(Imam Musa al Kazhim As)
Oleh
Dr. Muhammad Tijani as Samawi*
Usai
makan pagi kami pergi ke makam Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Dari jauh dapat
kulihat makam yang sejak lama aku impikan itu. Aku bergegas seolah-olah sangat
merindukannya. Dengan penuh semangat aku berjalan masuk ke dalam, tak sabar
ingin segera berada dalam pelukannya. Temanku mengikutiku kemana pun aku pergi.
Tak lama setelah itu, aku telah berada di antara rombongan para peziarah yang
bagaikan jemaah haji Baitullah al-Haram. Ada yang menebarkan segenggam manisan,
kemudian direbut oleh penziarah lain. Aku mengikuti kerumunan orang yang
memperebutkan manisan itu, dan berhasil mengambil dua buah diantaranya. Satu
kumakan sebagai berkat dan satu lagi kusimpan sebagai kenangkenangan. Kemudian
aku shalat dan berdo'a pendek. Kuminum airnya yang kurasakan seperti air
zamzam. Kuminta temanku untuk menunggu sejenak karena aku akan menulis sejumlah
surat ringkas pada teman-temanku di Tunisia di atas postcard berlatar kubah
makam berwarna hijau. Aku hanya ingin menceritakan betapa baiknya nasib yang
telah membawaku sampai ke sini.
Sepulang
dari sana kami makan siang di sebuah restoran lokal yang terletak di
tengah-tengah kota Baghdad. Lalu temanku memanggil taksi dan kudengar ia
menyebutkan nama sebuah tempat, Kazimiah. Dalam perjalanan nampak olehku
sekumpulan orang, laki-laki dan perempuan membawa bekal masing-masing, berjalan
berbondong-bondong menuju satu arah. Lagi-lagi, ini mengingatkanku pada musim
haji. Di kejauhan tampak menara dan kubah keemasan amat mencolok mata. Mungkin
itu salah satu mesjid mereka. Karena, salah satu kebiasaan kaum Syi'ah yang
kuketahui adalah menghias masjid-masjid dengan perak dan emas.
Sungguh
berat rasanya melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam. Namun, untuk menghargai
niat baik temanku, aku mengikutinya juga.
Kami
masuk melalui pintu pertama. Kuperhatikan banyak sekali orang-orang tua yang
mengusap-usap dan menciumi pintu-pintu masuk. Sampailah mataku terpandang pada
sebuah papan yang ditulis dengan huruf besar "Dilarang Masuk Wanita Yang
Tidak Menutup Aurat". Juga terpampang kata-kata Imam Ali, "Akan
datang pada manusia suatu zaman di mana wanita-wanitanya keluar dengan memakai
pakaian yang tipis..." Kami tiba di makam. Ketika temanku membaca do'a
izin-masuk, kulihat ukiran yang ada dalam pintu itu. Aku sangat kagum akan emas
dan ukiran ayat-ayat AlQuran yang ada di dalamnya.
Kuikuti
langkah temanku yang terus masuk ke dalam dengan penuh rendah hati. Prasangkaku
terhadap Syi'ah tentu tak bisa pupus begitu saja. Terus terang, aku berada
dalam suatu tempat yang tak pernah terbayangkan. Bagian dari makamnya sarat
dengan ukiran dan hiasan. Orang banyak berkerumun mengelilingi kuburan sambil
menangis dan menciumi tiang-tiang dan besi-besinya. Aku melihat mereka dengan
perasaan yang jijik. Aku teringat pada hadis yang berbunyi, "Allah telah
melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka telah jadikan kuburan para
wali mereka sebagai masjid."
Aku
menjauh dari temanku yang langsung saja menangis seketika masuk ke dalam.
Sambil menunggu dia shalat, kubaca sebuah tulisan doa ziarah yang tergantung di
atas makam. Kubaca berulang-ulang, namun tetap tak kumengerti artinya. Kemudian
aku berdiri di sebuah sudut yang agak jauh lalu membaca al-Fatihah sambil
kutujukan pada orang yang berada dalam kuburan itu. Aku berdoa: "Ya Allah,
seandainya penghuni kubur ini termasuk dalam golongan orang-orang muslimin maka
kasihanilah dia. Dan Kau lebih tahu dariku". Tak lama kemudian temanku
mendekat. Dia berbisik, "Apabila kau punya hajat mintalah pada Allah di
tempat ini. Kami menamakan tempat ini dengan Bab al-Hawaij (Pintu Hajat)".
Aku tidak mempedulikan apa yang dikatakannya. (Semoga Allah memaafkanku) Aku
terpaku ketika memandang sebagian orang tua yang memakai sorban hitam dan putih,
dan di dahi mereka ada tanda hitam bekas sujud. Mereka tampak sangat berwibawa
dengan janggut mereka yang terulur rapi dan berbau wangi semerbak. Pandangan
mereka tajam dan menakutkan. Setiap kali mereka masuk ke tempat itu tiba-tiba
mereka menangis tersedu-sedu. Aku bertanya dalam hati, mungkinkah derai tangis
itu adalah tangisan yang tak jujur? Mungkinkah orang-orang tua itu salah?
Aku
keluar dari sana dengan diliputi rasa bingung dan takjub. Temanku berjalan
mundur ketika keluar meninggalkan makam itu, agar punggungnya tak membelakangi
pusara.
Aku
bertanya kepadanya: "Siapa penghuni makam ini?"
"Imam
Musa al-Kazim " jawabnya.
"Siapa
itu Imam Musa al-Kazim?"
"Subhanallah.
Kalian saudara-saudara kami dari mazhab Ahlu Sunnah Wal Jamaah telah
meninggalkan isi dan berpegang hanya pada kulit."
"Apa
maksud Anda? " Tanyaku jengkel.
"Ya
akhi!" Katanya coba menenangkanku. "Sejak Anda tiba di Irak, sering
Anda sebut nama Abdul Qadir al-Jailani. Tahukah Anda siapa itu Abdul Qadir
al-Jailani, yang padanya Anda curahkan seluruh perhatian?"
"Beliau
adalah zuriat Nabi SAW. Seandainya ditakdirkan ada Nabi lain setelah Nabi
Muhammad maka Abdul Qadir Jailanilah yang akan menjadi nabi."
"Ya
akhi Samawi. Apakah Anda tahu sejarah Islam?."
"Ya!"
jawabku tanpa ragu-ragu.
Padahal
aku tidak tahu sama sekali tentang sejarah Islam. Guru-guru kami dahulunya
melarang kami membaca sejarah. Mereka berkata bahwa sejarah itu hitam, gelap
dan tidak berguna untuk dipelajari. Aku masih ingat seorang di antara guruku
yang mengajar Ilmu Balaghah (sastra). Waktu itu beliau mengajar kepada kami
Khutbah Syiqsyiqiyah dari kitab Nahjul Balaghah, koleksi khutbah, surat-surat
dan pidato Imam Ali. Aku dan sejumlah murid yang lain merasa agak bingung
ketika membacanya. Kuberanikan diri untuk mempertanyakan kebenaran kata-kata
Imam Ali. Guru itu menjawab: "Ya. Apakah ada orang lain yang sefasih Imam
Ali. Seandainya buku ini bukan koleksi dari kata-kata Imam Ali Karramallah
Wajhahu, maka ulama-ulama besar seperti Syaikh Muhammad Abduh, Mufti Besar
Mesir misalnya, tidak akan mau men-syarah-kannya. " Kukatakan pada guruku
saat itu, "Imam Ali telah menuduh Abubakar dan Umar merampas hak
khilafahnya." Mendengar ini guruku terbelalak dan marah sekali sampai
mengancam akan mengeluarkanku apabila kuulangi pertanyaan yang serupa. Katanya,
"Kami hanya mengajar ilmu balaghah, bukan ilmu sejarah. Jangan kita peduli
dengan sejarah yang telah dihitamkan lembarannya oleh berbagai fitnah dan
pertumpahan darah sesama kaum muslimin. Sebagaimana Allah telah sucikan pedang
kita dari darah-darah mereka, maka kita sucikan juga lidah-lidah kita dari
mencaci mereka!"
Aku
tidak puas dengan alasan guruku seperti itu. Aku masih menaruh rasa dendam pada
guruku yang mengajar ilmu balaghah tanpa mengajarkan maknanya yang jelas.
Berkali-kali aku berusaha untuk mengkaji sejarah Islam, namun aku tidak
memiliki rujukan yang memadai. Ulama-ulama kami juga tidak memberikan perhatian
terhadapnya, seolah-olah ilmu sejarah adalah lembaran hitam yang telah ditutup
untuk selama-lamanya. Ketika temanku menanyakanku pengetahuanku akan ilmu
sejarah aku ingin sekedar membantahnya dengan mengatakan "Ya".
Padahal dalam benakku aku berpikir bahwa itu semua tidak berguna. Itu adalah
sejarah hitam dan gelap. Tiada lain kecuali fitnah, perang dan berbagai
kontradiksi.
Temanku
bertanya lagi kepadaku: "Tahukah Anda kapan Abdul Qadir al-Jailani
dilahirkan dan di zaman apa?"
"Kira-kira
pada abad keenam atau ketujuh."
"Berapa
lama jaraknya dengan zaman Rasulullah?"
"Enam
abad." Jawabku.
"Jika
satu abad ada dua generasi -paling sedikit- berarti antara Abdul Qadir
al-Jailani dengan Rasulullah dipisahkan oleh dua belas keturunan."
"Ya."
Jawabku.
"Yang
ini adalah Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Fatimah
az-Zahra', yang nasabnya sampai kepada datuknya Nabi SAW hanya lewat empat ayah
saja, atau tepatnya beliau dilahirkan pada abad kedua Hijriah. Mana yang lebih
dekat pada Rasulullah, Musa atau Abdul Qadir?"
"Tentu
Musa." Jawabku tanpa berpikir lagi. "Tapi, kenapa kami tidak
mengenalnya dan tidak pernah mendengar tentang dirinya?"
"Inilah
masalah yang harus kita pikirkan. Itulah mengapa saya katakan tadi bahwa kalian
-maaf- meninggalkan isi dan berpegang hanya pada kulit saja. Maafkan saya
mengatakan demikian."
Kami
terus berdiskusi sambil berjalan sampailah kami tiba di suatu halaqah, tempat
para pelajar dan sejumlah ustadz lain asyik berdiskusi dan bertukar pikiran.
Kami duduk di sana. Temanku tampak sedang mencari-cari seseorang. Mungkin ia
punya janji dengan temannya. Kemudian ada seseorang datang menghampirinya. Usai
mengucapkan salam, akhirnya aku tahu bahwa dia adalah teman semahasiswa dari
universitas yang sama. Temanku bertanya akan seseorang yang dari jawabannya
kuketahui bahwa dia adalah seorang doktor, dan segera akan datang. Kemudian
temanku berkata padaku, "Aku membawamu ke tempat ini karena ingin
mengenalkanmu pada seorang doktor ahli sejarah. Beliau adalah lektor
Universitas Baghdad. Tesisnya dahulu berkenaan dengan sejarah Abdul Qadir
al-Jailani. Insya Allah dia akan bermanfaat besar bagimu, karena saya sendiri
bukan pakar dalam bidang ini."
Kami
minum air sari buah yang sejuk. Tak lama kemudian Doktor sejarah itu tiba.
Temanku mengucapkan salam padanya sambil berdiri. Diperkenalkannya aku dan
dimintanya agar Doktor ini menceritakan padaku tentang sejarah Abdul Qadir
al-Jailani secara ringkas. Lalu dia sendiri minta izin sebentar karena beberapa
kerjaan penting yang mesti diselesaikannya. Doktor ini pun memesan lagi untukku
segelas minuman dingin lainnya, lalu menanyakan namaku, negeriku dan profesiku.
Ia juga memintaku bercerita tentang kemasyhuran Abdul Qadir al-Jailani di
Tunisia.
Banyak
kuceritakan padanya kisah tentang Abdul Qadir al-Jailani. Bahkan sebagian orang
percaya bahwa Syaikh Abdul Qadir telah memikul Nabi pada malam peristiwa mi'raj
ketika malaikat Jibril sendiri mundur dan takut terbakar. Kemudian Nabi SAW
berkata padanya: "Telapak kakiku di atas bahumu dan telapak kakimu di atas
bahu para wali hingga hari kiamat." Doktor ini langsung saja tertawa
ketika mendengar ceritaku. Entahlah, apakah karena mendengar cerita itu atau
karena sang ustadz Tunisia yang tengah berada di
hadapannya.
Usai
diskusi ringkas tentang wali-wali dan orang-orang shaleh beliau berkata bahwa
beliau telah meneliti tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selama tujuh tahun.
Beliau telah berkunjung ke Lahore Pakistan, Turki, Mesir, Inggris dan
tempat-tempat lain yang menyimpan manuskrip tulisan tangan tentang Abdul Qadir
al-Jailani. Semua manuskrip itu dibaca bahkan digambar. Kesemua manuskrip yang
ada tidak membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berasal dari
keturunan Nabi.
"Ada
sebuah syair yang dinisbahkan kepada salah seorang dari cucunya, yang antara
lain berbunyi: 'Dan datukku Rasulullah.' Sebagian ulama mengartikan bahwa
ucapan itu adalah takwil dari sebuah hadis Nabi yang bermaksud: 'Aku adalah
datuk bagi setiap orang yang bertakwa'. Sejarah yang sahih juga membuktikan
bahwa Abdul Qadir al-Jailani berasal dari Persia, bukan Arab. Beliau dilahirkan
di suatu negeri di Iran yang bernama Gilan, dan kepada negerinya itulah Syaikh
Abdul Qadir dinisbahkan. Kemudian beliau pergi ke Baghdad untuk belajar dan
mengajar di mana akhlak masyarakat saat itu sudah sangat runtuh. Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani adalah seorang yang zahid. Masyarakat sekitar sangat mencintainya.
Setelah wafatnya mereka dirikan sebuah tarekat yang dinisbahkan pada dirinya
yang kemudian populer dengan nama Qadiriyah. Hal ini juga biasa dilakukan oleh
pengikut-pengikut para sufi lain." Kemudian beliau melanjutkan lagi:
"Sungguh, dari sisi ini keadaan orang-orang Arab memang sangat
mengecewakan."
Tiba-tiba
saja rasa ke-Wahhabiah-an muncul kembali dalam diriku. "Kalau begitu Anda
telah berpikir seperti orang-orang Wahhabi!" Sahutku. "Mereka berkata
seperti Anda bahwa tiada yang disebut wali dalam Islam."
"Tidak.
Aku tidak sependapat dengan Wahhabiah. Yang sangat mengecewakan adalah sikap
kaum muslimin yang sering bernada ekstrem: Di satu sisi ada yang percaya pada
semua khurafat yang tidak bersandarkan pada alasan dan hujjah syara' dan akal,
dan di sisi lain ada juga yang mendustakan hatta mukjizat Nabi kita Muhammad
SAW dan hadis-hadisnya sekalipun, semata-mata karena tidak sejalan dengan
akidah dan jalan pikiran mereka. Satu terbit dan yang lain tenggelam.
Orang-orang Sufi berkata bahwa Syaikh Abdul Qadir al- Jailani -misalnya- bisa
berada di Baghdad dan di Tunisia pada masa yang sama. Beliau bisa mengobati seseorang
yang sakit di Tunisia dan juga menyelamatkan seorang yang tenggelam di dalam
sungai Dajlah di Irak dalam masa yang sama. Sikap seperti ini adalah sikap
ekstrem dan berlebih-lebihan. Sementara Wahhabiah -sebagai reaksi pada Sufi-
menolak semua itu bahkan mengatakan bahwa mereka yang bertawasul pada Nabi SAW
adalah syirik. Sikap seperti ini adalah sebuah sikap jumud. Allah berfirman
dalam kitab-Nya, 'Demikianlah Kami jadikan kamu sebagai ummat yang wasatha
(tengah) agar kelak menjadi saksi kepada ummat manusia'" (QS. Al
Baqarah: 143)
Kata-kata
Doktor ini sangat menusuk kalbuku. Aku sangat berterima kasih kepadanya dan
kutunjukkan juga rasa kepuasanku pada apa yang diucapkannya. Kemudian beliau
membuka tasnya dan mengeluarkan buku karyanya tentang Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Buku itu kemudian dihadiahkannya padaku. la mengundangku untuk
berkunjung ke rumahnya. Tapi aku mohon maaf lantaran beberapa hal. Kami terus
berbicara tentang Tunisia dan Afrika Utara sampai temanku datang.
Ketika
malam tiba kami pulang ke rumah setelah satu hari penuh ziarah dan diskusi.
Kurasakan badanku sangat letih sehingga aku bisa tidur lebih awal dari
biasanya. Usai shalat Shubuh keesokan harinya aku baca kitab yang berkaitan
dengan biografi Abdul Qadir al-Jailani ini sampai setengahnya. Dari tadi
temanku telah berulang kali mengajakku sarapan pagi. Namun kutolak karena
penasaran ingin menyelesaikan buku ini. Sungguh sebuah karya yang sangat
memukau dan mengajakku untuk berpikir kritis. Tapi kemudian ia segera hilang
dibawa angin sebelum aku sempat meninggalkan Irak sekalipun.(*Penulis Buku Akhirnya Kutemukan Kebenaran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar