Gadis Penjual Korek Api


oleh Hans Christian Andersen (penulis Denmark)

Hari itu amat sangat dingin, salju turun, dan hampir cukup gelap, dan malam – malam terakhir tahun ini. Dalam suasana dingin dan gelap ini, seorang gadis kecil yang malang sedang melangkah di sepanjang jalan, tanpa penutup kepala, dan dengan kaki telanjang. Ketika ia meninggalkan rumah ia masih mengenakan sandal, itu benar, tapi apa bagusnya itu? Itu adalah sepasang sandal yang sangat besar, milik ibunya dan sudah terlihat usang, sandal itu sangat besar, dan gadis kecil yang malang itu telah kehilangannya saat dia berusaha keras menyeberang jalan, karena ada dua kereta kuda yang meluncur dengan sangat cepat.

Satu sandal itu tidak bisa ditemukan, yang satunya lagi telah dibiarkan lepas untuk diambil oleh seekor landak, maka berlarilah landak itu dengan sandalnya, dia pikir sandal itu bisa menjadi tempat buaian yang sangat bagus sekali saat dia sudah memutuskan untuk mempunyai anak sendiri. Jadi gadis kecil itu berjalan dengan kaki mungilnya yang telanjang, yang telah terlihat cukup merah dan biru karena kedinginan. Dia membawa banyak sekali korek api yang dibungkus dengan celemek tuanya, dan dia memegang seikat di tangannya. Selama hidupnya tidak ada orang yang mau membeli satupun korek api darinya; tidak ada orang yang mau memberinya bahkan satu sen sekalipun.

Dia melangkah dengan gemetaran karena kedinginan dan kelaparan – suatu gambaran yang amat sangat menyedihkan, gadis kecil yang malang!

Serpihan-serpihan salju menutupi rambutnya yang cukup panjang, yang berderai mengikal dengan indahnya di sekitar lehernya, tetapi tentu saja, dia tidak pernah berpikir tentang itu sebelumnya dan baru sekaranglah dia menyadarinya. Dari semua jendela, lilin-lilin berkilauan, dan tercium aroma angsa panggang yang sangat lezat, agar kalian tahu saja, malam itu adalah Malam Tahun Baru, ya, barulah dia terpikir tentang itu.

Di sebuah sudut yang terbentuk oleh dua rumah, yang mana satu rumah terletak lebih maju dari yang satunya, dia duduk dan langsung meringkuk. Kaki kecilnya ia tarik agar dapat dekat padanya, tapi dia merasa semakin kedinginan dan kedinginan, dan dia tidak berani untuk pulang ke rumah, karena dia belum berhasil menjual satupun korek api dan tidak bisa membawa uang: dia pasti akan dipukuli oleh ayahnya, lagipula di rumah juga dingin, di atas rumahnya hanya ada atap dimana angin dapat berhembus masuk, walaupun celah terbesar di atapnya ditutup dengan jerami dan kain.

Tangan kecilnya hampir mati rasa karena dingin. Oh! Satu batang korek api mungkin dapat memberikannya sejuta kenyamanan, jika saja dia berani mengambil satu korek api dari bundelannya, menggosoknya ke dinding, dan menghangatkan jari-jarinya dengan itu. Dia menarik satu korek api. “Rischt!” berkobarlah apinya, sangat menyala! Itu adalah api yang hangat dan cerah, seperti lilin, sambil mendekatkan tangannya di atasnya: itu adalah cahaya yang indah. Apinya terasa sangat nyata bagi sang gadis kecil seolah-olah dia sedang duduk di depan tungku besi yang besar, dengan kaki yang terbuat dari kuningan mengkilap dan hiasan kuningan di atasnya. Api itu membakar dengan penuh berkah; terasa begitu hangat dan menyenangkan. Gadis kecil itu telah mengulurkan kedua kakinya untuk menghangatkannya juga, tetapi – api kecil itu padam, tungkunya lenyap: hanya ada sisa korek api yang telah terbakar habis di tangannya.

Dia mengusap satu korek lagi di dinding: korek itu menyala dengan terang, dan di mana cahaya itu dekat ke dinding, di sanalah dindingnya menjadi transparan seperti kerudung, sehingga ia bisa melihat ke dalam ruangan. Di atas meja itu terhampar taplak meja yang seputih salju, di atasnya terdapat hiasan porselen yang indah, dan angsa panggang yang mengepul dengan isian apel dan plum kering. Dan hal yang lebih bagus untuk dilihat adalah angsa panggang itu jatuh dari piring, terhuyung-huyung di sekitar lantai dengan pisau dan garpu masih menancap di dadanya, sampai itu berguling ke dekat gadis kecil yang malang, ketika korek apinya padam dan tidak ada lagi yang tersisa kecuali dinding yang tebal, dingin, dan lembab. Dia menyalakan korek yang lain. Sekarang dia sedang duduk di bawah pohon Natal yang paling indah: pohon itu masih lebih besar, dan lebih terhias daripada pohon yang dia lihat melalui pintu kaca di rumah pedagang kaya itu.

Ribuan cahaya menyala di cabang-cabang pohon yang hijau itu, dan gambar-gambar berwarna yang terlihat menyenangkan, seperti yang telah dia lihat di jendela-jendela toko, memandang rendah padanya. Gadis kecil itu mengulurkan tangannya ke arah pohon itu ketika korek apinya padam. Cahaya dari pohon Natal naik lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dia sekarang melihatnya seolah-olah seperti bintang di surga, satu per satu jatuh ke bawah dan membentuk jejak api yang panjang.

“Seseorang baru saja meninggal!” teriak gadis kecil itu, karena neneknya, satu-satunya orang yang mencintainya, dan sekarang sudah tidak ada lagi, telah mengatakan kepadanya bahwa ketika sebuah bintang jatuh, sebuah jiwa akan naik untuk menghadap Tuhan.

Dia menggosok korek yang lain ke dinding: sekali lagi itu bercahaya, dan dari kilauannya berdirilah neneknya, begitu cerah dan bercahaya, sangat berkilau, dan dengan perasaan penuh cinta.

“Nenek!” teriak gadis kecil itu. “Oh, bawa aku pergi bersamamu selama korek apinya masih menyala! Kau akan lenyap seperti kompor yang hangat, seperti angsa panggang yang lezat, dan seperti pohon Natal yang megah!” Dan dia segera mengusap seluruh korek apinya dengan cepat ke dinding, karena dia ingin memastikan untuk menjaga neneknya agar tetap di dekatnya. Dan korek-korek api itu memberikannya cahaya yang sangat cemerlang yang bahkan lebih terang daripada cahaya di siang hari: tidak pernah sebelumnya nenek itu terlihat begitu cantik dan tinggi. Dia mengambil gadis kecil itu di lengannya, dan keduanya terbang dalam kecerahan dan sukacita yang begitu tinggi, sangat tinggi, dan kemudian di atas mereka tidak merasa kedinginan, atau kelaparan, ataupun kecemasan – mereka sekarang sudah bersama Tuhan.


Tapi di sudut, pada saat fajar yang dingin, duduklah gadis yang malang, dengan pipi kemerahan dan dengan bibir yang tersenyum, bersandar di dinding – membeku sampai mati pada malam terakhir di tahun yang lama. Terbujur kaku bersama dengan korek apinya, yang mana satu bundelan telah dibakar. “Dia ingin menghangatkan diri,” kata orang-orang. Tidak ada yang memiliki kecurigaan sedikit pun mengenai hal indah apa yang telah dilihatnya, tak seorang pun pernah bermimpi tentang kemegahan di dalamnya, dimana dengan neneknya dia telah memasuki sukacita tahun baru.

Tafsir, Agama, Puisi


oleh Sulaiman Djaya (2007)

Tulisan ini adalah ikhtiar subjektif, tentang iman dan teologi. Tentang apa yang berada di antara keduanya, yang mungkin menjadi sesuatu yang di tengah. Tentang suatu ikhtiar untuk berbicara sebagai seorang amatir dan non-akademik. Tentang renungan orang biasa yang ingin berbicara tentang sesuatu yang bisa dikatakan luar biasa. Tentang seseorang yang ingin mencari landasan kepercayaannya secara individual. Sebentuk sikap eksentrik. Dan karena itu seseorang tersebut memiliki hak untuk menuliskan apa yang dipercayainya, dan mempercayai –meski secara individual dan personal, apa yang ditulisnya tersebut.

Sebab pengetahuan dan kreativitas dalam penulisan akan ditemukan dalam kebebasan dan kemerdekaan individual dan personal. Apapun motivasi dan kepentingannya. Entah hanya sekedar untuk menghibur diri, atau berusaha memberikan dan menyumbangkan gagasan alternatif terhadap gagasan dan analisis objektif yang saya sebut sebagai dogmatisme sains.

Sejauh berbicara tentang teologi, sesungguhnya mungkin tak lebih berbicara tentang tafsir. Tetapi kemudian tafsir itu justru menjadi lebih serius ketimbang teologi itu sendiri. Pada moment ini tafsir atas teologi menjadi teologi itu sendiri. Dan pada konteks ini pula apa yang disebut teologi sesungguhnya adalah ilusi. Sebab ketika teologi telah menjadi tafsir, maka yang ada adalah sains atau positivisme atas teologi. Bila kita ibaratkan teologi sebagai pribadi atau pun individu, maka ikhtiar atau pun upaya penafsiran atasnya tak lebih sebagai penamaan. Seperti halnya memberi nama pada anak yang baru lahir.

Dari itu debat tentang teologi mungkin tidak lebih sebuah polemik tafsir atas atau tentang tafsir itu sendiri, yang pada akhirnya akan menghasilkan kosakata baru tentang teologi. Karena itu mungkin perkembangan teologi adalah perkembangan dari penemuan yang terus-menerus dari kosakata bahasa tersebut untuk terus-menerus menafsir teologi atau pun teks kitab suci. Meski hal tersebut mungkin akan terjebak pada tekstualisme dan verbalisme dalam bentuknya yang liyan.

Pada konteks ini penafsiran teologi adalah ikhtiar penemuan bahasa baru untuk mencari relevansi kontekstualnya. Ini adalah suatu keniscayaan ketika perdebatan atau pun penafsiran tentang teologi belum bisa beranjak atau keluar dari teks yang tertulis dalam kitab suci. Dan selama perdebatan tersebut masih berkutat pada teks yang tertulis, maka tafsir atas teologi rentan terjebak pada ikhtiar politisasi-teks yang didasarkan pada kepentingan dan kondisi eksistensial si penafsir. Entah dalam bentuknya yang sosiologis atau pun yang politis.

Sementara itu kenyataan yang tak mungkin diingkari orang-orang yang menjadikan doktrin agama sebagai pandangan hidupnya adalah situasi epistemik jaman modern yang memaklumatkan persamaan sekaligus pluralitas sebagai keniscayaan jaman modern. Dan maklumat persamaan dan pluralitas ini diserap dan diterima menjadi dasar hukum dan institusi dunia sekuler. Di satu sisi dunia sekuler saat ini menerima manusia dalam dimensi kesamaannya untuk mendapatkan perlakuan hukum dan politik yang sama. Sementara di sisi lain, perbedaan budaya dan pandangan religiusnya seyogyanya tidak melahirkan ancaman dan kekerasan bagi budaya dan pandangan religius yang lain.

Dari itulah mungkin dogmatisme mestinya dapat dibedakan dari fundamentalisme. Sebab tiap doktrin agama menuntut kepercayaan dogmatis dari para penganutnya. Pada moment ini dogmatisme menjelma fundamentalisme ketika para penganut pandangan religius dan budaya yang berbeda abai dengan situasi epistemik jaman modern tersebut.

Agama sebagai kepercayaan yang diterima secara personal dalam pandanganku sendiri selalu bersifat individual. Sementara penerimaan sosialnya mewujud dalam institusi dan hukum yang dianut masyarakat. Dan saya memahami kitab suci atau doktrin teologis lebih sebagai visi yang dihasilkan dari upaya pencarian manusia itu sendiri untuk memahami hidupnya dan mencari dasar bagi kondisi eksistensialnya.

Sebagai visi ia berusaha mengatasi atau melampaui sejarah untuk mencari pendasaran ke masa depan. Sementara sebagai tafsir atas kondisi eksistensial manusia, agama merupakan tafsir sekaligus pembenaran bagi pengalamannya bersama sejarah. Pada konteks ini saya menyebut agama sebagai ikhtiar manusia untuk mencari alasan atau pembenaran bersama sejarah sekaligus pencariannya untuk melampaui sejarah dan mencari pendasaran untuk hidup di masa yang akan datang.

Dengan visi tersebut, kepercayaan yang lahir dan berasal dari pandangan religius mampu membangun peradaban, yang mana visi tersebut bercampur dengan muatan eskatologis, messianisme, terutama dalam agama-agama Semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam). Pada moment inilah kepercayaan yang lahir dari doktrin religius kemudian menjadi sebentuk horizon dan pandangan yang sifatnya personal sekaligus sosial. Agama memiliki dua wajah: ‘yang subjektif’ (private) dan ‘yang politis’ (komunal).

Sebagai wajah subjektif, agama merupakan sebentuk komitmen pribadi dengan segala citarasa personal dan individual si penganut. Sementara sebagai wajah politis, agama menuntut kepatuhan kolektif atau komunal, karena pada dimensi yang kedua inilah, agama telah menjadi institusi kode etik masyarakat, dan ketika terjadi perbedaan penafsiran, maka terciptalah kesenjangan dan ketegangan.

Akan tetapi pandangan agama yang sifatnya komunal tersebut tidak lepas dari aktor berpengaruh yang mampu menanamkan pandangan personalnya kepada masyarakat, yang kemudian mampu memaksakannya menjadi aturan institusi dan kode etik bersama dalam suatu masyarakat. Inilah yang lazim kita sebut sebagai otoritas, sebab kata otoritas itu sendiri berasal dari author (sang pengarang atau sang penulis) yang telah mendapatkan penerimaan publik.

Pada konteks inilah siapa pun yang berhasil mempengaruhi dan mendapatkan penerimaan publik seputar tafsirnya tentang pandangan religius maka bisa diklaim sebagai yang otoritatif. Dan kata otoritas memang pada dirinya sendiri mengandung kekerasan, sebab pandangan dan tafsir religius yang awalnya adalah sebentuk pandangan pribadi dan individual sang pengarang (author) yang kemudian diterima dengan resiko dan konsekuensi menyingkirkan pandangan dari author atau pengarang yang lain yang tidak mendapatkan penerimaan publik.

Sang pengarang yang kalah ini pada akhirnya menjadikan pandangan religiusnya sebagai sikap kritik atas pandangan religius yang umum dan menempati relung sunyinya yang individual seperti halnya Al-Hallaj dan Kierkegaard.

Tetapi seseorang yang menjadikan pandangan religius sebagai pilihan sunyi akan terhindar dari hipokritas-politis, dan pandangan religiusnya kemudian menjadi sebentuk kesalehan dan kepekaan pribadi yang mampu menjadi sumber inspirasi dan permenungan. Pandangan religius tersebut kemudian menjadi paradigma puitis sebagai horison pencapaian teodisi yang mendalam. Terkadang orang-orang seperti ini menolak institusionalisasi pandangan religius karena pandangan religius yang terlembaga rentan pada intoleransi atas pandangan religius yang unik dan yang sifatnya subjektif dan personal.

Tentang Teologi dan yang Lainnya
Setiap perbincangan tentang teologi pada akhirnya akan menjadi teologi itu sendiri. Bila teologi dipahami sebagai apapun yang menyangkut kepercayaan, maka segala yang membuat orang percaya dan mengimaninya dapat dikatakan sebagai teologi. Bila teologi dipahami sebagai apapun yang memiliki muatan teodisi dan eskatologi, maka puisi bisa dikatakan sebagai teologi yang berbicara tentang kehidupan manusia dan segala kemungkinan keadaan eksistensialnya.

Pun pada akhirnya dalam konteks ini setiap pemaknaan dan penafsirannya akan banyak ditentukan oleh keinginan dan kebutuhan manusia itu sendiri. Pada titik ini teologi dipahami sebagai simbolisasi dan bahasa yang bunyi dan tafsirnya diwarnai oleh heterogenitas makna eksistensi manusia itu sendiri. Dalam hal ini mungkin teologi adalah ilusi yang tanpanya manusia tak bisa hidup seperti yang dikatakan Nietzsche. Sementara itu pada konteks yang subjektif, teologi adalah sebentuk aspirasi seperti halnya Kierkegaard yang memilih iman sebagai pandangan hidup yang sifatnya individual dan personal.

Sementara itu eskatologi adalah sebentuk kepercayaan pada ketiadaan, ketakterdugaan, dan ketakteramalan yang membuat manusia berharap dan memiliki harapan sehingga tidak dikalahkan pengalaman eksistensialnya yang negatif, seperti penderitaan. Dalam konteks inilah iman hidup dan bertempat. Karena eskatologi selalu berbicara tentang masa depan dan yang akan datang. Sesuatu yang tak tampak. Sesuatu yang tak hadir. Sebentuk messianisme dan pengharapan yang tak berkesudahan yang membuat manusia merasa memiliki alasan untuk menjalani hidup dan tidak dikalahkan rasa putus-asa.

Maka seringkali yang menjadi daya tarik teologi adalah muatan eskatologisnya, disebabkan rujukannya pada ketiadaan dan harapan tentang yang akan datang. Dalam tradisi Semitik, eskatologi ini biasanya berbicara tentang nubuat dan hari akhir. Eskatologi adalah iman yang selalu menunggu dalam moment menunggu yang membuat manusia mampu berharap dan tidak putus-asa. Eskatologi adalah iman yang merawat dan memelihara manusia dari thanatos, yang membuat manusia mampu bertahan. Eskatologi adalah janji dan ilusi yang justru memberikan “ruang antara” bagi eksistensi dan hidup manusia.

Eskatologi adalah suara tengah di antara passivitas dan aktivitas. Di antara identitas dan non-identitas. Sekaligus bukan kata atau konsep. Bukan aktif atau pasif. Bukan pula pemikiran atau citra. Eskatologi adalah oposisi seperti halnya teologi itu sendiri yang berada di antara langit dan bumi. Di antara yang sakral dan yang profane. Tak memiliki tempat yang ajeg dan tetap. Senantiasa menunggu. Senantiasa menjadi peziarah dan orang asing.

Teologi dan eskatologi adalah sesuatu yang tak pernah tergenapi. Sesuatu tentang yang akan datang. Sementara teodisi dan puisi adalah wadah eksistensial heterogen yang merujuk pada singularitas dan kontradiksi jantung eksistensi manusia itu sendiri. Maka teologi dan eskatologi adalah sebentuk penguatan dan penegasan hidup manusia itu sendiri dalam keberhadapannya dengan ajal atau ketiadaan yang tak teramalkan.

Teologi dan eskatologi adalah visi, bukan positivisme. Ia menyejarah sekaligus melampaui sejarah. Ia adalah oposisi di antara dua kekuatan. Di antara dua tempat. Di antara dua wajah. Di antara surga dan neraka. Bila teologi adalah sebentuk illuminasi dan teodisi, maka yang menjadi pertanyaan adalah sejauh manakah seseorang mampu menyelami arti illuminasi dan teodisi tersebut. Sehingga antara ilmu pengetahuan dan pewahyuan dapat saling melengkapi dan saling mengkritik satu sama lainnya.

Pada konteks inilah menurut saya tidak penting seseorang menjadi religius atau pun sekuler. Akan tetapi sejauh manakah seseorang tidak terjebak pada politik tekstual sehingga menambah kontaminasi pada semangat teodisi dari iman. Sebab upaya memoralisasikan agama sekalipun pada akhirnya akan terjebak pada ikhtiar pelegitimasian moral sebagai upaya keagamaan yang malah akan mewariskan kubangan spiral yang tak pernah selesai dan terjebak pada dogmatisme yang lain. Sebentuk tekstualisme dan verbalisme dalam bentuknya yang baru yang mungkin tidak disadari.

Di Mana Penyair Menulis? Tentang Iman dan Puisi
Apa yang tak dapat dinarasikan dan dideskripsikan kemudian diambil alih oleh puisi. Itu bukan berarti puisi kelewat angkuh untuk menggunakan tuturan biasa. Ia barangkali hanya ingin mengatakan sesuatu yang terlampau panjang tapi pada saat yang sama juga teramat singkat –dalam artian bila ia mengatakannnya secara naratif dan sistematik akan terjatuh untuk mengatakan sesuatu yang pada awalnya tak mampu ia katakan, dan ketika dikatakan tak mampu mengungkapkan apa yang hendak dimaksudkannya.

Puisi memang kontradiksi. Pertentangan. Memiliki dua wajah. Ia ingin mengatakan tentang banyak hal tapi pada saat yang sama juga mendapatkan dirinya pada keterbatasan untuk mengatakannya secara biasa. Ia ingin mengatakan banyak hal dengan cara singkat. Dengan mengatakan sebagiannya saja. Yang mungkin dengan yang sebagian itu, sebagian yang lain biarlah dicari dan dikatakan oleh orang lain. Bila ada dua pertentangan yang tidak bertemu, maka yang ketiga adalah puisi –atau juga interupsi pada apa yang kita percayai dan yakini sebagai iman.

Dengan itu pulalah saya ingin berbicara tentang iman, tentang kerentanan saya sendiri pada ketakmungkinan untuk mengatakannya. Atau bila saya mengatakannya mungkin saya tak lebih melakukan kebohongan. Sebab iman atau pun semangat religius pada dasarnya adalah pencarian dan investigasi itu sendiri. Sesuatu yang interuptif. Menyela. Sebentuk kehendak untuk tertawa. Seperti hal-nya tawa Sarah ketika Tuhan mengabarkan padanya bahwa ia akan mengandung Ishak di saat usianya yang renta –dan menurutnya ia tak mungkin bisa mengandung.


Atau seperti “keheranan” Zakariya setelah Jibril mengabarkan padanya bahwa istrinya yang renta akan mengandung anaknya yang bernama Yahya. Dan mungkin kebisuan Zakariya itu sendiri adalah sebentuk “keheranan”. Sebentuk ketakmampuan untuk mengatakan sesuatu yang akan datang –sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Ketakmampuan untuk menerka sesuatu yang tidak terduga. Yang asing. Hantu! Seperti dikisahkan kitab suci, Zakariya menjadi bisu karena ia “tidak beriman” dengan pengabaran Tuhan itu.

Puisi dan iman memang sebentuk “keheranan”. Sebentuk tawa. Tapi justru dengan itu manusia sadar dengan kefanaannya sendiri, dengan kerentanannya sendiri. Tapi pada saat yang sama iman dan puisi adalah ziarah. Seperti perintah Tuhan kepada Ibrahim untuk pergi dari tanah Ur dan menengok tetangganya di negeri Hinani. Suatu anjuran untuk menjadi pembelajar, pengunjung, dan orang asing. Sebagai orang yang tidak tahu. Karena itu senantiasa membaca. Mempertanyakan. Menyela. Menertawakan.

Karena itu iman dan puisi adalah sebentuk perjumpaan yang tak berkesudahan dengan kefanaan. Terus-menerus menjadi heran dan tertawa. Karena itu seorang penyair menulis dari ketiadaan. Dari tawa! 

Catatan Harian Ahmad Hasan


oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Radar Banten, 09 Mei 2010)

Sesekali saya tertawa sendiri bila kembali mengingat apa yang telah saya lakukan, betapa seorang lelaki yang hari-hari dan malam-malamnya akrab dengan buku-buku yang dibacanya tiba-tiba menjadi kikuk dan bodoh ketika hidup dalam dunia yang sebenarnya. Saya hanya bisa tersenyum dalam kesendirian bila mengingat kembali setiap detil tindakan yang saya lakukan. Sempat juga saya ragu apakah saya mesti menuliskannya ataukah tidak? Memang, selama beberapa hari sejak pertanyaan dan keinginan saya muncul, saya sempat merasa tak perlu menuliskannya.

Tapi akhirnya saya menuliskannya juga, entah karena motivasi dan alasan apa? Yang pasti, dan mungkin ini yang paling bisa dijadikan alasan, bahwa saya pernah juga memiliki pengalaman menjadi seorang lelaki bodoh dan gagal dalam hidup keseharian, hingga saya menuliskan cerita ini mungkin saja sebagai sebuah usaha untuk memaafkan diri saya sendiri.

Tentu saja saya tak lagi hapal semua detil pengalaman dan tindakan yang telah saya lakukan ketika berusaha untuk mendekatinya ketika itu. Semuanya saya lakukan begitu saja tanpa strategi dan pertimbangan yang matang, tak lebih tindakan kekanakkan yang tak sabaran, mengikuti begitu saja hasrat yang memerintahkan saya dengan spontan.

Ketika itu saya adalah seorang mahasiswa semester tiga di sebuah perguruan tinggi di Jakarta Selatan. Tentu seperti semua lelaki sebelum akhirnya jatuh cinta, saya mengenalnya tanpa perasaan apa pun. Ia seperti kebanyakan mahasiswi yang saya kenal pada umumnya, seorang perempuan sebagaimana perempuan lainnya yang saya pikir tak memiliki keistimewaan dan keunikan tersendiri. Salah seorang teman saya, sebutlah Z, yang pertama kali memperkenalkannya kepada saya. Ketika itu saya dingin saja memperkenalkan diri kepadanya, menyebutkan nama dan menjabat tangannya.

Seminggu setelah saya mengenalnya dalam situasi yang singkat dan tanpa sengaja itu, tanpa diduga saya pun bertemu kembali dengannya di sebuah acara diskusi para mahasiswa yang diselenggarakan di auditorium kampus. Kebetulan ketika itu saya duduk di barisan kursi yang bersebelahan dengannya, meski agak jauh. Entah alasan apa yang mendorong saya untuk sesekali mencuri pandang dan memperhatikan dirinya.

Pertama-tama saya perhatikan rambutnya yang terurai lurus hingga melewati pundaknya dan terlihat rapih di punggungnya. Saya amati bentuk tubuhnya yang padat dan tampak sedikit ramping, meski ia tak terlalu tinggi alias sedang-sedang saja. Dan setelah diskusi usai, saya segera beranjak dari kursi tempat saya duduk dan berpindah ke barisan sofa yang telah disediakan panitia diskusi di sudut auditorium itu, demi mengamati dirinya saat ia berjalan keluar.

Saya memperhatikan caranya berjalan, dan tentu saja gugusan rambutnya yang terurai di punggungnya yang sesekali bergerak-gerak karena hembusan angin di mendung dan teduh cuaca siang yang membuat saya tertarik. Tak lama kemudian ia telah menghilang setelah melewati pintu auditorium. Saya pun bangkit dari sofa tempat saya duduk dan berjalan menuju pintu auditorium demi mengetahui ke mana ia berjalan dan melangkah. Saya agak kaget ketika saya lihat seorang mahasiswa telah menggandeng tangan kirinya sembari saya dengar samar tawanya.

“Siapakah mahasiswa yang menggandengnya itu?”, gumam saya dalam hati. “Apakah mahasiswa itu pacarnya?”, tanpa sengaja saya telah terobsesi untuk mengetahui dirinya lebih jauh.

Waktu terus berjalan di saat saya hampir melupakan obsesi saya untuk mengetahuinya lebih jauh ketika saya melihatnya untuk yang kedua kalinya di auditorium itu. Tanpa saya ketahui tiga minggu kemudian ketika saya menjadi pemateri diskusi atas permintaan teman-teman mahasiswa kajian, ia hadir di ujung ruangan tempat saya berbicara menjadi pemateri. Saya baru tahu kehadiran dirinya setelah saya selesai berbicara dan menjelajahkan sepasang mata untuk memperhatikan audiens yang hadir.

Saat itu ia mengenakan baju kemeja berwarna hijau. Aneh juga saat itu, ia terlihat lebih cantik dari sebelum-sebelumnya. Saya ingat ketika itu, menurut perasaan saya, saya melihatnya tersenyum satu kali ke arah saya, dengan refleks saya pun membalas senyumannya.

“Saya mesti mendekati dan menyapanya setelah tugas menjadi pembicara ini usai”, bathin saya. “Saya mesti mengajaknya ngobrol barang sebentar saja”. Saat saya tahu ia hadir di diskusi yang salah seorang pembicaranya adalah saya itu, saya berusaha tampil maksimal dan menjawab pertanyaan-pertanyaan audiens yang hadir dengan sekuat pikiran dan pengetahuan yang saya miliki, demi mendapatkan perhatian dan simpatinya.

Demikianlah, pertanyaan demi pertanyaan berhasil saya jawab dan setiap orang yang bertanya saya pikir merasa puas, hingga akhirnya moderator menyatakan acara diskusi telah usai mengingat jam telah menunjukkan pukul 21.35. Betapa gembiranya perasaan saya ketika mendengar pernyataan moderator itu, karena saya ingin menyempatkan waktu untuk mendekati dan menyapanya. Saya pun segera berjalan ke arahnya dan tak mempedulikan mahasiswa-mahasiswi baru yang ingin berkenalan dan bersalaman dengan saya.

“Hai, apa kabarmu?”, tanya saya ketika saya berada persis di depannya. “Yah, seperti yang kamu lihat”, balasnya, “saya baik-baik saja”. “Saya tak menyangka kamu akan hadir di acara ini”, sambung saya, “Sekedar ingin tahu saja”, jawabnya, “siapa tahu saya mendapatkan masukan dan wawasan untuk tugas makalah kuliah” “Memangnya tugas apa?”, tanya saya. “Tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam”, ujarnya. “Ehm, mungkin saya bisa membantumu”, kata saya padanya menawarkan diri, “jika kamu mau”. “Boleh, dan terimakasih”, balasnya.

Perkenalan dan obrolan yang tak begitu lama itu membuat perasaan saya bahagia. Ternyata ia seorang perempuan yang sopan, lembut, dan memiliki suara yang terdengar menenangkan dan berwibawa. Di akhir perbincangan singkat itulah saya berhasil meminta nomor telepon cellular-nya.

Sejak saat itu, saya semakin sering menghubunginya lewat telepon cellular sekedar menanyakan kabar dan mengajaknya ngobrol sebentar. Menanyakan apakah ia sudah mendapatkan buku-buku yang dibutuhkannya untuk mengerjakan paper tugas kuliahnya. Dengan terus-terang ia berkata bahwa jika saya memiliki buku-buku yang dibutuhkannya dan mau meminjamkannya, tentu ia tak perlu membelinya. Dengan tanpa ragu, segera saja saya jawab bahwa saya memiliki buku-buku yang diinginkannya itu, meski saya sebenarnya tak memiliki beberapa buku yang dibutuhkannya ketika itu. “Saya akan mengantarkannya ke tempatmu besok malam”, kata saya. “Saya tunggu yah”, balasnya.

Dalam gerimis itu saya tetap memaksakan diri untuk mendatangi tempat kosnya yang lumayan jauh saat saya tempuh dengan jalan kaki. Malangnya saya, sesampainya di kosnya, ia ternyata sedang tak ada. Saya pun menunggu selama setengah jam sebelum akhirnya ia datang bersama seorang mahasiswa yang segera berpamitan ketika ia melihat dan memandang saya sejenak.

Saya memang tak memiliki keinginan untuk berkenalan dengan mahasiswa yang mengantarkannya itu. Saya ingat-ingat ternyata mahasiswa itu adalah juga lelaki yang menggandeng tangannya selepas diskusi di auditorium kampus yang telah saya ceritakan sebelumnya. Saya kembali didera penasaran dan rasa ingin tahu meski tak berani saya tanyakan kepadanya, khawatir membuatnya tak nyaman.

Ia mempersilahkan saya duduk di kursi depan kosnya selama ia membersihkan badan dan berganti pakaian. Jam di tangan saya telah menunjukkan pukul 20.15, yang berarti saya telah duduk dan menunggunya selama 15 menit selama ia belum keluar. Saya merasa terpesona saat ia keluar dengan rambut yang masih basah dan kuyup malam itu. Ia terlihat sangat cantik dengan senyumnya yang tipis. Apalagi saat itu ia hanya mengenakan t-shirt dan celana pendek hingga memperlihatkan terang sebagian dadanya dan kelembutan bulu-bulu kakinya yang ramping.

“Gimana, saya cantik kan?”, tanyanya yang bagi saya terasa lebih mirip sedang menggoda. “Yah”, jawab saya yang sedikit malu-malu. Mendengar jawaban saya itu ia pun kembali tersenyum.

Sejak kunjungan saya yang pertama kali ke tempatnya itu, pelan-pelan saya sadar bahwa menjadi seorang mahasiswa tak sekedar membaca buku-buku yang saya sukai, tapi juga memperjuangkan apa yang diinginkan perasaan saya untuk bisa lebih dekat pada seseorang yang membuat saya bahagia dan merasakan kesenangan hidup. “Ini bukan semata masalah seberapa banyak uang yang saya miliki”, dalih saya, “tapi lebih dari itu, ini soal bagaimana saya harus jujur pada apa yang saya rasakan sebagai seorang lelaki”. Maklumlah, dalih itu menjadi alasan dan motivasi saya untuk meyakinkan diri sebagai seorang lelaki yang koceknya pas-pasan dibandingkan teman-teman saya.

Saya pun semakin sering datang ke kosnya, meski kadangkala ia tak ada. Awalnya satu dua kali saya menganggap itu hal biasa, karena menurut prasangka saya mungkin saja ia menjalani kesibukan di luar jadwal kuliah, hingga saya berusaha untuk tak memikirkannya. Saya tidak menyerah, dan kembali mendatangi kosnya di hari Minggu berikutnya, ia kembali tak ada. Perasaan saya mulai bimbang dan merasa curiga ketika ketakhadirannya di setiap hari Minggu semakin sering.

“Apakah ia sengaja menghindari saya?”, tanya saya membathin. Meski saya terus berusaha menenangkan diri, sebenarnya saya mulai berpikir macam-macam dan kehilangan kepercayaan diri seorang lelaki yang sedang jatuh cinta pada seorang perempuan yang mulanya dianggap biasa.

Saya memang hanya bisa tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat semua yang saya lakukan demi mendekatinya ketika itu tanpa pernah menyerah, meski selama tiga tahun saya hanya bermain-main dengan kebodohan dan ketidakdewasaan saya yang melawan kenyataan. Mungkin juga saya terlalu percaya diri hingga lupa untuk mengetahui setiap lelaki yang juga berusaha mendekatinya.

“Semuanya telah siap”, gumam saya ketika itu, “saya akan berkata terus terang kepadanya”. Sebenarnya saya hanya menipu diri untuk berusaha menjadi seorang lelaki yang sangat percaya diri demi menutupi kegugupan saya sendiri yang baru kali itu memberanikan diri untuk mengungkapkan unek-unek yang sudah terlalu lama saya pendam dalam hati. Tentu saja itu juga lebih merupakan kekonyolan seorang lelaki yang hanya mendengarkan suara-suara monolog yang membujuknya hingga menganggap remeh pertimbangan dan cara-cara yang tepat dan wajar seperti yang dilakukan kebanyakan teman-teman mahasiswa saya.

Benar saja. Ia malah menertawakan ketololan saya yang awalnya saya anggap sebagai keberanian seorang lelaki untuk mengungkapkan perasaannya kepada seorang perempuan yang diinginkannya.

“Gimana yah, begini saja”, ucapnya ketika itu, “saya terlanjur menganggapmu hanya sebagai teman dan saya tak mesti menjawab semua yang kamu katakan kepada saya”, lanjutnya. Tentu saja apa yang dikatakannya itu semakin membuat saya terlihat bodoh, kikuk, dan tak lagi sanggup mengucapkan satu kata pun.

“Kamu kan tahu”, sambungnya, “bahwa saya sudah punya pacar”. Saat itu saya hanya membayangkan seorang lelaki yang ia maksud adalah mahasiswa yang saya lihat menggandeng tangannya selepas diskusi itu dan yang mengantarkannya ketika saya berkunjung ke kosnya dua tahun sebelumnya. Dalam keadaan gundah itu saya pun berpamitan dan meninggalkannya yang masih duduk di kursi depan kosnya. “Ah, mungkin saja ia belum siap menjawabnya”, kata saya dalam hati berusaha menghibur diri. “Di waktu yang akan datang, saya akan mencoba mendekatinya dengan cara yang lebih baik lagi”.

Tapi tanpa saya niatkan, ternyata yang terjadi kemudian adalah sebaliknya, saya tak mendekatinya selama dua bulan lebih sejak saya menyatakan perasaan saya kepadanya. Saya malah berusaha melakukan pelarian-pelarian dengan jalan kembali mengurung diri dalam kamar saya dan membaca lagi buku-buku yang saya sukai sembari mendengarkan musik-musik jazz dan klasik yang saya gemari.

Kadang bila saya bosan, keinginan untuk kembali mengunjunginya muncul begitu saja meski dengan sekuat pikiran dan perasaan selalu saya lawan. Sekali dua kali saya memang berhasil untuk menahan diri, hingga dua bulan kemudian keinginan-keinginan tersebut tak lagi sanggup saya lawan dan saya tahan. Malam itu pun saya mengenakan pakaian terbaik saya, menutup pintu dan berjalan keluar menuju kosnya. Hasilnya tidak seperti yang saya harapkan dan yang saya inginkan, ia tak ada di kosnya.

“Mungkin saja ia tengah makan malam”, bathin saya menghibur diri, “karena itu ada baiknya saya menunggu dan duduk di kursi ini”.

Selama satu jam lebih saya menunggu di depan kosnya, tapi ia tak juga datang. “Apakah ia sedang malam mingguan dengan pacarnya?”, tanya saya dalam hati. Saya pun bangkit dari kursi itu dan berjalan meninggalkan kosnya. Ketika itu saya memutuskan untuk mengunjungi kosan teman saya. Alangkah kagetnya saya, sesampainya di kosan teman saya yang saya tuju, ternyata ia ada di kamar teman saya.

Bodohnya saya yang tak mengetuk pintu kamar kosan teman saya dan langsung membukanya, hingga dengan kedua mata saya sendiri melihatnya tengah bermesraan dengan teman saya itu. Saat itu saya hanya terkesima sebentar sebelum saya langsung berjalan dengan tergesa meninggalkan mereka berdua yang saya pikir belum sempat melihat dan mengetahui bahwa yang datang dan membuka pintu kamar barang sekilas itu adalah saya.

Ilustrasi: Keira Knightley sebagai Anna Karenina.