Humanisme, Islam, Peradaban


Oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Radar Banten, 14 Juni 2014)

Di tengah munculnya banyak gerakan dan paham yang menyebarkan kebencian dan kekerasan, kita tak boleh lupa bahwa Islam disebarkan bukan dengan pedang dan kekerasan, tetapi dengan akhlaq, ilmu, dan hikmah

“Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan, dan sesiapa yang tidak berbuat kebajikan maka bukanlah orang beriman”, demikian pesan Nabi Muhammad Saw sebagaimana diriwayatkan oleh muhadits masyhur, Muslim. Pesan hadits tersebut, sebagaimana jamak diterangkan sejumlah ‘ulama, tak lain adalah bahwa Islam mestilah dilengkapi dengan Ihsan. Sebagai contoh, misalnya, banyak mereka yang mengaku muslim, namun tidak hidup dan berperilaku sesuai dengan spirit dan nilai-nilai Islam. Buktinya, banyak pejabat muslim yang zalim dan korup. Ironisnya, banyak kita jumpai figur-figur non-muslim yang justru tidak zalim dan tidak korup, memberikan keteladanan kesalehan. Romo Mangunwijaya, contohnya.

Barangkali, kita memang harus tasamuh, instrospeksi, alias mengoreksi diri kita, menjadikan orang lain sebagai cermin. Sebab, keberaadan kita sendiri menjadi sedemikian nyata justru karena kehadiran orang lain. Dalam hal ini relevan sekali apa yang pernah diucapkan Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah (sebagaimana yang dapat kita baca dalam Nahjul Balaghah): “Jadikanlah dirimu sebagai timbangan dalam hubunganmu dengan orang lain, dan cintailah orang lain itu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan bencilah orang lain sebagaimana kamu benci dirimu sendiri, janganlah engkau menganiaya sebagaimana engkau tidak senang dianiaya, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana engkau senang orang lain berbuat baik kepadamu, dan pandang jeleklah terhadap dirimu sebagaimana orang lain memandang jelek, dan tumpahkan relamu kepada manusia sebgaimana engkau rela jika orang lain rela kepadamu”.

IMAN REFLEKTIF DAN IMAN DOGMATIS
Tepat, dalam hal ini, kiranya relevan kita menyimak “pembedaan” dua corak dan bentuk iman dan agama, sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant, yang tentu saja sekedar dipinjam sebagai cermin, di mana dalam traktat-nya yang berjudul Religion within the Limits of Reason Alone itu, Kant mendistingsikan atau mengkontraskan antara iman reflektif dan iman dogmatis. Yang pertama, atau iman reflektif, adalah iman yang tidak menutup akal dan nurani, yang kalau meminjam bahasanya Soren Kierkegaard, adalah iman yang dihayati. Sedangkan sebaliknya, yaitu iman dogmatis, adalah iman yang telah kehilangan kepekaan, alih-alih malah menyuburkan kebencian.

Belakangan ini, seperti sama-sama kita tahu, yang tentu saja tak mungkin kita anggap remeh, adalah maraknya paham-paham teologis yang gandrung menyebarkan kebencian. Mereka bahkan “menghalalkan darah”, bukan hanya kepada yang berbeda agama, tetapi kepada yang se-agama dengan mereka. Mereka juga gandrung sekali “memassifkan fatwa dan tuduhan” sesat dan kafir kepada kelompok dan ummat yang bukan dari mazhab mereka. Sebagai nama sementara, mereka kita kenal sebagai kelompok Takfiri, yang konon lahir dari gerakan Wahabisme. Di Suriah, misalnya, kelompok ini, bila kita baca sejumlah media cetak dan media non-cetak, menjadi kelompok pemberontak dan tak segan-segan “menyembelih” dan “membantai”, seperti yang telah dikatakan, bukan hanya orang yang tak se-agama dengan mereka, tapi juga orang yang bukan dari mazhab atau golongan mereka.

ISLAM AGAMA RAHMAT
Islam sendiri, seperti sama-sama kita tahu, adalah agama yang visi dan nilainya menekankan agama yang memberi rahmatan lil ‘alamin, yang bolehlah kita terjemahkan juga sebagai rahmat untuk seluruh alam dan segala kalangan. Setidak-tidaknya, visi humanis dan kesalehan sosial kita juga terkandung dalam doktrin dan nilai-nilai Islam, yang seperti telah disebut, menjadi muslim yang mempraktekkan ihsan kepada sesama dalam hidup. Di sini, saya teringat syair Sa’di, pujangga muslim dari Persia itu, di mana salah-satu puisinya yang kini diabadikan di dinding gedung PBB berbunyi, “Anak adam satu raga satu jiwa, tercipta dari muasal yang sama. Jika satu anggota ummat manusia terluka, semua akan merasa terluka. Engkau yang tak berduka atas luka manusia, tak layak menyandang nama manusia”.

Pesan moral tentang solidaritas kemanusiaan puisi Sa’di tersebut membuatnya menjadi istimewa bagi semua kalangan, relevansinya melampaui batas-batas etnik, agama, dan bangsa, meski ditulis oleh seorang muslim yang dikenal sangat arif, saleh, dan tentu saja berwawasan luas. Dan seperti telah disebutkan, puisi itu pun disematkan di gedung PBB atau United Nations sebagai simbol welas asih dan perdamaian sesama ummat manusia. Sa’adi sebenarnya hanyalah salah-satu contoh ketika dunia Islam menyumbangkan kearifan dan melahirkan penyair-penyair yang menjadi teladan Timur dan Barat, semisal Attar, Hafiz, Rumi, Khayyam, dan yang lainnya. Dunia Islam telah menorehkan kegemilangan peradaban dan humanisme melalui para penulis, filsuf, dan penyair seperti mereka.

Sebenarnya, bila dikaji dan ditelusuri lebih seksama, ajaran humanisme Islam, yang barangkali dapat juga kita sebut sebagai nilai-nilai kesalehan sosial tersebut, telah lahir bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri melalui dan bersamaan dengan ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tercermin jelas dalam salah-satu haditsnya yang telah disebutkan di awal tulisan ini, yang diriwayatkan perawi hadits masyhur, Muslim itu, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan, dan sesiapa yang tidak berbuat kebajikan maka bukanlah orang beriman”. Pesan singkat ini memiliki makna yang dalam dan universal, di mana basis dan dasar keimanan seseorang adalah berbuat kebajikan yang akan bermanfaat, dan universalisme terasa saat hadits tersebut tidak melabelkan agama atau etnik tertentu. Hadits tersebut hanya menyebutkan, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan”.

Pesan dan ajaran serupa juga diteruskan oleh para ahlul bayt (keluarga dan keturunan Nabi SAW) semisal tercermin lewat ajaran Imam Hussain, sang cucu kesayangan Nabi SAW yang syahid di Karbala itu. Dikisahkan oleh para ulama dan perawi Hadits, sebelum syahid di Karbala, Imam Husain pernah berpesan kepada putranya, Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad, ““Wahai anakku, berhati-hatilah dari berlaku zalim terhadap seseorang yang tidak menemukan pembela di hadapanmu kecuali Allah.” Pesan Imam Husain tersebut, tak ragu lagi, adalah penegasan dan penafsiran fasih dari pesan dan ajaran akhlaq kekeknya, yaitu Nabi Muhammad, tentang ukuran keimanan seseorang adalah berbuat kebaikan sebagaimana telah disebutkan.

WARISAN HUMANISME ISLAM
Sebagai rahim dan pencipta kegemilangan intelektual dan peradaban, Islam telah memberikan sumbangan yang diakui Timur dan Barat, sebagai pioneer. Bahkan ketika Eropa tengah berada dalam tidur lelap abad kegelapannya, Islam-lah yang membangunkan dan mencerahkannya, saat Islam menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani dan melakukan inovasi sains, semisal yang disumbangkan Albiruni, Omar Khayyam, Ibn Haitham, Alkhawarizmi, dan yang lainnya. Dan salah satu ruh kegemilangan peradaban Islam tersebut tak lain adalah spirit humanis yang disumbangkan para pujangga, seperti Attar, Hafiz, Rumi, Firdausi, Sa’di, Khayyam, dan yang lainnya, selain tercermin dalam ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad Saw dan ahlul baitnya. Dari mereka lah, para pujangga raksasa Timur dan Barat belajar dan menimba kearifan, seperti Goethe, Emerson, dan Tagore, sebagaimana diakui oleh para penyair besar tersebut.

Menariknya, yang bisa jadi merupakan kebetulan yang memiliki dasar yang kuat, para pujangga Islam yang telah menginspirasi para penyair dan penulis di Timur dan Barat, tersebut akrab dengan khazanah sufisme dan saintisme pada saat bersamaan dan mayoritas lahir dan berkebangsaan Persia (Iran), semisal Hafiz, Attar, Firdausi, Khayyam, dan Sa’adi. Namun, bila ditelisik lebih jauh, sejak Islam diterima masyarakat Persia, bangsa Persia (Iran) di jaman itu memang merupakan perpaduan bahkan perkawinan antara bangsa Persia sendiri dan keturunan Bani Hasyim (leluhur dan bangsanya Nabi SAW), semisal cucu Nabi SAW sendiri, yaitu Imam Hussain, menikahi putri raja Persia (putri Raja Yazdigard dari dinasti Sassanid), persis ketika putri raja Persia yang bernama Syahrbanu atau Putri Syahzanan itu menjadi tawanan pasukan Islam dan lalu Imam Ali memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih di antara kaum muslim untuk menjadi suaminya, dan Putri Syahrbanu (Putri Syahzanan) pun memilih Imam Hussain.

Di negeri Persia (Iran) inilah Islam di masa dinasti Abbasiyah dan setelahnya banyak melahirkan pujangga dan intelektual, seperti yang telah disebutkan. Mereka menyumbangkan sumbangan yang sangat berharga bagi wacana dan wawasan humanis, semisal puisi Sa’adi yang kini menjadi simbol perdamaian dan disematkan dengan megah dan indah di gedung PBB itu. Singkatnya, di tengah munculnya banyak gerakan dan paham yang menyebarkan kebencian dan kekerasan, kita tak boleh lupa bahwa Islam disebarkan bukan dengan pedang dan kekerasan, tetapi dengan akhlaq, ilmu, dan hikmah.

Dari Tivi Hitam-Putih Hingga Serial Oshin


Oleh Sulaiman Djaya

“Di masa-masa remaja, sebelum listrik hadir di rumah-rumah kami itulah, kami menonton televisi hitam-putih yang menggunakan tenaga ACCU di malam Minggu saja atau di hari Minggu-nya”

Ketika aku telah duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama, perubahan tiba-tiba datang dan hadir cukup drastis, yang kelak akan merubah keadaan lingkungan desa kami. Kala itu, mobil truck-truck besar datang beriringan membawa tiang-tiang beton dan kemudian para pekerja menurunkan tiang-tiang beton tersebut di tepi jalan. Sementara itu, para pekerja lainnya sibuk menebangi pohon-pohon besar sepanjang jalan dengan menggunakan gergaji mesin.

Keesokan harinya, mereka pun mulai menancapkan tiang-tiang beton tersebut, dan bersamaan dengan itu pula aku tahu bahwa mereka sedang membangun jaringan listrik di desa-desa, dan orang-orang desa diminta menyetorkan sejumlah uang (dengan jumlah di atas 300ribu-an) bila rumah-rumah mereka ingin dialiri listrik.

Bapakku meminta ganti rugi atas sejumlah pohon yang mereka tebang dengan menggunakan gergaji-gergaji mesin itu, dan pihak Perusahaan Listrik Negara menyanggupinya meski tidak maksimal sesuai yang diinginkan bapakku.

Uang ganti rugi dari PLN untuk pohon-pohon yang ditebang itulah yang kemudian diserahkan kembali ke pihak PLN sebagai pembayaran agar rumah kami juga dialiri listrik, di mana biaya tambahannya dari uang kakakku yang telah bekerja di sebuah pabrik kertas yang baru beroperasi.

Itulah masa-masa di tahun 90-an, ketika kehadiran dua infrastruktur telah merubah desa kami dalam banyak hal, secara ekonomi dan budaya, yaitu industri dan jaringan listrik.

Tak lama kemudian, mobil-mobil truck yang mengangkut batu dan aspal pun hadir dan datang beriringan, menurunkan batu-batu dan tong-tong aspal di pinggir jalan, yang disusul kemudian dengan perangkat-perangkat berat lainnya. Dan segera, mereka pun mulai melakukan pembangunan jalan aspal. Kebetulan salah-seorang mandornya yang orang Bandung dan sejumlah pekerja yang berada di bawah tanggungan dan pengawasannya mengontrak di rumah kami.

Keluarga kami melihat pembangunan jalan aspal dan kehadiran banyak pekerja tersebut sebagai peluang untuk mendapatkan uang, dan akhirnya keluarga kami pun membuka warung makan di rumah kami, sehingga para pekerja (yang juga mengontrak di rumah kami) itu bisa membeli makan mereka sehari-hari dari warung makan kami. Dan hal itu pun ternyata diikuti pula oleh para mandor dan para pekerja lain yang tidak mengontrak di rumah kami.

Ternyata, setelah pembangunan jalan aspal itu selesai, keluarga kami kemudian berjualan nasi bungkus yang dijual kepada para karyawan yang bekerja di pabrik kertas tempat kakakku bekerja. Dan kakakku-lah yang membawa nasi-nasi bungkus tersebut di tempat kerjanya, yang rupanya dijual kepada teman-temannya sesama karyawan di pabrik kertas tersebut, karena menurut mereka masakan keluarga kami lebih enak dan tidak terlalu mahal dibanding mereka harus makan di warung-warung makan di sekitar pabrik tempat mereka bekerja.

Kala itu aku baru masuk jenjang pendidikan di sekolah menengah atasku, yang kutempuh di Madrasah Aliyah di sebuah pondok pesantren modern sembari nyantrik di pondok pesantren tersebut, di mana selama tiga tahun aku belajar tentang Islam dari ragam mata pelajaran yang diberikan dan diajarkan oleh para kyai dan para ustadz.

Padahal, sebelum akhirnya aku memenuhi permintaan bapak dan ibuku untuk menempuh pendidikan di pesantren setelah lulus dari sekolah menengah pertamaku, nilai akhir kelulusanku dari sekolah menengah pertamaku memenuhi syarat untuk melanjutkan pendidikan di SMU Negeri atau SMA Negeri.  

Saat itulah, tekhnologi tivi berwarna pun mulai hadir menggantikan tivi hitam putih. Namun, sebelum kehadiran tivi berwarna di desa kami, tentu terlebih dulu akrab dengan tivi hitam putih yang menggunakan tenaga ACCU.

Di masa-masa remaja, sebelum listrik hadir di rumah-rumah kami itulah, kami menonton televisi di malam Minggu saja atau di hari Minggu-nya, seperti menonton acara Kameria Ria dan film-film yang ditayangkan setiap malam Minggu yang ditayangkan stasiun atawa kanal Televisi Republik Indonesia alias TVRI, dengan menggunakan tenaga ACCU.

Tenaga ACCU itu pula yang kami gunakan untuk mengumandangkan adzan dengan pengeras suara (speaker), dan jika tenaga ACCU itu habis, kami akan mengisi ulang “energinya” di tempat pengisian umum selama beberapa jam dengan tarif dan bayaran yang telah dintentukan oleh si pemilik pengisian ulang tenaga ACCU tersebut.

Biasanya kami akan kecewa dan merasa kesal ketika pada malam Minggu di stasiun TVRI itu (satu-satunya stasiun televisi yang ada di era itu) menayangkan laporan khusus, yang biasanya menayangkan Harmoko dan Moerdiono (yang bicaranya lambat dan terbata-bata) atau menayangkan kegiatan dialog acara kelompencapir yang dipimpin Presiden Soeharto langsung, dan karena itu kami mematikan televisinya untuk sekira satu atau dua jam (karena biasanya acara itu memang lama), dan karena itu kami acapkali terpaksa harus begadang demi untuk menonton acara Kamera Ria dan film Malam Minggu.

Kala itu, hanya dua orang saja yang memiliki tivi hitam putih di kampung kami, dan karenanya di setiap Malam Minggu tersebut harus nonton ramai-ramai dan tak jarang berdesakan satu sama lain di antara kami. Beberapa tahun kemudian, keluarga kami memiliki televisi hitam putih 14 inchi sendiri, dan dapat dikatakan memiliki televisi sendiri merupakan gengsi sosial tersendiri bagi si pemiliknya.

Tentu saja saat itu aku belum tahu, atau katakanlah belum atau tidak sadar, bahwa TVRI sejatinya adalah media yang menjadi corong pemerintahan Orde Baru Soeharto, sebab yang penting bagi kami adalah kami bisa menonton acara-acara atau tayangan-tayangan yang kami sukai.

Demi menghemat tenaga ACCU itu, kami hanya menonton acara-acara alias tayangan-tayangan yang kami suka saja, seperti acara-acara di Malam Minggu dan di Hari Minggu, sebagaimana yang telah disebutkan.

Dari stasiun TVRI di masa-masa itulah kami tahu kisah-kisah suku Indian Geronimo dan Apache, film-film koboy seperti Django, atau penyanyi-penyanyi Indonesia yang populer di masa-masa itu. Itulah jaman di mana yang ngetrend kala itu adalah film-film koboy, petinju Elias Pical, Mohammad Ali, dan Mike Tyson, drama seri Oshin, dan tentu saja film-film Indonesia di era itu.

Refleksi Arba’in Imam Husain as dan Spirit Pemikiran Islam Muhammad Iqbal



Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (Filsuf Syi’ah)

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[1]

MENGENANG PEMIKIR MUHAMMAD IQBAL
Topik kajian yang sebelumnya telah saya siapkan untuk pertemuan ini, yang bertepatan dengan hari Arbain (peringatan 40 hari syahadahnya Imam Husain as) adalah “berhubungan dengan para syuhada”. Penyajian hal ini juga saya pikir sangat mengena mengingat pada hari ini telah terjadi dua peristiwa penting dalam sejarah. Dua buah peristiwa yang menjadi penyebab terjadinya acara peringatan Arbain. Salah satunya adalah sejarah masuknya penziarah resmi pertama ke makam Imam Husain as, Karbala, yang datang dari Madinah, yakni Jabir bin Abdullah al Anshori. Dan peristiwa lainnya yang berkenaan dengan diresmikannya ziarah kepada Imam Husain as pada hari ini. Banyak riwayat yang menganjurkan untuk berziarah ke makam Imam Husain as pada hari Arbain. Hari Arbain merupakan hari yang dikhususkan untuk berziarah kepada Imam Husain as. Kedatangan Jabir bin Hayyan untuk berziarah ke pusara suci Imam Husain as, ataupun berziarah kepada beliau as dari jarak jauh dengan membaca doa ziarah sebagaimana yang dianjurkan dalam berbagai riwayat, bertujuan untuk “menjalin hubungan” dengan para syuhada.

Sebenarnya saya ingin menjelaskan makna filosofis dari pergi berziarah dan membaca doa ziarah dari jarak jauh. Namun kajian ini akan saya sampaikan pada kesempatan lain. Dikarenakan sebelumnya telah diadakan tiga kali pertemuan yang membahas topik tentang “menghidupkan pemikiran agama” dan dalam rangka mengenang tokoh besar reformis Islam asal Pakistan, Muhammad Iqbal, saya akan menentukan topik pertemuan kita kali ini yakni “Muhammad Iqbal dan menghidupkan pemikiran agama”. Pembahasan ini akan saya uraikan selama setengah jam. Mengingat waktunya sudah lewat, saya mengusulkan untuk membahas masalah filsafat ziarah pada lain kesempatan. Dari sisi lain, pembahasan tentang “Muhammad Iqbal dan menghidupkan pemikiran Islam” merupakan pembahasan yang tidak akan tuntas dikaji dalam setengah jam. Pengalaman membuktikan, setiap kali masalah seperti ini dibicarakan dalam waktu singkat, akan timbul ketidakjelasan, kesamar-samaran, dan sulit dimengerti. Oleh sebab itu, saya ingin mengatakan bahwa untuk membicarakan topik “menghidupkan pemikiran Islam”, perlu kiranya diadakan pertemuan yang intens. Topik ini juga mendapat sambutan hangat dalam konferensi di Pakistan. Suatu konferensi yang benar-benar bernuansa ilmiah dan sosial. Saya pun berniat membicarakan topik ini.

Intelektual Pakistan ini telah menerbitkan sebuah buku yang merangkum tujuh konferensi yang dihadirinya di Pakistan, yang nampaknya kemudian diintroduksikan ke dalam lingkungan universitas. Karena bobot konferensi ini sangat tinggi, tentunya hasil-hasilnya tak mungkin diintroduksikan ke kalangan masyarakat umum. Seluruh rangkuman hasil konferensi tersebut hanya mungkin diintroduksikan ke dalam lingkungan masyarakat ilmiah dan terpelajar. Isi rangkuman tersebut berbicara tentang “Menyambut dan Menghidupkan Pemikiran Agama”. Setiap konferensi yang dimaksud memiliki topik pembahasan masing-masing. Seperti topik “Eksperimen Agama”, “Pembahasan-pembahasan Filsafat dalam Eksperimen Agama”, “Kebebasan dan Keakuan Manusia”, “Inti Tradisi dan Peradaban Islam”, “Asas Gerakan Islam”, “Apakah Agama sesuatu yang Mungkin?”, serta “Pemahaman tentang Tuhan dan Pengertian Ibadah”. Semua topik tersebut ditelaah di bawah judul besar “Menghidupkan Pemikiran Agama”.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa semua pendapat yang disampaikan sekaitan dengan topik tersebut bebas dari kritik, atau membenarkan semua pendapat yang telah dipaparkan penulis asal Pakistan ini. Pendapat yang disampaikan merupakan hasil dari upaya pemikir Islam yang mengkaji masalah tersebut dan sangat layak mendapatkan pujian dan sanjungan. Dalam hal ini, pembicaraan saya akan banyak berkisar pada upaya menanggapi berbagai pendapat yang dilontarkan intelektual Islam Pakistan ini. Mudah-mudahan pembahasan ini akan ditindaklanjuti dengan kajian yang lebih mendalam. Barangkali saya juga akan mencari kesempatan untuk membahas tema “Menghidupkan Pemikiran Islam” dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya. Namun pertama-tama, saya ingin menyampaikan sejumlah hal penting yang berkenaan dengan pemikiran tokoh Islam ini.

Muhammad Iqbal, yang pernah pergi ke Eropa dan mengenal persis seluk beluk benua itu, adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. la dikenal oleh bangsa Eropa sebagai pemikir, tokoh, dan pakar agama. Iqbal bukanlah tipe laki-laki yang duduk mengasingkan diri di sudut dan lorong-lorong India, yang memandang Eropa dari kejauhan dan setelah itu menyampaikan kritik terhadap dunia barat. la melihat Eropa, memahami, menyelidiki, dan menganalisanya dari dekat. la sangat menggemari ilmu-ilmu baru dan mendorong para pemuda muslim untuk mempelajarinya juga. Dirinya tidak menentang ilmu-ilmu baru atau melarang kaum muslimin mempelajarinya. Muhammad Iqbal telah memperoleh pendidikan tinggi di Eropa. la benar-benar mengenali dunia barat dan mengakui pentingnya mempelajari ilmu-ilmu baru. Hal pertama yang menarik perhatian sekaitan dengan ucapan tokoh ini adalah slogan yang dikemasnya dalam bentuk puisi. Slogan tersebut, dewasa ini dikenal dengan sebutan “Peradaban Eropa”, yang berarti sekumpulan urusan kehidupan ala Eropa, yaitu idealisme yang menciptakan peradaban Eropa pada masa kini. Jalan yang diajarkan dunia barat kepada umat manusia, serta nilai moral dan budaya bangsa tersebut yang merupakan hasil dari perjalanan hidupnya, bukan saja tidak memberikan manfaat sama sekali, lebih dari itu menjadi sesuatu yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan masyarakat Eropa itu sendiri.

Iqbal pernah mengunjungi Eropa dan memiliki pemahaman tentangnya. Menurutnya, gambaran masa depan Eropa sangat mengerikan dan berbahaya. Ucapan-ucapan ini acapkali diungkapkan dalam berbagai ceramahnya. Saya ingin membacakan untuk Anda beberapa bagian dari tulisan Iqbal. Darinya Anda bisa melihat bagaimana pandangan tokoh ini berkenaan dengan peradaban Eropa masa kini dan terhadap berbagai keburukan yang terkandung dalam pandangan Barat. Selain itu, Anda juga dapat mengetahui, sejauh mana pemikirannya berpengaruh terhadap masyarakat di belahan Timur, khususnya kaum muslimin, hingga mereka tidak terpengaruh oleh peradaban Eropa. Salah satunya, Iqbal pernah mengatakan: “Mata mereka telah dibutakan sikap mengikuti sehingga mereka tidak mampu memahami kebenaran. Budaya dan peradaban Eropa yang hampir mati bagaimana mungkin bisa memberikan kehidupan baru kepada bangsa Iran dan Arab, sementara mereka berada di ambang kematian”. la juga mengatakan: “Sejarah baru, sangat cepat datangnya. Islam dengan perubahan cepat dari sisi spiritual tengah bergerak menuju belahan bumi bagian Barat”. Selanjutnya, diungkapkan: “Sejarah baru negara-negara ini merupakan perjalanan yang sangat cepat yang tengah bergerak menuju belahan bumi barat”.

Kemudian untuk memisahkan antara pengetahuan dan peradaban Barat, Iqbal mengatakan: “Dalam gerakan ini, sama sekali tidak terdapat kebatilan dan kesesatan. Budaya Eropa dari sisi rasional (yaitu sisi pengetahuan dan pemikiran), mengambil dari beberapa tahapan budaya Islam”. Maksudnya, jika kita memperhatikan sisi pemikiran dan pengetahuan Barat, dan melangkah jauh kepadanya, tidak akan berbahaya bagi kita karena yang diperoleh darinya tak lebih dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, ilmu adalah ilmu. Di dunia barat, ilmu yang dihasilkan banyak bersumber dari pengetahuan-pengetahuan Islam. Budaya barat —tepatnya, ilmu pengetahuan Barat— diilhami dari budaya Islam. “Ketakutan kita muncul dari fenomena budaya Barat yang membingungkan yang menghalangi langkah kita dan kita takut jikalau budaya Barat akan mencapai tujuannya”. Iqbal berpendapat, kita merasa takut tatkala menyaksikan fenomena kemajuan Barat dalam banyak bidang. Kita menyaksikan kemajuan mereka dalam bidang industri dan pengetahuan biologi. Adapun aspek batin yang mengantarkan manusia ke arah kemajuan tidak kita saksikan sama sekali. Kita harus mampu meneliti dan menganalisis hal tersebut.

Dalam bukunya yang lain lain, Iqbal mengatakan: “Akal dengan sendirinya tidak mampu menyelamatkan manusia. Kekurangan budaya Barat yang terbesar adalah keinginannya untuk menggunakan akal secara otonom tanpa bantuan kekuatan jiwa, perasaan, dan iman. Hanya mengandalkan kekuatan akal, tentu tidak akan bisa menyelamatkan bahtera kemanusiaan dari kehancuran”. la juga mengatakan: “Idealisme Barat sama sekali bukan menjadi faktor utama dalam kehidupan mereka.” Misâligari Barat memiliki arti “idealisme Barat”. Semua tuntutan serta ajaran-ajaran yang diberikan budaya barat bagi manusia, dan berbagai aliran yang terdapat di sana, muncul lantaran didorong oleh anggapan bahwa dirinya (Dunia Barat) mampu menyelamatkan umat manusia.

Iqbal mengatakan bahwa aliran-aliran tersebut pada kenyataannya tidak mampu menguraikan hakikat (orang) Barat, terlebih menjadikannya manusiawi. Dengan ungkapan lebih jelas lagi, orang Barat dan dunia Barat banyak melakukan kebaikan dan tindakan kemanusiaan sebatas dalam pembicaraan, tulisan, dan slogan-slogan retorik belaka. Disebabkan ide-ide mereka semata-mata bersumber dari pemikiran akal dan tidak melalui kekuatan jiwa, maka apapun yang mereka katakan tak akan pernah berpengaruh dalam jiwa mereka sendiri. Orang Barat mengatakan bahwa dirinya adalah manusia. Namun secara praktis mereka tidak memiliki perikemanusiaan. Barat sangat getol menggembar-gemborkan hak asasi manusia. Namun dalam praktik dan kenyataannya, mereka tak pernah menghargai manusia beserta segenap hak asasinya. Melalui aliran budayanya, orang Barat meneriakkan suara kebebasan. Tapi pada kedalaman jiwanya, ia tidak meyakini adanya kebebasan. Mereka meneriakkan persamaan hak dan keadilan, namun dalam lubuk jiwanya, semua itu sama sekali ditolaknya.

Iqbal mengatakan: “Hasil semua itu adalah “keakuan” yang gamang (yaitu jiwa yang bimbang) yang mana di tengah-tengah alam demokrasi tidak terdapat solidaritas satu sama lain untuk mencari jati diri. “Keakuan” yang gamang yang disebarkan oleh orang-orang Darwis, kelak menguntungkan kaum kapitalis. Dihasilkan dari apakah seluruh suara keadilan yang digaungkan, serta seluruh aliran yang timbul di Eropa yang saling berkontradiksi satu sama lain? Kepentingan kaum kapitalis untuk mengambil keuntungan dari segenap upaya yang dilakukan kaum Darwis. Dan pada saat bersamaan, kaum kapitalis tersebut juga mengambil keuntungan dari bentuk aliran lainnya. Kemudian Iqbal menambahkan: “Percayalah dengan ucapan saya, Eropa pada masa sekarang merupakan penghalang besar bagi kemajuan moral umat manusia.” Pendapat semacam ini acapkali disampaikan dalam berbagai kesempatan. la memiliki hubungan yang kuat dengan kaum muslimin, khususnya pemuda-pemudi muslim. Orang yang sedikit banyak mengenal fenomena budaya Barat, pasti mengetahui padangan Iqbal tersebut.

Segenap kelemahan yang terdapat dalam budaya dan peradaban Eropa, tidak terdapat dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai kritikan tajam dan mendasar, yang ditujukan kepada budaya Eropa, tidak bisa ditujukan kepada Islam. Atas dasar itu, dalam pembicaraan lain, Iqbal berupaya keras mengintroduksikan fondasi-fondasi dan aspek-aspek kebudayaan serta peradaban Islam. Saya ingin menelaah sebagian pembicaan Iqbal yang berkenaan dengan hal tersebut. Setelahnya, saya akan mengkaji masalah yang berkenaan dengan upaya menghidupkan pemikiran Islam. Iqbal mengatakan: “Kaum muslimin memiliki pemikiran yang berdasarkan wahyu Ilahi yang merupakan kesempurnaan mutlak, karena Islam menjelaskan sisi paling subtil dari intisari kehidupan yang menampilkan sebuah warna spiritual. Garis spiritual kehidupan bagi kaum muslimin merupakan perkara keyakinan (akidah). Dan untuk membela akidah ini, muslimin siap mengorbankan jiwa dan raganya.”

Saya ingin menjelaskan ringkasan dari ucapan Iqbal. Beliau mengatakan bahwa ajaran Islam berpijak di atas keimanan. Ajaran Islam bersumber dari Wahyu Ilahi, sehingga mampu menembus sisi batin manusia. Bukti tentangnya telah eksis di masa lalu dan akan tetap terbukti pada masa sekarang; bahwa ajaran Islam memiliki kekuatan ajaran yang mampu menembus sisi batin manusia. Islam mengajarkan kebebasan, keadilan, mencintai sesama manusia, dan hak-hak asasi manusia. Ajaran-ajaran ini juga sekaligus memberikan jaminan dalam jiwa manusia bahwa ia bisa diterapkan dalam kehidupan ini. Akan tetapi, ajaran-ajaran yang disampaikan Dunia Barat tidaklah demikian. Semua ajaran tersebut tidak memiliki garansi untuk bisa diterapkan secara konkret. Pada masa kini, manusia membutuhkan tiga hal:

[1] MEMANDANG DUNIA DARI SISI METAFISIKAL
Hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal, bukan dari sisi material. Aliran yang mengakibatkan pemikiran dan akidah tidak termanifestasi dalam bentuk keimanan dan kenyataan adalah idealisme. Aliran ini memandang keberadaan dunia hanya terbatas pada aspek materialnya belaka. Segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah materi. Dunia ini buta, tidak berperasaan, bodoh, dungu, dan tidak bertujuan. Dunia tidak memahami kebaikan dan kebatilan. Dunia tidak memahami kebenaran dan kekeliruan. Di jagat semesta, kebenaran dan kebatilan tak bisa diukur dan ditimbang. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang memiliki tujuan. Kita diciptakan secara sia-sia. Iqbal mengatakan bahwa pemikiran semacam ini menyesatkan dan menghancurkan norma peradaban kemanusiaan. Jadi, hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal (bahwa dunia diciptakan dengan tujuan). Dalam sebuah ayat disebutkan: “Apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia?”[2]Tak ada kesia-siaan dalan penciptaan alam semesta. Segala apa yang ada di jagat raya ini harus mempunyai pemilik yang disebut dengan Tuhan. Dunia diciptakan di atas prinsip kebenaran. Dunia diciptakan di atas prinsip keadilan. Di alam semesta ini terdapat kebaikan dan keburukan. Keberadaan alam semesta ini diciptakan Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. “Allah tidak pernah lupa dan tidak tidur,”[3] Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Berilmu. Namun, keberadaan dunia ini tidak cukup hanya dipandang dari sisi metafisikal semata. Untuk itu, kita perlu melengkapinya dengan beberapa faktor lain.

[2] KEBEBASAN SPIRITUAL INDIVIDU
Kebebasan spiritual individu bertentangan dengan ajaran Kristen. Kebebasan individual berarti meyakini bahwa seseorang memiliki kepribadian yang unik. Jika seseorang tidak memandang dunia dari sisi metafisikal serta tidak meyakini adanya kepribadian yang khas dari masing-masing individu, maka potensi-potensi yang terkandung dalam diri manusia tidak akan pernah nampak. Terdapat beberapa kaidah yang memiliki pengaruh universal dan sanggup mengarahkan manusia pada kesempurnaan masyarakat yang berdasarkan pada prinsip spiritual. Yang dimaksud dengan kaidah tersebut adalah berbagai ketetapan dasar dari ajaran Islam. Dalam pembahasan kali ini, saya tidak akan memaparkan ucapan-ucapan Iqbal lebih jauh lagi. Apakah seperti kebanyakan kita, kajian yang dilakukan Iqbal hanya berhenti sampai di sini? Maksudnya, apakah setelah melihat berbagai kekurangan peradaban Eropa dan kemudian melihat Islam sebagai bentuk alternatif yang hidup, ia kemudian mengatakan: “Pembahasan sudah selesai”? Tidak. Justru Iqbal menguraikan bagian ketiga tersebut secara lebih mendalam dalam risalahnya sendiri, risalah setiap muslim, dan risalah para cendikiawan mukmin. Tujuh rangkuman yang ditulis Iqbal di bawah topik “Menghidupkan Pemikiran Agama dalam Islam”, ditujukan tak lain untuk menopang persoalan yang terdapat pada bagian yang ketiga tersebut. Dalam sejumlah slogan yang disampaikan Iqbal, sedikit banyaknya disampaikan tujuan dari bagian yang ketiga ini, sembari pula sedikit menyinggung tujuan dari bagian yang pertama.

MATINYA SEMANGAT ISLAM
Dalam slogan-slogan yang diserukan Muhammad Iqbal, terkandung berbagai kecaman keras terhadap sikap kaum muslimin yang mengikuti peradaban Barat secara membabi buta. Sementara dalam slogannya yang lain, Iqbal juga menyampaikan keharusan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Bagian ketiga yang dibutuhkan kaum muslimin adalah: Sesungguhnya, Islam macam apakah yang dewasa ini ada di tengah-tengah kaum muslimin?

Iqbal memperlihatkan sebuah noktah yang terbilang penting bahwasannya Islam (yang sebenarnya) ternyata eksis, namun tidak berada di tengah-tengah kaum muslimin. Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin hanyalah Islam yang ditampilkan dalam bentuk slogan-slogan, gema suara azan, dan perginya kaum muslimin ke masjid-masjid di waktu sholat. Hanya simbol keislaman belaka yang tampil ke permukaan. Untuk menunjukkan citra keislaman, mereka biasanya menggunakan nama-nama Islami seperti: Muhammad, Hasan, Husain, Abdurrahim, Abdurrahman, dan sejenisnya. Namun, pada hakikamya, intisari Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam masyarakat. Intisari Islam dalam masyarakat yang Islami sesungguhnya telah mati. Kita membutuhkan kehidupan Islam yang baru. Kehidupan Islam harus diperbaharui. Dan itu mungkin saja terjadi, mengingat pada hakikatnya Islam tidak pernah mati, melainkan kaum musliminlah yang mati. Islam tidak akan pernah mati, mengapa? Karena di sana terdapat Kitab langit (al-Qur’an) dan sunah  Nabi. Keduanya tampil dalam bentuk yang hidup. Dunia tak akan mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari al-Qur’an dan sunnah Nabi. Ajaran al-Qur’an tidak seperti teori Ptolomeus yang bisa dipatahkan teori lain. Islam itu sendiri hidup dan berpijak di atas dan pada landasan yang hidup pula. Lantas, di manakah letak kekurangannya? Kekurangannya terletak pada pemikiran kaum muslimin sendiri. Pemikiran dan cara penerimaan kaum muslimin terhadap ajaran Islam bukan dalam bentuk yang hidup, melainkan dalam bentuk yang mati. Misalnya, dalam menanam benih unggul, Anda tidak menggunakan cara-cara pertanian yang benar. Akibatya, benih yang ditanam dalam tanah tidak akan membuahkan hasil apapun. Akar-akar benih tersebut tidak akan tertanam dengan kuat. Benih tersebut akan tumbuh menjadi pohon kecil yang mudah dicabut dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Pohon tersebut sekarang tumbuh dan hidup. Akan tetapi, apabila Anda mencabut dan menanamnya kembali dalam posisi terbalik (akar di atas dan daunnya ditanam), pohon tersebut tentu akan mati.

Imam Ali menyampaikan kata-kata yang sangat indah sehubungan dengan masa depan Islam dan kaum muslimin. Beliau mengatakan: “Islam dikenakan baju secara terbalik.”[4] Maksudnya adalah masyarakat Islam memang mengenakan baju keislaman. Namun baju yang dikenakan tersebut ternyata terbalik. Pakaian musim dingin dikenakan untuk menangkal hawa dingin. Terkadang ada juga orang yang menanggalkannya dan menghadapi musim dingin dengan tubuh tanpa pakaian. Ada juga orang yang mengenakan baju tapi tidak dengan cara yang semestinya; maksudnya mengenakan pakaian secara terbalik. Sisi pakaian yang semestinya diarahkan ke luar malah diarahkan ke dalam, sebaliknya sisi yang seharusnya diarahkan ke dalam justru diarahkan ke luar. Orang yang mengenakan pakaian secara terbalik akan nampak lucu dan bakal menjadi bahan tertawaan orang lain.

Imam Ali mengatakan bahwa masyarakat mengenakan “baju” keislaman dengan cara yang terbalik. Di satu sisi, mereka memiliki baju keislaman, sementara pada sisi yang lain tidak memilikinya. Kendati memilikinya, mereka mengenakannya secara terbalik; yang semestinya di luar malah di dalam, dan yang semestinya di dalam malah di luar. Kesimpulannya, Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin adalah Islam yang tidak memiliki keutamaan dan pengaruh. Keislaman semacam itu tidak akan mampu menginspirasikan semangat, gerakan, kekuatan, dan pemahaman. Islam semacam itu lebih menyerupai pohon yang dipenuhi dengan benalu. Lantas dari mana kemunculan seluruh hal tersebut? Ini erat kaitannya dengan cara kaum muslimin menerima Islam. Yakni, bagaimana proses kepengikutan mereka terhadap agama Islam dan bagaimana pula cara mereka menganutnya. Apakah mereka mengambilnya dari kepala, dari kaki, dari tubuh, ataukah secara acak? Mereka mengambil sebagian ajaran Islam dan meninggalkan sebagian lainnya. Mereka hanya mengambil kulitnya, sementara intisarinya tidak. Atau sebaliknya, mengambil intisarinya dan meninggalkan kulitnya. Pada akhirnya, Islam yang mereka anut tampil dalam bentuk “Tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup”[5] Islam yang dipeluk tidak hidup juga tidak mati. Tidak bisa dibilang eksis juga tidak dapat dikatakan tidak eksis. Ini merupakan noktah paling mendasar yang harus dipikirkan bersama. Jika tidak dipikirkan secara mendalam, bagaimana mungkin kita bisa melakukan kritik terhadap peradaban dan budaya Eropa, sementara budaya dan saripati Islam yang kita miliki belum otentik. Jika masyarakat dunia mengikuti kita, mereka tentu tidak akan pernah maju. Apabila masyarakat dunia menjejaki langkah kita, mereka pasti akan senasib dengan kita yang kini berada dalam kondisi yang nyaris binasa.

Dalam al-Qur’an disebutkan tentang bentuk kehidupan yang Islami, kehidupan pemikiran yang Islami. Sebagaimana dengan jelas diungkapkan dalam ayamya yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu”.[6] Apakah ciri-ciri kehidupan tersebut? Apa yang dimaksud dengan “hidup”? Al-Qur’an menyebutkan bahwa masyarakat Jahiliyah adalah masyarakat yang mati. Dalam sebuah ayat disebutkan:“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar.”[7] Dalam Ayat lain juga dikatakan: “Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.”[8] Masyarakat Jahiliyah merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang mati yang bergerak. Mereka adalah orang-orang mati yang berjalan di muka bumi. Orang-orang seperti mereka tjdak bisa disebut sebagai orang-orang yang hidup. Adapun berkenaan dengan orang-orang yang beriman, al-Qur’an menyerukan ajakan untuk menerima ajaran yang mampu menganugerahkan kehidupan. Ajaran Islam memberikan jiwa, kekuatan, serta kehidupan kepada manusia. Apa ciri-ciri kehidupan? Saya persilahkan Anda bertanya kepada orang pandai, atau para filsuf yang bisa mendefinisikan kehidupan, tentang ‘bagaimana sesuatu bisa dianggap hidup’. Apa arti hidup? Tak seorangpun yang akan mengaku dirinya mampu mendefinisikan hidup. Hidup bisa diketahui melalui tanda-tanda dan dampak-dampaknya. Hidup adalah hakikat yang tidak diketahui, yang memiliki dua karakter: Pengetahuan dan gerakan.

Dikarenakan memiliki pengetahuan yang lebih, manusia akan memiliki hidup yang lebih pula. Segala sesuatu yang memiliki gerakan lebih banyak, akan memiliki hidup yang lebih banyak pula. Segala sesuatu yang berpengetahuan minim akan menjadi sangat bodoh dan sangat mati. Setiap kejumudan mencirikan kematian, dan setiap kejumudan yang sangat akan menjadi kematian yang sangat pula. Segala sesuatu yang benar-benar kosong dari pengetahuan akan mengalami kematian dalam kematian. Begitu pula halnya dengan segala sesuatu yang benar-benar jumud. Sekarang coba Anda simak, apakah kaum muslimin yang ada sekarang ini merupakan masyarakat yang progressif ataukah stagnan? Kita lebih banyak diam ataukah bergerak? Maksudnya, apakah masyarakat kita lebih menghormati orang yang progressif ataukah orang yang jumud dan stagnan? Anda bisa saksikan bahwa masyarakat kita lebih menghormati orang yang stagnan ketimbang orang yang dinamis dan kritis. Ini merupakan ciri kematian suatu masyarakat, di mana setiap orang yang kosong dari pengetahuan lebih dihormati dan dikagumi. (Orang yang lebih banyak diam dan stagnan menandakan dirinya tidak memiliki banyak pengetahuan, sedangkan orang yang dinamis menunjukkan dirinya lebih banyak memiliki pengetahuan).

LOGIKA KERETA UAP
Saya pernah bertanya kepada salah seorang teman tentang apakah yang dimaksud dengan logika kereta uap? Dia menjawab: “Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kereta uap dan saya memahami masyakat melalui logika tersebut.” “Ketika saya masih kecil, kereta api yang ada pada waktu itu tidak seperti yang ada sekarang ini. Saya menyaksikan saat kereta api tersebut berhenti di stasiun, anak-anak kecil berlarian mendatangi dan menontonnya. Mereka memandanginya dengan penuh keheranan dan kekaguman. Nampaknya mereka mengagumi betul kereta api yang sedang berhenti tersebut. Cukup lama mereka memandangi kereta itu dengan rasa kagum hingga tiba jam pemberangkatan, dan kereta tersebut kembali bergerak. Saat kereta api mulai melaju, anak-anak itu segera mengambil batu dan melempari kereta tersebut. Saya sungguh terkejut melihat sikap mereka. Jika memang harus dilempari, mengapa mereka tidak melakukannya di saat kereta tersebut berhenti, meskipun hanya dengan batu kerikil? Jika merasa kagum melihat kereta api yang sedang diam, mereka juga semestinya lebih kagum saat melihat kereta tersebut bergerak.”

Inilah perkara yang membingungkan saya. Ketika saya beranjak dewasa dan terjun ke tengah-tengah masyarakat, saya menyaksikan bahwa gaya hidup masyarakat kita (orang-orang Iran) pada umumnya hanya menghormati seseorang selama ia diam. Tatkala seseorang bersifat statis, ia akan lebih dihormati dan dikagumi. Namun tatkala dirinya bergerak dan melangkah secara progressif, masyarakat pun mulai mencela dan menghinanya. Sikap seperti ini menandakan bahwa masyarakat tersebut telah mati. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang berbicara dan bertindak kreatif, bukan orang yang hanya berdiam diri. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang progressif, kreatif, dan berwawasan luas. Inilah tanda-tanda kehidupan dan kematian. Kedua hal ini merupakan sinyal yang paling jelas, di samping masih terdapat pula berbagai sinyal-sinyal lainnya.

KETERKAITAN SALAH SATU TANDA KEHIDUPAN
Salah satu tanda dari suatu masyarakat yang dinamis adalah keterkaitan antar-individu yang ada di dalamnya. Ciri-ciri masyarakat yang mati adalah tidak terdapatnya keterikatan antar anggota, saling berpecah belah serta saling terpisah antara satu sama lain. Sementara ciri-ciri masyarakat yang hidup adalah adanya saling keterkaitan dan kerja sama di antara anggotanya. Masyarakat Islam pada masa sekarang merupakan masyarakat yang hidup ataukah masyarakat yang mati? Masyarakat Islam dewasa ini adalah masyarakat yang mati. Ini terbukti dengan terjadinya pembunuhan, perang saudara, dan konflik yang mencuat di kalangan internal sendiri, sehingga mengakibatkan musuh-musuh Islam mampu memanfaatkan keadaan untuk terus melemahkan kaum muslimin. Sehubungan dengan persatuan kaum muslimin, Rasulullah SAWW pernah menyampaikan ungkapan yang sangat indah: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam.”[9] Mereka adalah manifestasi dari ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[10]

Jika salah satu anggota tubuh terkena infeksi, dengan segera rasa demam akan menguasai seluruh badan. Tatkala terjadi peradangan di dalam usus seseorang dan dokter masih belum bisa mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya meskipun telah dilakukan diagnosa secara maksimal, seluruh anggota tubuhnya akan merasakan panas yang luar biasa. Reaksi tubuh semacam ini menunjukkan adanya kehidupan di dalam tubuh. Apakah kondisi kaum muslimin seperti ini? Apakah mereka akan bereaksi di saat salah seorang anggotanya merasakan sakit dan menderita? Sekitar 500 tahun silam, Andalusia yang merupakan salah satu anggota tubuh kaum muslimin yang paling penting, mengalami musibah dan penderitaan. (Lihat, Dr. Ayati, Tarikh Andalus, Tehran University). Namun, kaum muslimin di belahan dunia lain tidak memberikan perhatian sama sekali kepadanya. Bahkan banyak yang di antaranya yang sama sekali tidak mengetahui penderitaan yang mereka alami. Padahal, perkembangan peradaban Islam dan dunia amat berutang budi pada Andalusia. Pada masa itu meletus pertikaian antara kalangan Syi’ah dan Ahlusunnah (Sunni). Sayang, kaum muslimin pada umumnya tidak menyadari bahwa tragedi tersebut merupakan musibah yang besar bagi dunia Islam.

Iqbal menyatakan bahwa dalam sejarah, pemikiran yang Islami telah mati sejak 500 tahun lalu. Selama kurun waktu itu, kaum muslimin hanya menampilkan gaya pemikiran Islam yang kering, sembari mengubur bentuk pemikiran Islami yang hidup dan dinamis. Apakah saya dan Anda ikut menderita oleh berbagai musibah yang dialami kaum muslimin pada masa sekarang, seperti penderitaan yang dirasakan kaum muslimin di Palestina? Rasa simpati apakah yang kita berikan pada mereka? Jika kita tidak menaruh perhatian kepada mereka, kita bukanlah termasuk orang-orang Islam berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam.”[11] Hadis Nabi ini menjelaskan tentang tanda-tanda kehidupan masyarakat Islam. Dalam hadis lain, beliau bersabda: “Barang siapa yang mendengar seseorang menyeru memohon pertolongan dari kaum muslimin dan yang mendengar tidak menolongnya, maka dia bukan muslim.”[12] Barang siapa yang tidak memiliki keterkaitan diri dengan saudara-saudara muslim lainnya, maka dia bukanlah seorang muslim.

Apabila saya utarakan seluruh persoalan ini tentu akan menyita banyak waktu. Namun yang terpenting dari semua itu adalah bahwa kita harus menampilkan pemikiran Islami dalam bentuk yang hidup dan dinamis. Telah saya jelaskan sebelumnya tentang bagaimana kekeliruan kita dalam menerima ajaran Islam. Kita harus banyak melakukan introspeksi diri, dan lihatlah, apakah kita mengenakan pakaian (keislaman) secara terbalik. Ternyata kita memang mengenakan baju keislaman secara demikian. Kita tidak menyadari bahwa pakaian tersebut telah dikenakan secara terbalik, sampai-sampai orang lain mengingatkan kita. Kita harus benar-benar memperbaiki cara berpikir kita. Sebabnya, barangkali kita memang mengenakan baju keislaman secara terbalik sebagaimana pernah dikatakan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Teman saya pernah melontarkan kritik dengan mengatakan: “Apakah pengormatan terhadap Iqbal tidak menunjukkan penyembahan terhadap orang yang sudah mati? Apakah kita baru menghormati orang besar setelah ia mati?” Maksud dari kritiknya adalah mengapa kita tidak menghormati tokoh besar yang masih hidup, meskipun kualitas keilmuannya berada di bawah Iqbal. Bahkan banyak pula tokoh pemikir yang masih hidup yang memiliki kapasitas ilmu lebih tinggi dari Iqbal tidak kita hormati?

Allamah Thabathaba’i merupakan salah seorang tokoh besar yang masih hidup. Namun mengapa kita tidak menghormatinya? Yang jelas, pertemuan kita kali ini bukan dalam rangka menentukan siapa yang layak untuk dihormati dan memperoleh hak yang semestinya. Namun lantaran masalah ini telah disinggung sebelumnya, maka saya akan memberikan sedikit penjelasan tentangnya. Allamah Thabathaba’i termasuk salah seorang tokoh yang banyak mengabdi kepada Islam. Beliau merupakan bentuk konkret dari ketakwaan dan ketinggian nilai spiritual. Beliau telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam penyucian jiwa dan ketakwaan. Selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang, saya telah banyak menimba pelajaran dari tokoh besar ini. Kitab Tafsir Mizan yang ditulisnya merupakan salah satu kitab tafsir al-Qur’an yang sangat luar biasa. Memang, al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi dan tidak satupun kitab tafsir yang mampu memenuhi hak al-Qur’an dengan semestinya. Setiap ahli tafsir hanya memandang al-Qur’an dari sisi tertentu. Sejak abad permulaan Islam sampai hari ini, kitab Tafsir Mizan merupakan kitab terbaik yang pemah ditulis di kalangan Syi’ah dan Ahlussunnah (Sunni). Allamah Thabathaba’i jelas merupakan tokoh besar dan agung. Merupakan tugas kita semua untuk menghormati beliau yang kini telah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tak ada satupun orang yang sudah lanjut usia seperti beliau yang memiliki prestasi ilmiah semacam ini. Beliau menghabiskan umurnya untuk mendalami studi moral, budaya Islam, dan sastra Arab. Mengapa orang seperti ini layak dimuliakan dan dihormati? Sebabnya, beliau memiliki ilmu dan jiwa sosial yang mengagumkan. Masyarakat yang tidak pernah belajar dari orang besar ini hanya akan memperoleh sedikit manfaat. Kaum muslimin harus banyak belajar dari tokoh besar ini supaya mendapatkan banyak keuntungan.

Perbedaan masa kita sekarang dengan masa silam adalah tokoh-tokoh yang muncul pada masa sekarang mudah terkenal (melalui medium percetakan buku dan sebagainya). Allamah Thabathaba’i tidak hanya dikenal di kalangan orang Iran saja. Beliau juga dikenal di seantero dunia Islam. Tafsir Mizan yang disusunnya telah berkali-kali di cetak ulang secara diam-diam di Beirut, Lebanon. Ini membuktikan bahwa pemikiran dan buku beliau sangat terbuka bagi dunia Islam. Orang-orang orientalis pun mengenal siapa tokoh ini. Amerika dan Eropa mengenal beliau sebagai seorang pemikir besar Islam. Allal al-Faasi juga termasuk salah seorang tokoh dalam dunia Islam. Ketika datang ke Iran, ia berkunjung ke kota Qom dan mendatangi rumah Allamah Thabathaba’i. Dia sangat kagum menyaksikan ketinggian kedudukan spiritual Allamah Thabathaba’i. Kepribadian Allamah Thabathaba’i tidak hanya terbatas sebagai pribadi Syi’ah semata, melainkan juga sebagai orang yang memiliki ilmu yang bersifat universal. Namun sangat disayangkan, pribadi mulia ini pernah menderita sakit jantung selama satu tahun. Saya memohon kepada Allah agar berkenan menjaga tokoh besar ini untuk kita semua. Beliau benar-benar tokoh mulia yang memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Akhir-akhir ini, beliau menunjukkan sikap ikut merasakan penderitaan saudaranya sesama muslim.

Saudara-saudara muslim kita tengah menderita di Palestina, sementara Amerika tidak mampu memberikan hak yang semestinya kepada mereka. Kita harus memberikan perhatian dan bantuan kepada mereka. Allamah Thabathaba’i segera membuka rekening di bank untuk membantu saudara-saudara muslimin di Palestina yang sedang kesusahan. Beliau membuka rekening di bank Millie Iran, bank Bozargoni, dan bank Shaderaat. Beliau juga dibantu Ayatullah Sayyid Abul Fadhl Musawi Zanjani yang merupakan tokoh mulia dan memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Beliau adalah seorang mujtahid yang adil. Saya termasuk orang ketiga yang ikut membuka rekening tersebut. Jadi rekening bantuan kemanusiaan untuk kaum muslimin di Palestina tersebut dibuka atas nama tiga orang (Allamah Thabathaba’i, Ayatullah Zanjani, Syahid Muthahhari). Program dana kemanusiaan ini tidak memandang berapa banyak uang yang terkumpul. Jika semua orang Iran mengumpulkan hartanya, barangkali tidak bisa menandingi banyaknya harta yang dimiliki dua orang Yahudi kaya raya yang tinggal di Amerika, yang meraup harta dengan jalan riba dan mencuri. Hal terpenting bagi kita adalah bagaimana jiwa kita ikut merasakan penderitaan orang lain dan memiliki keterikatan hati dengan mereka.

Saya ingin memberikan sebuah contoh berkenaan dengan masalah ini. Sewaktu Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang sedang membara, seekor burung Bul-bul terbang mendekati tempat Nabi Ibrahim dibakar. Burung tersebut memenuhi paruhnya dengan air dan kemudian ditumpahkannya di atas kobaran api yang tengah menjilat tubuh Nabi Ibrahim. Melihat tindakan burung tersebut, Nabi Ibrahim bertanya dengan penuh rasa heran: “Wahai burung kecil! Apakah air yang kamu tumpahkan dari paruhmu berguna untuk memadamkan api yang besar ini?” Burung Bul-bul itu menjawab: “Dengan cara ini saya ingin memperlihatkan akidah, iman, dan hubungan saya dengan Nabi Ibrahim as.” Kendati Anda hanya menyumbang dengan sedikit harta, namun sumbangan tersebut tetap bernilai. Dengannya, Anda telah menunjukkan perasaan dan kepedulian Anda terhadap orang lain yang tengah menderita. Melalui tindakan tersebut, Anda telah mempererat hubungan dengan Imam Husain as. Sebagaimana telah saya sampaikan pada awal pembicaraan, bahwa hari ini merupakan hari untuk “berhubungan dengan para Syuhada”. Mudah-mudahan kita semua digolongkan ke dalam barisan orang-orang yang syahid. Kita harus selalu mengatakan: “Assalâmu ‘alaikum ya Abâ Abdillah, ya laitanâ kunnâ ma’aka fa nafûza fauzan ‘azhiman” (Salam sejahtera bagimu wahai Aba Abdillah, andai saja kami bersamamu pada saat itu, maka kami akan sangat beruntung). Andai saja kami bersamamu, wahai Husain. Imam Husain mengatakan bahwa Karbala tidak hanya terjadi dalam satu hari saja. Tragedi Karbala akan senantiasa terjadi, kapanpun, di mana pun!

Salah satu bukti bahwa masyarakat kita telah mati adalah pecahnya tragedi Karbala. Sekarang ini, kita tengah memperingati hari Arbain (empat puluh hari syahadahnya Imam Husain as). Pada hari Arbain telah terjadi dua peristiwa penting; datangnya Jabir bin Abdullah al-Anshori untuk berziarah ke makam Imam Husain as serta pembacaan ziarah Arbain yang disunahkan pada hari ini. Keterangan lebih rinci tentangnya akan saya sampaikan pada lain kesempatan. Disunahkan untuk berziarah kepada Imam Husain as di mana saja kita berada, sekalipun dari jarak jauh. Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan suatu peristiwa yang pada dasarnya tidak termaktub dalam seluruh buku standar kesejarahan, kecuali dalam satu buku saja. Buku tersebut juga tidak bisa dikategorikan sebagai buku sejarah yang mu’tabar (otentik). Pengarangnya, yang merupakan salah seorang tokoh besar, menulis buku tersebut ketika ia masih muda. Buku tersebut mencakup sejumlah peristiwa bohong yang tidak terdapat dalam sejarah. Tak seorang pun dari kalangan sejarahwan, ahli hadis, dan penulis maqtal Islam yang menceritakan peristiwa tersebut. Mereka bahkan mengingkarinya. Terjadinya peristiwa tersebut juga tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kejadian bohong itu berkisar tentang datangnya Ahlul Bait Nabi dan keluarga suci Imam Husain as dari Syam ke gurun Karbala pada tanggal 20 Shafar 61 H (hari Arbain).

Kita sering mendengar kisah ini. Namun saya tidak ingat rinciannya. Barangkali kita tidak pernah mendengar bahwa yang berziarah ke makam Imam Husain as pada hari Arbain hanyalah dua orang. Dalam seluruh majlis yang ada, kita pasti akan mendengar kisah seperti ini. Diceritakan bahwa keluarga suci Imam Husain as datang ke Karbala dan menuju ke pusara Imam Husain as. Mereka membacakan syair-syair, puisi-puisi kesedihan, dan memukul-mukul dada masing-masing. Jelas, hal ini merupakan kebohongan belaka.

Inilah tanda-tanda kematian suatu masyarakat. Menerima kebohongan begitu saja dan gagap terhadap kebenaran serta kejujuran. Jabir bin Abdullah al-Anshori merupakan sahabat Nabi yang menemani beliau sejak masa remaja. Di saat terjadi perang Uhud, Jabir masih berusia 16 tahun dan baru menginjak masa baligh. Ketika Rasulullah wafat, ia telah berumur kira-kira 22 atau 23 tahun. Atas dasar ini, maka usia Jabir pada tahun 61 H Jabir adalah 72 tahun. Di akhir usianya, kedua matanya mengalami kebutaan. la bertolak ke Karbala ditemani oleh Athiyah al-Aufâ, seorang ahli hadis. Tatkala tiba di sana, Jabir terlebih dahulu pergi ke sungai Furat (Eufrat) untuk membersihkan dirinya sebelum melakukan ziarah. la mengambil tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan menjadikannya sebagai pewangi yang mengharumkan tubuhnya. Athiyah mengatakan: “Setelah selesai membersihkan diri di sungai Furat, Jabir melangkah mendekati kubur Imam Husain as dengan perlahan-lahan sambil bibirnya mengucapkan zikir dan kalimat-kalimat suci”. Jabir termasuk salah seorang pengikut Imam Ali dan Ahlul Bait Nabi. Usia Jabir lebih tua dari Imam Husain, sekitar 12 tahun. Dengan langkahnya yang perlahan-lahan, akhirnya sampai juga ia ke pusara Imam Husain as. Setelah itu, Jabir berteriak: “Habibi ya Husainl! Kekasihku, wahai Husain! Habîbun lâ yujîbu habîbah? Mengapa kekasih tidak menjawab seruan kekasihnya? Akulah Jabir bin Abdullah al Anshori, akulah temanmu, akulah sahabat dekatmu, akulah budakmu yang tua renta! Mengapa engkau tidak menjawab seruanku, wahai Husain? Husain kekasihku, engkau berhak untuk tidak menjawab seruanku, seruan budakmu yang tua renta. Aku tahu apa yang telah mereka lakukan terhadap urat’iirat lehermu. Aku tahu kepala muliamu telah terpisah dari raga sucimu …“. Jabir mengucapkan banyak mengeluarkan kata-kata hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Setelah siuman, ia menolehkan kepalanya ke sana kemari, seakan-akan dirinya memandang dengan mata batin seraya mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum ayyatuhal arwâhil latî hallat bi finâ`il Husain, salam sejahtera bagi jiwa-jiwa yang berguguran bersama gugurnya Imam Husain.”

Setelah memberikan banyak kesaksian, Jabir mengatakan: “Aku bersaksi bahwa aku bersamamu dalam perjuangan ini.” Athiyah terkejut mendengar kata-kata Jabir. Apa maksud kata-katanya? Apakah kita bersama mereka dalam perjuangan ini? Athiyah berkata kepada Jabir: “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, bukankah kita tidak berjihad bersama mereka? Kita tidak mengangkat pedang untuk berjuang, mengapa kamu katakan bahwa kita bersama mereka dalam perjuangan inil” Jabir mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah pernah mengatakan: ‘Barang siapa yang mencintai temannya dari kedalaman hati, maka jiwanya akan menyatu dengannya dan bersama dalam suatu perbuatan. Saya tidak bergabung dengan Imam Husain dalam perjuangannya saat itu karena saya tidak mampu bersamanya pada saat itu. Saya tidak ikut berjuang bersamanya, namun jiwaku terbang bersama Imam Husain. Jiwa kita bersama jiwa Imam Husain sebelumnya, dan saya berhak mengaku bahwa saya turut serta dalam perjuanganImam Husain’.”

Catatan
[1] Al-Anfâl: 24.
[2] Al-Mukminûn: 115.
[3] Al-Baqarah: 225.
[4] Nahjul Balâghah, “Faidhul Islam”, Khutbah ke-70, hal. 324.
[5] Thâhâ: 74; al-A’lâ: 13.
[6] Al-Anfâl: 24.
[7] An-Naml: 80.
[8] Al-Fâthir: 80.
[9] Al-Jâmi ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.
[10] Al-Anfâl: 24.
[11] Al-Jâmi ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.

[12] Wasâ`il as-Syi’ah: Jilid XI, hal. 108 dan 560; Ushûl al-Kâfi, Jilid III, hal.239. 


Asyura dan Humanisme



Heroisme yang telah diciptakan oleh Imam Hussain (as), putra Imam Ali bin Abi Thalib (as) dan Sayyidah Fatimah Azzahra (sa), cucu Rasul Allah saw, di tahun 61 HQ, adalah heroisme yang lebih luas dari sejarah dan batas-batas geografi, meniupkan semangat hakekat kemanusiaan ke segenap penjuru dunia.

Hari-hari peringatan syahadah Imam Hussain bin Ali alaihimassalam di bulan Muharram, mengingatkan kebangkitan abadi beliau di tanah Karbala. Perlawanan dan kebangkitan Imam Hussain (as) telah mengukir perang tak sebanding melawan bala tentara Yazid bin Muawwiyah bin Abu Sufyan, sang penguasa tiran yang zalim dan kejam di masa itu, sebagai peristiwa yang penuh dengan pelajaran berharga untuk seluruh sejarah ummat manusia, bukan hanya bagi kaum muslim, tetapi bagi semua ummat manusia dari ragam ras, agama atau pun kebangsaan.

Jalan yang ditunjukkan Imam Hussain (as) dalam perjalanan hidup beliau adalah jalan kemuliaan. Bendera yang beliau kibarkan, membuka jalan yang membimbing semua pejuang kemerdekaan dan pencari kemuliaan. Jalan yang memberikan arah bagi raihan kemartabatan hidup kita semua.

Tujuan perjuangan Imam Hussain (as) tak lain demi mendidik ummat manusia untuk memiliki ketinggian dan kemuliaan jiwa serta membebaskan diri dari segala bentuk kerendahan dan kehinaan.

Beliau telah berusaha agar manusia menemukan kembali posisi kemuliaan dan kemanusiaannya. Tak ragu lagi bagi kita yang merenungkannnya, teladan Imam Hussain (as) telah mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, pengorbanan, keteguhan, dan bagaimana kita menghargai nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang berfondasikan semangat pembelaan bagi kebenaran dan kemanusiaan, juga bagaimana kita harus berjuang membelanya.

Salah-satu pelajaran yang dapat kita petik adalah bahwa Imam Hussain (as) adalah seorang yang berjiwa besar, kesatria, mulia, memiliki jiwa pengorbanan yang tinggi dan sifat-sifat utama lainnya. Dan bagi kita saat ini, alangkah baiknya di bulan Muharram ini, kita gali bersama berbagai pelajaran yang diberikan oleh Imam Hussain (as) tersebut.

Dalam hal ini penting diketahui bahwa “Dasar dan fondasi semua perbuatan Imam Hussain (as) adalah kesadaran dan pengetahuan". Beliau adalah lautan ilmu dan makrifat. Berkat pengetahuannya yang luas, yang diperoleh berkat inayah Allah swt, Imam Hussain (as) memiliki iman, takwa dan tawakkal yang sempurna, demikian pula tingkat ibadah yang sangat tinggi. Di sebagian besar waktunya, Imam Hussain (as) memanjatkan doa beriktu ini:

Ya Allah, jadikanlah setiap gerak dan langkahku selalu disertai dengan pandangan yang luas dan jalanku selalu diterangi oleh hidayah, akhlak dan perangaiku disertai oleh kemuliaan dan ketinggian.”