Sherlock Holmes (Akhir Penduduk Pulau)


Makan malam kami benar-benar meriah. Holmes bisa bercakap-cakap tanpa henti kalau sedang ingin, dan malam itu ia banyak bicara. Ia tampaknya sangat gelisah karena kegembiraan yang meluap-luap. Aku belum pernah melihatnya secerah itu. Ia membicarakan serangkaian subjek secara cepat—mengenai drama-drama ajaib, gerabah abad pertengahan, biola Stradivarius, Buddhisme di Srilanka, dan mengenai kapal-kapal perang masa depan—dengan ketelitian seakan-akan ia telah mempelajari masing-masing subjek secara khusus. Selera humornya menunjukkan reaksi dari hari-hari suramnya yang lalu. Athelney Jones ternyata bisa juga bersikap ramah kalau sedang santai, dan ia menghadapi makan malamnya dengan sikap seorang bon vivant. Aku sendiri merasa gembira karena kami telah mendekati akhir tugas kami, dan aku agak terpengaruh oleh keceriaan Holmes. Selama makan malam, kami sama sekali tidak membicarakan hal yang telah membuat kami berkumpul malam ini.

Sesudah meja dibersihkan, Holmes memandang arlojinya dan mengisi tiga gelas dengan anggur.

"Sekadar demi keberuntungan," katanya, "untuk keberhasilan ekspedisi kecil kita. Dan sekarang sudah saatnya kita berangkat. Kau punya pistol, Watson?"

"Ada revolver dinasku yang lama di meja."

"Kalau begitu, sebaiknya kaubawa. Lebih baik kita bersiap sedia. Kulihat kereta sudah tiba di depan pintu. Aku memesannya untuk pukul setengah tujuh."

Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih sedikit sewaktu kami tiba di Dermaga Westminster dan mendapati kapal kami telah menanti. Holmes memandangnya dengan penuh penilaian.

"Apakah ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ini kapal polisi?"

"Ya, lampu hijau di sampingnya."

"Kalau begitu, tanggalkan."

Setelah perubahan kecil tersebut dilaksanakan kami naik ke kapal, dan tali-tali pun dilepaskan. Jones, Holmes, dan aku duduk di haluan. Ada satu orang yang memegang kemudi, satu menangani mesin, dan dua inspektur polisi bertubuh kekar di depan.

"Kita ke mana?" tanya Jones.

"Ke Tower of London. Beritahu mereka untuk berhenti di seberang Jacobson's Yard."

Kapal kami jelas cepat. Kami melesat melewati jajaran panjang bargas-bargas bermuatan, seakan akan mereka tidak bergerak. Holmes tersenyum puas sewaktu kami mendahului sebuah kapal uap dan segera meninggalkannya jauh di belakang.

"Kita seharusnya bisa mengejar apa pun di sungai," katanya.

"Well, tidak tepat begitu. Tapi tidak banyak kapal yang bisa mengalahkan kita."

"Kita harus bisa mengejar Aurora, dan dia terkenal cepat. Akan kuceritakan apa yang terjadi, Watson. Kau ingat betapa jengkelnya aku karena terhambat sebuah masalah kecil?"

"Ya."

"Well, kuistirahatkan benakku sepenuhnya dengan membenamkan diri ke sebuah analisis kimiawi. Salah satu negarawan terbesar kita, William Ewart Gladstone, pernah menyatakan bahwa pergantian pekerjaan merupakan istirahat terbaik. Memang begitu. Sesudah berhasil menguraikan hidrokarbon, aku kembali memikirkan masalah Sholto, dan mempertimbangkan seluruh masalahnya sekali lagi. Anak buahku sudah menyusuri sungai ke hulu dan ke hilir, tanpa hasil. Kapalnya tidak terlihat di dermaga mana pun, dan juga belum kembali. Sebenarnya sulit untuk menyembunyikan jejak mereka, sekalipun hipotesa itu tetap mungkin apabila segala yang lainnya gagal. Aku tahu si Small ini cukup licin, tapi kurasa dia tidak mampu melakukan apa pun yang tergolong rumit. Kerumitan biasanya merupakan produk dari pendidikan yang lebih tinggi. Lalu terlintas dalam pikiranku bahwa berhubung dia jelas sudah berada di London selama beberapa waktu—sebagaimana bukti-bukti yang kita dapatkan bahwa dia terus-menerus mengawasi Pondicherry Lodge—tak mungkin dia bisa pergi setiap saat; dia perlu sedikit waktu, kalaupun hanya sehari, untuk membereskan segala urusannya. Itulah kemungkinannya."

"Bagiku kemungkinan itu agak lemah," kataku, "lebih mungkin kalau dia sudah mengatur persiapan sebelum memulai ekspedisinya."

"Tidak, kurasa tidak begitu. Sarangnya merupakan tempat persembunyian yang berharga, sebelum dia merasa yakin bisa melaksanakan rencananya tanpa tempat itu. Tapi pertimbangan kedua melintas dalam pikiranku. Jonathan Small pasti merasa bahwa penampilan aneh rekannya, tak peduli bagaimanapun dia menutupinya, akan menimbulkan gosip, dan kemungkinan akan dihubungkan dengan tragedi Norwood ini. Dia cukup cerdas untuk memahami hal itu. Mereka telah memulai dari markas besarnya, dalam perlindungan kegelapan, dan dia pasti ingin kembali ke sana sebelum terang tanah. Nah, menurut Mrs. Smith, saat itu pukul tiga lewat, sewaktu mereka tiba di perahu. Cuaca pasti sudah cukup terang, dan sekitar satu jam lagi orang-orang pasti sudah ramai. Karena itu, kupikir mereka tidak akan pergi terlalu jauh. Mereka membayar Smith cukup besar untuk menutup mulutnya, menyiapkan kapalnya untuk pelarian terakhir, dan bergegas ke tempat penginapan mereka dengan membawa kotak harta itu. Selama dua malam, sewaktu mereka sempat memastikan pandangan koran-koran atas kasus itu, dan apakah ada kecurigaan apa pun, mereka akan berusaha melarikan diri dalam kegelapan ke kapal di Gravesend atau di Downs; di sana tidak ragu lagi mereka sudah mengatur perjalanan ke Amerika atau ke Koloni."

"Tapi kapalnya? Mereka tidak mungkin membawa kapalnya ke tempat penginapan."

"Memang benar. Kuperkirakan kapalnya pasti tidak berada terlalu jauh, sekalipun tidak terlihat. Lalu kubayangkan diriku sendiri sebagai Small, dan kupikirkan masalah itu dari sudut pandang seseorang dengan kapasitas seperti dirinya. Dia mungkin sudah mempertimbangkan bahwa kalau dia memerintahkan kapalnya kembali, atau menyandarkannya ke dermaga, polisi bisa dengan mudah mengejarnya, seandainya mereka berhasil melacak dirinya. Kalau begitu, bagaimana caranya supaya kapal itu tetap tersembunyi, tapi bisa digunakan setiap saat dibutuhkan? Kupikirkan apa yang akan kulakukan seandainya menjadi dirinya. Aku hanya bisa memikirkan satu cara untuk itu. Mungkin aku akan mengirim kapal itu ke tukang kapal, dengan perintah untuk melakukan perubahan minim atasnya. Dengan begitu kapalnya akan berada di galangan, dan tersembunyi dengan baik, sementara pada saat yang sama aku bisa mengeluarkannya bila sewaktu-waktu memerlukannya."

"Rasanya itu cukup sederhana."

"Justru hal-hal yang sangat sederhanalah yang sering kali terlewatkan. Tapi aku memutuskan untuk bertindak dengan gagasan itu. Dengan kostum pelaut ini, aku langsung bertindak dan menanyai semua galangan di sepanjang tepi sungai. Aku tidak mendapatkan apa-apa di lima belas galangan, tapi di galangan keenam belas— Jacobson's—aku diberitahu bahwa Aurora diserahkan ke sana dua hari yang lalu oleh seorang pria berkaki kayu, dengan perintah remeh mengenai kemudinya. 'Tidak ada yang salah dengan kemudinya,' kata mandor galangan. 'Itu dia, dengan garis-garis merahnya.' Pada saat itu Mordecai Smith sendiri muncul, si pemilik yang hilang. Dia sedang mabuk berat. Tentu saja aku tidak mengenalinya, tapi dia meneriakkan namanya dan nama kapalnya. 'Kuminta kapalku siap pukul delapan nanti malam,' katanya—'pukul delapan tepat, karena ada dua orang tuan yang tidak bersedia menunggu.' Mereka jelas telah membayarnya cukup baik, karena dia punya banyak uang, membagi-bagikan shilling kepada para pekerja. Kuikuti dia selama beberapa waktu, tapi dia masuk ke dalam kedai minum; jadi aku kembali ke galangan dan, kebetulan, bertemu dengan salah seorang anak buahku di tengah jalan. Kutempatkan dia di galangan, untuk mengawasi kapal itu. Dia harus berdiri di tepi sungai dan melambai-lambaikan saputangannya kalau mereka berlayar. Kita akan mencegatnya di sungai, dan pasti aneh kalau kita tidak bisa mendapatkan orang, harta, dan semuanya."

"Kau sudah merencanakan semuanya dengan sangat rapi, tak peduli mereka orang yang tepat atau bukan," kata Jones, "tapi kalau semua ini terserah padaku, aku akan menyiapkan sepasukan polisi di Jacobson's Yard dan menangkap mereka saat tiba di sana."

"Kalau begitu caranya, kau tidak akan pernah menangkap mereka. Small ini cukup licik. Dia pasti mengirim orang untuk memeriksa keadaan, dan kalau ada apa pun yang mencurigakan baginya, dia akan bersembunyi seminggu lagi."

"Tapi kau bisa saja terus mengikuti Mordecai Smith, dan dengan begitu menemukan tempat persembunyian mereka," kataku.

"Dalam hal itu, aku akan membuang-buang waktu. Kecil sekali kemungkinan Smith mengetahui di mana mereka tinggal. Selama dia bisa membeli minuman keras dan mendapat bayaran bagus, untuk apa dia bertanya-tanya? Mereka mengirimkan pesan tentang apa-apa yang harus dilakukannya. Tidak, aku sudah memikirkan setiap cara yang mungkin, dan inilah yang terbaik."

Sementara percakapan berlangsung, kami telah melewati serangkaian jembatan panjang yang membentang di sepanjang Thames. Saat melewati London City, berkas terakhir matahari tengah meluncur di puncak St. Paul's. Senja telah turun sebelum kami tiba di Tower.

"Itu Jacobson's Yard," kata Holmes, sambil menunjuk sekelompok balok penopang dan galangan di sisi Surrey. "Kita tunggu saja di sini." Ia mengeluarkan teropong dari sakunya dan mengamati tepi sungai. "Kulihat anak buahku di tempatnya," katanya, "tapi tidak ada lambaian saputangan."

"Seandainya kita menuju hilir sedikit dan menunggu mereka," kata Jones dengan penuh semangat.

Kami semua bersemangat pada saat ini, termasuk para polisi dan tukang perahu yang hanya samar-samar memahami apa yang tengah terjadi.

"Kita tidak boleh menganggap remeh apa pun," kata Holmes. "Jelas sepuluh banding satu mereka akan menuju hilir. Tapi kita tidak bisa memastikan. Dari tempat ini kita bisa melihat pintu masuk galangan, dan mereka hampir tak bisa melihat kita. Malam ini cuaca cerah dan cukup terang. Kita harus tetap berada di sini. Lihat orang-orang yang berkeliaran di bawah cahaya lampu gas di sana?"

"Mereka baru pulang dari bekerja di galangan."

"Berandalan-berandalan yang tampak kotor, tapi kurasa setiap orang menyimpan rahasia dalam diri mereka. Kita tidak akan menyadarinya, kalau sekadar melihat penampilan luar mereka. Tidak ada kemungkinan yang apriori dari penampilan mereka. Manusia memang teka-teki yang aneh!"

"Ada yang mengatakan mereka jiwa yang terkurung dalam tubuh hewan," kataku.

"Winwood Reade memang pandai dalam hal itu," kata Holmes. "Dia mengatakan bahwa, sekalipun seorang individu merupakan teka-teki yang tidak terpecahkan, secara agregat dia menjadi sebuah kepastian matematis. Misalnya, kau mungkin tak mampu menebak apa yang akan dilakukan seseorang, tapi kau bisa mengatakan dengan tepat apa yang akan dilakukan sejumlah orang. Individu bervariasi, tapi persentase tetap konstan. Begitu kata ahli statistik. Tapi apa aku melihat saputangan? Jelas ada sesuatu berwarna putih yang berkibar-kibar."

"Ya, itu anak buahmu," seruku. "Aku bisa melihatnya dengan jelas."

"Dan itu Aurora" seru Holmes, "meluncur seperti setan! Kecepatan penuh, masinis. Kejar kapal berlampu kuning itu. Demi surga, aku tidak akan pernah memaafkan diriku kalau terbukti dia lebih cepat dari kita!"

Kapal tersebut telah menyelinap tak terlihat melewati pintu masuk galangan, melintas di antara dua atau tiga buah kapal kecil, dan berhasil melaju cukup cepat sebelum kami melihatnya. Sekarang kapal tersebut tengah melayang di sungai, dekat dengan tepi, dengan kecepatan tinggi. Jones menatapnya muram dan menggeleng.

"Mereka cepat sekali," katanya. "Aku ragu kita bisa mengejarnya."

"Kita harus mengejarnya!" seru Holmes dengan penuh tekad. "Lebih cepat lagi, masinis! Kapal ini harus berlayar secepat mungkin! Mereka harus dikejar, kalaupun kapal ini sampai terbakar!"

Kami sekarang mulai berhasil mengejar. Tungku kapal meraung-raung, mesin-mesin yang kuat mendesis dan berdentang-dentang, bagai sebuah jantung metalik raksasa. Baling-balingnya yang tajam dan curam memotong air sungai yang tenang dan menimbulkan dua gelombang yang bergulung-gulung ke kiri dan ke kanan kami. Dengan setiap entakan mesin, kapal melonjak dan bergetar bagai makhluk hidup. Sebuah lampu kuning besar di buritan menerangi bagian depan kami. Tepat di depan ada bayang-bayang samar di air yang menunjukkan keberadaan Aurora, dan kumpulan buih putih di belakang kapal tersebut menyatakan kecepatan lajunya. Kami bagai terbang melewati bargas-bargas, kapal uap, kapal dagang, masuk dan keluar, di belakang kapal yang satu dan mengitari kapal yang lain. Terdengar teriakan-teriakan ke arah kami dari kegelapan, tapi Aurora masih terus menggemuruh maju, dan kami masih mengikuti jejaknya dengan ketat.

"Lebih cepat lagi, Bung, lebih cepat lagi!" seru Holmes, sambil menunduk memandang ke ruang mesin, sementara kobaran hebat dari sana menerangi wajahnya yang tajam dan bersemangat. "Kerahkan segenap tenaga."

"Kurasa kita sudah berhasil mempersempit jarak," kata Jones dengan mata terpaku ke Aurora.

"Aku yakin begitu," kataku. "Kita pasti bisa menyusulnya dalam beberapa menit lagi."

Tapi pada saat itu nasib sial menghadang kami. Tiga buah bargas berjajar menghalangi kami. Hanya dengan membalik putaran baling-baling sekuat tenaga kami dapat menghindari kecelakaan. Dan sebelum kami dapat mengembalikan posisi, Aurora telah menjauh dua ratus meter lagi. Tapi kami masih bisa melihatnya, dan senja yang remang-remang berubah menjadi malam cerah yang diterangi bintang-bintang. Tungku-tungku kami bekerja sekuat-kuatnya, pelat-pelatnya yang rapuh bergetar dan berderak-derak.

Kami melesat melewati kolam, melewati Dermaga India Barat, menyusuri Deptford Reach yang panjung, dan muncul kembali setelah memutari Isle of Dogs. Sosok samar di depan kami kembali terlihat jelas menjadi Aurora. Jones mengarahkan lampu sorot kami ke kapal tersebut, sehingga kami bisa melihat orang-orang di geladak dengan jelas.

Salah satunya tengah duduk di buritan, tengah meraih sesuatu berwarna hitam dari lututnya. Di sampingnya tergeletak seonggok benda kehitaman yang mirip anjing Newfoundland. Bocah tersebut memegang kemudi, sementara di depan tungku yang membara kulihat Smith tua bertelanjang dada, mati-matian menyekop batu bara ke dalam tungku.

Kalau tadi mereka sempat ragu-ragu apakah kami memburu mereka, sekarang tidak lagi, saat kami mengikuti setiap gerak dan langkah mereka. Di Greenwich kami berhasil memperkecil jarak hingga sekitar 90 meter. Di Blackwall kami tak mungkin lebih dari 75 meter. Aku telah bertemu dengan banyak makhluk, di banyak negara, selama karierku sebagai dokter angkatan, tapi belum pernah kualami kejadian semenegangkan kejar-mengejar di Thames ini. Dengan mantap kami terus mendekati mereka. Dalam kesunyian malam, kami bisa mendengar kenbutan mesin kapal mereka.

Pria di haluan masih membungkuk di geladak, dan lengannya bergerak seakan-akan ia tengah sibuk, sementara sesekali ia menengadah dan memperkirakan jarak di antara kami. Semakin lama kami semakin dekat.

Jones berteriak memerintahkan mereka berhenti. Kami tak lebih dari empat kali panjang kapal jauhnya, melesat dengan kecepatan tinggi, sebagaimana buruan kami. Bagian sungai ini sepi, dengan Barking Level di satu sisi dan Plumstead Marshes di sisi lain. Mendengar teriakan kami, pria di haluan melompat turun dari geladak dan mengacungkan kedua tinjunya ke arah kami, memaki-maki dengan suara serak melengking. Tubuhnya cukup kekar dan kuat. Saat ia berdiri dengan kaki terpentang, aku bisa melihat bahwa dari paha ke bawah hanya ada tunggul kayu di sebelah kanannya.

Begitu mendengar jeritan kemarahannya, buntalan di geladak pun bergerak. Buntalan tersebut menegakkan tubuh menjadi seorang manusia berkulit hitam kecil—yang terkecil yang pernah kulihat—dengan kepala besar yang bentuknya kacau, dan rambut lebat yang kusut masai.

Holmes telah mencabut revolvernya, dan aku segera mencabut pistolku sendiri begitu melihat makhluk buas ini. Ia terbungkus semacam mantel atau selimut berwarna gelap, sehingga hanya wajahnya yang terlihat, tapi wajah tersebut sudah cukup untuk menyebabkan orang tak bisa tidur semalaman. Belum pernah aku melihat wajah sebuas dan sekejam itu. Matanya yang kecil bagai memancarkan cahaya muram, dan bibirnya yang tebal tertarik memamerkan gigi-giginya yang melontarkan raungan kemarahan seekor hewan.

"Tembak kalau dia mengangkat tangan," kata Holmes pelan.

Kami hanya sejauh satu kapal sekarang, dan hampir-hampir bisa menyentuh buruan kami. Aku bisa melihat mereka berdua sekarang, pria kulit putih yang berdiri dengan kaki terpentang, memaki-maki, dan orang kate berwajah seram tersebut, gigi-giginya yang kekuningan mengancam kami dalam cahaya lentera.

Untung kami bisa melihatnya dengan begitu jelas. Bahkan saat kami menatapnya, ia mengeluarkan sepotong kayu pendek dan bulat dari balik mantelnya. Kayu tersebut mirip penggaris di sekolah, dan ia menempelkannya ke bibirnya. Pistol kami menyalak bersama-sama. Ia berputar balik, melontarkan lengannya, dan, diiringi suara bagai orang batuk karena tercekik, jatuh menyamping ke sungai. Aku sempat melihat pandangannya yang mengancam di tengah-tengah gelora air yang putih. Pada saat yang sama, pria berkaki kayu melontarkan diri ke kemudi dan menariknya sekuat tenaga, sehingga kapalnya terarah lurus ke tepi selatan, sementara kami melesat melewati buritannya, hanya dalam jarak beberapa kaki.

Kami segera berputar balik mengejarnya, tapi Aurora telah mendekati tepi sungai. Tempat tersebut liar dan terpencil, cahaya bulan memantul pada bentangan rawa-rawa yang luas, dengan kolam-kolam air yang tidak bergerak dan tumbuh-tumbuhan yang membusuk. Kapal itu, diiringi debuman pelan, merapat di tepinya yang berlumpur, dengan haluan di udara dan buritan terendam air.

Pelarian kami melompat keluar, tapi kaki kayunya seketika melesak sepenuhnya ke dalam tanah yang basah. Dengan sia-sia ia memberontak dan menggeliat-geliat. Ia tak bisa bergerak selangkah pun, baik maju maupun mundur. Ia berteriak murka dan menendang-nendang lumpur mati-matian dengan kakinya yang lain, tapi perjuangannya membuat kaki kayunya tertancap semakin dalam di tepi sungai. Saat kami menghentikan kapal di sampingnya, ia telah tertancap begitu kokoh, sehingga kami hanya bisa menariknya dengan melilitkan tali ke bahunya, bagai seekor ikan yang jahat, ke atas kapal.

Kedua Smith, ayah dan anak, duduk dengan muram di kapal mereka, tapi dengan patuh berpindah ke kapal kami saat diperintah. Aurora diikatkan ke kapal kami dan ditarik. Sebuah kotak besi buatan India ada di geladak. Ini, tak perlu diragukan lagi, jelas merupakan kotak berisi harta karun Sholto. Tidak ada kuncinya, tapi kotak tersebut cukup berat, sehingga kami dengan hati-hati memindahkannya ke kabin kami sendiri yang kecil. Saat melaju perlahan-lahan ke hulu, kami mengarahkan lampu sorot ke segala arah, tapi tidak terlihat tanda-tanda orang kate tadi. Di suatu tempat di dasar Thames tergeletak tulang-belulang tamu aneh tersebut.

"Lihat ini," kata Holmes, sambil menunjuk ke pintu kayu. "Kita kurang cepat menggunakan pistol." Di sana, tepat di belakang tempat kami berdiri tadi, tertancap salah satu paser mematikan yang begitu kami kenali. Paser tersebut pasti mendesing melewati kami pada saat kami menembak. Holmes tersenyum memandangnya dan mengangkat bahu dengan gaya menyepelekan. Tapi kuakui, aku merasa mual saat memikirkan kematian mengerikan yang begitu nyaris menimpa kami malam itu.

Sherlock Holmes (Harta Karun Agra yang Agung)


TAWANAN kami duduk di kabin, di seberang kotak besi yang diperolehnya dengan susah payah setelah sekian lama. Kulitnya tampak terbakar matahari, pandangan matanya selalu gelisah, dan garis-garis serta kerut-kerut di seluruh wajahnya yang kecokelatan menunjukkan kehidupan keras di alam terbuka. Dagunya yang menonjol di balik janggutnya menandakan ia orang yang tidak mudah berpaling dari tujuannya. Usianya mungkin lima puluh atau sekitar itu, karena rambut keritingnya yang hitam telah dihiasi uban. Wajahnya tidaklah menakutkan, sekalipun alisnya yang lebat dan dagunya yang menonjol menyebabkan ekspresinya tampak menakutkan bila marah, seperti telah kulihat belakangan. Ia sekarang duduk dengan tangan terborgol di pangkuannya, kepalanya menunduk ke dada, sementara ia memandang tajam ke kotak yang menjadi penyebab kejahatannya. Menurutku wajahnya lebih memancarkan kesengsaraan daripada kemarahan. Sekali ia menengadah padaku, dan kulihat matanya memancarkan sorot tawa.

"Well, Jonathan Small," kata Holmes sambil menyulut cerutu, "sayang sekali akhirnya harus begini."

"Aku juga menyesal, Sir," jawab pria tersebut. "Bukan aku yang melakukan itu. Aku bersumpah tidak pernah berniat membunuh Mr. Sholto. Setan kecil itu, Tonga, yang menembakkan salah satu paser terkutuknya pada Mr. Sholto. Aku tidak terlibat dalam hal ini, Sir. Aku sama berdukanya seperti kalau dia masih ada hubungan darah denganku. Kucambuk setan kecil itu sebagai ganjaran atas ulahnya, tapi semuanya sudah terjadi, dan aku tak bisa mengubahnya."

"Ambillah cerutu ini," kata Holmes, "dan sebaiknya kauteguk minumanku, karena kau basah kuyup. Bagaimana kau bisa mengharapkan orang sekecil dan selemah orang hitam itu untuk mengatasi Mr. Sholto dan menahannya sementara kau memanjat talinya?"

"Kau tampaknya tahu banyak mengenai kejadian ini, Sir. Sebenarnya aku berharap mendapatkan kamar itu dalam keadaan kosong. Aku cukup mengenal kebiasaan penghuni rumah, dan pada waktu itu biasanya Mr. Sholto turun untuk makan malam. Aku tidak perlu merahasiakan apa pun. Pembelaan terbaik yang bisa kulakukan adalah dengan menceritakan kebenarannya.

Nah, kalau si mayor tua yang ada di sana, aku pasti akan menghabisinya tanpa ragu-ragu. Bagiku menusuknya dengan pisau sama saja seperti mengisap cerutu ini. Tapi sungguh terkutuk aku harus berhadapan dengan Sholto muda itu, yang tidak punya urusan apa pun denganku."

"Kau ditahan oleh Mr. Athelney Jones dari Scotland Yard. Dia akan membawamu ke rumahku, dan aku akan menanyakan seluruh kejadian yang sebenarnya. Kau harus menceritakan dengan sejujurnya, dan mungkin aku bisa membantumu. Kurasa aku bisa membuktikan bahwa racun itu bereaksi begitu cepat, sehingga Sholto sudah tewas sebelum kau tiba di kamar."

"Memang benar begitu, Sir. Aku belum pernah seterkejut itu seumur hidup, sewaktu melihatnya menyeringai ke arahku dengan kepala di bahu, saat aku memanjat melewati jendela. Aku sangat terguncang karenanya. Aku pasti akan menghajar Tonga habis-habisan kalau dia tidak bergegas pergi. Itu sebabnya gadanya tertinggal, juga paser-pasernya, sebagaimana diceritakannya padaku, yang menurutku sudah menyebabkan kau mampu melacak kami; sekalipun bagaimana kau bisa terus mengikuti kami tidak bisa kuketahui. Aku tidak berniat jahat terhadapmu untuk itu. Tapi rasanya memang aneh," tambahnya sambil tersenyum pahit, "bahwa aku, yang berhak memiliki uang setengah juta, harus menghabiskan separuh pertama hidupku dengan membangun pemecah ombak di Andaman, dan kemungkinan akan menghabiskan separuh sisanya dengan menggali saluran di Dartmoor. Hari yang sial bagiku saat pertama kali melihat Achmet si pedagang, dan terlibat dalam harta karun Agra yang tidak pemah menghasilkan apa pun kecuali kutukan terhadap orang yang memilikinya. Baginya menghasilkan pembunuhan, bagi Mayor Sholto menghasilkan ketakutan dan perasaan bersalah, bagiku itu berarti perbudakan seumur hidup."

Pada saat ini Athelney Jones menjulurkan wajahnya yang lebar dan bahunya yang kekar ke dalam kabin mungil tersebut.

"Pesta keluarga yang cukup meriah," katanya. "Kurasa aku butuh seteguk minumanmu, Holmes. Well, kurasa kita sudah bisa saling memberi selamat. Sayangnya kita tidak bisa menangkap hidup-hidup yang satu lagi, tapi tidak ada pilihan lain. Kalau menurutku, Holmes, kau sudah membereskan masalah ini dengan baik. Kita susah payah mengejarnya tadi."

"Semua yang baik akan berakhir dengan baik," kata Holmes. "Tapi jelas aku tidak tahu kalau Aurora bisa secepat itu."

"Kata Smith kapalnya salah satu yang tercepat di sungai, dan katanya kalau ada orang yang membantunya menangani mesin, kita seharusnya tidak bisa mengejarnya. Dia bersumpah tidak tahu apa-apa mengenai urusan Norwood ini."

"Memang tidak," seru tahanan kami. "Tidak sepatah pun. Aku memilih kapalnya karena kudengar kapalnya yang paling cepat. Kami tidak mengatakan apa apa kepadanya, tapi kami membayarnya dengan baik. Dan dia akan mendapatkan bonus lebih besar saat kami tiba di kapal kami, Esmeralda, di Gravesend, dengan tujuan Brasilia."

"Well, kalau dia tidak melakukan kesalahan, kami akan memastikan tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Walau kami cukup cepat menangkap buruan kami, kami tidak secepat itu dalam memvonis mereka."

Menggelikan betapa Jones telah mulai menunjukkan sikap seolah-olah dirinyalah yang telah menyebabkan pengejaran ini berhasil. Dari senyum tipis yang bermain-main di wajah Sherlock Holmes, aku bisa melihat bahwa ia mendengar komentar Jones.

"Kita akan tiba di Jembatan Vauxhall sebentar lagi," kata Jones, "dan kau akan mendarat di sana, Dr. Watson, bersama kotak hartanya. Tak perlu kukatakan bahwa tanggung jawab kotak itu ada di tanganku. Ini sangat tidak biasa, tapi tentu saja perjanjian tetaplah perjanjian. Tapi, sebagai kewajiban, aku harus mengirimkan seorang inspektur untuk mendampingimu, karena kau membawa barang yang begitu berharga. Kau yang mengemudi?"

"Ya, aku yang akan mengemudi."

"Sayang sekali tidak ada kuncinya, kalau ada kita bisa menginventaris isinya lebih dulu. Kau harus membongkarnya. Di mana kuncinya, my man?"

"Di dasar sungai," jawab Small singkat.

"Hmm! Seharusnya kau tidak perlu menambah kesulitan kami. Kami sudah cukup bersusah payah menangkapmu. Tapi, Dokter, aku tak perlu memperingatkanmu untuk berhati-hati. Bawa kembali kotaknya ke Baker Street. Kami akan ada di sana, dalam perjalanan ke kantor."

Mereka menurunkanku di Vauxhall, bersama kotak besi yang berat itu, dan diikuti seorang inspektur periang untuk mendampingiku. Perjalanan dengan kereta selama seperempat jam mengantar kami ke rumah Mrs. Cecil Forrester. Pelayan tampaknya terkejut melihat kunjunganku yang selarut itu. Mrs. Cecil Forrester sedang pergi, katanya menjelaskan, dan kemungkinan pulang terlambat. Tapi Miss Morstan ada di ruang duduk, jadi aku menuju ruang duduk, dengan membawa kotaknya, meninggalkan si inspektur di kereta.

Miss Morstan sedang duduk di dekat jendela yang terbuka, mengenakan pakaian berwarna putih, dengan sedikit sentuhan merah di leher dan pinggangnya. Cahaya lembut sebuah lampu bertudung meneranginya saat ia menyandar ke kursi anyaman, bermain-main di wajahnya yang anggun dan cantik, dan memantul pada rambut keritingnya yang lebat. Satu legannya menjuntai di sisi kursi, dan seluruh sosoknya menyatakan kemelankolisan yang dalam. Tapi saat mendengar suara langkahku ia melompat bangkit, wajahnya memerah karena terkejut dan gembira.

"Kudengar ada kereta berhenti," katanya. "Kukira Mrs. Forrester pulang lebih awal, tapi aku tak pernah bermimpi bahwa Anda yang datang. Ada berita apa?"

"Aku membawa sesuatu yang lebih baik dari berita," kataku, sambil meletakkan kotak itu di meja dan berbicara dengan nada riang dan bersemangat, sekalipun perasaanku terasa berat. "Aku membawakan sesuatu yang nilainya sama dengan semua berita di dunia. Aku membawakan harta untuk Anda."

Ia memandang kotak besi itu sekilas.

"Kalau begitu, itu harta karunnya?" tanyanya, dengan nada cukup dingin

"Ya, ini harta karun Agra. Separuhnya milik Anda dan separuh lagi milik Thaddeus Sholto. Kalian masing-masing akan mendapat dua ratus ribu. Coba pikirkan! Penghasilan tahunan sebesar sepuluh ribu pound. Hanya sedikit gadis muda yang lebih kaya dari itu di lnggris. Hebat, bukan?"

Kurasa aku agak berlebihan dalam mengungkapkan kegembiraanku, dan rupanya Miss Morstan menangkap kehampaan dalam ucapan selamatku, karena kulihat alis matanya terangkat sedikit, dan ia menatapku penasaran.

"Kalau aku berhasil mendapatkannya," katanya, "itu karena Anda."

"Tidak, tidak," jawabku, "bukan karena aku, tapi karena temanku Sherlock Holmes. Walau aku bersusah payah, aku tidak akan bisa mengikuti petunjuk yang sudah menguras bahkan kejeniusan analisanya. Sebagaimana yang terjadi, kami hampir saja kehilangan harta ini pada saat-saat terakhir."

"Silakan duduk dan ceritakan semuanya, Dr. Watson," katanya.

Aku menceritakan dengan singkat, apa yang terjadi sejak kedatanganku yang terakhir. Metode pencarian Holmes yang baru, penemuan Aurora, kemunculan Athelney Jones, ekspedisi kami malam ini, dan kejar-mengejar di Thames. Miss Morstan mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata berkilau-kilau. Sewaktu aku menceritakan tentang paser yang hampir-hampir mengenai kami, ia berubah pucat pasi begitu hebat, sehingga aku khawatir ia akan jatuh pingsan.

"Tidak apa-apa," katanya saat aku bergegas menuangkan segelas air untuknya. "Aku sudah tidak apa-apa lagi. Aku hanya terkejut mendengar bahwa aku sudah menghadapkan teman-temanku pada bahaya sebesar itu."

"Sekarang sudah berakhir," kataku. "Bukan apa-apa. Aku tidak akan menceritakan rincian yang menakutkan lagi. Sekarang kita bicarakan saja masalah yang lebih ceria. Ini harta karunnya. Apa yang bisa lebih ceria lagi? Aku mendapat izin untuk membawanya, karena kupikir Anda mungkin tertarik untuk menjadi orang pertama yang melihatnya."

"Aku sangat berminat," kata Miss Morstan. Tapi tak ada semangat dalam suaranya. Tidak ragu lagi, ia mungkin merasa telah bersikap tidak tahu berterima kasih dengan tidak mengacuhkan hadiah yang begitu sulit didapat.

"Kotaknya cantik sekali!" katanya, sambil membungkuk di atasnya. "Ini karya orang India, bukan?"

"Ya, ini karya logam dari Benares."

"Dan berat sekali!" serunya, saat mencoba mengangkatnya. "Kotaknya sendiri pasti bernilai. Di mana kuncinya?"

"Small sudah membuangnya ke Thames," jawabku. "Aku terpaksa meminjam penyodok perapian Mrs. Forrester."

Di bagian depan kotak terdapat kunci tebal dan lebar, dengan ukiran berbentuk Buddha sedang duduk. Kuselipkan ujung penyodok ke baliknya dan memuntirnya ke luar sebagai tuas. Kuncinya pecah berantakan dengan suara keras. Dengan jemari gemetar kubuka tutup kotak. Kami berdua berdiri ternganga. Kotak tersebut kosong!

Tidak heran kotak tersebut berat. Dinding besinya setebal satu setengah sentimeter di seluruh bagian. Kotak tersebut padat, baik buatannya, dan kokoh, seperti sebuah peti yang dirancang untuk tempat benda-benda berharga, tapi di dalamnya tidak ada sepotong perhiasan pun. Kotak itu kosong melompong.

"Hartanya hilang," kata Miss Morstan dengan tenang.

Saat aku mendengar kata-katanya dan menyadari apa artinya, rasanya seperti ada bayang-bayang besar yang beralih dari jiwaku. Sebelumnya aku tidak menyadari bahwa harta karun Agra ini sudah membebaniku. Jelas perasaan ini egois, tidak setia, keliru, tapi aku menyadari bahwa sekarang tidak ada lagi penghalang di antara kami:

"Terima kasih, Tuhan" semburku dengan setulus hati.

Miss Morstan memandangku sambil tersenyum mempertanyakan.

"Kenapa Anda berkata begitu?"

"Karena kau sekarang terjangkau lagi olehku," kataku sambil meraih tangannya. Ia tidak menariknya. "Karena aku mencintaimu, Mary, setulus seorang pria mencintai seorang wanita. Karena harta ini, kekayaan ini, sudah mengunci bibirku. Sekarang, sesudah harta ini tidak ada, aku bisa mengatakan betapa aku mencintaimu. Itu sebabnya aku mengatakan, 'Terima kasih, Tuhan'."

"Kalau begitu, aku juga mengatakan 'Terima kasih', Tuhan" bisiknya saat aku menariknya ke sampingku. Siapa pun yang telah kehilangan harta, aku tahu bahwa pada malam itu aku telah mendapatkan hartaku sendiri.

Detektif Sherlock Holmes


Ketika itu pukul sembilan malam, tanggal 2 Agustus –Agustus paling menyedihkan dalam sejarah umat manusia. Orang mungkin akan langsung berpikir bahwa kutukan Tuhan sedang melanda dunia yang makin rusak ini, karena walaupun suasananya tenang-tenang saja, ketakutan dan ketidakpastian melayang-layang di udara yang panas tak bergerak. Matahari sudah tenggelam sejak tadi, tapi sederet awan jingga bak luka yang menganga masih tergantung rendah di langit sebelah barat di kejauhan. Di atas, bintang-bintang bersinar dengan cerahnya, dan di bawah lampu-lampu kapal terlihat gemerlapan dari pantai. Dua pria penting berkebangsaan Jerman berdiri di samping tembok batu pendek di sebuah jalanan taman. Di belakang mereka berdiri dengan kokoh rumah tembok yang memanjang tapi tak seberapa tinggi. Mereka sedang memandang ke bawah—ke pantai yang luas yang terletak di kaki jurang berkapur tempat Von Bork membangun rumahnya empat tahun yang lalu.

Mereka berdua berdiri berdekatan sambil berbincang-bincang pelan dan penuh rahasia. Dari bawah, kedua api rokok mereka bagaikan sepasang mata musuh yang sedang mengintai di kegelapan.

Von Bork orang yang luar biasa—tak ada tandingannya di antara agen-agen Kaisar Jerman yang terkenal sangat setia. Berkat keahliannya inilah dia dikirim untuk melakukan tugas pengintaian di Inggris—negara sasaran mereka yang paling utama. Sejak dia mengemban tugas itu, keahliannya menjadi semakin terbukti bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Salah satu dari mereka adalah orang yang sekarang menemaninya, Baron Von Herling, sekretaris kedutaan yang memiliki mobil Mercedes Benz berkekuatan 100 tenaga kuda.

"Sejauh yang bisa kumengerti dari rangkaian peristiwanya, kau mungkin akan kembali ke Berlin dalam seminggu ini," kata si sekretaris. "Kalau sudah sampai di sana, sobatku Von Bork, kurasa kau akan terkejut atas sambutan meriah yang akan kauterima. Aku kebetulan tahu bagaimana pendapat pimpinan-pimpinan di pusat atas prestasimu di negeri ini." Baron Von Herling berperawakan besar, gaya bicaranya tak terburu-buru tapi mantap, aset utamanya dalam karier politiknya.

Von Bork tertawa. "Tak terlalu susah mengelabui orang-orang Inggris ini," komentarnya. "Mereka begitu penurut dan lugu."

"Aku tak begitu yakin akan hal itu," kata temannya sambil berpikir. "Mereka punya 'batas-batas' tertentu, dan kita harus tahu hal itu. Penampilan mereka yang tampaknya lugu itulah yang menjadi jerat bagi orang yang tak begitu memahami mereka. Mula-mula kita mendapat kesan mereka betul-betul lunak. Tapi mereka bisa tiba-tiba bersikap sangat keras dan kita sadar telah melampaui 'batas' mereka. Kita tak dapat berbuat apa-apa kecuali menerima saja kenyataan itu. Mereka, misalnya, memiliki konvensi-konvensi yang harus dipatuhi."

"Maksudmu sopan santun dan semacamnya?" Von Bork mengeluh seperti orang yang telah banyak menanggung penderitaan.

"Maksudku prasangka orang Inggris dalam perwujudannya yang aneh-aneh. Sebagai contoh, aku bisa mengemukakan salah satu kesalahanku yang sangat fatal. Aku berani membicarakan ini karena kau tahu benar tentang pekerjaan dan prestasiku. Dan itu terjadi ketika aku baru tiba di sini untuk pertama kalinya. Aku diundang ke pertemuan akhir pekan di rumah peristirahatan seorang menteri kabinet. Percakapan mereka sangat bebas, tidak hati-hati."

Von Bork mengangguk. "Aku pernah diundang ke pertemuan seperti itu," katanya dengan nada kering.

"Well, aku tentu saja mengirim laporan ke Berlin tentang informasi yang kudapatkan di situ. Ternyata apa yang mereka katakan bukan rahasia. Atasanku langsung mengirim balasan, mengatakan dia sudah tahu tentang semua itu. Akibatnya sangat fatal bagi karierku, dua tahun aku harus menebus kesalahan itu. Ingatlah baik-baik, keramahan tuan rumah kita pada acara-acara seperti itu bukannya tak ada maksudnya. Cara yang kau tempuh memang lebih efektif, pura-pura jadi pencinta olahraga."

"Tidak, tidak, jangan bilang aku berpura-pura. Aku memang gemar berolahraga, aku sangat menikmatinya."

"Itu malah lebih baik lagi. Kau berlomba perahu dengan mereka, berburu, main polo. Kau bahkan mau bertinju dengan petugas-petugas Inggris yang masih ingusan. Apa hasilnya? Kau dianggap tak berbahaya, teman mereka, orang Jerman yang cukup baik, yang suka minum-minum dan berhura-hura. Di rumahku mereka berbicara dengan bebas, mengumbar rahasia, sama sekali tak menyadari tuan rumahnya agen rahasia paling andal di seluruh Eropa. Jenius, sobatku Von Bork—jenius!"

"Pujianmu terlalu berlebihan, Baron, tapi memang kuakui selama empat tahun bertugas di negeri ini, aku bukannya tak menghasilkan apa-apa. Kau belum pernah melihat koleksiku yang tak seberapa besar, kan? Mau mampir untuk melihat sebentar?"

Ruang baca dapat dicapai langsung dari teras Von Bork mendorong pintunya sambil menunjukkan jalan dan menghidupkan lampu. Ditutupnya pintu dan diaturnya gorden berat yang menutupi jendela yang berkisi-kisi. Setelah melakukan semua tindakan pengamanan ini, barulah dia memalingkan wajahnya yang terbakar matahari ke tamunya.

"Beberapa berkas yang tak begitu penting telah dibawa," katanya, "oleh istriku dan rombongannya. Mereka berangkat ke Flushing kemarin. Tentu saja, aku harus minta perlindungan dari kedutaan untuk barang-barang lainnya."

"Namamu tercatat sebagai salah satu orang yang mahapenting. Baik dirimu maupun bagasimu tak akan mengalami kesulitan. Tentu masih ada kemungkinan kita tak perlu meninggalkan negeri ini. Inggris mungkin tak akan membantu Francis. Kami yakin di antara mereka tak ada perjanjian apa-apa."

"Bagaimana dengan Belgia?"

"Inggris juga tak akan membantu Belgia."

Von Bork menggeleng. "Aku tak mengerti kenapa bisa begitu. Aku tahu betul ada perjanjian di antara mereka. Tak mungkin Inggris melanggar janji"

"Paling tidak itu membuat negeri ini aman selama beberapa waktu."

"Tapi kehormatannya?"

"Tut, sobatku, kita hidup di zaman yang serba praktis. Kehormatan adalah konsep yang sudah kuno. Di samping itu, Inggris memang tidak siap. Bahkan pajak perang khusus bernilai 50 juta— yang mengungkapkan maksud kita dengan begitu jelasnya seakan kita memasang iklan di halaman depan Times—tak membuat orang-orang itu bergeming dari tidurnya yang lelap. Di sana-sini orang bertanya-tanya. Dan tugasku ialah mencari jawabannya. Di sana-sini juga ada gangguan-gangguan. Tugaskulah untuk meredamnya. Tapi aku berani memastikan, sejauh ini, kalau dilihat dari hal-hal yang penting—penyimpanan amunisi, persiapan penyerangan kapal selam, pengaturan pembuatan bom—mereka sama sekali belum siap. Bagaimana Inggris mau ikut perang, kalau kita telah menggelitik mereka melalui perang saudara di Irlandia, kerusuhan di mana-mana, dan masih banyak lagi urusan dalam negeri yang harus diselesaikan?"

"Negara ini harus memikirkan masa depannya juga?"

"Ah, itu soal lain. Aku bisa membayangkan, di masa depan, kita punya rencana khusus bagi Inggris, dan informasi yang kaudapatkan akan sangat berguna bagi kita. Cepat atau lambat Inggris harus terjun juga ke dalam kancah peperangan. Kalau mereka mau, sekarang kita sudah siap. Nanti, lebih baik lagi. Kupikir lebih bijaksana bila mereka berperang bersama negara-negara sekutu daripada sendirian, tapi itu pun terserah mereka. Minggu ini minggu penentuan bagi mereka. Tapi kau tadi menyebut-nyebut tentang berkas-berkasmu." Dia duduk di kursi berlengan, sehingga lampu menyinari botak lebar di kepalanya. Dia mengisap cerutunya dengan asyik.

Ruangan besar berlapis kayu ek dan penuh buku itu dilengkapi dengan gorden di salah satu sudutnya. Ketika gorden itu disingkapkan, tampak lemari besi besar yang terbuat dari kuningan. Von Bork mengambil kunci kecil yang tergantung pada rantai arlojinya lalu membuka lemari besi itu.

"Lihat!" katanya. Dia berdiri dengan bangga sambil melambaikan tangan.

Lampu menerangi lemari besi yang terbuka itu dengan sangat jelas, dan dengan penuh minat sekretaris kedutaan itu menatap ke deretan kotak arsip yang memenuhi lemari besi itu. Matanya menelusuri label-label yang tertera pada tiap kotak. "Ford", "Pertahanan Pantai", "Kapal Terbang", "Irlandia", "Mesir", "Benteng Portsmouth", "Selat Inggris", "Rosyth", dan masih banyak lagi. Tiap kotak penuh dengan berkas-berkas dan perencanaan-perencanaan.

"Hebat sekali!" kata si sekretaris. Dia meletakkan cerutunya, lalu bertepuk tangan.

"Inilah hasil kerjaku selama empat tahun, Baron. Tak bisa dikatakan jelek, untuk pencinta olahraga yang suka minum dan berhura-hura. Tapi yang paling menarik dari seluruh koleksiku adalah apa yang akan segera kudapatkan, dan aku menyediakan tempatnya."

Dia menunjuk sebuah kotak berlabel "Sinyal-sinyal Angkatan Laut".

"Tapi bukankah kau sudah punya dokumen tentang itu?"

"Sudah kadaluwarsa. Departemen Angkatan Laut Inggris sempat diperingatkan tentang bocornya dokumen itu, sehingga semua kodenya lalu diubah. Pukulan berat, Baron—benar-benar kemunduran terburuk yang pernah terjadi sepanjang karierku. Tapi syukurlah, berkat kekuatan cekku dan orang bernama Altamont ini, semuanya akan beres malam ini."

Baron melirik jam tangannya, lalu menggerutu dengan penuh kecewa.

"Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Keadaan di Carlton Terrace sibuk sekali, dan kami semua harus bersiaga di pos masing-masing. Tadinya aku berharap bisa membawa berita tentang langkahmu yang hebat ini. Apakah Altamont tak menyebutkan jam berapa dia akan datang?"

Von Bork menunjukkan sebuah telegram. Akan datang malam ini membawa steker kelap-kelip. Altamont.

"Steker kelap-kelip, eh?"

"Dia pura-pura menjadi montir, dan komunikasi kami memakai kode suku cadang mobil. Radiator maksudnya kapal perang, pompa minyak maksudnya kapal patroli, dan lain-lain. Steker kelap-kelip maksudnya sinyal-sinyal Angkatan Laut."

"Dari Portsmouth siang ini," kata si sekretaris sambil mengamati telegram itu. "Omong-omong, imbalan apa yang kauberikan kepadanya?"

"Lima ratus pound untuk tugas khusus seperti ini. Di samping itu dia masih menerima gaji bulanan."

"Bajingan serakah. Mereka—para pengkhianat ini—memang besar jasanya bagi kita, tapi biayanya juga tak kepalang tanggung."

"Untuk Altamont, aku tak keberatan walau harus membayar mahal. Dia pekerja yang hebat. Kalau imbalannya cukup banyak, paling tidak dia pasti akan mengirim barang yang dipesan—begitu dia mengistilahkannya. Lagi pula, dia bukan pengkhianat. Dia keturunan Amerika-Irlandia yang benci sekali pada Inggris."

"Oh, keturunan Amerika-Irlandia?"

"Kalau kau mendengarnya berbicara, kau pasti tak akan meragukannya. Kadang-kadang, aku sendiri tak mengerti maksudnya. Apakah kau benar-benar harus pergi sekarang? Dia mungkin akan tiba tak lama lagi."

"Ya. Maaf, tapi aku sudah terlalu lama di sini. Kami ingin bertemu denganmu besok pagi-pagi, dan kalau berhasil mendapatkan sinyal itu, kau benar-benar akan mengakhiri tugasmu di Inggris dengan suatu prestasi yang luar biasa. Apa ini? Tokay!"

Dia menunjuk sebuah botol berdebu yang belum dibuka, yang terletak di nampan bersama dua gelas tinggi.

"Bagaimana kalau kita minum sebelum kau pergi?"

"Tidak, terima kasih. Sepertinya mau ada perayaan?"

"Altamont punya selera yang hebat dalam hal anggur, dan sangat menyukai Tokay. Dia sangat sensitif dan aku harus sedikit memanjakannya. Aku belajar banyak untuk mengerti dirinya."

Mereka berdua berjalan ke luar. Sopir Baron menghidupkan mesin mobil.

"Itu lampu-lampu Pelabuhan Harwich, bukan?" tanya si sekretaris sambil mengenakan mantelnya. "Tampak tenang dan damai. Dalam minggu ini akan muncul lampu-lampu lain, dan koyaklah ketenangan di pantai Inggris. Langitnya pun tak akan tenang lagi kalau pimpinan angkatan udara kita memenuhi janjinya. Eh, siapa itu?"

Terlihat cahaya yang berasal dari sebuah jendela tepat di belakang mereka. Di balik jendela itu duduk seorang wanita tua berwajah kemerahan, mengenakan topi khas pedesaan. Dia sedang asyik merenda sambil sesekali berhenti untuk membelai kucing hitam besar yang duduk di bangku di sampingnya.

"Itu Martha, satu-satunya pembantuku yang masih tinggal."

Si sekretaris tergelak.

"Dia bisa menggambarkan Inggris Raya," katanya, "begitu asyiknya, dan terkantuk-kantuk. Nah, sampai ketemu lagi, Von Bork!" Sambil melambai dia masuk ke mobilnya, dan sekejap kemudian kedua sinar lampu depan mobilnya yang keemasan menjauh menembus kegelapan malam. Dia duduk bersandar di bantalan kursi limusinnya yang mewah. Pikirannya begitu dipenuhi dengan tragedi yang akan melanda Eropa, sehingga dia nyaris tak memperhatikan ketika mobilnya membelok keluar dari jalan pedesaan itu, dan hampir saja menabrak mobil Ford kecil yang datang dari arah berlawanan.

Dengan perlahan Von Bork berjalan kembali ke ruang bacanya ketika sinar lampu mobil tamunya telah menghilang di kejauhan. Dilihatnya pembantu tuany telah memadamkan lampu dan pergi tidur. Rumah yang serba sepi dan gelap begini merupakan pengalaman baru baginya, karena biasanya tempat itu selalu ramai oleh celoteh dan staf rumah tangganya yang lumayan besar. Tapi dia lega karena mereka semua dalam keadaan aman dan di situ tak ada orang lain—kecuali wanita tukang masak tua yang bersikeras tetap tinggal melayaninya. Ada banyak dokumen yang perlu dimusnahkannya dan dia mulai melakukannya, saat itu juga, sampai wajahnya yang tampan dan selalu waspada memerah akibatnya panasnya api yang membakar kertas-kertas. Dia memasukkan isi lemari besi ke sebuah koper kulit kecil dengan sangat rapi dan sistematis. Namun belum lama dia bekerja, telinganya yang tajam menangkap suara mobil di kejauhan. Dengan segera dia berteriak gembira, menutup kopernya, mengunci lemari besinya, dan bergegas ke luar. Tepat pada waktu itulah dia melihat sebuah mobil kecil berhenti di pintu gerbang rumahnya. Penumpangnya melompat ke luar dan bergegas menghampirinya, sementara sopirnya—pria tua bertubuh agak gemuk dan berjenggot abu-abu—duduk bersandar seakan siap menunggu lama.

"Bagaimana?" tanya Von Bork dengan penasaran sambil berlari mendekati tamunya.

Sebagai jawaban, tamu itu melambaikan sebuah bungkusan kecil terbungkus kertas cokelat ke atas kepalanya.

"Anda bisa menyerahkan imbalannya kepada saya malam ini juga, Mister," teriaknya. "Akhirnya saya berhasil membawa hadiah ini untuk Anda."

"Sinyal-sinyal itu?"

"Seperti yang tertulis di telegram saya. Lengkap dan aktual, sinyal bendera, kode lampu, Marconi— tapi cuma salinannya, bukan aslinya. Terlalu berbahaya kalau harus mendapatkan yang asli. Tapi ini persis aslinya, dan Anda tak perlu ragu." Dia menepuk pundak orang Jerman itu dengan akrab sampai Von Bork mengernyit.

"Silakan masuk," katanya. "Saya sendirian di rumah. Saya tinggal menunggu ini. Tentu saja salinan justru lebih baik daripada aslinya. Kalau mereka tahu dokumen aslinya telah hilang, mereka akan mengubah semua kodenya. Menurut Anda salinan ini cukup aman?"

Pria berdarah campuran Amerika-Irlandia itu telah masuk ke ruang baca dan mengembangkan kedua lengannya pada lengan kursi. Tubuhnya kurus tinggi, usianya enam puluhan, wajahnya kejam, dan jenggotnya tipis seperti kambing sehingga dia benar-benar mirip karikatur Paman Sam. Sebatang rokok yang baru diisap separo bertengger di salah satu sudut bibirnya dan ketika sudah duduk, dia lalu menyalakan korek untuk menyulut rokoknya lagi.

"Siap berangkat?" tanyanya sambil menengok ke sekeliling. "Katakan, Mister," tambahnya ketika matanya menatap lemari besi yang gordennya tersingkap. "Anda tak menyimpan berkas-berkas di lemari besi itu, kan?"

"Memangnya kenapa?"

"Wah, dengan pintu yang gampang dibuka seperti itu! Padahal Anda termasyhur sebagai mata-mata andal. Orang Amerika dengan mudah bisa mencongkelnya dengan pembuka botol. Kalau saja saya tahu surat saya akan disimpan di tempat seperti itu, saya tak akan berani tulis surat kepada Anda."

"Siapa pun yang ingin membuka lemari itu secara paksa akan terbengong-bengong," jawab Von Bork. "Tak ada alat yang mampu membuka kotak baja itu."

"Tapi kuncinya itu?"

"Kuncinya memiliki kombinasi ganda. Anda tahu apa artinya?"

Orang Amerika itu menggeleng.

"Well, Anda perlu kata dan sederet angka sebelum kunci itu bisa dibuka." Dia bangkit dan menunjukkan rangkaian huruf dan angka yang bersinar-sinar di sekeliling lubang kunci. "Yang sebelah luar ini untuk huruf-huruf, sedangkan sebelah dalamnya untuk angka-angka."

"Well, well, bagus sekali."

"Jadi tidak semudah yang Anda kira. Saya menyuruh orang membuat ini empat tahun yang lalu, dan coba pikir kata apa dan angka-angka berapa yang saya pilih untuk membuka lemari besi ini."

"Saya tak mungkin menebaknya."

"Well, saya memilih kata Agustus, sedangkan angka-angkanya adalah 1914—bulan dan tahun yang sedang kita jalan sekarang."

Wajah pria Amerika itu menunjukkan rasa kaget dan kagum.

"Wah, Anda memiliki pandangan ke depan yang luar biasa!"

"Ya, saya telah memperkirakan situasinya sejak empat tahun yang lalu. Besok lemari besi ini tak akan berfungsi lagi dan saya akan berangkat."

"Saya kira Anda harus mengatur agar saya juga bisa berangkat. Saya tak ingin tinggal di negeri ini lebih lama lagi. Paling lambat seminggu lagi Inggris akan terjun ke dalam kancah peperangan, dan saya tak mau terlibat."

"Tapi Anda kan warga negara Amerika?"

"Well, begitu juga Jack James, tapi dia sekarang dipenjara di Portland. Kewarganegaraan saya tak ada pengaruhnya bagi polisi Inggris. 'Yang berlaku di sini hukum dan peraturan Inggris', begitu kata mereka. Omong-omong tentang Jack James, Mister, rasanya Anda kurang serius melindungi informan-informan Anda."

"Apa maksud Anda?" tanya Von Bork dengan tajam.

"Anda kan bos mereka, jadi tanggung jawab Andalah untuk menjaga agar mereka tidak jatuh. Tapi ternyata mereka jatuh, dan kapan Anda pernah mengangkat mereka? James, misalnya..."

"Itu salah James sendiri. Anda sendiri tahu. Dia terlalu ngotot melakukan pekerjaan itu."

"James memang bodoh—itu harus saya akui. Lalu Hollis."

"Orang itu gila."

"Well, akhirnya dia menjadi bingung, tapi itu wajar. Siapa pun bisa jadi gila kalau harus berkecimpung di tengah-tengah seratus orang yang semuanya siap melaporkannya ke polisi. Tapi Steiner..."

Von Bork sangat kaget, dan wajahnya yang merah menjadi agak pucat.

"Kenapa dia?"

"Mereka menangkapnya, cuma begitu. Mereka menggeledah tokonya tadi malam, dia dan berkas-berkasnya kini mendekam di penjara Portsmouth. Anda akan pergi, sementara dia menanggung semua akibatnya, dan masih mujur kalau tak dihukum mati. Itulah sebabnya saya ingin segera meninggalkan negeri ini."

Von Bork berkepribadian kuat dan penuh percaya diri, tapi jelas sekali berita itu telah sangat mengguncangnya.

"Bagaimana mereka bisa menangkap Steiner?" gumamnya. "Ini benar-benar pukulan yang mengejutkan."

"Well, ada pukulan lain yang tak kalah mengejutkannya, karena mereka juga sebetulnya sudah mencium jejak saya."

"Anda tak serius, kan?"

"Saya serius. Induk semang saya di Fratton ditanyai macam-macam, dan ketika saya mendengar tentang hal itu, saya pikir sebaiknya saya secepatnya melarikan diri. Tapi apa yang saya ingin ketahui, Mister, adalah bagaimana polisi-polisi itu bisa tahu. Steiner orang kelima yang tertangkap sejak saya mulai bekerja sama dengan Anda, dan saya tahu siapa yang akan menjadi korban keenam kalau saya tak segera angkat kaki. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini, dan tidakkah Anda malu melihat kaki-tangan Anda tertangkap seperti itu?"

Wajah Von Bork merah padam.

"Berani-beraninya Anda berbicara seperti itu!"

"Kalau saya bukan pemberani, Mister, saya tak akan bekerja sama dengan Anda. Tapi saya ingin mengatakan secara langsung apa yang ada di benak saya. Saya mendengar bahwa bagi Anda— politkus politikus Jerman—tak jadi soal kalau agen Anda tertangkap, asal tugasnya telah dilaksanakan."

Von Bork terlonjak.

"Maksud Anda saya sengaja menyerahkan agen-agen saya sendiri?"

"Saya tak mengatakan demikian, Mister, tapi ada kebocoran dalam jaringan mata-mata Anda dan tugas Andalah untuk mengatasinya. Yang jelas, saya tak ingin mengambil risiko lebih jauh. Saya mau berangkat ke Belanda, dan semakin cepat saya sampai di sana semakin baik bagi saya."

Von Bork telah berhasil mengatasi kemarahannya.

"Sudah lama kita bekerja sama. Tak perlu bertengkar sekarang ketika kita justru sedang merayakan keberhasilan kita," katanya. "Anda telah melakukan pekerjaan yang hebat, juga menanggung risiko yang besar. Saya tak akan melupakan jasa Anda. Segeralah berangkat ke Belanda, lalu dari Rotterdam Anda bisa menuju New York. Hanya jalur itu yang aman selama seminggu mendatang. Saya akan terima buku itu dan membawanya bersama berkas-berkas lain."

Orang Amerika itu tetap saja memegangi bungkusan kecil di tangannya. Dia tak melakukan gerakan apa pun untuk menyerahkannya.

"Bagaimana dengan uangnya?" tanyanya.

"Apanya?"

"Uangnya. imbalannya. Lima ratus pound. Tukang tembaknya bikin masalah, dan saya harus mengeluarkan seratus dolar ekstra. Kalau tidak, saya dan Anda tak dapat apa-apa 'Tak bisa!' katanya, dan dia tak main-main. Tapi akhirnya dia menyerah setelah saya beri tambahan seratus dolar lagi, Jadi saya sudah menghabiskan dua ratus dolar untuk buku ini, dan tak mungkin saya menyerahkan tanpa imbalan."

Von Bork tersenyum pahit. "Anda tampaknya tak terlalu mempercayai saya," katanya. "Anda mau meminta uangnya sebelum buku itu Anda serahkan."

"Yah, Mister, ini kan bisnis."

"Baiklah. Keinginan Anda akan saya turuti." Dia duduk di meja dan menulis cek, tapi tak langsung menyerahkannya kepada rekan bisnisnya. "Oke, karena Anda mensyaratkan demikian, Mr. Altamont," katanya, "saya pun berhak tak mempercayai Anda. Anda mengerti?" tambahnya sambil menoleh ke orang Amerika itu. "Ceknya sudah ada di meja. Saya minta agar diperkenankan memeriksa bungkusan itu sebelum Anda mengambil ceknya."

Orang Amerika itu menyerahkan bungkusan itu tanpa berkata sepatah pun. Von Bork membuka tali pengikat dan dua lapis kertas pembungkusnya. Lalu dia terduduk sambil menatap dengan sangat terkejut buku kecil biru yang ada di depannya. Judul yang tertera dengan huruf-huruf berwarna emas adalah Practical Handbook of Bee Culture. Cuma sesaat mata-mata termasyhur itu sanggup menatap judul aneh yang tak ada hubungannya dengan misi yang diembannya. Selanjutnya, dia sudah dicekik dari belakang oleh sepasang tangan kekar, lalu spons berkloroform ditempelkan pada wajahnya yang berkerut-kerut kesakitan.

"Tambah segelas lagi, Watson!" kata Mr. Sherlock Holmes sambil mengacungkan botol anggur Imperial Tokay.

Sopir yang diam-diam sudah menyelinap ke dalam ruangan dan kini duduk di meja itu mengulurkan gelasnya dengan penuh semangat.

"Anggurnya enak sekali, Holmes."

"Memang luar biasa, Watson. Teman kita yang menggeletak di sofa itu telah menjamin anggur ini didapatnya dari toko anggur Franz Joseph yang eksklusif, yang terletak di Schoenbrunn Palace. Tolong buka jendela itu. Bau kloroform merusak cita rasa anggur ini."

Lemari besi di ruangan itu terbuka, dan Holmes berdiri di depannya sambil mengambil berkas demi berkas. Dengan cepat diamatinya tiap berkas, lalu dikemasnya dengan rapi di koper milik Von Bork. Orang Jerman itu menggeletak di sofa, tertidur pulas, tangan dan kakinya terikat.

"Kita tak perlu buru-buru, Watson. Kita aman di sini. Tolong bunyikan bel. Tak ada orang di sini kecuali si tua Martha, yang telah memainkan perannya dengan sangat mengagumkan. Aku yang menyuruhnya bekerja di sini ketika aku mulai menangani masalah ini. Ah, Martha, kau pasti gembira mendengar semuanya berjalan dengan lancar."

Wanita tua yang ramah itu muncul di pintu. Dia memberi hormat sambil tersenyum ke arah Holmes, tapi begitu menatap tubuh yang tergeletak di sofa, dia tampak agak cemas.

"Tak apa-apa, Martha. Dia tak terluka sama sekali."

"Saya senang mendengarnya, Mr. Holmes, dia majikan yang baik. Dia meminta saya berangkat bersama istrinya ke Jerman kemarin, tapi saya tolak. Kalau saya berangkat, rencana Anda bisa kacau, ya, kan, Sir?"

"Tepat sekali, Martha. Selama Anda ada di sini, saya jadi tenang. Cukup lama kami menunggu sinyal Anda tadi."

"Anda tahu, Sir, sekretaris kedutaan itu."

"Saya tahu. Mobilnya berpapasan dengan mobil kami."

"Saya sudah khawatir jangan-jangan dia tak akan meninggalkan tempat ini. Saya tahu Anda tak dapat beraksi selama dia masih di sini."

"Benar. Well, kami cuma terhambat selama kira-kira setengah jam. Setelah itu kami lihat lampu Anda dimatikan yang artinya semuanya beres. Silakan besok melapor kepada saya di Hotel Claridge, London, Martha."

"Baik, Sir."

"Saya rasa, Anda sudah siap meninggalkan tempat ini?"

"Ya, Sir. Dia mengeposkan tujuh surat hari ini. Saya sudah catat semua alamatnya sebagaimana biasanya."

"Bagus sekali, Martha. Saya akan memeriksa alamat-alamat itu besok. Selamat malam. Berkas-berkas ini," lanjutnya begitu wanita itu menghilang, "tentu saja tak begitu penting, karena informasinya telah dikirimkan ke Pemerintah Jerman beberapa waktu yang lalu. Ini aslinya yang tak bisa dibawa ke luar negeri."

"Kalau begitu berkas-berkas ini tak ada gunanya?"

"Bukan begitu, Watson. Dengan berkas-berkas ini pemerintah kita dapat menyimpulkan, apa-apa saja yang telah mereka ketahui dan apa-apa yang belum mereka dapatkan. Boleh dibilang sebagian besar berkas ini berasal dariku, dan tentu saja isinya tak bisa dipercaya. Biarlah masa-masa akhir hidupku ini menjadi sedikit ramai dengan munculnya kapal perang Jerman yang berlayar sepanjang Selat Solent hanya karena menuruti petunjuk palsu yang sengaja kubuat-buat. Tapi kau sendiri, Watson," dia berhenti sejenak, lalu merangkul sahabatnya, "aku belum sempat memperhatikanmu. Bagaimana rupamu setelah sekian tahun berlalu? Wah, kau masih gagah dan bersemangat!"

"Aku merasa lebih muda dua puluh tahun, Holmes. Tak pernah aku sebahagia ketika aku menerima telegrammu, yang memintaku menemuimu di Pelabuhan Harwich. Kau pun tak banyak berubah, Holmes—kecuali tambahan janggut kambingmu yang jelek sekali itu."

"Inilah pengorbanan yang harus kita lakukan demi negara kita, Watson," kata Holmes sambil mencopot janggutnya. "Besok pagi, semua ini tinggal kenangan. Aku akan potong rambut dan mengakhiri penyamaranku sebagai orang Amerika, dan aku akan muncul di Hotel Claridge sebagai Holmes yang dulu. Maaf, Watson, bahasa Inggrisku rasanya menjadi rusak—bahkan sebelum terlintas padaku untuk menyamar sebagai orang Amerika."

"Tapi bukankah kau sudah pensiun, Holmes? Kudengar kau sekarang hidup seperti pertapa di antara tawon-tawon dan tumpukan bukumu di petemakan kecil di daerah South Downs."

"Benar, Watson. Dan inilah hasilnya—sebuah magnum opus, mahakarya, di usia senjaku!" Dia mengambil buku yang tergeletak di meja dan membacakan judul lengkapnya, Practical Handbook of Bee Culture, with some Observations upon the Segregation of the Queen.

"Aku mengerjakan buku ini sendirian. Dan lihatlah hasil jerih payahku bermalam-malam merenungkan dan berhari-hari mengamati gerombolan binatang kecil itu seperti dulu ketika aku mengamati dunia kriminal London."

"Tapi bagaimana sampai kau kembali terjun ke dunia kriminal ini?"

"Ah, aku sendiri masih sering heran. Menteri Luar Negeri masih bisa kutolak, tapi ketika Perdana Menteri berkenan mengunjungi gubuk reyotku, aku tak dapat mengelak lagi. Terus terang, Watson, pria di sofa ini terlalu lihai untuk bangsa kita. Dia punya kelas tersendiri. Banyak rahasia kita yang bocor dan tak ada yang tahu bagaimana itu bisa terjadi. Agen-agen dicurigai atau bahkan ditangkap, tapi ada bukti-bukti yang mengarah pada suatu kekuatan pusat yang kuat dan penuh rahasia di balik semua ini. Jaringan itu harus dibongkar, aku didesak menyelidikinya. Aku melakukannya selama dua tahun, Watson, dan cukup menegangkan. Kalau kukatakan aku memulai petualanganku dari Chicago, lalu lulus dari perkumpulan rahasia Irlandia di Buffalo, membuat masalah dengan kepolisian di Skibbereen, dan akhirnya mendapat kesempatan menjadi agen rahasia Von Bork, kau pasti menyadari betapa rumitnya masalah yang kutangani. Aku menjadi agen kepercayaannya, tapi aku malah mengobrak-abrik rencananya dan menyebabkan lima agennya yang terbaik masuk penjara. Aku mengamati mereka, Watson, dan aku menangkap mereka begitu saatnya tepat. Well, Sir, saya harap Anda tak apa-apa!"

Kalimat terakhir itu ditujukannya kepada Von Bork, yang setelah megap-megap dan mengejap-ngejap, tergeletak diam sambil mendengarkan kata-kata Holmes. Kini dia meronta-ronta lalu memaki-maki dalam bahasa Jerman, wajahnya merah padam. Holmes melanjutkan memeriksa berkas-berkas dengan cekatan sementara tawanannya terus saja memaki dan mengutuki dirinya.

"Walaupun nadanya tak enak didengar, bahasa Jerman adalah bahasa yang dapat mengungkapkan sesuatu dengan sangat jelas," katanya setelah Von Bork berhenti karena lelah. "Wah! Wah!" tambahnya ketika dia menatap tajam pada ujung sebuah peta sebelum mengembalikannya ke kotaknya. "Ini akan mengakibatkan seorang pengkhianat lain dipenjarakan. Aku tak menyangka si kasir ternyata bajingan tengik, walaupun aku sudah lama mengamatinya. Mister Von Bork, banyak hal yang harus Anda pertanggungjawabkan."

Dengan susah payah tawanan kami berusaha duduk, dan dia menatap orang yang menangkapnya dengan pandangan heran sekaligus benci.

"Aku akan membuat perhitungan denganmu, Altamont," katanya dengan nada mengancam, "walaupun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawaku. Aku akan membuat perhitungan denganmu!"

"Lagu kuno yang indah," kata Holmes. "Aku sudah terlalu sering mendengarnya. Lagu kesukaan Profesor Moriarty yang malang. Kolonel Sebastian Moran juga pernah mendendangkannya Dan nyatanya aku tetap hidup sampai saat ini dan menjadi peternak tawon di South Downs."

"Terkutuk kau, pengkhianat ganda!" teriak orang Jerman itu sambil menggeliat-geliat, berusaha melepaskan diri dari ikatan yang melilitnya. Pandangannya penuh amarah seolah ingin membunuh musuhnya.

"Tidak, tidak, tak akan seburuk itu," kata Holmes sambil tersenyum. "Sebagaimana Anda dengar tadi, sesungguhnya tak ada orang bernama Mr. Altamont dari Chicago. Saya hanya memanfaatkannya, dan kini dia telah tiada."

"Kalau begitu, siapa kau?"

"Sesungguhnya tak begitu penting mengetahui siapa sebenarnya saya. Tapi karena tampaknya Anda begitu penasaran, Mr. Von Bork, baiklah saya katakan ini bukan pertama kalinya saya berkenalan dengan anggota keluarga Anda. Pada masa yang lalu, saya sudah berkali-kali bertugas di Jerman, dan Anda mungkin pernah mendengar nama saya."

"Langsung saja sebutkan!" kata orang berdarah Prusia itu dengan ketus.

"Sayalah yang memisahkan Irene Adler dari almarhum Raja Bohemia ketika sepupu Anda Hein-rich menjabat sebagai Imperial Envoy. Sayalah yang menyelamatkan Count Von Zu Grafenstein dari ancaman pembunuhan kaum Nihilis Klopman. Dia kakak ibu Anda, kan? Sayalah..."

Von Bork terpana di tempat duduknya.

"Hanya ada satu orang'" teriaknya.

"Tepat," kata Holmes.

Von Bork menggeram dan menjatuhkan dirinya kembali ke sofa. "Padahal sebagian besar informasi itu kudapatkan darimu!" teriaknya. "Apa yang telah kulakukan? Pasti semua itu bohong! Tamatlah riwayatku!"

"Memang informasi-informasi itu kurang dapat diandalkan," kata Holmes. "Harus dicek ulang dan Anda tak punya banyak waktu untuk itu. Laksamana Anda mungkin akan mengatakan bedil-bedil yang baru itu ternyata sedikit lebih besar dari yang diharapkannya, dan kapal-kapal itu mungkin sedikit terlalu cepat jalannya."

Von Bork meringkuk dalam keputusasaan.

"Ada banyak perincian lain yang akan terungkap tak lama lagi. Tapi Anda memiliki satu sifat yang biasanya tak dimiliki orang Jerman, Mr. Von Bork, suka berolahraga, sportif. Jadi Anda pasti tak akan sakit hati pada saya kalau berhasil saya kalahkan. Anda telah memperdaya begitu banyak orang dan kini tiba giliran Anda diperdaya. Bagaimanapun, Anda sudah menjalankan tugas bagi negara Anda dengan sangat baik, dan saya pun telah menjalankan tugas bagi negara saya dengan sangat baik, dan hal itu wajar sekali, bukan? Lagi pula," tambahnya dengan ramah sambil menyentuh pundak orang yang tak berdaya itu, "lebih baik begini daripada dikalahkan musuh yang kurang berkualitas. Berkas-berkas ini sudah siap, Watson, Tolong urus tawanan kita, dan sebaiknya kita segera menuju London."

Ternyata tak mudah menggiring Von Bork, karena dia kuat sekali dan meronta-ronta. Akhirnya, berdua dengan Holmes, masing-masing menarik satu lengannya, barulah mereka bisa menyeretnya dengan susah payah melewati jalanan taman yang beberapa jam sebelum ini dilalui orang Jerman itu dengan sangat gagah dan bangga, ketika menerima ucapan selamat dari si sekretaris kedutaan. Dia berhasil dimasukkan ke mobil kecil itu, masih dalam keadaan terikat tangan dan kakinya. Koper kecilnya yang sangat berharga kami letakkan di sampingnya.

"Buatlah diri Anda senyaman mungkin," kata Holmes, setelah membereskan macam-macam. "Bolehkah saya menyalakan rokok dan menyisipkannya ke bibir Anda?"

Orang Jerman yang sedang marah itu menolak semua kebaikan Holmes.

"Kurasa kau menyadari, Mr. Sherlock Holmes," katanya, "kalau tindakanmu ini didukung Pemerintah Inggris, berarti perang akan meletus."

"Bagaimana dengan pemerintah Anda dan semua tindakan Anda?" kata Holmes sambil mengetuk koper kecil itu.

"Kau bukan petugas hukum. Kau tak punya surat izin menangkapku. Semuanya melanggar hukum dan kurang ajar."

"Memang," kata Holmes.

"Menculik pejabat Jerman."

"Dan mencuri berkas-berkas pribadinya."

"Bagus, kau menyadari posisimu, kau dan temanmu ini. Lihat saja kalau aku nanti berteriak minta tolong ketika kita lewat desa..."

"Sir, jika Anda melakukan tindakan bodoh seperti itu, nasib Anda akan semakin buruk. Orang Inggris itu penyabar, tapi pada saat seperti ini, emosinya gampang terbakar dan jangan coba-coba mengusiknya. Begini, Mr. Von Bork, Anda akan diantarkan ke Scotland Yard secara diam-diam, tanpa memalukan Anda. Dari sana Anda bisa menghubungi teman Anda Baron Von Herling dan menanyakan padanya apakah Anda masih boleh menempati tempat yang sudah disediakannya di kamar utama kedutaan. Sedangkan kau, Watson, setahuku kau masih praktek, ya? Tentunya kau juga ingin kembali ke London melanjutkan pekerjaanmu. Mari kita ke teras dan berbincang-bincang sejenak, karena ini mungkin kesempatan terakhir kita."

Kedua sahabat itu mengobrol dengan asyik selama beberapa menit, mengenang hari-hari yang mereka lalui bersama di masa lalu, sementara tawanan mereka masih terus berusaha membebaskan diri dari ikatan yang melilitnya. Ketika mereka berjalan ke mobil, Holmes menunjuk ke belakang, ke lautan yang disinari rembulan, dan menggeleng dengan serius.

"Angin timur akan tiba, Watson."

"Kurasa bukan angin timur. Holmes. Semilirnya terasa hangat."

"Sobatku, Watson! Kau masih seperti dulu walaupun zaman sudah berubah. Jelas akan tiba angin timur, angin yang belum pernah melanda Inggris. Angin itu dingin dan menyakitkan, Watson, dan banyak di antara kita yang akan jatuh sebelum dilanda tiupannya. Semoga angin dari Tuhan sendiri membuat negara ini menjadi lebih bersih, lebih baik, dan lebih kuat kalau angin topan itu telah berlalu. Hidupkan mobilnya, Watson, sudah waktu nya kita berangkat. Aku punya cek bernilai lima ratus pound yang akan secepatnya kuuangkan, karena yang mengeluarkan cek ini pasti ingin memblokirnya kalau dia bisa".