Wahabisme Menurut Isham Imad yang Mantan Tokoh Inti Wahabi


Oleh Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

Saat ini, Doktor Isham Imad adalah pakar Syi’ah, spesialis di bidang ilmu rijal, hadis dan sejarah, dosen di Majma’ Jahani Ahlibait as., dan alumni Universitas Saudi Arabia di jurusan mazhab-mazhab. Sebelumnya dia adalah pengikut Wahabi dan setelah itu berubah menjadi Syi’ah. Di wawancara ini, secara terperinci dia menjelaskan kronologi terbentuknya aliran Wahabi dan mengungkap esensi mazhab ini. Di sela-sela pernyataannya bahwa dasar hukum kelompok Wahabi betul-betul pragmatis dia mengatakan, “pola pandang Wahabi berkisar hanya dalam kuburan, dan peledakan kuburan yang terjadi di berbagai penjuru dunia adalah disebabkan oleh pola pandang dan pikir ini.”

Isham Imad menilai gerakan Wahabi sebagai bahaya paling besar yang dihadapi oleh dunia Islam. Dan setelah menjelaskan bahwa kelompok Wahabi sama sekali tidak punya itikad baik tentang pendekatan mazhab-mazhab, Isham mengusulkan agar ulama Syi’ah dan Ahlisunnah berkumpul dan mengeluarkan pernyataan bersama melawan fatwa-fatwa pengkafiran yang dikeluarkan oleh kelompok Wahabi. Dia menyinggung bahwa fatwa kelompok Wahabi ini berada di bawah pengaruh oknum-oknum Zionis yang hidup di kalangan mereka, dengan fatwa itu mereka bermaksud untuk menghentikan gerakan Hizbullah Libanon dan Ikhwanul Muslimin.

Doktor Isham Imad, yang berasal dari Yaman dan lulusan universitas-universitas Saudi Arabia serta pada saat itu merupakan pengikut Wahabi dan sekarang tergolong sebagai pakar Syi’ah yang beraktivitas mengajar serta menulis di Republik Islam Iran, berkata dalam wawancaranya, “Pernyataan fatwa pengkafiran oleh 38 ulama Wahabi Saudi Arabia bukanlah sesuatu yang aneh dan baru; karena jika kita menengok kembali sejarah Wahabi dari awal pendiriannya sampai sekarang, niscaya kita akan menyaksikan bahwa aliran Wahabi lahir di atas ranjang pengkafiran dan tumbuh berkembang di latar pengkafiran juga.” Dia melanjutkan, “perkiraan saya, tidak ada satu mazhab pun yang mengkristal di angkasa pengkafiran seperti Wahabi, dan sayang sekali kekerasan mereka disebabkan oleh kebodohan mereka akan makna pengkafiran dan ciri-ciri yang sebenarnya.”

Imad mengatakan, “semenjak datang ke Republik Islam Iran, saya aktif menulis buku dan mengkritisi metodologi Wahabi, salah satunya adalah perdebatan saya dengan salah satu mufti Kuwait yang kemudian dicetak menjadi buku yang berjudul “Al-Zilzâl”.

Krisis Pengetahuan Pendiri Wahabi Tentang Ilmu-Ilmu Islami

Isham Imad menambahkan, “Syekh Muhammad Abdulwahhab adalah pendiri Wahabi, dia lahir dan berkembang di tengah keluarga berilmu serta belajar dari bapak dan saudaranya, tapi sayang sekali dia mengalami banyak penyimpangan intelektual yang besar. Menurut saya, Syekh Abdulwahhab menghadapi dua masalah yang sangat besar, dua masalah itu saya simpulkan setelah berulang kali membaca dan mencermati buku-bukunya. Masalah dia yang pertama adalah kekurangan pengetahuan. Dia (Abdul Wahhab) tidak punya pengetahuan –yang memadai– tentang ilmu-ilmu Islami seperti logika, usul, bahasa, dan lain sebagainya.”

Isham mengatakan, “Syekh Muhammad Abdulwahhab tidak pernah menjalani jenjang pendidikan secara sempurna dan utuh di sebuah lembaga pendidikan yang diakui, dia juga tidak pernah berguru secara teratur dan rutin kepada seorang tokoh ulama.” Dia mengungkapkan, “sayang sekali Syekh Muhammad Abdulwahhab sebelum menyelesaikan jenjang pendidikannya secara sempurna, dia sudah memikul tanggung jawab tabligh agama; pada saat yang sama dia mempunyai mental yang keras sekali. Masalah besar pendiri Wahabi bukan penyimpangan perilaku, akan tetapi penyimpangan intelektual.”

Isham Imad menyebutkan penyimpangan intelektual dan ideologi sebagai masalah besar kedua yang dimiliki oleh Syekh Muhammad Abdulwahhab. Dia mengatakan, “masalah besar dan asasi dia adalah pemikiran, dan penyimpangan seperti itu bisa dicarikan contohnya di tengah kelompok Khawarij pada masa kehidupan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.”

Syi’ah Dan Ahlisunnah, Sama-Sama Jadi Sasaran Abdulwahhab

Imad mengatakan, “dari awal munculnya Syekh Muhammad Abdulwahhab, kita menyaksikan ide-idenya yang membahayakan, dan sayang sekali dia bukan saja menghantam Syi’ah dengan fatwa-fatwanya yang mematikan tapi juga seluruh kelompok Ahlisunnah yang netral.” “Syekh Muhammad Abdulwahhab tidak mengerti makna dan tolok ukur pengkafiran yang sebenarnya; oleh karena itu, banyak sekali orang muslim, baik Syi’ah maupun Ahlisunnah, yang masuk ke lingkaran syirik dan pengkafirannya, ini adalah bahaya besar yang saya maksudkan. Dia menghukumi anti tauhid siapa saja yang tidak mengikuti ide-idenya.”

Isham melanjutkan, “tokoh Wahabi ini membuat kaidah-kaidah sendiri di bidang tauhid, dan siapa saja yang menentang atau mengkritik kerangka yang dia bangun itu terhitung kafir, atas dasar itu kita menyaksikan dia menolak banyak sekali dari tokoh ulama dunia Islam; contohnya, menurut dia, kitab tauhid Zamakhsyari, tafsir ayat-ayat tauhid Imam Fakhrur Razi, Imam Abu Hamid Ghazali, Thabarsi, Asqalani, Tsa’labi dan bahkan Thabari yang mereka semua merupakan ulama terkemuka Ahlisunnah, adalah buku-buku yang menyesatkan dan para penulisnya adalah kafir.”

Peneliti sejarah Islam ini juga mengatakan, “Syekh Muhammad Abdulwahhab sensitif sekali dengan persoalan tauhid, dia ingin menyelesaikan persoalan ini dengan idenya sendiri dan lalai bahwa langkahnya di bidang ini pincang, tindakan dia bukan saja mencetuskan problem di Saudi Arabia tapi juga di seluruh bentangan dunia Islam, mulai dari Andalusia sampai Iran dan Pakistan, serta di antara seluruh kelompok yang mencakup Asy’ari, Muktazilah, Salafiah, dan Syi’ah. Dia telah menyebabkan perpecahan di tengah gerakan-gerakan besar Islam sehingga menghambat sekali lajunya pergerakan mereka.”

Pemaksaan Tauhid Ala Pendiri Wahabi

Isham Imad menegaskan, “saya tidak dalam rangka mengungkapkan niat Syekh Muhammad Abdulwahhab dari perbuatan itu; karena niat adalah urusan hati dan hanya Allah swt. yang mengetahuinya. Hal yang pasti menurut saya adalah, dengan perbuatan itu Syekh ingin memaksakan tauhid buatannya kepada orang lain tanpa punya pengetahuan yang menyeluruh tentang persoalan itu. Dia betul-betul fanatik sehingga di dalam surat-suratnya kepada orang lain, dia menyebut lawan suratannya dengan musyrik seraya menuliskan, ‘dari Muhammad Abdulwahhab untuk orang-orang musyrik’. Menurut dia, nyawa, harta dan wanita lawannya adalah halal untuk direnggut.”

Imad melanjutkan, “bahkan syekh Sulaiman Abdulwahhab, saudara Syekh Muhammad Abdulwahhab, menentangnya dan suatu hari dia berkata kepadanya, “kamu tidak pernah mengerti apa yang kamu baca secara benar.” Dia menerangkan, “banyak dan keras sekali persoalan yang diutarakan oleh Syekh Muhammad Abdulwahhab sehingga menurut sebagian ulama, Ibnu Taimiyah, yang terhitung juga sebagai tokoh radikal dalam sejarah, lebih netral dibanding dia; karena di bidang bid’ah, banyak sekali persoalan yang dikategorikan oleh Syekh Muhammad Abdulwahhab dalam kerangka kesyirikan, sedangkan Ibnu Taimiyah tidak demikian.”

Dia menjelaskan bahwa fatwa pengkafiran yang dikeluarkan oleh 38 ulama Wahabi adalah dipengaruhi oleh fatwa-fatwa Muhammad Abdulwahhab, dia mengatakan, “selama kita tidak menemukan solusi untuk masalah ini, maka problem dunia Islam belum terselesaikan.”

Gerakan Wahabi, Problem Dunia Islam Yang Paling Besar

Doktor Isham Imad mengatakan, “Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan Luthi, salah satu fakih terkemuka, mengatakan, “Kami, sekitar 200 pemikir muslim dari berbagai penjuru dunia, berkumpul untuk menemukan problem-problem dunia Islam sekaligus penyelesaiannya. Pada akhir pembahasan, kami sampai pada kesimpulan bahwa problem paling besar yang dihadapi oleh dunia Islam sekarang adalah gerakan Wahabi.” Mereka telah menciptakan berbagai kendala di berbagai penjuru dunia, termasuk juga Amerika, Prancis, Jerman, Cina dan lain sebagainya.”

Imad menukil perkataan Yusuf Qardhawi yang mengatakan, “di dunia ini, tidak ada seorang pun, baik masih hidup atau sudah mati, kecuali Wahabi telah menulis buku yang melaknat dia, tidak peduli apakah dia bermazhab Syi’ah, Ahlisunnah, Zaidiah atau yang lain.” Doktor Imad memberitahukan, “contohnya, seorang wahabi menulis buku gugatan terhadap Sayid Jamaludin Asad Abadi dengan judul “Tahdzîr Al-Umam min Kalb Al-‘Ajam”: peringatan untuk para umat agar berhati-hati dari anjing Ajam. Seorang Wahabi yang lain menulis buku gugatan terhadap penulis kitab tafsir “Al-Manâr” dengan judul “Showâ‘iq min Al-Nâr ‘alâ Shohib Al-Manâr”: serangan bola-bola api untuk penulis buku Al-Manâr. Satu lagi menulis buku yang berjudul “Al-Kalb Al-‘Âlî Yûsuf Al-Qordhôwî”: anjing tinggi Yusuf Qardhawi.”

Tulisan-Tulisan Anti Umat Islam

Doktor Isham Imad mengatakan, “sebelum menjadi Syi’ah, saya menimba ilmu dari seorang guru yang bernama Madkhali, saya belajar kurang lebih seratus buku dari dia yang semuanya berisikan laknat terhadap tokoh-tokoh Islam seperti Sayid Muhammad Quthub, Syekh Muhammad Ghazali, Ayatullah Khu’i, Syekh Muhammad Abduh, dan lain sebagainya. Pada saat yang sama, kita tidak menemukan satu buku di antara buku-buku Wahabi yang menolak Marxisme, Budisme, Baha’iyat, pemikiran-pemikiran Zionisme dan Amerika. Semua tulisan mereka tidak lain kecuali menghajar umat Islam.

Nara Sumber Fatwa Wahabi

Doktor Isham Imad mengatakan, “fatwa kelompok Wahabi dipengaruhi oleh oknum-oknum Zionis yang hidup di tengah mereka, perlu diperhatikan bahwa sebetulnya ini adalah fatwa yang dikeluarkan oleh istana Saudi Arabia, karena semua ulama dan mufti Saudi Arabia adalah pekerja pemerintah, dan fatwa ini dikeluarkan demi kepentingan Zionisme dan untuk menghentikan gerakan Hizbullah, Hamas, Ikhwanul Muslimin dan gerakan-gerakan Islami lainnya. Munculnya kelompok baru Wahabi yang netral, menurut Isham Imad, adalah fenomena yang perlu diucapkan selamat, dia mengatakan, “Syekh Sulaiman Audah, tokoh kelompok baru Wahabi ini termasuk orang yang berani mengkritik Syekh Muhammad Abdulwahhab dan menyatakannya salah.”

Menurut dia, fenomena ini mempunyai latar belakang sejarah tersendiri, dia mengatakan, “setelah terjadi perselisihan antara Malik Faishal dan Jamal Abdunnasir, Malik Faishal mengundang beberapa ulama Ahlisunnah Mesir seperti Sayid Muhammad Quthub dan Syekh Muhammad Ghazali ke Saudi Arabia untuk membalas dendam kepada Jamal Abdunnasir dan memanfaatkan mereka dalam rangka itu, akan tetapi karena mereka terpengaruh oleh pemikiran Sayid Jamaludin Asad Abadi dan Syekh Muhammad Abduh maka ketika masuk ke Saudi mereka mengkritik ide-ide Syekh Muhammad Abdulwahhab secara habis-habisan.”

Imad menambahkan, “ketika mereka masuk Saudi, Syekh Rabi’ Madkhali dan Bin Baz mengungkapkan kedatangan mereka seumpama bom yang akan meledakkan Wahabi.” Dia melanjutkan, “Sayid Muhammad Quthub, setelah dihukum tinggal secara paksa di Saudi Arabia, beraktivitas mengajar dan mendidik murid-murid netral seperti Sulaiman Audah; aktivitas itu berlangsung pada saat Imam Ali as. dan Umar bin Khattab di Saudi senantiasa digugat sementara tidak ada seorang pun yang berhak mengkritik Muhammad Abdulwahhab.”

Isham Imad juga mengatakan, “saya masih ingat persis bahwa dengan mudahnya Imam Ali as. dan bahkan Umar bin Khattab di universitas-universitas Saudi Arabia dikritik, tapi pada saat yang sama tidak ada seorang pun yang berhak mengkritik Syekh Muhammad Abdulwahhab. Pada saat-saat seperti ini muncul para pembesar yang pemberani seperti Sayid Muhammad Quthub dan Syekh Muhammad Ghazali, dan bersamaan dengan itu kondisi yang mencekam tersebut mulai berkurang secara berangsur-angsur.” Dia menambahkan, “ketika tokoh-tokoh Wahabi tidak mampu menghadapi Sayid Muhammad Quthub dengan kekuatan ilmu, maka mereka menuduhnya tengah memberontak terhadap pemerintah, Sayid pun menjawab bahwa jika memang ada wali amr atau pemerintah untukku maka tidak lain dia adalah Jamal Abdunnasir.

Orientasi Gerakan Wahabi

Doktor Isham Imad meyakini gerakan Wahabi searah dengan tujuan-tujuan Inggris, Amerika, dan Israel. Dia mengatakan, “perhatian aliran Wahabi hanya terfokus pada kuburan, dan tidak mempedulikan hal-hal lain, menurut mereka ziarah kubur adalah kesyirikan. Dan pengeboman kuburan yang terjadi di dunia disebabkan oleh pola pikir ini. Bahkan sebagian ulama sampai mengatakan seolah-olah Syekh Muhammad Abdulwahhab lahir di kuburan sehingga dia punya kedengkian tersendiri dalam hal ini. Pada dasarnya, kelompok Wahabi tidak mengerti ajaran-ajaran Islam secara baik dan benar, itulah sebabnya mereka mengategorikan hal-hal yang umum dan biasa dalam bid’ah.” Guru Lembaga Internasional Ahlibait as. ini juga mengatakan, “menurut keyakinan Abdulwahhab, orang-orang muslim yang syirik lebih buruk dan terlaknat daripada orang-orang musyrik zaman Nabi saw seperti Abu Jahal dan Abu Lahab.”

Urgensi Kewaspadaan Terhadap Penyakit Pengkafiran

Doktor Isham Imad dalam hal ini menyatakan, “saya yakin, kapan saja terjadi pengkafiran maka di sana akan terjadi ledakan. Penyakit pengkafiran harus diwaspadai. Orang-orang mukmin harus betul-betul waspada, karena penyesalan setelah terjadi masalah tidaklah berguna dan menyelesaikannya. Kelompok Wahabi tidak akan puas hanya dengan meledakkan Pemakaman Samera, Karbala dan Najaf, melainkan kapan saja ada kesempatan dan peluang mereka pasti meledakkan pemakaman para imam suci yang lain.”

Dia mengusulkan, “untuk menghadapi pengeluaran fatwa pengkafiran, semua tokoh ulama Ahlisunnah dan Syi’ah di seluruh penjuru dunia harus bersatu dan mengeluarkan pernyataan yang mengecam fatwa seperti itu, karena keteledoran terhadap fatwa pengkafiran berarti membiarkan bahaya besar mengancam semua orang dan aliran. Kecaman dari pihak otoritas-otoritas hukum agama di Qum dan Najaf tidaklah cukup untuk itu.”

Isham Imad melanjutkan, “kelompok Wahabi jangan dihadapi dengan cara yang sama dengan mereka, melainkan mereka harus diyakinkan melalui diskusi yang terbaik; alhamdulillah dewasa ini baik orang-orang muslim Syi’ah maupun Ahlisunnah mempercayai Republik Islam Iran, saya sendiri mendengar pernyataan seorang Wahabi yang netral yang mengatakan bahwa negara kita adalah Iran!!”

Menurutnya, fanatisme keras kelompok Wahabi merupakan salah satu masalah besar mereka, dia mengatakan, “Sayang sekali buku-buku Syekh Muhammad Abdulwahhab telah menjadi materi kuliah di setiap universitas Saudi Arabia, dari awal pendidikan pemikiran-pemikiran orang ini ditanamkan pada setiap mahasiswa, saya ingat sekali saat-saat saya masih kuliah di Universitas Muhammad Sa’ud, di sana ada sekitar seribu desertasi doktoral tentang pengkafiran Syi’ah. Padahal, di lembaga pendidikan Iran, kita tidak akan menemukan fatwa pengkafiran Ahlisunnah.”

Wahabi Tak Percaya Pendekatan Antar-Mazhab

Doktor Isham Imad mengatakan, “kelompok Wahabi sama sekali tidak percaya dengan kategori pendekatan antar-mazhab; Muhammad Kibari, ulama terkemuka Saudi, menulis buku khusus tentang penolakan atas usaha pendekatan antar-mazhab, Ibnu Juwairi mengeluarkan fatwa haram hukumnya makan makanan orang Syi’ah; oleh karena itu, perbaikan mereka bukanlah pekerjaan yang mudah.” Imad melanjutkan, “sayangnya, prinsip dasar fikih Wahabi betul-betul pragmatis, sehingga andaikan suatu saat mereka melihat ada kepentingan dan maslahat dengan Syi’ah maka pasti mereka akan menulis ratusan buku yang menyatakan keislaman Syi’ah.”

Dia menerangkan, “ulama wahabi Saudi Arabia ketika menyaksikan Iran mulai dikenal sebagai penghulu intelektual dunia Islam, maka mereka mulai melancarkan serangan kepada Iran, berhubung mereka melihat ledakan-ledakan terjadi di negeri mereka sendiri maka mereka juga bermaksud untuk menciptakan ledakan-ledakan seperti itu itu Iran, karena itulah mereka mengeluarkan fatwa-fatwa pengkafiran untuk menggiring opini publik ke arah sana.” Imad mengatakan, “Republik Islam Iran, yang menghiasi diri dengan politik Imam Ali bin Abi Thalib as., harus memadukan antara diplomasi dan agama untuk melumpuhkan gerakan-gerakan mereka secara waspada.”

Kesyi’ahanku Adalah Karunia Samawi

Doktor Isham Imad menyebut kesyi’ahannya sebagai karunia samawi seraya mengatakan, “dulu, di Saudi Arabia saya rutin belajar dari Bin Baz, ketika itu saya selalu berpikir setelah sekian abad berlalu, kecintaan yang tulus kepada para imam Ali, Husain dan lain sebagainya masih bergejolak dalam hati sebagian orang dan tidak pernah berkarat atau menjadi kuno, tapi di sisi yang lain sering kali saya menyaksikan secara langsung kritikan tajam yang dialamatkan kepada Imam Ali as. dan Imam Husain as. di pertemuan-pertemuan ilmiah Saudi Arabia, di sana saya melihat kezaliman-kezaliman Yazid dan Muawiyah dibenarkan tapi sebaliknya, dengan mudah imam-imam Syi’ah digugat keras.”

Isham Imad melanjutkan, “sering kali di berbagai pertemuan saya menyaksikan bagaimana Imam Ali as. begitu mudahnya dikritik, dan pada saat yang sama mereka –hadirin– sama sekali tidak tahan untuk mendengar jika keutamaan beliau disampaikan, padahal keutamaan itu ada di dalam kitab-kitab mereka sendiri. Bermacam-macam buku ditulis dalam rangka pembelaan terhadap Yazid, Amr bin Ash dan sebagainya, di samping itu tidak ada sedikit pun kritikan yang dialamatkan kepada mereka.”

Dia menambahkan, “kejadian-kejadian seperti ini telah membuat saya mencela diri sendiri dan mendorongnya untuk mempelajari riwayat hidup Ahlibait as. Suatu malam di bulan Ramadan, tepatnya setelah shalat terawih, saya menghadiri sebuah majlis yang ternyata mereka sedang memposisikan Imam Ali as. di bangku tertuduh dan memrotes semua tindakan beliau tanpa bukti, mereka juga menyebut beliau sebagai khalifah yang seandainya lebih cepat terbunuh niscaya Amerika pada zaman sekarang sudah menjadi Islam. Di majlis itu juga saya melihat Imam Husain as. dicela sebagai pembuat fitnah sosial yang besar. Setelah majlis itu selesai, dengan gigih melakukan penelitian terhadap riwayat hidup Ahlibait as.”

Dia mengungkapkan keyakinannya bahwa, “setelah melakukan penelitian secara khusus dalam hal ini, ternyata semua tindakan Imam Ali as. berdasarkan akal dan logika, oleh karena itu saya sampai pada kesimpulan bahwa perkataan orang-orang wahabi itu kotor dan tidak logis. Contohnya, mereka menyepelekan hadis-hadis tentang keutamaan Imam Ali as. tapi sebaliknya, mereka menilai kutukan Nabi Muhammad saw. terhadap Muawiyah –“semoga Allah tidak mengenyangkan perutmu” – sebagai salah satu keutamaan Muawiyah dan menafsirkan bahwa maksud sabda beliau ini adalah Muawiyah tidak akan kekenyangan, dia pasti mendapat makanan dan tetap selamat.”

Imad juga mengatakan, “Kesyi’ahan saya juga bukan sekedar kehendak saya sendiri melainkan terjadi karena anugerah Ilahi dan karunia samawi. Oleh karena itu, saya sangat bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat luar biasa yang dianugerahkan-Nya, disamping itu saya juga berdoa semoga Dia membimbingku kepada ajaran-Nya yang lebih banyak lagi dari sekarang.” Di akhir wawancara dia menyinggung bahwa sekarang ini dia juga sedang dikafirkan oleh kelompok Wahabi karena telah menjadi Syi’ah.

Karomah dan Kecerdasan Sains Ayatullah Uzhma Burujurdi


Oleh Abbas Abiri. Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

Di hari-hari akhir bulan Safar tahun 1292 H., rumah Hujatul Islam Haji Sayid Ali bin Sayid Ahmad Thaba'thaba'i hanyut dalam dzikir kepada Allah swt. dan syukur kepada-Nya atas kelahiran bayi yang kemudian diberi nama Husain. [1]

Perlahan-lahan Sayid Husain tumbuh besar dan berkembang. Dia mempelajari kitab Jami‘ Al-Muqoddimât, Suyûthî, Manthiq, dan Gulistan Sa'di, di sekolah daerah, kemudian dia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Nur Bakhsy sambil membina diri di sana. Disiplin-disiplin ilmu nahwu, sharaf, badi', urudh, mantik atau logika, fikih, dan usul fikih adalah sebagian dari mata pelajaran yang dia tekuni di madrasah itu. [2] Selama bertahun-tahun dia berusaha keras di sana dan berhasil mengalami kemajuan pesat di bawah naungan inayah Allah swt.

Dia ingin sekali pergi ke kota Isfahan, akhirnya setelah meminta persetujuan dari bapaknya, dia pergi ke kota ilmu saat itu. Nuh Din, misanannya saat itu tinggal sebagai pelajar yang giat di Madrasah Sadr, Sayid Husain pun segera menemuinya dan tinggal sekamar bersamanya. Hubungan antara dua misanan Burujurdi ini harmonis sekali. Pesan pertama Nuh Din kepada misanannya itu adalah, "Jika kamu ingin sukses dan bahagia dalam rangka belajar dan mengajar, maka kamu harus berbicara di pertemuan-pertemuan ilmiah dan kritis di ruang belajar, selain itu maka sampai akhir hayatmu kamu tetap tak dikenal seperti aku". [3]

Di Bawah Hujan

Untuk pertama kalinya Sayid Husain mengikuti pelajaran guru yang terhormat, Sayid Muhammad Baqir Durceh'i. Ulama yang memancarkan cahaya Ilahi di kedua matanya itu, segera menangkap kehadiran satu-satunya mutiara Burujurd, langsung saja dia mendekatkan berlian potensial itu kepada dirinya dan dia beri perhatian yang khusus. Guru-guru lainnya adalah Ayatullah Mulla Muhammad Kasyani, mujtahid terkemuka Mirza Abu Ma'ani Kalbasi, ulama tersohor Sayid Muhammad Taqi Mudaris, dan filsuf besar Mirza Jahangir Qasyqa'i.

Masing-masing dari guru besar itu mencurahkan perhatiannya kepada Sayid Husain dan punya peran aktif dalam membentuk kepribadian berharga berlian dari keluarga Thaba'thaba'i tersebut. Di pagi suatu hari, bulan Rabi'ul Awal 1314 H. dia duduk di depan kamarnya sambil menikmati sepoi-sepoi ilmu dan hikmah yang dirasakan oleh ruh dalam dirinya dari sisi guru-guru besar Hauzah Sepahan, tiba-tiba tukang pos datang memberikan surat kepadanya dari sang bapak.

Kedatangan surat bapak itu sempat membuat dia hanyut dalam kegembiraan, tapi tak lama kemudian kegembiraan itu bercampur kesedihan, karena ternyata bapak mengundangnya pulang ke kampung halaman. Berlian Burujurd berpikir, mungkin saja bapak ingin mengirim dia ke Najaf, maka dari itu dia siap menanggung perpisahan dengan pendidikannya di sini dan segera pulang ke kampung halaman. Tapi ternyata, bapak punya pikiran yang berbeda. Bapak dia bersikeras untuk mengawinkannya dan telah berjerih payah untuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan pernikahan. Itulah kenapa pelajar berlian Burujurd ini menikah pada usianya yang ke-22 [4]. Sekitar dua atau tiga bulan setelah nikah dia tinggal di kampung halaman, dan kemudian bersama-sama istrinya dia pergi lagi ke Isfahan. [5]

Suratan Nasib

Tahun 1319 H. adalah tahun perubahan bagi Sayid Husain Thaba'thaba'i Burujurdi. Surat bapaknya sampai ke tangan dia sedang mempersiapkannya untuk bisa hijrah ke Najaf. Maka setelah sembilan tahun penuh aktivitas ilmiah dan penelitian di Isfahan, dia pulang ke kampung halaman, dan setelah mampir sebentar di sana dia berhijrah ke Najaf bersama adiknya yang bernama Sayid Isma'il. [6]

Dua bersaudara itu menginjakkan kaki di tanah haram Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. pada tahun 1320 H. Sayid Husain, yang berusia 28 tahun dan terhitung sebagai mujtahid muda, segera menghadiri pelajaran Ayatullah Uzma Muhammad Kadzim Khurasani (Akhund Khurasani) dan menempatkan dirinya persis di bawah terik mentari ilmu dan marja' pada waktu itu. Dalam waktu yang singkat, pandangan-pandangan pelajar muda yang tajam dan patut diperhitungkan ini membuat hati guru besar Hauzah Ilmiah Najaf tertarik kepadanya, sehingga terjalinlah hubungan yang erat di antara mereka, bahkan apabila sampai akhir pelajaran dia tidak bersuara, maka sang guru menyerunya seraya berkata, "Apa kamu tidak punya pendapat dalam hal ini?".

Lambat laun, kebesaran Sayid Husain diketahui oleh murid-murid lain yang hadir di bangku kuliah Akhund Khurasani. Akhirnya mereka meminta dia agar setelah ustad keluar dari ruang kuliah, dia mengulas pelajaran ustad kembali dengan keterangan yang lebih panjang dan lebar. Sejak itu, salah satu program mujtahid muda Sayid Husain Burujurdi adalah menerangkan kembali kuliah ustadnya. [7]

Delapan tahun manusia agung itu tinggal di tanah haram Amirul Mukminin Ali as. Selain belajar dari Akhund Khurasani, dia juga belajar dari ayatullah-ayatullah lain seperti Syekh Syariat Isfahani dan Sayid Muhammad Kadzim Yazdi. Di samping itu, ada beberapa pelajar yang menimba ilmu ushul fikih darinya sampai sukses. Tapi kemudian, di akhir tahun 1328 H., bapaknya bersikukuh agar dia pulang, dan terpaksa dia memenuhi permintaan bapaknya, dia kembali datang ke kampung halamannya pada tahun 1329 dan disambut hangat sekali oleh masyarakat setempat. [8]

Sebetulnya dia tidak ingin tinggal lama di kampung halamannya, dan sebaliknya ingin segera kembali ke Najaf dan berlindung di tanah haram Amirul Mukminin Ali as. Akan tetapi, kondisi sakit-sakitan bapaknya dan juga kematian beliau membuat perjalanannya kembali ke Najaf tertunda. Dalam kondisi seperti itu, surat belasungkawa ustad penulis buku besar Kifâyat Al-Ushûl, Akhund Khurasani menjadi pelipur lara. Di dalam surat itu, di samping ustad mengucapkan belasungkawanya atas kepergian Haji Sayid Ali, dia juga mengungkapkan kerinduannya untuk bertemu lagi dengan mujtahid Burujurd –Sayid Husain.

Surat penuh kasih sang guru, membulatkan tekad penghulu ulama Burujurd ini untuk segera menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh keluarganya dan terus kembali ke kota Najaf Asyraf. Berapa bulan kemudian, segala sesuatu yang dibutuhkan untuk perjalanan kembali ke kota itu sudah tersedia, tapi berita kematian gurunya yang mulia menghanyutkannya lagi dalam kesedihan. Tokoh besar itu selalu mengatakan, "Kematian dua bapak dalam waktu kurang dari enam bulan betul-betul menyakitkan dan berat bagiku." [9]

Berita wafatnya sang guru telah memadamkan tekadnya untuk bepergian. Bagi dia, berat sekali hidup di kota suci Najaf tanpa kehadiran guru tercinta, Akhund Khurasani. Oleh karena itu, dia buang pikiran hijrah itu jauh-jauh, dan dia mulai membuka program pendidikan dan pembinaan masyarakat di Burujurd. Sedikit demi sedikit, orang-orang mukmin setempat mengetahui betapa berharganya berlian dari keluarga Thaba'thaba'i Burujurdi ini, mereka pun menyerahkan kendali urusan-urusan spiritual mereka kepadanya. Kecintaan Ayatullah Haji Muhammad Reza Dezfuli kepada dia telah menambahkan popularitas dan nilainya di tengah masyarakat. Dan setelah Ayatullah Dezfuli meninggal dunia, mayoritas mukalid atau pengikutnya bertaklid kepada dia, sehingga status marja' dia semakin tersebar luas di kawasan. [10]

Menghadapi Malam

Pada tahun-tahun itu, propaganda Bahaisme yang dilakukan oleh sebagian pejabat-pejabat kota dan yang telah melecehkan pokok-pokok keagamaan yang sakral bagi masyarakat setempat membuat Ayatullah Uzhma Burujurdi gelisah. Akhirnya dia menghubungi ibukota Teheran dan memberitakan kondisi tidak sehat yang terjadi di sebagian kantor kota ke pejabat pusat di Teheran, dia juga meminta agar pejabat-pejabat kota Burujurd yang anti agama dan telah melakukan kesalahan-kesalahan itu segera dipecat. Namun, pejabat-pejabat negara di pusat tidak menggubris pemberitahuan dan permintaan dia, dan sebagai aksi protes dia pun meninggalkan kota itu.

Akibatnya, pengikut-pengikut marja' yang berpandangan tajam ini berkumpul di masjid-masjid, para orator naik ke podium-podium mereka dan serentak menyatakan dukungan mereka terhadap Ayatullah Uzhma Burujurdi. Pejabat-pejabat kota yang melihat diri mereka tak kuasa menghadapi gelombang masyarakat terpaksa menerima tuntutan dia, sehingga pemimpin besar ini kembali ke kota itu dengan sambutan yang luar biasa dari orang-orang mukmin di sana. [11]

Perjalanan Hijau

Salah satu kejadian penting lain pada tahun ini adalah kematian anak puteri dia yang mulia. Setelah kejadian yang menyedihkan ini, Ayatullah Burujurdi pergi ke Khurasan dan melepas kesusahan di bawah pancaran cahaya mentari Thus, Imam Ali Ridho as.

Cukup lama fakih terkemuka ini tinggal di kota Masyhad, sehingga masyarakat Burujurd mengirimkan utusan kepadanya agar dia sudi kembali lagi ke kampung halaman. Ulama yang tawadu' ini pun memenuhi permintaan mereka, dan setelah tiga belas bulan tinggal, dia pulang ke kota tempat lahirnya. Dia sempat berhenti sejenak di kota Qom dan Teheran, kemudian dia memasuki kota Burujurd dengan sambutan yang luar biasa dari orang-orang mukmin di sana.

Setelah itu, dia pergi lagi ke Irak, dia tinggal sebentar di kota Najaf dan para tokoh ulama menyambut kedatangannya di sana. Kemudian dia pergi ke kota Hijaz, dan setelah menunaikan ibadah haji dia kembali lagi ke Irak, dia tinggal sebentar di tanah haram suci Amirul Mukminin Ali as., dan kemudian dia pulang ke Iran. [12]

Di Jerat Algojo

Bersamaan dengan mencuatnya protes orang-orang mukmin melawan Reza Khan dan hijrahnya para ruhaniawan dari segala penjuru negeri ke kota suci Qom, Ayatullah Burujurdi sampai di perbatasan Iran dan hendak menginjakkan kakinya ke tanah air. Pejabat-pejabat istana –yang mengkhawatirkan beliau bergabung bersama para ruhaniawan yang melakukan aksi protes di Qom dan menyampaikan pesan marja'-marja' Najaf ke sana- menangkap dia di perbatasan dan membawanya ke ibukota.

Di Teheran, Reza Khan segera menemuinya. Dari sebelumnya dia ingin sekali mencari orang yang bisa menandingi Ayatullah Uzhma Abdulkarim Ha'iri, oleh karena itu dia berusaha untuk menarik hati Ayatullah Burujurdi seraya mengatakan, "Mintalah sesuatu dariku." Dia jawab dirinya tidak perlu apa-apa. Akan tetapi karena ditekan terus untuk meminta sesuatu, maka dia pun membuka mulut seraya mengatakan, "Sewaktu di kawasan perang, saya melihat jatah konsumsi para perajurit di sana tidak mencukupi, maka dari itu jika kamu ingin melakukan sesuatu, perintahkan agar jatah konsumsi mereka ditambahkan."

Lalu Reza Khan mengutarakan masalah penyepelehan posisi Ayatullah Uzhma Ha'iri dan menyatakan bahwa pejabat-pejabat negara banyak yang mengikuti Ayatullah Uhzma Burujurdi. Ketika itu dia tidak tergoda dengan rayuan Reza Khan dan berkata, "Tidak, kamu sendiri saja yang berhubungan dengan dia, dan kalau aku ada urusan denganmu maka aku akan menyampaikannya kepadamu melalui dia."

Dia juga mengingatkan Reza Khan agar memenuhi tuntutan kelompok ruhaniwan dan menerapkan pedoman-pedoman Ilahi. Dan berhubung dia tahu tidak mungkin dirinya diijinkan pergi ke kota Qom, maka dia mengatakan dirinya ingin pergi ke kota Masyhad. Tak lama setelah Reza Khan keluar dari ruangan, Taimurtasy datang dengan membawakan uang sebesar lima puluh ribu tuman sebagai hadiah untuk marja' terkemuka itu, akan tetapi dia menolak hadiah istana tersebut, [13] dan di pagi harinya dia berangkat menuju Masyhad Khurasan.

Pertemuan Dengan Para Tokoh

Tak lama setelah Ayatullah Uzhma Burujurdi pulang ke kota tempat lahirnya, kedatangan Ayatullah Uzhma Husain Qumi ke Teheran dengan tuntutan-tuntutan yang dia sampaikan kepada pemerintah membuat Ayatullah Burujurdi kembali harus terjun ke kancah politik yang terang-terangan. Dia juga, sebagaimana Ayatullah Uzhma Qumi, meyakini wajib patuh terhadap tuntunan-tuntunan Ilahi, oleh karena itu dia bermaksud untuk pergi juga ke Teheran, hanya saja orang-orang sekitarnya mencegah kepergian itu. Sebagai gantinya, dia perintahkan petinggi-petinggi masyarakat di kota itu untuk pergi ke Teheran dan melaporkan dukungan rakyat terhadap tuntutan-tuntutan Ayatullah Uzhma Husain Qumi, dia pribadi juga mengirim telegram langsung ke Teheran; jika pemerintah menolak tuntutan Ayatullah Uzhma Qumi maka dia juga akan datang ke ibukota dan akibatnya harus ditanggung oleh pemerintah itu sendiri. Berkat usaha keras itu, akhirnya tuntutan-tuntutan Ayatullah Uzhma Qumi diterima. [14]

Hijrah

Penyakit Ayatullah Uzhma Burujurdi terbilang salah satu fenomena penting dalam kehidupannya di kampung halaman. Penyakit yang parah, dan pada akhirnya setelah operasi bedah dan beristirahat selama tujuh puluh hari di rumah sakit Firuz Abadi Teheran dia berhasil melewati kondisi yang sulit tersebut. [15]

Ketika sembuh, dia dihadapkan pada dua penawaran; dari satu sisi, tim delegasi penduduk Burujurd berkali-kali datang untuk mengajak dia pulang ke kota tempat lahirnya, tapi di sisi yang lain, sebagian ulama Qom mengundang dia untuk hidup di tanah suci haram Sayidah Fatimah Ma’shumah as. Karena itu, dia berkonsultasi dengan Al-Qur'an, yang keluar adalah ayat surat Al-Mukminun yang memberi lampu hijau kepada niat dia untuk pergi ke Qom. Oleh karena itu, dia berangkat menuju kota suci Qom bersama ulama, dan di sana dia mendapatkan sambutan yang hangat dari masyarakat dan juga dari tokoh-tokoh ulama Hauzah Ilmiah Qom. [16]

Dengan demikian, mentari fikih yang terang dan benderang ini memasuki cakrawala Qom pada bulan Muharram tahun 363 H. dan meneranginya dengan cahaya ilmu serta hangatnya spiritualias.

Tidak lama setelah tinggal di kota Qom, dia pergi lagi menuju kota Thus demi memperoleh bantuan-bantuan segar imam suci kedelapan, Ali bin Musa ar Ridho as. Dengan kedatangan dia ke Thus Masyhad, Ayatullah Ali Akbar Nahawandi menyerahkan kedudukannya sebagai imam shalat jama'ah di masjid Gauhar Syad kepada Ayatullah Burujurdi dan memintanya agar sudi menjadi imam jama'ah di sana selama bulan Ramadan penuh. [17] Setelah bulan Ramadan, dia kembali lagi ke kota Qom dan memikul tanggungjawabnya yang berat sekali.

Marja' Yang Diinayahi

Bersamaan dengan meninggalnya marja' besar Ayatullah Uzhma Sayid Abu Hasan Isfahani, otoritas kemarja'an Ayatullah Uzhma Burujurdi jadi lebih luas dari sebelumnya, dan orang-orang mukmin dari berbagai penjuru merujuk serta bertaklid kepadanya.

Perlu diketahui bahwa inayah dan dukungan Ilahi senantiasa tercurahkan kepada fakih yang mulia ini. Berbagai kenangan dan pernyataan dari para ulama saat itu menjadi bukti akan kenyataan tersebut. Contohnya, Ayatullah Ali Akbar Nahawandi, yang juga merupakan salah satu tokoh ruhaniawan Syi'ah, memasrahkan mihrabnya kepada Ayatullah Burujurdi dan kemudian pergi ke Najaf.

Marja' masyarakat syi'ah dunia, Ayatullah Uzhma Sayid Abu Hasan Isfahani yang mulai sakit-sakitan, memerintahkan Ayatullah Nahawandi untuk mengimami shalat jama'ah. Dalam hal ini Nahawandi mengatakan, "Malam pertama saya mengimami shalat jamaah sebagai ganti dari dia, ketika saya sudah berposisi di atas sajadah saya mendengar suara yang mengatakan, "Azdomta waladî azdomtuka."; kamu muliakan anakku, maka aku memuliakanmu. Saya melihat ke semua arah di sekitar saya, masyarakat sedang berbaris siap untuk menunaikan shalat jama'ah, dan tidak ada seorang pun yang mendengar suara gaib itu kecuali saya." [18]

Di samping pernyataan ulama terkemuka itu, perilaku marja' besar itu sendiri ketika dia hidup bertahun-tahun di kota suci Qom adalah bukti nyata akan spiritualitas dan kebersamaan dia senantiasa dengan dukungan Ilahi. Perilaku yang sebagiannya diungkapkan oleh murid-muridnyanya dan senantiasa tesimpan di dalam ingatan sejarah:

[1] Salah seorang pelajar membawa istri hamilnya yang akan melahirkan ke salah satu dokter yang bernama Isma'il Musawi. Setelah proses kelahiran, dokter itu berkata kepada ayah sang bayi, "Akulah yang berhasil menyelamatkan anakmu ini, jika bukan karena aku maka pasti dia sudah mati, aku ingin anakmu kau beri nama Isma'il."

Pelajar muda itu pun menuruti permintaan dokter dan memberi nama anaknya Isma'il, tapi sayang sekali bayi itu sejak lahir selalu sakit tersiksa. Usaha orang-tuanya siang dan malam untuk mengobatinya dan telah pergi ke berbagai dokter sama sekali tidak membuahkan hasil, anak itu terombang-ambing di antara alam dunia dan alam barzakh. Pelajar yang menghadapi jalan buntu ini akhirnya mendatangi Ayatullah Uzhma Burujurdi dan mengungkapkan isi hatinya seraya mengatakan, "Tuan, Allah mengaruniakan seorang anak kepada saya yang sejak lahir sampai sekarang selalu dalam keadaan sakit, saya tidak tahu lagi harus berbuat apa." Ayatullah Burujurdi dengan penuh kasih sayang mengatakan, "Gantilah namanya, dia akan membaik." Padahal pelajar itu tidak pernah menceritakan pesan dokter dalam menamakan anaknya kepada Ayatullah, dia pulang ke rumah dalam keadaan heran, lalu dia merubah nama anaknya menjadi Amir, dan dari saat itu anaknya membaik dan terselamatkan dari penyakit-penyakit yang sebelumnya selalu menyiksa dia. [19]

[2] Pelajar lain juga menceritakan keterpikatannya kepada ustad Ayatullah Uzhma Burujurdi, "Waktu pertama kali saya datang ke kota Qom, dia mengirimkan uang bulanan kepada saya, saya tidak menerima uang itu dan saya katakan bahwa masih ada tanah di Iran Utara yang penghasilannya mencukupi kebutuhanku. Setelah kekeringan menimpa Iran Utara, saya tidak berkutik lagi, hutang saya menumpuk sehingga terpaksa saya ingin menjual permadani rumah; salah seorang pedagang saya panggil ke rumah untuk menawarkan permadani itu kepadanya, akan tetapi dia mematok harga yang kecil sekali dan tidak cukup untuk melunasi hutang-hutang saya, pedagang lain saya ajak ke rumah untuk maksud yang sama, tapi ternyata dia memberikan harga yang lebih kecil dari sebelumnya.

Saya bingung sekali dan ragu-ragu, tiba-tiba ada suara terdengar mengetuk pintu rumah, saya segera pergi ke depan untuk melihat siapa yang datang, ternyata Haji Ahmad pembantu ustad Ayatullah Burujurdi, dia menyerahkan amplop kepada saya dan berkata, "Ini kiriman dari tuan (Ayatullah) untuk kamu." Saya lihat amplop itu tidak menunjukkan mata uang. Tapi ketika saya buka, ternyata di dalamnya terdapat cek uang sebesar hutang-hutang saya. Rasa heran dan takjub menyelimuti wujud saya, karena selain saya dan Allah swt. tidak ada seorang pun yang tahu persis berapa jumlah hutang-hutang saya. [20]

Tahun-Tahun Gemilang

Kehadiran seorang tokoh spiritual dan fakih yang senantiasa diberi inayah oleh Allah swt. di Hauzah Ilmiah Qom yang sedang terseok-seok akibat serangan-serangan yang dihunjamkan oleh suruhan-suruhan Reza Khan, memberikan nyawa baru kepada Hauzah tersebut. Dengan kedatangan dia, banyak hal yang tersedia untuk mengembangkan Hauzah Ilmiah dan memperkuat dasar-dasar intelektual dan finansialnya. Para pengikut mukmin Ayatullah Uzhma Burujurdi mengucurkan dana-dana syar'i dan hadiah-hadiah mereka ke pangkuan dia, sehingga para pelajar datang ke kota suci Qom dari segala penjuru negeri Iran untuk menuntut ilmu darinya.

Marja' orang-orang yang berhati bersih ini menyingsingkan lengan baju semangatnya untuk melakukan pembaharuan asasi di Hauzah Ilmiah di samping kesibukan-kesibukan dia dalam mengajar.

Menata Kondisi Pendidikan Hauzah

Penyelesaian atas kendala-kendala finansial para pelajar, penjalinan hubungan erat dengan Darut Taqrib Bainal Madzahib Al-Islamiyah dan acara-acara resmi pengikut Ahlisunnah demi menciptakan persatuan di antara kelompok-kelompok muslim, [21] dan pengiriman delegasi-delegasi ke Eropa dan Amerika [22] untuk memperkenalkan Islam yang sesungguhnya kepada masyarakat setempat, adalah sebagian dari kebijakan yang dilakukan oleh Ayatullah Uzhma Burujurdi.

Pada saat yang sama dia juga peduli terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di dalam negeri, menurutnya, "Apabila masyarakat menjadi pintar dan agama juga diajarkan kepada mereka secara baik dan benar, maka mereka akan menjadi orang-orang yang alim dan komitmen beragama." [23] Dengan demikian, selain mengatur persoalan-persoalan yang dihadapi oleh penuntut ilmu-ilmu agama dan Hauzah Ilmiah, dia juga memberikan masukan yang sangat berharga kepada sekolah dan pendidikan umum negeri serta menyemarakkannya. [24]

Dia juga selalu waspada jangan sampai ada orang tak berdosa yang dihukum penjara atau jatuh ke tangan kelompok penindas. Maka dari itu, suatu hari ketika dia tahu ada seorang muslim tak berdosa yang difitnah membunuh pengikut Bahaisme, maka dia betul-betul gelisah.

Ada sekelompok orang Baha'i yang kemudian membunuh teman seagama mereka, lalu dengan tipu daya mereka menyerahkan sekelompok orang-orang muslim kepada hukum yang berwenang, salah satu di antara mereka divonis hukuman mati dan hukuman itu akan dilaksanakan pada tanggal 15 bulan Sya'ban. Berita ini sungguh membuat Ayatullah Uzhma Brujurdi gelisah, segera dia melayangkan surat ke berbagai pihak seperti Syah, perdana menteri, dan Ayatullah Bahbahani, dia juga menghubungi siapa saja yang mungkin berguna untuk menangani persoalan ini, dia mengikuti terus perkembangannya sampai kemudian di tengah malam berita pembatalan hukuman mati itu sampai kepadanya. Mendengar berita itu, dia meneteskan air mata seraya memanjatkan puja-puji dan syukur ke hadirat Allah swt. Dia mengatakan, "Masalah ini penting sekali, dan alhamdulillah berakhir dengan baik. Setiap kali saya menyaksikan darah orang muslim tak berdosa hendak ditumpahkan begitu saja, maka sekujur tubuh saya menjadi gemetar dan tidak tahu apa yang akan saya katakan nanti ketika saya dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt. di hari kiamat." [25]

Bakti-bakti kesejahteraan Ayatullah Brujurdi kepada umat Islam berupa pembangunan lebih dari seribu masjid, sekolah, rumah sakit, perpustakaan, dan pemandian hangat di Iran, Irak, Libanon, Afrika dan Eropa [26] adalah sebagian contoh kecil dari jasa-jasa dia. Semuanya memperkenalkan kepribadian dia yang mendunia dan tidak terbatas pada negeri tertentu. Yaitu kepribadian yang dipuji bahkan oleh para pujangga dan penulis Ahlisunnah di dalam puisi dan artikel mereka. [27] Panguasa-penguasa Syi'ah dan Ahlisunnah mengirimkan hadiah untuk dia; contohnya Raja Sa'ud pernah mengirimkan hadiah kepadanya dalam kemasan besar yang berisikan lima belas kitab suci Al-Qur'an, potongan-potongan kain tirai Ka'bah dan hadiah-hadiah lainnya yang berharga. Dia hanya menerima Al-Qur'an dan kain Ka'bah, adapun selainnya dia kembalikan seraya memberikan pesan bahwa pada umumnya memang saya tidak menerima hadiah. [28]

Ulama Yang Lengkap

Salah satu poin penting yang patut untuk diperhatikan tentang kepribadian Ayatullah Uzhma Burujurdi adalah kelengkapan intelektual dia. Guru besar para fakih ini tidak hanya bisa disebut sebagai fakih, karena penguasaan dia terhadap sains pada saat itu betul-betul membuat para ahli di bidang tersebut heran. Di antara contohnya:

[1] Suatu hari, menteri kebudayaan saat itu datang bersama Mas'udi, direktur surat kabar Ittila'at, ke sisi Ayatullah Burujurdi. Orang yang mengantar mereka ke sana mencium tangan Ayatullah, begitu pula menteri kebudayaan tersebut, sedangkan Mas'udi enggan untuk melakukan hal yang sama. Setelah itu, beliau berbicara tentang sejarah singkat penulisan surat kabar, tujuan dan target, penulis pertama surat kabar dan lain-lain. Lalu beliau melontarkan sebuah pertanyaan geografi kepada menteri kebudayaan, tapi karena dia tidak sanggup menjawab maka beliau sendiri yang menjawab dan menerangkannnya.

Saat berpisah, Mas'udi jadi orang yang pertama merebut tangan Ayatullah Burujurdi dan menciumnya, dan di luar dia berkomentar, "Dia betul-betul menguasai bidang ini sehingga seakan-akan dia orang yang ahli di sini." [29]

[2] Suatu hari, brigader jenderal Razm Ara mendatangi Ayatullah Brujurdi untuk menunjukkan kompas kiblat penemuannya. Maka beliau berbicara tentang astronomi dan matematika secara panjang lebar. Dan saat di luar, Razm Ara mengatakan, "Saya pikir dia hanya mujtahid di bidang ilmu fikih dan ushul fikih, tapi ternyata di setiap bidang dia spesialis. Karena keterangan-keterangan dia hari ini termasuk persoalan yang sangat pelik dan rumit, bahkan betapa banyak guru-guru di bidang ini yang tidak menguasai persoalan itu." [30]

Karya Abadi

Ayatullah Uzma Brujurdi, selain kesibukan-kesibukan mengajar dan sehari-sehari, dia juga rajin melakukan penelitian dan menuliskan hasil-hasilnya. Ketika diminta akan karya-karya itu dia menjawab, "Sebetulnya banyak tulisan saya ... tapi sebagiannya telah hilang di tengah perjalanan pindah dari Burujurd ke Qom."

Di antara karya-karyanya adalah:

1- Tajrîd Asânîd Al-Kâfî;
2- Tajrîd Asânîd Al-Tahdzîb;
3- Asânîd Kitâb Man Lâ Yahdhuruh Al-Faqîh;
4- Asânîd Rijâl Kasysyi;
5- Asânîd Istibshôr;
6- Asânîd Kitâb Amâlî;
7- Asânîd Kitâb Khishôl Syaikh Shodûq;
8- Asânîd Kitâb 'Ilal Al-Syarôi‘ Syaikh Shodûq;
9- Tajrîd Fihrist Syaikh Thûshî;
10- Tajrîd Rijâl Najâsyî;
11- Hôsyiyeh Bar Kifâyat Al-Ushûl;
12- Hôsyiyeh Bar Nihâyah Syaikh Thûshî;
13- Hôsyiyeh Bar 'Urwat Al-Wutsqô;
14- Hôsyiyeh Wa Mustadrakot Fehrest Syaikh Muntajabudin Rozi;
15- Hawâsyi Kitâb Mabsûth;
16- Resoleh'i Dar Borehye Sanade Shahifehye Sajjodiyeh;
17- Ishloh wa Mustadrak Rijâl Thûshî;
18- Buyût Al-Syî‘ah;
19- Jâmi‘ Ahâdîts Al-Syî‘ah.

Mulai dari saat hidup di Burujurd, Ayatullah Uzhma Brujurdi bercita-cita menulis buku berseri yang dapat membantu para fakih dalam menyimpulkan hukum dari bukti-buktinya langsung, sehingga mereka tidak perlu lagi merujuk ke buku-buku hadis yang berserakan. Ketika dia tinggal di Qom dan mendidik murid-murid spesialis di sana, maka dia utarakan niatnya tersebut, dan berkat bantuan sekelompok pelajar di antara mereka maka terbitlah buku dua puluh jilid yang berjudul Jâmi‘ Ahâdîts Al-Syî‘ah. [31]

Di samping kegiatan-kegiatan ilmiah dan sosial, dia juga berusaha keras untuk melestarikan karya-karya ulama yang sebelumnya, pada kesempatan-kesempatan tertentu dia mencetak ulang karya-karya manuskrip yang sudah langka. Dia mendirikan perpustakaan-perpustakaan besar dan kecil serta mempersembahkan karya-karya para ulama kepada para penuntut ilmu melalui perpustakaan itu. Perpustakaan besar dia yang terletak di samping Masjid A'dzam –yang terdahulu- Qom adalah salah satu bukti nyata perhatian istimewa dia terhadap masalah ini.

Istana vs Marja'

Istana dan kerajaan selalu membuat masalah bagi Ayatullah Burujurdi. Propaganda besar-besaran surat kabar dan majalah, yang terkait dengan komplotan asing dalam hal pemisahan agama dari kehidupan masyarakat dan menjauhkan mereka dari budaya Islam yang sejati, betul-betul menyakitkan dia. Oleh karena itu, kadang-kadang dia meluap dan memperingatkan raja Syah. Suatu Hari, ketika menerima kedatangan perdana menteri saat itu beliau mengatakan, "Bapak dia –Reza Khan- memang bodoh, akan tetapi masih mempunyai sedikit perasaan, sedangkan dia tidak punya perasaan dan juga bodoh." [32]

Kadang-kadang Ayatullah Burujurdi menolak bertemu dengannya seraya mengatakan, "Sebagaimana dia mengambil foto bersama istrinya di piknik-piknik, pasti dia datang kemari juga karena ingin mengambil foto bersamaku."

Kadang-kadang juga dia menentang rencana-rencana Syah dengan keras sekali, contohnya ketika Syah hendak merubah tulisan Iran dari Parsi ke Latin dan telah melakukan propaganda yang luas sekali, Ayatullah Burujurdi berdiri tegak di hadapan rencana itu bagaikan bendungan baja, dia mengatakan, "Selama saya masih hidup, saya tidak akan membiarkan rencana itu terlaksana, terserah apa saja akibat yang harus ditanggung." [33]

Berbagai sumber mengatakan bahwa Ayatullah Uzhma Brujurdi mempunyai politik yang jeli sekali dalam membantu kelompok revolusioner mukmin. Menurut pikiran dia saat itu, rakyat masih belum punya kesiapan untuk memikul kesulitan-kesulitan yang lebih besar, dan seandainya mereka ditekan lebih keras lagi oleh pemerintah niscaya mereka akan meninggalkan marja' sendirian. Oleh karena itu, menurut dia belum saatnya berhadap-hadapan secara langsung melawan istana kerajaan. Di sisi yang lain, menurut dia tidaklah maslahat membiarkan Syah dan mengusirnya secara total, karena sikap seperti itu akan membuatnya tergelincir lebih jauh dalam pangkuan pihak asing yang berkepentingan. Itulah kenapa kadang-kadang beliau bersikap toleran terhadap Syah, agar raja muda yang sombong itu tidak merasa hampa sepenuhnya, sehingga memasrahkan diri secara total kepada pihak asing. [34]

Musim Duka

Bulan Syawal tahun 1380 H. pun telah tiba. Tubuh Ayatullah Uzhma Brujurdi yang berusia 93 tahun mulai rentan penyakit. Apalagi penyakit yang beliau alami kali ini terhitung berat dan ternyata mempunyai kisah yang berbeda dari sebelumnya. Pada kondisi seperti ini, ada sekelompok pecinta berat beliau datang untuk menjenguk, beliau yang sakit dan lelah itu mengangkat kepala seraya berkata, "Akhirnya umurku pun habis dan aku harus pergi sementara tidak ada amal baik dan berharga yang pernah kukirim dan kutabung." Salah satu di antara mereka menyahut, "Tuan, kenapa kamu berkata demikian? Alhamdulillah begitu banyak peninggalan-peninggalanmu yang baik; kamu telah mendidik murid-murid yang bertakwa, menulis buku-buku yang berharga, membangun masjid-masjid, perpustakaan-perpustakaan dan sekolah-sekolah. Sebetulnya yang pantas berkata seperti itu adalah kami." Beliau menjawab, "Khollish al-'amal, fa inna al-nâqida bashîrun bashîr."; Tuluskanlah amalanmu untuk Allah swt., karena sungguh dia melihat segala sesuatu dan mengetahui motivasi setiap orang." Kata-kata beliau ini betul-betul menyentuh hati hadirin saat itu. [35]

Beberapa hari setelah pertemuan itu, tubuh Ayatullah Uzhma Burujurdi semakin lemah, dan pada akhirnya di tanggal 13 bulan Syawal tahun 1380 Hijriah Qamariyah, bertepatan dengan tanggal 10 bulan Farwardin tahun 1340 Hijriah Syamsyiah, beliau meninggalkan dunia untuk selama-lamanya dan jenasah beliau dimakamkan di Masjid A'dzam Qom yang beliau dirikan[36]. (Referensi: Gulsyane Abror; tim penulis; Pazuhesykadeh Baqirul Ulum)

Catatan:

1. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, Muhammad Husain Alawi, hal. 21
2. Ibid.
3. ibid., hal. 23 – 26.
4. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, Ali Dawani, hal. 52 – 53.
5. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 27.
6. Ibid., hal. 29.
7. Ibid., hal. 31 – 32.
8. Ibid., hal. 32 dan 35.
9. Ibid., hal. 36 – 37.
10. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 57 – 58.
11. Ibid., hal. 43 dan 44.
12. Majalah Hauzah, tahun ke-8, nomor 1 dan 2, hal. 336, 344, 337, dan 277.
13. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 51 – 57.
14. Ibid.
15. Ibid., hal. 57 dan 58.
16. Majalah Nur Ilm, nomor 12, bulan Aban tahun 1364, hal. 87.
17. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 61 – 63.
18. Ibid., hal. 65 – 71.
19. Khotereh Az Ustode Mu'azam Ayatulloh Haram Panahi.
20. Ibid.
21. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 170 – 171.
22. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 89 dan 126.
23. Majalah Nur Ilm, nomor 12, bulan Aban tahun 1364, hal. 97.
24. Ibid.
25. Khoterote Zendegonie Ayatulloh Brujurdi, hal. 81 – 85.
26. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 139.
27. Ibid., hal. 172 – 173.
28. Ibid., hal. 113 – 114.
29. Khotereh Az Ustode Mu'azam Ayatulloh Haram Panahi.
30. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 93 – 94.
31. Majalah Nur Ilm, nomor 12, bulan Aban tahun 1366, hal. 87 – 89.
32. Zendeginomehye Ayatulloh Brujurdi, hal. 97.
33. Majalah Hauzah, tahun kedelapan, nomor 1 dan 2, hal. 115 dan 116.
34. Ibid. Hal. 115, 154, 52 dan 280.
35. Majalah Nur Ilm, hal. 98 – 99.
36. Ibid.