Diari Kecil untuk Ibuku





Puisi-Puisi Sulaiman Djaya
Sumber: Harian Banten Raya (Jawa Pos Group) Edisi 20 Juli 2013 dan 3 Agustus 2013


Kupu-Kupu

Bertengger di bawah musim
yang dijahit matahari,
ia pahami senja
yang sebentar lagi akan padam.

“Tetapi semalam,
aku bayangkan semesta matamu
seperti isya yang sabar
menanti lembab subuh
di bawah putih lampu
yang agak rabun.”

Angin yang berdesir,
yang hampir berakhir,
seperti maut
yang tak pernah malu
untuk tidak pamit.
Sesekali, seperti puisi,

ia diam sejenak
sebelum pergi,
persis ketika cahaya sorehari
hanya ingin berkebun
di gugusan rambutmu
yang hitam itu.

Seperti kau dan aku,
bisa saja ia lupa
pada kanak-kanak cuaca
yang begitu cepat jadi api.
Rindu, barangkali,
duh adikku yang manis

semisal bunyi terakhir
sebuah komposisi sajak
yang membuatku senantiasa
jadi tamu asing bagi diri.

(2013)


Cibutak

Ada sebuah bukit, dengan ricik air,
yang mengingatkanku
pada sesal Dayang Sumbi
karena cinta seorang lelaki.
Angin dari arah gunung
bermain-main dengan Citarum

yang rindu –rindu yang limbung
seperti cintaku pada segala
yang sekarib langit marun
tak berujung.

Ada sepi yang membubung
dari arah gunung.
Seperti bulu-bulu kuas
seniman yang lelah.
Seakan dulu, Sangkuriang,
tak sengaja

menghasrati perempuan
yang melahirkannya.
Barangkali sepi
hanya milik batu-batu kali.

Ada sebuah bukit, dengan ricik air,
ketika kaki maut pun terantuk
sore yang luntur
di pelupuk matamu. Barangkali
hidup, juga senja yang sendu,
seperti usia yang ingin tertidur.

(2013)


Diari Kecil untuk Ibuku

Dulu, ketika sore seperti sosokmu yang tertidur,
di saat itu, gerimis yang terlambat
hanya ingin pulang.

Kau dan aku sebenarnya diam-diam belajar membaca
bagaimana nama Tuhan diteriakkan menuju ketiadaan

seperti sebuah harapan.

Januari mengibaskan tangannya
seperti sebimbang kuas mencari
sudut kanvas.

Tetapi kau dan aku tahu, ibu, apa yang ingin kugambar
sebagai sebuah kenangan:
langkah-langkah kecil masa kanak

dan hembus angin di pematang.

Ketika dengan malas atau pun bergegas,
hujan menyapu halaman, dan kelip nyala
lampu-lampu minyak di dalam rumah

jadi begitu nyata seperti figur-figur kesedihan
yang lupa untuk kaucatat
di lembar lusuh sebuah sajak.

(2011)


Rendezvous   

Dalam perjalanan, saat kau dan aku lelah
atau bimbang, tak ada salahnya kita berhenti sejenak.
Sebab bagi rintik hujan, pandangan matamu
adalah stasiun, dan satu-satunya yang tak pernah berdusta
adalah tubuh kita.

Sejenak, tak ada salahnya, kita angankan bayang-bayang basah
seumpama tahun-tahun yang luntur
mendulang guyur. Pelan-pelan, satu-satu,
daun-daun mensyukuri rembang

seakan cinta tak selamanya mesti dikatakan. Seakan cinta,
seumpama kiasan sajadah
bagi munajat dan kalimat-kalimat sajak,
sesekali khilaf dan tak setia. Sesekali cuma
ingin singgah pada lengang halte-halte senja.

(2013)


Ciujung

Di sini, sayangku, beberapa langkah ke arah coklat
dan hijau sepi yang menusuk alis-alis matamu yang manis,
asar yang lindap seperti bab pembuka sebuah kitab
mencatat dengan diam-diam segala yang tak dikenal.

Di sini, sayangku, nasib tak pernah tuntas
hanya karena ingin lelap barang sebentar
seperti ketika matamu menjelma laut atau tasik yang bisu.

Unggas-unggas pun pernah melipat gundah
ketika semua warna yang memang biasa
seperti kematian yang tertawa, nun jauh di sana.
Saat hari ingin bersembunyi, angin dari arah barat

menjelma larik yang lebih mirip para pencuri.
Di sini, sayangku, aku pernah sangat kepayang dan tak paham
seperti kenangan yang tak selamanya punya saputangan.

(2013) 


Tidak ada komentar: