Mengundang Tamu dari Jakarta (Bengkel Seni Budaya #2 Dewan Kesenian Banten)


oleh Sulaiman Djaya (Komite Sastra dan Penanggungjawab Bengkel Seni Budaya Dewan Kesenian Banten)

Siklus yang dimainkan oleh Teater Bilik Er dari Jakarta pada Program Bengkel Seni Budaya #2 Dewan Kesenian Banten (26 November 2016) di Taman Budaya Banten ini adalah montase antara seni magis tradisional dan teater gerak (teater tubuh) yang mendadarkan siklus profan dan sakral kehidupan manusia, perbenturan dikotomis kebaikan dan kejahatan serta narasi sublim kehidupan manusia dan sejarahnya: dari kelahiran hingga kematian.

Setelah sukses dengan Program Bengkel Seni Budaya Edisi Perdana 15 Oktober 2016 lalu, Program Bengkel Seni Budaya Edisi Kedua Dewan Kesenian Banten diadakan pada 26 November 2016, juga di Taman Budaya Banten. Jika pada edisi perdana membutuhkan dua sessi saja, pada edisi kedua ini BSB DKB membutuhkan tiga sessi dari pukul 15.30-22.00 WIB.


Sessi Pertama diisi dengan Diskusi Teater Bersama Peri Sandi (Banten) dan Perwakilan Teater Bilik Er (Jakarta). Sessi Kedua diisi dengan pementasan ‘Siklus’ oleh Teater Bilik Er. Dan sessi ketiga diisi dengan diskusi kritik, apresiasi dan saran yang dipandu oleh Sulaiman Djaya (Penanggungjawab Program Bengkel Seni Budaya DKB) dengan menghadirkan pemateri: Peri Sandi (Banten), Teater Bilik Er (Jakarta), R.M. Khalid (Ketua Komite Teater DKB), dan Gito Waluyo (Ketua Komite Seni Rupa DKB). Fotografer: Ofan Sofiandi (Jakarta). 

PJ BSB DKB dan Gadis Komala (Teater Bilik Er) di Sekretariat Dewan Kesenian Banten. 
Joind Bayuwinanda ketika memberikan materi workshop di Dewan Kesenian Banten. 
R. M. Khalid (Ketua Komite Teater DKB) dan Teater Bilik Er (Jakarta) di Sekretariat Dewan Kesenian Banten.

Kampung Halaman (Seni Fotografi Sulaiman Djaya)

Jalan Menuju Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 16 November 2016)
Lanskap Senja di Depan Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 3 Desember 2016)
 Memotret Wajah Industri dari Kejauhan (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016) 
 Jalan Setapak Masa Kanakku (Kragilan, Serang, Banten 16 November 2016)
 Pematang Sawah di Belakang Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 18 November 2016)
 Lanskap Senja di Depan Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016)
Cahaya Matahari di Pematang Sawah (Kragilan, Serang, Banten 16 November 2016) 
Memotret Senja di Halaman Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016) 
Lanskap Malam di Belakang Rumahku (Kragilan, Serang, Banten) 
Cahaya Bola Lampu di Belakang Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016) 
Lanskap Malam di Depan Rumah (Kragilan, Serang, Banten 16 November 2016) 
Senja dan Sungai di Depan Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 19 November 2016)

Kenapa Menulis Penting dan Siapa Manusia Terpelajar?



oleh Sulaiman Djaya* (Dipresentasikan di Ruang Teater Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 Oktober 2016)

UNTUK apa dan bagi siapakah menulis itu penting? Sebelum menjawab dua pertanyaan yang saya ajukan sendiri itu, izinkan saya berceloteh, yang tentu saja sejumlah celoteh yang argumentatif dan ‘ilmiah’, bukan celotehan anak-anak baru gede (ABG) yang suka curhat di dunia maya seperti di jejaring sosial facebook dan yang lainnya.

Dulu kala, bangsa-bangsa yang telah membangun peradaban-peradaban besar, yang jejak dan warisan atau artefak peninggalan mereka masih ada hingga saat ini, meski sebagian besar telah musnah, mereka menuliskan pikiran-pikiran dan pengetahuan-pengetahuan mereka, bahkan tulisan-tulisan mereka dipahat di monumen-monumen, bangunan-bangunan, dan sejumlah tempat yang mereka bangun, yang dengan tulisan-tulisan mereka itu mereka juga hendak bercerita dan ‘mengabarkan’ apa dan bagaimana mereka menjalani hidup.

Bangsa-bangsa itulah yang kelak kita kenal telah menciptakan hieroglif, huruf paku, angka-angka, simbol-simbol dan yang sejenisnya, seperti bangsa Mesir, Mesopotamia, Babilonia, Persia, China (yang dikenal sebagai bangsa yang pertama-kali menciptakan kertas dan mesiu itu) dan yang lainnya.

Bahkan mereka yang telah kita klaim sebagai manusia-manusia berperadaban primitif pun menulis, semisal menulis dan menggambarkan kehidupan mereka dan apa yang mereka lakukan dalam hidup mereka, dengan narasi yang menggunakan media gambar, simbol, lukisan, namun intinya mereka telah bersikap historis dan mempraktikkan dokumentasi, yang karenanya mereka memberi ‘data’ dan ‘fakta’ kepada kita sebagai manusia-manusia penerus mereka yang menempati Bumi ini, sehingga kita pun jadi tahu, meski tidak semuanya, apa dan bagaimana kehidupan mereka di masa silam itu.

Dengan ilustrasi tersebut, praktik ‘menulis’ memang membuat kita tidak sama dengan binatang yang lainnya, dan karena itu kita yang lazim disebut manusia ini, dalam istilah Bahasa Arab (dalam ilmu manthiq), disebut ‘al-hayawan al-nathiq’ alias binatang yang berpikir dan berbahasa, binatang yang menulis, yang artinya bahwa menulis adalah ciri dan aktivitas binatang yang beradab dan memiliki peradaban.

Singkat kata, menulis adalah atribut dan kapasitas ‘binatang berperadaban’ yang kebetulan binatang itu adalah manusia, dan yang dengan tulisan itulah, pengetahuan dan peradaban manusia terus berkembang, berbeda dengan binatang yang bukan ‘al-hayawan al-nathiq’.

Dan seperti kita tahu, seiring dengan perkembangan sejarah, zaman, dan kebutuhan manusia yang kian kompleks, menulis pun dipraktikkan dan berkembang bersamaan dengan semakin beragam pula kepentingannya, yang contoh-contohnya telah disebutkan, semisal demi kepentingan historis dan dokumentasi serta mengembangkan pengetahuan manusia itu sendiri –seperti yang telah saya sebutkan itu.

Praktik menulis-lah yang akan membedakan orang yang terpelajar dan yang tidak terpelajar. Dalam hal ini, kemampuan menulis adalah ciri dan atribut orang-orang yang literer dan terdidik, sebagaimana kejeniusan para ilmuwan, filsuf, dan para pujangga terpancar, dibuktikan, dan tercermin dari tulisan-tulisan mereka, hingga bahkan ukuran kecerdasan dan kejeniusan para ilmuwan, para filsuf, dan para pujangga itu sendiri diukur dari tulisan-tulisan mereka dan karangan-karangan mereka, selain karena sebab tulisan-tulisan mereka itulah pengetahuan dan kecerdasan manusiawi itu dapat disebarkan kepada yang lain yang pada saat bersamaan terdokumentasikan, yang karenanya kecerdasan dan pengetahuan pun menjadi maju dan berkembang, dan karena itu pula dapat dikatakan bahwa praktik dan laku menulis adalah rahim peradaban itu sendiri.

Menulis pun sangat berbeda maqom dan derajatnya dengan membaca ‘tulisan’, meski tak jarang para penulis hebat adalah juga para pembaca yang suntuk dan sungguh-sungguh –para pembaca dan pembelajar yang tak kenal kata berhenti untuk terus membaca.

Ketika orang menulis, pada saat itu ia juga melakukan aktivitas berpikir, menyusun, mengarang, dan merangkai apa yang ingin ia katakan, apa yang ingin nyatakan, apa yang ingin ia ungkapkan, apa yang ingin ia argumentasikan melalui tulisannya dengan bahasa dan kata-kata sebagai medium dan instrumen penyampaiannya, dan karenanya kemampuan menulis beriringan dengan kecakapan dan kecerdasan berbahasa itu sendiri. Bagaimana pengetahuan mereka (yang menulis) dapat dikomunikasikan kepada orang lain alias kepada para pembacanya.

Menulis membutuhkan energi dan pikiran yang jauh lebih besar ketimbang membaca tulisan, juga tenaga dalam arti dan pengertian fisikal, karena ketika seseorang menulis-lah ia melakukan aktivitas berpikir, seperti bagaimana ia harus menyusun dan merangkai argumentasi serta menata tuturan dan narasi tulisannya agar sistematis dan dapat dipahami oleh para pembaca.

Menulis merupakan praktik dan laku berpikir (aksi meditatif) yang sifatnya kognitif dan intelektual serta kerja fisik pada saat bersamaan, dan dalam hal inilah para penulis adalah pekerja peradaban, mereka yang bekerja dan mengabdikan hidupnya untuk perkembangan dan kemajuan sejarah ummat manusia dan peradabannya, sejarah dan kebudayaannya. Dan seperti telah dikatakan, karena manusia binatang yang berpikir dan berbahasa (al-hayawan al-nathiq), maka dengan bahasa itulah manusia dapat mengembangkan pengetahuan, kecerdasan, dan peradabannya secara terus-menerus dan berkelanjutan.

Dengan tulisan pula-lah pengetahuan dan kecerdasan manusiawi itu diajarkan, diwariskan, dan dikembangkan kepada dan oleh generasi manusiawi selanjutnya. Kita bisa tahu, misalnya, bangsa-bangsa yang maju secara kultural, saintifik, dan historis adalah bangsa-bangsa yang paling produktif menulis dan paling banyak menerbitkan buku, di mana pada saat bersamaan (entah ini kebetulan koheren atau bukan) bangsa-bangsa yang maju secara sains dan tekhnologi adalah bangsa-bangsa yang telah melahirkan para pujangga besar, seperti Rusia, Jerman, dan Persia, sekedar untuk menyebut sedikit contoh saja.

Demikianlah, di masa silam, bangsa-bangsa yang berhasil membangun peradaban-peradaban agung dan sejumlah mahakarya adalah bangsa-bangsa yang menuliskan pengetahuan dan kecerdasan mereka, dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia, Persia, China, hingga Yunani.

APA ITU LITERASI DAN SIAPA MANUSIA TERPELAJAR?
SEKARANG ijinkan saya untuk membincang apa itu literasi, atau yang secara sederhana sering dikatakan sebagai melek tulis-baca. Secara gamblang dan sederhana, literasi pada dasarnya adalah “kemampuan berbahasa, yang juga dapat dikatakan sebagai fasahah”, di mana fasahah dan kemampuan berbahasa ini terdiri dari empat unsur, yaitu: Pertama, menyimak atau mendengarkan. Kedua adalah berbicara. Ketiga adalah membaca. Keempat adalah menulis.

Dalam hal yang demikian, secara natural, kodrati, atau secara alami, kemampuan berbahasa bersifat manusiawi, dalam arti merupakan sifat alami manusia, sebagaimana akal pun mengalami perkembangan, persis seperti yang dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib: “Akal adalah potensi yang semakin bertambah dengan ilmu dan pengetahuan” (Lihat Amirul Mu’minin Ali kw, Al-Huda 2008, hal. 369). Contohnya adalah bayi yang seiring bertambahnya usia akan belajar berbahasa tanpa diajarkan, belajar berbahasa melalui imitasi dan adaptasi.

Namun, berbeda dengan kemampuan berbicara dan mendengarkan atau menyimak dengan indra pendengaran kita, kemampuan membaca dan menulis hanya dapat diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus atau secara spesifik, melalui pembelajaran yang sangat terkait dengan perkembangan sains dan ilmu pengetahuan. Dan tepat di sinilah akan terletak perbedaan antara seseorang “yang literate atau terdidik” dan seseorang “yang illiterate alias tak terdidik atau tidak terpelajar”.

Dengan demikian, seseorang baru bisa dikatakan terpelajar atau dapat dikatakan literate apabila ia memiliki kemampuan menguasai atau “mempraktikkan” empat unsur kemampuan berbahasa, yaitu: Pertama kemampuan menyimak atau mendengarkan, kedua kemampuan berbicara, ketiga kemampuan membaca, dan keempat kemampuan menulis. Tanpa memiliki kemampuan membaca dan menulis tersebut, seseorang tak dapat dikategorikan sebagai “orang yang terdidik atau seseorang yang literate”.

Kemampuan membaca dan menulis tersebut pada akhirnya akan saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Kemampuan membaca pada gilirannya akan mempengaruhi kemahiran menulis, semisal sebuah kendaraan yang meniscayakan adanya bahan-bakar.

Malangnya, literasi tersebut belum menjadi tradisi dalam institusi-institusi pendidikan kita. Para siswa, contohnya, setiap hari hanya dihadapkan pada latihan soal yang sifatnya repetitif atau mengulang belaka. Para peserta didik di institusi-institusi pendidikan kita, sebagai contohnya, hanya dijejali informasi-informasi sebanyak-banyaknya, di mana pendidikan ala bank pada kenyataannya bukan malah mencerdaskan, melainkan hanya “dogmatisasi” atau bersifat mengulang-ulang yang tak dibarengi progress atau kemajuan.

Terkait yang demikian, pendidikan semestinya memberikan “pancing” kepada para murid, bukan memberikan ikan, yaitu melatih dan “mengajarkan” kemampuan untuk mencari dan menggali informasi dan pengetahuan secara mandiri dan kreatif, yang dengan demikian, pendidikan kita akan melahirkan orang-orang yang terpelajar.

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK LITERATE
ADALAH Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang bertajuk Man and Universe (yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh RausyanFikr Institute menjadi Falsafah Agama & Kemanusiaan) dengan sangat bagus menggambarkan dan menerang-jelaskan “posisi” dan “keunikan” atau “kekhususan” manusia dibanding makhluk lainnya, misalnya dibanding binatang. Marilah kita simak apa yang ditulis dan dikemukakan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari berikut ini:

“Pada hakikatnya, manusia adalah sejenis binatang yang memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Kendati demikian, manusia juga memiliki serangkaian ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lain. Serangkaian ciri inilah yang menempatkan manusia lebih unggul dari binatang....

Ciri-ciri tersebut pada gilirannya menentukan sifat-sifat manusiawi manusia. Ciri-ciri ini juga merupakan sumber dari apa yang disebut sebagai kebudayaan manusia yang berhubungan dengan dua hal: sikap dan kecendrungan....

Sebagaimana binatang lainnya, manusia juga mempunyai banyak keinginan. Dengan bekal pengetahuan dan pengertiannya, manusia bersusah payah mewujudkan keinginannya. Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perebedaannya manusia lebih tahu, lebih mengerti...” (Lihat Murtadha Muthahhari, Falsafah Agama & Kemanusiaan, RausyanFikr Institute Yogyakarta, hal.1).

Dalam paparan selanjutnya, Syahid Murtadha Muthahhari dengan cukup eksplisit menyatakan bahwa yang membuat manusia lebih unggul dari binatang adalah karena manusia mampu mengembangkan bahasa dan inteligensi-nya itu sendiri. Bahasa dan inteligensi inilah yang adalah juga modal manusia memiliki modal dan kecakapan literer dan mengembangkan serta memajukan kriya dan kreativitas estetik dan kebudayaannya. Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari mengemukakan:

“Seekor binatang hanya mengetahui dunia melalui indra luarnya (seperti: mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara naluri –penerj.). Itulah sebabnya:

Pertama, tingkat pengetahuannya dangkal. Pengetahuannya ini tidak sampai menguasai detil segala sesuatu dan tidak memiliki akses ke hubungan-hubungan internal yang terjadi dalam segala sesuatu itu. 

Kedua, pengetahuannya bersifat parsial dan khusus, tidak universal dan tidak umum. 

Ketiga, pengetahuannya bersifat regional (terbatas pada wilayah tertentu), karena terbatas pada lingkungan hidupnya dan tidak lebih dari itu. 

Keempat, pengetahuannya terbatas pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu dan masa mendatang. Sebab, binatang tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau pun sejarah dunia, binatang tidak berpikir tentang masa depannya dan juga tidak merancang masa depannya” (Ibid, hal. 2).

Jika kita cermati dengan seksama apa yang dikemukakan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari di atas tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hanya manusia-lah yang dalam dirinya memiliki potensi-potensi literer dan intelektual, yaitu potensi berbahasa dan literasi yang mengalami perkembangan, seperti kemampuan menulis, kesanggupan mengembangkan bahasa, hingga kemahiran dalam capaian sains dan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dalam konteks tulisan ini, kita dapat mengatakan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sanggup mengembangkan dan memajukan potensi tersebut dengan metode pendidikan yang terlibat atau partisipatoris, pendidikan yang tidak cenderung monologis tetapi dialogis, persis seperti ketika Socrates menuntun lawan debat dan sahabat dialognya untuk berusaha “mencapai” kebenaran oleh dirinya sendiri, atau membiarkan para lawan dialog dan debatnya menggali pengetahuan secara mandiri, di mana Socrates hanya berfungsi tak ubahnya seorang “bidan” yang membantu melahirkan.

*Lahir di Serang, Banten. PRESTASI AKADEMIK: [1] Juara 1 Lomba Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Umum Tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten Serang, Jawa Barat (Tahun 1991). [2] Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Mahasiswa IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah (Tahun 1999). [3] Finalis Sayembara Menulis Esai Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Tahun 2013.

PENGALAMAN ORGANISASI: [1] Redaktur Jurnal Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah (2002-2003). [2] Ketua Bidang Intelektual Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (2000-2002). [3] Manajer Program Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Serang, Banten (2008-2010). [4] Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten (2016-2018).

PUBLIKASI: Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra HorisonIndo PosMedia Indonesia, Majalah Trust, Majalah AND, Majalah Sastra PusatJurnal SajakTabloid KaibonRadar BantenKabar BantenBanten RayaTangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid CikalTabloid Ruang RekonstruksiHarian SiantarChange MagazineBanten Pos, dan lain-lain.


Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012), Tifa Nusantara 2 (Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara di Tangerang, Banten Tahun 2015), 100 Puisi Qurani PARMUSI (2016), dan lain-lain. 

Amsal Seperti Bukan Cinta oleh Sulaiman Djaya*


(Dipresentasikan di Auditorium Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 10 Oktober 2016)

“Dalam lebat bait-bait, terbayang juga dari langit: coklat jadi hijau, sebelum maple gugur tak terjangkau” (Arip Senjaya, Dalam Lebat).

Sebelum membahas sejumlah puisi yang terkumpul dalam buku Seperti Bukan Cinta karya Arip Senjaya, ijinkan saya untuk mengutarakan apa yang saya pahami tentang puisi. Sejujurnya, untuk mendefinisikan apa itu puisi, saya mengalami kesulitan dan tak bisa mendefinisikannya. Meskipun demikian, saya memiliki pemahaman sendiri tentang apa itu puisi, walau tentu saja akan bersifat subjektif dan sepihak. Dan, sekedar mengutip, saya ingin mengawali esai singkat ini dengan apa yang ditulis Hiedegger tentang Puisi, Pemikiran, dan Dunia: “To think is to confine yourself to a single thought // that one day stands still like a star in the world’s sky” (Martin Heidegger: Poetry, Language and Thought).

Saya percaya puisi lahir dari keintiman seseorang dengan dunia dan keseharian. Dan sampai saat ini, jika pendapat saya tidak berubah, saya mempercayai puisi yang berhasil adalah puisi yang sanggup menciptakan realitas dalam puisi, yang dengan itu pula pencitraan dan kiasan menjalankan fungsinya, bahkan pada tingkat lebih jauh, pencitraan dan kiasan tersebut sanggup menciptakan fantasi dan transendensi demi menggambarkan sebuah dunia-realitas yang unik dan memang hanya milik puisi itu sendiri. Lagi-lagi, saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan Heidegger ketika ia berpendapat bahwa puisi bisa dipahami sebagai puncak pemikiran, akan tetapi pemikiran yang dimaksudkan Heidegger itu tak semata hanya kemampuan dan kapasitas salah-satu fakultas tubuh kita yang kita sebut rasio. Pemikiran yang dimaksudkannya adalah keterlibatan dan keintiman seluruh pancaindera kita termasuk hati.

Heidegger memang berbicara tentang ketersituasian manusia dalam dunia, apa yang ia sendiri menyebutnya sebagai Being in the World alias “berada dalam dunia”, yang juga mengingatkan saya pada eksistensialisme-nya Soren Kierkegaard, mirip seperti ketika jatuh cinta yang dalam bahasa Inggris ditulis dan diucapkan menjadi “Fall In Love” alias Jatuh dalam Cinta atawa “berada dalam cinta”, yang bila kita kembali dalam pengertian Heidegger, puisi bisa juga dimengerti sebagai cara berada manusia dalam dunia. Dengan keintiman itulah, seni dan puisi sanggup memungkinkan “Sang Ada” berbicara dengan terang dan jernih. Ambillah kasus lukisan sepatu petani-nya Van Gogh, yang dengan lukisan itu kita tak hanya memahami dan memandang sepatu sebagai semata-mata benda mati, tetapi lebih dari itu, kita mengalami arti sepatu yang unik dan kontekstual, papar Heidegger, di mana seni melibatkan perhatian bagi benda-benda dalam konteks dan arti historis mereka. Sepatu dalam lukisan Van Gogh yang dimaksudkan adalah sejumlah cerita seorang petani, sepatu yang telah mengalami banyak kehidupan atau sejumlah peristiwa keseharian, pengalaman keprihatinan atau pun kemiskinan si pemiliknya, kehidupan dan keseharian si petani yang hendak diceritakan dan digambarkan Van Gogh dengan lukisannya itu. Juga di sini, kita bisa menyebutkan lukisan Van Gogh lainnya, yaitu the Potato Eaters yang suram dan amat bersahaja itu.

Demikianlah, puisi yang saya pahami mestilah mengandung sekaligus hendak menceritakan realitas keintiman tersebut. Jika pun kita memandang penting retorika dan stilistika sebagai upaya pencapaian bahasa, tentulah dimengerti dalam kerangka modus ujaran dan penyampaiannya. Pelukis lain yang saya pandang berhasil menampilkan keintiman yang saya maksudkan itu adalah juga Giovanni Segantini, ketika saya mempelajari sebuah lukisan miliknya yang menggambarkan seorang ibu yang tengah mendekap anaknya di sebuah pohon yang tak lagi memiliki daun. Seakan-akan Segantini hendak bercerita tentang kepedihan dan keprihatinan yang sama seperti yang ditampilkan oleh lukisan-lukisannya Van Gogh. Saya kira, dalam konteks ini, penyair dapat pula belajar dari pelukis ketika hendak menyampaikan dunia yang ingin diceritakan atau pun digambarkan puisinya, seperti juga ia dapat belajar dari komponis untuk tekhnik bahasa dan nada-nada demi memungkinkan puisi yang ditulisnya terasa merayu dan indah.

Meskipun begitu, saya merasa perlu untuk memaparkan marka kategoris dan definitif tentang apa itu puisi yang saya pahami secara normatif, yang sifatnya kamus. Sebagai contohnya dikatakan bahwa puisi itu sebuah karya sastra yang dekat dengan seni –yaitu dengan musik dan nada. Karena itulah, puisi acapkali juga disebut sebagai syair, yang dalam istilah umum yang kita kenal disebut ‘lirik’. Kata lirik sendiri diambil dari perbendaharaan musik, yaitu dari Lyra (sebuah alat musik yang sejenis harpa). Dalam hal inilah, Friedrich Nietzsche, filsuf dan penyair dari Jerman itu, dalam bukunya yang berjudul The Birth of Tragedy mengatakan bahwa musik dan puisi lahir dari rahim yang sama –yaitu Stimmung. Seprosais apa pun sebuah karya puisi, yang membuat puisi menjadi puisi adalah karena unsur musikalnya ini yang akan membedakannya dengan prosa. Dalam dan melalui puisi-lah, musik, nada-nada, rima, metrum, kata-kata, parafrase, perangkat kiasan, dan lain sebagainya bertemu dan berpadu, memadukan seni dan bahasa.

Secara kultural dan historis, kaitan antara puisi dengan lirik, dan sebagaimana telah disebutkan, dengan alat musik yang bernama lyra itu, barangkali bisa dijelaskan dari sejarahnya yang cukup panjang, semisal di benua Eropa, yang konon pada Zaman Abad Pertengahan, para minstrel (para penyair keliling) membawakan syair-syairnya, yang berisi kisah-kisah tentang tempat-tempat yang pernah mereka singgahi, tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa sejarah serta kisah-kisah imajiner yang mereka pentaskan dan mereka deklamasikan dengan diiringi petikan harpa atau alat-alat musik lain –yang saat ini kemudian kita kenal dengan istilah ‘musikalisasi puisi’.

Dengan mencermati dan memahami asal-usulnya secara kultural dan historis inilah kita tahu puisi adalah genre karya sastra yang memiliki dimensi ritmik-akustik (irama dan bunyi) sebagaimana halnya musik. Meski, tentu saja, sejumlah kalangan memandang bahwa hal itu tidak cukup untuk dijadikan dasar bagi pendefinisian puisi, karena menurut mereka puisi mempunyai dimensi-dimensi lain dalam perwujudannya, yaitu dimensi leksikal-tematik dan dimensi visual –sebagaimana lukisan, sehingga ada pendapat yang menyatakan bahwa puisi itu tak ubahnya lukisan yang didadarkan dengan kata-kata dan bahasa, sementara lukisan adalah puisi yang dipaparkan di bentangan kanvas. Dalam buku Seperti Bukan Cinta-nya Arip Senjaya, salah-satu puisi (selain sejumlah puisi-puisi lainnya tentu saja), yang dapat saya katakan sebagai karya yang mewakili perpaduan antara seni dan sastra, yang mana ketika kita membacanya, kita seakan-akan sedang memandangi sebuah lukisan sembari mengkhidmati komposisi musik, adalah puisinya yang berjudul ‘Dalam Lebat’:

“Dalam lebat bait-bait,
terbayang juga dari langit:
coklat jadi hijau
sebelum maple gugur tak terjangkau.

Awan kan melepas awan.
Dan cahaya lepas dari garis
Dan angan terasa gampang
bersama hangat madeleine
sedih tak sangat manis.
Makin hangat
makin meringis
tapi singkat.”

Secara musikal (auditif) sebagaimana ketika kita tengah mengkhidmati sekomposisi musik yang menyentil sisi romantik dan rasa sentimentil hati kita dan secara indrawi sebagaimana ketika kita merenungi sebuah lukisan yang kita pandangi, puisi ‘Dalam Lebat’ itu mengingatkan saya kepada sejumlah puisi Rainer Maria Rilke, semisal puisi Musim Gugur-nya itu. Bersamaan dengan itu, Arip Senjaya sebagai penyair, komponis, dan pelukisnya, berusaha ‘mendadarkan’ sisi ironis yang terpancar dari suatu keindahan musikal dan naturalistik: “Bersama hangat madeleine, sedih tak sangat manis. Makin hangat makin meringis –tapi singkat.”

Nuansa ironis itulah yang justru ‘membangun’ dan ‘mengkonstruksi’ aura puitik menjelma menjadi seni yang enigmatik, meminta untuk terus dibaca, seperti seorang perempuan yang tak mudah ditebak dan suka berpura-pura menyembunyikan cintanya –karena ironi acapkali hadir dan mendadarkan dirinya dalam paradoks dan teka-teki, meski tak selalu harus menjadi terlampau sentimentil, melainkan juga bersifat dan bernuansa humoris, yang dapat kita contohkan dengan puisinya yang lain, yang kali ini berjudul ‘Apa yang Bakal Terjadi pada Daun-daun’:

“Apa yang bakal terjadi pada daun-daun
jika tak mengundurkan diri dari Rouen?
gagak tak kan sering menampak
dan tekukur tak mudah mengelak

Apa yang akan terjadi pada sapi-sapi
jika tak merumput di Normandie?
elang kehilangan bayang 
tiang-tiang samar melayang.”

Tentu saja, puisi ditulis bukan semata oleh pikiran –tapi juga oleh rasa, sebab kata-kata tak hanya bunyi belaka –tetapi dunia. Secara konteks, seorang penyair menulis puisi dalam ragam situasi. Sebagai contoh puisi ditulis oleh seorang penyair ketika ia tengah mengalami perasaan bathin yang membuncah, berbunga-bunga saat ia jatuh cinta, dan lalu ia menulis sebuah sajak cinta. Seorang penyair juga, sebagai contoh lainnya, menulis puisi ketika mengalami perjumpaan dengan kondisi yang membuat pikiran dan hatinya menjadi tersentuh dan peka, menjadi terinspirasi, semisal ketika seorang penyair mendiami keindahan tempat atau alam. Beberapa puisi Arip Senjaya yang terkumpul dalam buku Seperti Bukan Cinta itu lahir dan ditulis dalam kondisi dan situasi seperti yang telah disebutkan, seperti ketika beberapa puisinya yang berbicara dan mendadarkan diri tentang suasana, dan lalu berupaya untuk menuangkannya menjadi semacam refleksi puitis, tentang pengalamannya menjumpai dan mendiami atau menyinggahi dan mengunjungi tempat-tempat di Prancis sana, yang dalam beberapa puisinya dituturkan dengan narasi yang ingin bermain-bermain sementara puisi-puisinya yang lain berusaha mendadarkannya dengan narasi ironis demi menciptakan ‘magnet’ bagi perenungan, sedangkan puisi-puisinya yang lain lagi seakan-akan menggunakan gaya bertutur seorang narator yang rileks dan santai –yah sekedar bercerita apa adanya tentang suasana kota dan orang-orang:

“Ada sebentar ia terhibur
ketemu teman cukup terlipur. Satu bangsa
satu ikatan, dalam kota, dalam ingatan

Violet ufuk, awanan kapuk
pada jam 06 lima-puluh-tiga
terang di rabuk

Dingin kering di laring
Yang tua-tua membawa tongkat.
Yang muda-muda
menjinjing hasrat
Puisi dibikin untuk berjoging.”

Demikianlah selanjutnya silahkan Anda membacanya sendiri –karena saya hanya sekedar memberi semacam opini atau pendapat saya terkait pembacaan saya atas sejumlah puisi yang termaktub dalam buku Seperti Bukan Cinta karya Arip Senjaya ini. Sekian dan terimakasih!

*Lahir di Serang, Banten. PRESTASI AKADEMIK: [1] Juara 1 Lomba Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Umum Tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten Serang, Jawa Barat (Tahun 1991). [2] Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Mahasiswa IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah (Tahun 1999). [3] Finalis Sayembara Menulis Esai Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Tahun 2013.

PENGALAMAN ORGANISASI: [1] Ketua Dewan Legislatif Mahasiswa IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah (2002-2003). [2] Redaktur Jurnal Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah (2002-2003). [3] Ketua Bidang Intelektual Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (2000-2002). [4] Manajer Program Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Serang, Banten (2008-2010). Komite Sastra Dewan Kesenian Banten (2016-2018).

PUBLIKASI: Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra HorisonIndo PosMedia Indonesia, Majalah Trust, Majalah AND, Majalah Sastra PusatJurnal SajakTabloid KaibonRadar Banten, Kabar BantenBanten RayaTangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid CikalTabloid Ruang Rekonstruksi, Harian SiantarChange Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012), Tifa Nusantara 2 (Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara di Tangerang, Banten Tahun 2015), 100 puisi PARMUSI (2016), dan lain-lain.  Top of Form


Rapsodi Dingin Malam (Puisi T. S. Eliot*)



Pukul 12 tepat 

Sepanjang rengkuhan jalan
Bertahan pada sentesa bulan 
Bisik mantra-mantra bulan 
Mengabur lantai kenangan
Dan segala relasi jelas kini
Segala memisah, memperjelas diri
Setiap lelampu jalan yang kulintas
Berdentum bagai tambur kematian
Tengah malam menyentak lepas kenangan
Bagai lelaki marah mencabut kering geranium.


30 menit dari pukul 1 

lelampu jalan yang memercik berkata:
Beri hormat itu perempuan 
Yang menggamangkanmu ke sinar pintu itu
Pintu yang membuka padanya seperti seringai.


Kau lihat ujung gaunnya.

Koyak berlumur pasir
dan kau lihat sudut matanya
mengerling bagai lencana yang dipakai miring.


Kenangan melambung, tinggi dan kering

Kerumunan dari yang terpintal terjalin
Jalinan cecabang di senarai pantai.
Terasa hambar dan berkilau
Seperti yang dunia serahkan. 
Rahasia tulang kerangka
Putih dan keras 
Selingkar pegas di halaman pabrik
Karat yang melekat, tak lagi kuat
Keras melengkung, siap di dentang-dentang.


Aku melihat ada kehampaan di lorong mata bocah itu

Aku sudah melihat mata di jalan itu
Menatap tajam menembus benderang jendela
Dan seekor ketam, satu sore, di genang kolam.
Seekor ketam tua, kepah di punggungnya
Mencengkram ujung tongkat yang kugenggam.


Pukul 3.30 menit,

Lelampu memercik
Lelampu memberengut dalam gelap.

Lelampu yang bergumam:

Beri hormat bulan itu,

Bulan mengerdip, matanya redup,
Bulan tersenyum, ke pensil sudut-sudut
Bulan mengelus rambut-rambut rumput.
Bulan yang telah kehilangan kenangan
Parut cacar mengacau wajah bulan,
Tangan bulan menata mawar kertas,


Yang menebar debu dan cologne apak,

Bulan sendiri dengan seluruh aroma malam,
Yang saling bersilang di sisi seberang pikir bulan.
Kenanganpun tiba-tiba datang
Dari geranium yang kering di teduh matahari
Dan menabur di celah karang,
Aroma chesnut menebar di jalan-jalan
Dan aroma perempuan di kedap ruang
Dan sengak rokok di koridor
Dan uap koktail di bar.


Lelampu berkata: 

Pukul 4
Inilah nomor pintu itu,
Kenangan!
Engkau punya kuncinya
Lampu kecil menebar lingkar sinar di tangga,
Menaik.
Ranjang membuka: Sikat gigi menggantung di dinding,
Lepaskan sepatu di depan pintu, tidurlah,
Bersiap untuk hidup esok lagi."


Hunus terakhir sang pisau.

*Thomas Stearns Eliot atau T.S. Eliot membawa tingkatan baru dalam dunia puisi. Salah satu puisi terbaiknya, Four Quartets mengantarkannya sebagai peraih hadiah Nobel bidang sastra pada tahun 1948. Di tahun yang sama ia juga mendapat gelar kehormatan Order of Merit yang dianugrahkan langsung oleh Raja George VI dari Kerajaan Inggris Raya.

Selain menulis puisi, Eliot juga piawai menulis naskah drama. Salah satu naskah dramanya, The Cocktail Party, mendapat penghargaan Tony Award pada tahun 1950.

Puisi-puisi Eliot terbilang sebagai puisi yang sulit namun memiliki makna yang dalam. Bahkan puisi-puisinya menjadi bahan perdebatan hingga kini.

Kehidupan pribadi Eliot sendiri bisa dibilang serumit puisi-puisinya. Ia terlahir dari pasangan imigran Inggris di Amerika Serikat. Ia tumbuh besar di Amerika Serikat tapi rupanya dalam hatinya tetap melekat rasa cinta pada tanah leluhurnya.

Ia menempuh pendidikan di beberapa universitas ternama dunia. Harvard, Sorbonne, dan Merton College, Oxford yang merupakan universitas-universitas tempat ia menyelesaikan pendidikannya di bidang filosofi.

Rasa cintanya pada Inggris membuatnya memilih untuk menetap di tanah leluhurnya ini dimulai saat ia kuliah di Merton College, Oxford tapi ia tak menyukai kehidupannya di Oxford.

Ia jatuh cinta pada wanita Inggris yang membuatnya makin mantap memilih Inggris sebagai negara barunya tapi sedihnya pernikahannya tidak bahagia. Istrinya selingkuh, ia lalu meninggalkan istrinya dan kembali ke Amerika tapi ia akhirnya kembali ke Inggris. Ia dan istrinya tak pernah bercerai meski mereka hidup terpisah. Setelah istrinya meninggal, ia menikah lagi dengan bekas sekretarisnya yang berumur 30 tahun sementara usianya sendiri saat itu sudah 68 tahun. Tapi pernikahannya kali ini lebih baik dari yang pertama meski ia tak memiliki anak dari dua pernikahannya tersebut.

Sementara perjalanan karirnya pun terbilang unik. Ia memang seorang penulis puisi berbakat. Piawai pula dalam menulis naskah drama. Ia juga pernah menjadi direktur sebuah perusahaan penerbitan. Dalam catatan karirnya ia pernah menjadi kepala sekolah dan bahkan pernah pula menjadi pegawai bank.

Kejeniusan Eliot dalam merangkai kata bukan sekadar bentuk kecintaannya pada bahasa, tapi ia mampu menantang nalar dan alam pikirnya membentuk sebuah karya yang penuh kompleksitas bahasa.

Pada April 1915 Eliot berkenalan dengan seorang guru privat wanita bernama Viviene Haigh-Wood. Tak lama dari perkenalan ini, mereka melangsungkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil Hampstead pada 26 Juni 1915.

Pasangan pengantin baru ini tinggal di flat seorang filsuf bernama Bertrand Russell. Muncul rumor bahwa Russell tertarik pada Vivienne dan mereka terlibat affair tapi kebenaran dari berita ini tak pernah diketahui.

Pernikahan Eliot dan Vivienne ternyata tak bahagia, yang salah satunya adalah karena masalah kesehatan Vivienne. Dalam suratnya kepada Ezra Pound, Vivienne memberitahu beberapa gejala penyakitnya antara lain: temperaturnya tinggi, kelelahan, insomnia, dan migrain. Hubungan mereka makin renggang terlebih Vivienne kerap dikirim jauh oleh Eliot dan dokternya dengan harapan kesehatannya akan membaik, dan selama itu Eliot makin menjauh dari istrinya. Hubungan mereka ini menjadi dasar dari drama tahun 1984 berjudul Tom and Viv dan pada tahun 1994 drama ini diangkat menjadi sebuah film.

Pada 1916 Eliot menyelesaikan disertasi doktoralnya, Knowledge and Experience in the Philosophy of F.H. Bradley di Harvard, tapi sayangnya disertasinya gagal mendapat hasil yang mengesankan. Eliot pergi ke Amerika Serikat seorang diri tanpa membawa Vivienne, dan setelah kunjungan singkatnya ke Amerika sekaligus menjenguk keluarganya, Eliot kembali ke London dan mengajar di Birkbeck College, Universitas London.

Pernikahannya yang tak bahagia ini lalu mendasari puisi Eliot yang kemudian sangat terkenal berjudul The Waste Land. Hal ini diungkapkan Eliot saat berumur enam puluhan. Ia mengatakan, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mencintai Vivienne karena ia berharap dengan begitu ia jadi memiliki alasan kuat untuk tetap bertahan di Inggris. Dan ternyata Vivienne atas pengaruh Ezra Pound juga meyakinkan dirinya sendiri bahwa demi puisi ia akan membuat Eliot tetap tinggal di Inggris. Tapi nyatanya pernikahan itu tak memberikan kebahagiaan bagi keduanya. "Bagi Vivienne, pernikahan ini tidak memberikan kebahagiaan. Bagiku, pernikahan ini membawa kebuntuan pikiran yang akhirnya melatarbelakngi munculnya The Waste Land", demikian asumsi Eliot atas pernikahannya.

Meski pernikahannya tak memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkannya tapi rupanya hal itu tak mengikis kecintaannya pada Inggris. Pada 29 Juni 1927 Eliot menjadi penganut Anglikan, agama resmi di Inggris dan pada November 1927 ia mendapatkan kewarganegaraan Inggris. Namun secara spesifik ia mengidentifikasikan agamanya sebagai Anglo-Catholic. Sekitar tiga puluh tahun lamanya Eliot mengomentari pandangan agama yang dianutnya adalah perpaduan antara Katolik secara pola pikir dengan warisan nilai-nilai Calvinist dan temperamen seorang Puritan.

Peter Ackroyd, salah seorang penulis biografi Eliot berpendapat ada dua alasan yang melatari keputusan Eliot berpindah agama. Pertama: Gereja Inggris menawarkan harapan bagi Eliot dan menurut Ackroyd, Eliot memang membutuhkan tempat yang bisa menentramkannya. Alasan kedua adalah karena Anglikan bisa membantu Eliot lebih memahami komunitas dan kebudayaan Inggris.

Sementara itu pernikahan Eliot makin memburuk. Ketika Harvard menawarinya beasiswa profesor Charles Eliot Norton untuk tahun ajaran 1932-1933, Eliot langsung menerimanya dan meninggalkan Vivienne di Inggris. Setelah kembali ke Inggris, Eliot mengatur perpisahannya dengan Vivienne secara resmi. Meski begitu mereka tidak pernah bercerai. Eliot berusaha menghindari setiap pertemuan dengan Vivienne. Sementara pada 1938 Vivienne dirawat di rumah sakit jiwa Northumberland House, Stoke Newington dan ia tetap berada di sana hingga akhir hayatnya. Eliot sendiri, walau masih merupakan suaminya secara sah tapi tak pernah mengunjunginya. Sepanjang masa itu hanya dua kali Eliot menemui Vivienne yaitu pada 1932 saat ia akan pergi ke Amerika Serikat dan tahun 1947 pada saat kematian Vivienne.

Saat itu kabarnya sepanjang 1930-1957 Eliot menjalin hubungan dengan Mary Trevelyan dari Universitas London dan Mary sangat ingin menikah dengan Eliot tapi tak pernah terjadi. Pernikahan kedua Eliot terjadi pada 10 Januari 1957. Saat itu Eliot yang sudah berumur 68 tahun menikahi Esme Valerie Fletcher yang baru berusia 30 tahun. Meski rentang usia keduanya ini sangat jauh tapi rupanya pernikahan keduanya ini lebih memberinya kebahagian dibanding pernikahan pertamanya karena tak seperti saat menikahi Vivienne, kali ini Eliot sangat mengenal Fletcher yang rupanya tak lain adalah sekretarisnya di Faber and Faber sejak Agustus 1949.


Upacara pernikahan mereka berlangsung di gereja pukul 6.15 pagi, waktu yang sangat tak umum dan terlalu pagi untuk upacara pemberkatan pernikahan, dan rupanya mereka memang sengaja ingin merahasiakan pernikahan mereka dengan tak ada yang menghadiri pernikahan mereka inii kecuali orangtua pengantin wanita saja.

LELAKI SENJA (Bagian Keempat) oleh Gary Gulaiman



Di waktu-waktu malam, di waktu-waktu kau sendirian bersandar pada dinding kamar atau duduk menghadap meja tempatmu merenung dan menulis, kau mencurahkan kegelisahan-kegelisahan yang merundung hatimu di lembar-lembar catatan harian kesayangan milikmu, mungkin sebagai topeng dan selubung untuk menutupi kesepianmu, atau mungkin hanya sekedar untuk mencurahkan agar tidak menjadi beban hati dan pikiranmu yang acapkali terdesak rasa bosan dan gundah, yang datang dan hadir kapan saja tanpa kau tahu.

Sementara itu, di waktu-waktu pagi dan sore hari, kau berusaha menyibukkan diri dengan menanam dan menyirami tanaman yang telah kau tanam. Kesibukan tambahan itu kau lakukan dan kau pilih sebagai penghiburan diri, mungkin juga untuk mengalihkan kesepian dan kebosananmu agar kau tak terlampau menyibukkan diri dengan membaca atau pun menulis.

Seringkali juga terpikir di saat-saat kau membaca dan menulis itu, bahwa mungkin saja orang-orang yang selama ini tidak membaca buku-buku filsafat dan kesusasteraan lebih merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka, yah orang-orang bersahaja seperti para petani yang menurutmu lebih terlihat tulus ketika mereka bekerja di sawah-sawah dan di ladang-ladang di pagihari, sianghari, atau sorehari.

Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang siang, dari sore hari hingga di ujung senja. Kau kadangkala memandangi mereka bekerja di waktu-waktu jedamu ketika kau sedang menulis atau membaca di gubuk yang memang tak jauh dari hamparan sawah-sawah itu. Sebagian adalah ibu-ibu dan beberapa di antara mereka adalah perempuan-perempuan yang masih terhitung muda dan belia.

Mereka, para petani itu, tentu saja tidak pernah menyibukkan dirinya dengan persoalan-persoalan epistemologis dan pertanyaan-pertanyaan axiomatik seperti halnya seorang pemikir atau pun penulis seperti dirimu. Jikalau pun mereka berpikir, tentu sebatas bagaimana memenuhi kebutuhan wajib keseharian mereka untuk menghidupi diri dan keluarganya, dan itu memang sama terhormatnya dengan para sarjana dan penulis yang mencari nafkah dan gengsi sosial dari pengetahuan dan keterampilan mereka.

Sebenarnya, saat itu, kau tengah dirundung dan digundahkan sejumlah pertanyaan, yang barangkali muncul dari kegelisahan dan kebosananmu. Pertanyaan-pertanyaannya itu, bagaimana pun, muncul silih berganti dalam benakmu ketika kau meragukan apa yang kau lakukan selama ini dengan menulis dan membaca. Kebuntuan yang tiba-tiba segera mengingatkanmu pada puisi Tukang Batu-nya Rabindranath Tagore:

“Kau kira aku anak kecil, Ibu, tapi kau keliru, sebab aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.

Tiap pagi kunaiki kereta dan pergi ke kota dan kususun batu demi batu dengan semen dan kapur dan kugambar dinding layaknya gambar menangkapku.
Kau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi kukatakan padamu aku membangun rumah sungguh-sungguh.

Ini bukanlah rumah-rumah kecil sebab kudirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.

Tetapi bila kau tanyakan padaku kenapa aku berhenti di sana dan kenapa aku tak meneruskan membangun tingkat demi tingkat hingga atapnya mencapai bintang-bintang, kuyakin aku tak dapat mengatakannya padamu dan kuherani diriku sendiri kenapa aku berhenti di mana saja pada segala.

Kunaiki perancah saatku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar ketimbang sekedar bermain-main. Kudengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang-pedagang dan para penjual barang logam dan buah-buahan; pada petang hari bocah-bocah lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarang mereka.

Kau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga.

Tetapi bila kau tanyakan padaku mengapa kutinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami meski kubisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya, kuyakin aku tiada dapat mengatakan padamu.”

Apa yang kau tulis dalam buku catatan harian kesayanganmu itu barangkali tak lebih ikhtiar penghiburan dirimu sendiri di sela-sela waktu menulis dan membaca, di mana kau dapat menemukan kenyamanan dalam kesendirianmu di waktu malam, pagi, dan sore hari. Kau akan menuliskan apa saja yang ingin kau tuliskan di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayanganmu itu kapan pun kau ingin menuliskannya.

Dengan menulis di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayanganmu itu, kau pun menemukan kebebasan yang paling menyenangkanmu. Kadang-kadang kau menuliskannya sembari mendengarkan musik-musik klasik dan jazz, dan kadang-kadang dalam keadaan senyap di antara suara kersik daun dan desiran angin yang samar-samar pada waktu tengah malam hingga subuh menjelang.


Ilustrasi: Lukisan Sea Bench karya Emmy Go (atas) dan Weaving karya Basuki Abdullah (bawah).