Lampu & Jendela





Puisi-puisi Sulaiman Djaya
(Sumber: Harian Indo Pos, 27 September 2014)


Jendela

Ada sebuah pintu yang terbuat dari udara:
daun-daun dan gerimis adalah kesepian
yang teramat kagum pada lampu.

Kau tahu, tahun-tahun telah mencipta batu
ketika hujan baru saja beranjak
dari gugusan rambutmu.

Di sebentang pematang, di siang yang reda
yang menyimpan jejak kaki ibuku
ada lagu perkutut dan masa-lalu

yang jadi sajakku. Di dinding rumah,
ketika kau sedang sibuk belajar membaca
ada barisan pigura dan almanak

menafsir bisu pada angka 27.
Ketika aku berdo’a dengan kata-kata
yang paling lemah, sadarlah aku

yang paling rimbun ketimbang tahun-tahun
adalah sepasukan maut yang menjelma embun,
menjelma waktu dan sebaris rindu.

(2014)


Lampu

Aku masuki malam yang selembut parasmu
dan aku adalah kata-kata yang berdiam
di buku-buku. Di salah-satu ceritanya
ada kanak-kanak yang selalu berusaha

mengekalkan kenangan dengan seutas benang
bagi layang-layang yang khusuk membaca
langit merah sekedarnya. Aku adalah hujan
yang ingin sekali berkunjung ke rumahmu

dengan langkah-langkah sepi seperti puisi.
Ketika senja yang kausuka masih basah,
maut dan cinta adalah perumpamaan
sekian rahasia perabot-perabot rumahtangga

yang ditinggalkan ibunda. Tetapi,
sebelum lembab malam menyelinap
di sebalik pigura, aku suka sekali
menyimak srigunting dan riuh para gelatik

sebelum sunyi magrib jadi lengkap
bersama dingin angin bulan april.
Tiup, tiuplah sayang, dengan nafasmu itu
jika kau sudah mengantuk

seperti sebaris lagu di meja bacaku.
Sebab aku pun adalah juga embun
di hening sabtu yang serimbun dua matamu
dan rindu telah lama jadi waktu.

(2014)


Sungai

Kebahagiaan tumbuh dengan sabar
seperti rumput disusu embun.
Lumut adalah perumpamaan usiaku
dan Tuhan kita sama, duhai sahabat,

meski acapkali kita berbeda paham.
Setiap hari kita berebut peran
sebagai Samiri yang pandai
dan sesekali sebagai Zakaria

yang ragu saat ayat difirmankan.
Benarkah, oh Tuhan, sebab hamba
bukan manusia yang tanpa cela
dan terbebas dari lupa.

Dan di Hira sang Rasul pun bertanya:
apa yang harus kubaca?
Aku pun bertanya, apa yang kaucari
duh penyair? Di jaman hingar bingar iklan

dan waktu yang hancur
di kotak-kotak televisi. Tak ada lagi
nubuat seperti bagi Musa di Tursina
atau mukjizat bagi Isa

di Lembah Jordan. Mulut kita kadang
tak lagi suci
saat meneriakkan asma-asma Tuhan
yang kudus dan sunyi.

Kebahagiaan barangkali, duh sahabat,
ada dalam dusta kita masing-masing.
Dan biarlah asma-asma Tuhan
hadir dalam sepi, seperti sajak ini.

(2014) 


In English: Sulaiman Djaya was born in Serang, Banten 1 January 1978 from a family of farmers in Northern Banten (Banten Utara). Particularly he was very fond of black coffee and traditional Sundanese food. Edisi Bahasa Indonesia: Lelaki yang bernama lengkap Sulaiman Djaya dan yang sebenarnya di masa kanak-kanak bercita-cita ingin jadi ilmuwan ini tanpa sengaja di kemudian hari ketika mulai menginjak sekolah menengah malah senang membaca buku-buku sastra dan mulai belajar menulis, dan meski lahir di Serang, Banten pada 1 Januari 1978, ia juga kerapkali merasa sebagai warga dunia. Dan yang lebih penting, ia juga pandai memasak, semisal memasak mie rebus, nasi goreng, atau memasak air di atas kompor gas bila ia hendak membuat kopi hitam.

Tidak ada komentar: