadis ini untuk menghentikan perbuatan tercela yang dilakukan di atas mimbar masjid di seluruh negeri tersebut. Lagi pula di samping fakta sejarah, al-Qur’ân dan hadis telah menolak keadilan seluruh sahabat.[13]

Atau hadis-hadis bahwa para khalîfah diciptakan atau berasal dari nûr (sinar) yang banyak jumlahnya, sebab menurut Al-Qur’ân manusia berasal dari Âdam dan Âdam diciptakan dari tanah dan tidak mungkin orang yang tidak menduduki jabatan dibuat dari tanah sedang yang berhasil menjadi khalîfah dibikin dari nûr.

Para ahli telah mengumpul para pembohong dan pemalsu dan jumlah hadis yang disampaikan. Abû Sa’îd Abân bin Ja’far, misalnya, membuat hadis palsu sebanyak 300.

Abû Alî Ahmad al-Jubarî 10.000
Ahmad bin Muhammad al-Qays 3.000
Ahmad bin Muhammad Maruzî 10.000
Shalih bin Muhammad al-Qairathî 10.000

dan banyak sekali yang lain. Jadi, bila Anda membaca sejarah, dan nama pembohong yang telah ditemukan para ahli hadis tercantum di dalam rangkaian isnâd, Anda harus hati-hati.
Ada pula pembohong yang menulis sejarah dan tulisannya dikutip oleh para penulis lain. Sebagai contoh Saif bin Umar yang akan dibicarakan di bagian lain secara sepintas lalu. Para ahli telah menganggapnya sebagai pembohong. Dia menulis tentang seorang tokoh yang bernama Abdullâh bin Saba’ yang fiktif sebagai pencipta ajaran Syî’ah. Dan ia juga memasukkan 150[14] sahabat yang tidak pernah ada yang semuanya memakai nama keluarganya. Dia menulis di zaman khalîfah Hârûn al-Rasyîd. Bukunya telah menimbulkan demikian banyak bencana yang menimpa kaum Syî’ah.

Bila membaca, misalnya, kitab sejarah Thabarî dan nama Saif bin Umar berada dalam rangkaian isnâd, maka berita tersebut harus diperiksa dengan teliti.

HATI-HATI TERHADAP 150 SAHABAT FIKTIF
Suatu rangkaian isnâd yang lengkap, dengan penyalur-penyalur yang indentitas orangnya tidak dapat dibuktikan sebagai cacat, belum lagi menjamin kebenaran suatu berita. Hal ini disebabkan adanya sahabat-sahabat fiktif sehingga memerlukan penelitian yang lebih cermat terhadap para sahabat.

Murtadha al-Askarî, misalnya, telah berhasil menemukan 150 nama sahabat Nabî yang fiktif, yang tidak pernah ada dalam kehidupan nyata, yang telah dimasukkan oleh penulis sejarah yang bernama Saif bin Umar, pencipta pelakon fiktif Abdullâh bin Saba’, sebagai saksi-saksi pelapor. “Penulis sejarah” ini telah memasukkan berbagai kota dan sungai yang kenyataannya tidak pernah ada.[15]

Di bagian lain banyak ulama berpendapat bahwa hadis yang disampaikan seorang pembohong harus ditolak tetapi laporan sejarah yang ditulisnya “harus” diterima. Hal ini, misalnya terjadi pada hadis dari Saif bin Umar yang menulis buku Ar-Ridda dan Al-Futûh yang telah ditolak oleh banyak ulama karena dianggap pembohong tetapi ceritanya sendiri tentang tokoh fiktif Abdullâh bin Saba’, suatu pribadi yang tidak dikenal oleh semua penulis lain, selama ini diterima sebagai fakta sejarah. Tetapi menurut hemat saya, kedua laporannya, hadis maupun bukan hadis harus dipandang dengan kritis. Kalau tentang Rasûl Allâh saw saja ia mau berbohong apalagi tentang orang lain.

BUKHÂRÎ TIDAK SUKA IMÂM AZ-ZAKÎ AL-ASKARÎ
Kesulitan lain adalah kita kekurangan berita langsung dari sumber Alî bin Abî Thâlib dan anak cucunya bila berhadapan dengan peristiwa di mana mereka juga terlibat, seperti bagaimana suasana dan perasaan anak-anak Fâthimah tatkala rumah Fâthimah diserbu oleh pasukan Abû Bakar[16], atau apa kegiatan Alî selama hampir 25 tahun[17] kekhalifahan Abû Bakar, Umar dan Utsmân. Bagaimana hukum fiqih berkembang dalam keluarga mereka? Bukankah Alî adalah pintu ilmu menurut hadis Rasûl? Sebabnya adalah kurangnya perhatian sejarahwan Sunnî terhadap sumber riwayat dari Alî, Fâthimah, Hasan, Husain dan anak cucunya. Bukhârî misalnya tidak mau mewawancarai Imâm Az-Zakî al-Askarî (yang sezaman dengannya, 232-260 H; 840870 H.), cucu Rasûl Allâh saw dan sedikit pun juga tidak berhujah dengan Imâm Ja’far As- Shâdiq, Imâm Al-Kâzhim, Imâm Ar-Ridhâ, Imâm Al-Jawâd dan tidak dari Al-Hasan bin Al-Hasan, Zaid bin Alî bin Al-Husain, Yahyâ bin Zaid, An-Nafsu Az-Zakîyah, Ibrâhîm bin Abdullâh, Muhammad bin Qâsim bin Alî (sezaman dengan Bukhârî) dan tidak dari keturunan ahlu’l-bait mana pun.

Tetapi Bukhârî misalnya meriwayatkan dari seribu dua ratus kaum Khawârij yang memusuhi ahlu’l-bait, dan tokoh-tokoh yang terkenal Jâhil terhadap keluarga Rasûl Allâh saw.[18]

HATI-HATI TERHADAP SEJARAH YANG TELAH BAKU: ALI DAN ZUBAIR MENYEMBELIH RATUSAN ORANG TAK BERDAYA? RASÛL MENGGALI KUBUR MEREKA DI MADINAH?
Dalam hampir semua buku sejarah Rasûl, diceriterakan tentang pembunuhan Banî Quraizhah, klan Yahudi di Madinah, oleh kaum muslimin secara berdarah dingin. Cerita yang sudah dianggap baku dan memalukan ini, bila dihadapkan dengan konteks sejarah sangat diragukan.

Menurut Ibnu Ishâq, setelah dikepung selama 25 hari (menurut Ibnu Sa’d 15 hari) oleh pasukan kaum Muslimîn yang berjumlah 3.000, mereka menyerah dan meminta sebagai pemimpin sekutu mereka dari Banû Aws menjadi hakam untuk menentukan hukuman mereka. Dan Sa’d menetapkan hukuman mati terhadap semua prajurit (muqâtil) yang berjumlah antara 600 sampai 900 (Ibnu Ishâq), harta dirampas dan keluarga mereka ditawan. Menurut Ibnu Sa’d dan Wâqidî, Banû Quraizhah menyerahkan keputusan kepada Rasûl dan Rasûl menunjuk Sa’d bin Mu’âdz sebagai hakam. Tapi menurut Ibnu Sa’d, Banû Quraizhah lansung menyerahkan keputusan pada Sa’d. Bukhârî menyatakan bahwa keputusan diserahkan kepada Sa’d, dan Muslim menyatakan keputusan diserahkan kepada Rasûl dan Rasûl menyerahkan pada Sa’d.

Kemudian Rasûl menggali liang-liang kubur di tengah pasar kota Madînah dan Alî serta Zubair memenggal kepala mereka. Bila untuk tiap prajurit terdapat enam anggota keluarga lain, maka jumlah mereka adalah antara 3.600 sampai 5.400 orang. Mereka dikumpul di rumah Bint Hârits dari Banû Najjâr dan diikat dengan tali. Sekarang timbul pertanyaan:

Di mana mereka mendapatkan tali untuk mengikat orang sebanyak itu dan berapa besar rumah Bint Hârits? Bagaimana mereka makan dan bagaimana sanitasi mereka? Sebab pada masa itu, menurut Âisyah, tidak ada kakus dan mereka harus ke luar malam hari untuk itu. Apakah mungkin mereka tidak berusaha melarikan diri dan kelihatan pasrah saja? Bagaimana Rasûl menggali kuburan untuk 600 atau 900 mayat di batu lahar yang demikian keras seperti di Madînah. Bagaimana perasaan Alî dan Zubair yang membunuh masing-masing antara 300 sampai 450 orang? Berapa banyak orang yang menyaksikan? Alî dan Zubair terkenal sebagai pemberani, tetapi membunuh sekian banyak orang “berdarah dingin”, shabran, pasti akan membekas pada jiwa mereka. Dan Alî serta Zubair maupun banyak sahabat yang pasti turut melihat peristiwa luar biasa ini, suatu ketika, akan menyebutnya.

Namun dalam Nahju’l-Balâghah atau tulisan lain, tidak kita temukan Alî menyinggung peristiwa tersebut. Cerita itu seperti hilang begitu saja di pasar Madînah.[19]

Hampir tidak mungkin menulis satu periode sejarah tanpa memahami seluruh sejarah Islam. Misalnya, tatkala membaca suatu peristiwa, opini seseorang sering terpengaruh oleh komentar penulis peristiwa tersebut, boleh jadi ia juga terpengaruh oleh mazhab yang dianutnya, misalnya oleh keutamaan seorang sahabat yang terlibat dalam peristiwa tersebut, sehingga kita cenderung untuk “berpihak” kepadanya. Tidak kecuali peristiwa Saqîfah.

CATATAN:
[1] Al-Bukhârî, jilid 1 hlm. 38, jilid 2, hlm. 102, jilid 4, hlm. 207, jilid 8, hlm. 54; Muslim, jilid 8, hlm. 229; Abû Dâwud, jilid 3, hlm. 319-320; at-Tirmidzî, jilid 4, hlm. 524, jilid 5, hlm. 35-36, 40, 199, 634; Ibnu Mâjah, jilid 1, hlm. 13-15
[2] H. Fuad Hashem, Sîrah Muhammad Rasûlullâh, Penerbit Mizan, 1989, Bandung, hlm. 24-26.
[3] Târîkh Baghdâd, jilid 2, hlm. 8; Al-Irsyâd as-Sârî, jilid 1, hlm. 28; Shifâtu’s Shafwah, jilid 4, hlm. 143.
[4] Târîkh Baghdâd, jilid 13, hlm. 101; al-Muntazam, jilid 5, hlm. 32; Thabaqât al-Huffâzh, jilid 2, hlm. 151, 157; Wafayât al-A’yân, jilid 5, hlm. 194.
[5] Târîkh Baghdâd, jilid 9, hlm. 57; Thabaqât al-Huffâzh, jilid 2, hlm. 154; alMuntazam jilid 5, hlm. 97; Wafayât al-Ayân, jilid 2, hlm. 404.
[6] Târîkh Baghdâd, jilid 4, hlm. 419-420; Thabaqât al-Huffâzh, jilid 2, hlm. 17; Tahdzîb at-Tahdzîb jilid 1, hlm. 74; Wafayât al-A’yân, jilid 1, hlm. 64.
[7] Menurut metode pengelompokan, hadis-hadis dibagi dalam Musnad, Shahîh, Jâmi’, Sunan, Mu’jam dan Zawâ’id.
[8] zuhd = orang yang menjauhi kesenangan duniawi dan memilih kehidupan
Akhirat.
[9] Al-Amînî, al-Ghadîr, Beirut, 1976, jilid 5, hlm. 209-375.
[10] Al-Amînî, al-Ghadîr, jilid 5, hlm. 266.
[11] Contoh-contoh Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl: Ibnu Abî Hâtim ar-Râzî, Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl (Ahli Cacat dan Pelurusan); Syamsuddîn Az-Dzahabî, Mîzân al-I’tidâl (Timbangan Kejujuran); Ibnu Hajar al-Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb (Pembetulan bagi Pembetulan) dan Lisân al-Mîzân (Kata-kata Timbangan); Imâduddîn ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa’n-Nihâyah (Awal dan Akhir), Jalâluddîn As-Suûythî, al-La’âlî’ul-Mashnû’ah (Mutiara-mutiara buatan), Ibnu Khalikân, Wafayât al-A’yân wa Anbâ’ Abnâ az-Zamân (Meninggalnya Para Tokoh dan Berita Anak-anak Zaman). Dan masih banyak lagi.
[12] Lihat Al-Muhibb Thabarî, Riyâdh an-Nadhirah, jilid 1, hlm. 30.
[13] Lihat Bab 19: “Tiga dan Tiga” sub bab Sahabat Rasûl.
[14] Seratus lima puluh
[15] Murtadhâ al-Askarî, Khamsûn wa Mi’ah Shahabî Mukhtalaq, Beirut, 1968.
[16] Dibicarakan di bab 10, “Pengepungan Rumah Fatimah.”
[17] Sejak Rasûl wafat tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriah, 12-3-11 H., sampai meninggalnya Utsman tanggal 18 Dzul Hijjah tahun 35 Hijriah, 1812-35 H.
[18] Bacalah Abdul Husain Syarafuddîn Al-Mûsâwî, Ajwibah Masâ’il Jârallâh, hlm. 71-72

[19] Lihat Barakat Ahmad, Muhammad and the Jews, A Re-examination, Delhi, 1979.

Pengantar Buku Saqifah (Awal Perselisihan Umat)


Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

“Para sejarahwan, penafsir Al-Qur’ân dan perawi terkenal sering membuat kesalahan dalam melaporkan suatu peristiwa. Mereka menerima berita-berita sebagaimana disampaikan kepada mereka tanpa menilai mutunya. Mereka tidak membandingkannya dengan laporan-laporan lain yang serupa. Mereka tidak mengukur laporan-laporan tersebut dengan ukuran-ukuran filsafat, dengan bantuan pengetahuan hukum alam, tidak juga dengan bantuan renungan dan wawasan sejarah. Mereka lalu tersesat dari kebenaran dan hilang dalam padang pasir perkiraan dan kesalahan-kesalahan yang tak dapat dipertahankan.” (Ibnu Khaldun)

Pembaiatan[1] Abû Bakar sebagai khalîfah pertama di Saqîfah Banî Sâ’idah, adalah peristiwa yang berekor panjang. Abû Bakar dan Umar sendiri kemudian mengakuinya sebagai tindakan keliru yang dilakukan secara tergesa-gesa, faltah.[2]

Peristiwa ini telah menimbulkan perpecahan pertama dan terbesar yang kelanjutannya terasa sampai di zaman ini.

Naskah-naskah sejarah tradisional, târikh an-naqlî, yang tertera dalam buku-buku sejarah lama, yang beredar dan tersebar luas, telah memungkinkan para ahli membuat rekonstruksi peristiwa besar itu.

Penulis membuat rekonstruksi peristiwa Saqîfah berdasarkan pidato Umar bin Khaththâb dalam khotbah Jum’atnya yang terakhir. Khotbah ini didengar banyak orang dan dicatat oleh hampir seluruh penulis sejarah lama dengan isnâd yang lengkap dan melalui banyak jalur, sehingga pidato Umar ini diterima oleh semua ahli sebagai sumber yang patut dipercaya.

Naskah tertua yang mencatat pidato Umar ini ialah As-Sîrah an-Nabawiyah, yakni riwayat hidup Nabî Muhammad saw karya Ibnu Ishâq, yang sampai kepada kita melalui “revisi” Ibnu Hisyâm. “Celah-celah” pidato Umar ini kemudian diisi dengan sumber lama lainnya, sehingga pembaca dapat mengikuti peristiwa itu dalam satu rangkaian yang terpadu.

Bagi yang dapat membaca dalam bahasa Arab, tersedia banyak buku mengenai peristiwa itu, baik yang ditulis secara khusus, maupun yang terselip dalam rangkaian tulisan lain. Dua buku semacam itu adalah As-Saqîfah oleh Syaikh Muhammad Ridhâ al-Muzhaffar dan As-Saqîfah wa’l-Khilâfah oleh ‘Abdul Fattâh ‘Abdul Maqshûd.[3]

Bagi pembaca awam perlu diingatkan, bahwa menulis sejarah tidak sama dengan menulis buku dakwah untuk memperkuat keyakinan yang telah lama dianut.

Penulis sejarah menulis apa adanya; tulisannya dapat berbeda dengan hipotesa atau keyakaninnya semula. Dalam menulis suatu peristiwa sejarah ia harus mengumpulkan semua laporan tentang peristiwa tersebut dan harus bertindak sebagai hakim di pengadilan yang mengambil keputusan dari keterangan-keterangan para saksi. Hal ini disebabkan karena para penulis sejarah zaman dahulu, terutama pada zaman para sahabat dan tâbi’în[4] sering menyampaikan laporan-laporan yang banyak tentang suatu peristiwa.

Laporan-laporan ini demikian rumit dan kadang-kadang saling bertentangan. Oleh karena itu di beberapa bagian penulis terpaksa memuat laporan itu selengkap-lengkapnya. Sebagai contoh pembaca dapat melihat catatan pada bab “Pengepungan Rumah Fâthimah.”

Penulis sejarah menyadari adanya prasangka dari saksi pelapor suatu peristiwa dan para penyalur yang membentuk rangkaian isnâd. Ia juga harus menyadari kemungkinan adanya kesalahan dan kekeliruan mereka karena kelemahan-kelemahan manusiawi seperti lupa, salah tanggap, salah tafsir, pengaruh penguasa terhadap dirinya, serta latar belakang keyakinan pribadinya.

Sejak permulaan abad kedua puluh ini, telah muncul para peneliti dan penulis yang sangat tekun, antara lain yang namanya disebut di atas; namun tulisan-tulisan mereka, dalam bahasa Arab, tidak berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan karena buku-buku sejarah lama telah terlanjur tersebar luas dan melembaga dalam rumusan akidah. Sebuah laporan yang diriwayatkan dalam buku sejarah dikutip ke dalam buku-buku dakwah, seperti mengutip hadis, kemudian dikhotbahkan di masjid-masjid tanpa membandingkannya dengan laporan-laporan serupa yang lain, dan tidak juga diteliti dengan dasar-dasar metode sejarah.

Pada zaman dulu, ulama adalah manusia dua dimensi. Ia adalah ilmuwan dan sekaligus juga juru dakwah yang mengajak kaum awam mendekati agama; ia meneliti dan mengajar. Lama kelamaan, kedudukan seorang ulama makan beralih ke tugas dakwah, dan mengabaikan segi penelitian. Penelitian sejarah di zaman sahabat pun dilupakan.

Maka timbullah semboyan yang terkenal: “Kita harus membisu terhadap segala yang terjadi di antara sahabat.”[5] Para ulama telah menjadi juru dakwah semata-mata, yang pekerjaannya ialah berdakwah dan mengajarkan agama.

Ditutupnya pintu ijtihâd, telah menambah parahnya perkembangan penelitian sejarah zaman para Sahabat serta tâbi’în generasi pertama dan kedua. Dan para ulama terus bertaklid pada ijtihâd para imam yang hidup seribu tahun lalu.

Para pembaharu cenderung membangun pikirannya di atas permukaan, dan tidak menelusuri khazanah kebudayaan Islam yang kaya, yang merentang dalam kurun waktu yang panjang. Dimensi-dimensi luas yang terkandung dalam Al-Qur’ân, telah dibiarkan membeku dan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.

Itulah sebabnya, buku-buku yang mengandung hasil studi yang kritis, tidak lagi mendapatkan pasaran. Membaca buku-buku ini dianggap tidak memberi manfaat, karena pikiran-pikiran baru ini akan membuat dirinya terasing dalam kalangannya sendiri dan dari masyarakat yang telah “mantap” dalam keyakinan.

Pada sisi lain, kelemahan dalam segi kepemimpinan membuat para ulama sukar memasarkan “pikiran-pikiran baru-”nya. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi kewajiban untuk menaati para ulama mujtahid yang kompeten, yang masih hidup, sebagai Imâm.

Buku kecil ini sebenarnya hanyalah kumpulan kutipan dari para sejarahwan awal dan bukanlah “barang baru”, kecuali bagi yang tidak membaca buku-buku sejenis dalam bahasa Arab. Bagi mereka, membaca buku ini akan menimbulkan unek-unek, karena mungkin melihat adanya sumber lain yang tidak dikutip penulis.

Misalnya, penulis sangat kritis terhadap hadis ramalan politik, hadis dan riwayat dari Saif bin Umar Tamimi dengan cerita “Abdullâh bin Saba”-nya, hadis dari Abû Hurairah serta hadis keutamaan, fadhâ’il, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan peristiwa Saqîfah. Karena itu penulis perlu membicarakan,walaupun sepintas lalu, dalam pengantar ini, satu demi satu.

CATATAN:
[1] Bai’at dalam bahasa Arab berarti “penepukan tangan ke tangan seseorang sebagai pengukuhan (îjâb) penjualan”. Biasanya dilakukan dengan cara menjulurkan tangan kanan ke depan dengan tapak tangan menghadap ke atas dan pembaiat menepuk dan menjabatnya, tetap dalam posisi demikian. Saling membaiat dilakukan dengan saling menepuk tangan (tashâfaqû) atau saling menjual (tabâyaû). Berasal dari kata menjual (bâa, yabîu, bai, baiah) Dalam Islam baiat artinya menepuk tangan sebagai tanda kewajiban penjualan, sebagai tanda membuat kontrak jual beli atau sebagai tanda ketaatan akan kesepakatan yang telah diputuskan keduanya. Seorang membaiat seseorang, artinya ia berjanji kepada seseorang. Di zaman Nabî, baiat merupakan lembaga pengukuhan. Dalam peristiwa pengangkatan Abû Bakar sebagai khalîfah ini lembaga baiat untuk pertama kali digunakan sebagai lembaga pemilihan.
[2] Faltah, menurut kamus al-Mu’jam al-Wasîth adalah “suatu peristiwa yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan tanpa memakai pikiran dan kearifan”, (al-amr yahdutsu min ghair rawiyyah wa ihkâm). Umar bin Khaththâb mengancam, bahwa bila ada yang melakukan hal serupa agar dibunuh. Ibnu al-Atsîr tatkala meriwayatkan peristiwa Saqîfah menyamakan faltah dengan fitnah, lihat Târîkh al-Kâmil, jilid 2, hlm. 157; Syaikh Muhammad al-Hasan mengatakan bahwa faltah adalah dasar dan kepala dari semua fitnah, asâs alfitan wa ra’suhâ; Lihat Dalâ’il Shidq, jilid 3, hlm. 21.
[3] Syaikh Muhammad Ridhâ al-Muzhaffar, As-Saqîfah , penerbit Mu’assasah al-A’lamiy li’l-Mathbû’ah, Cetakan keempat, Beirut, 1973; ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshûd, As-Saqîfah wa’l-Khilâfah, Maktabah Gharib, Kairo, tak bertahun.
[4] Tabi’in, generasi sesudah generasi sahabat Rasûl Allâh saw.

[5] 5 Lihat Bab 9: “Apendiks”, sub bab “Sikap Muslim Terhadap Sahabat.”