Peran CIA Pada Kasus PRRI, Dusta Amerika Atas Indonesia


Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal. Dalam artikel berjudul “PRRI-PERMESTA, Pemberontakan Para Kolonel” yang ditulis Santoso Purwoadi (Angkasa: Dirty War), contohnya, dipaparkan jika pada malam hari, 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.

Kepada para pemberontak, selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat, CIA juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan peralatan-peralatan sejenisnya. Bahkan sejumlah pesawat tempur AU-Filipina dan AU-Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan CIA kepada pemberontak. Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa pilot pesawat tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer AS, Korea Selatan, Taiwan, dan juga Filipina. Ironisnya, dan barangkali ini adalah berkah sementara bagi Indonesia, pesan rahasia CIA kepada para pimpinan PPRI agar sebelum mundur dari Riau mereka meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, sama sekali tidak sempat dilakukan para pemberontak.

Agen CIA Tertangkap Basah


Awalnya pemerintah AS membantah keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA. Namun sungguh ironis, tidak sampai tiga pekan setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu, pada 18 Mei 1958, sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), setelah pesawat itu membombardir sebuah pasar dan landasan udara Ambon. Sebuah kapal laut milik ALRI juga menjadi korban (Soebadio: Hubungan Indonesia Amerika Dasawarsa ke II Tahun 1955-1965; 2005; h. 73). “Sejumlah rakyat sipil, yang sedang berada di gereja pada acara Kamis Putih, terbunuh dalam serangan di komunitas Kristen tersebut,” tulis David Wise & Thomas B. Ross dalam “The Invisible Government: Pemerintah Bayangan Amerika Serikat” (2007; h. 180). Pilot tempur pesawat tersebut, Allan Lawrence Pope berhasil ditangkap hidup-hidup.
 
Mulanya, AS lewat Dubes Howard P. Jones berkilah jika Pope merupakan warganegara AS yang terlibat sebagai tentara bayaran, namun pemerintah RI mendapatkan banyak bukti jika Pope merupakan agen CIA yang sengaja ditugaskan membantu pemberontakan guna menggulingkan Bung Karno. “Pope bukanlah seorang tentara bayaran. Dia terbang atas perintah CIA, yang secara diam-diam mendukung para pemberontak yang mencoba menggulingkan Soekarno… Dalam konferensi pers di Jakarta, 27 Mei, yang digelar oleh Letkol Herman Pieters, Pemimpin Komando Militer Maluku dan Irian Barat di Ambon, menyatakan… 300 sampai 400 tentara AS, Filipin a, dan nasionalis Cina membantu pemberontakan itu.” (Wise & Rose; h.180)

Ancaman AS Dibalas Dengan Ancaman Balik Oleh Bung Karno

Atas gertakan AS yang sampai mengerahkan kekuatan dua batayon US Marine dengan Armada ke-7nya ke perairan Riau, Bung Karno sama sekali tidak gentar dan balik mengancam AS agar jangan ikut campur terlalu jauh ke dalam masalah internal NKRI. “AS jangan sampai bermain api dengan Indonesia. Jangan biarkan kekurangpahaman Amerika menyebabkan meletusnya Perang Dunia Ketiga!” Bung Karno segera mengirim satu pasukan besar di bawah pimpinan Ahmad Yani untuk melibas para pemberontak di Sumatera. Saat itu RRC telah menyiapkan skuadron udaranya serta ribuan tentara regulernya untuk bergerak ke Indonesia guna membantu Soekarno memadamkan pemberontakan yang didukung CIA tersebut, namun Bung Karno menolaknya. “Kekuatan angkatan perang kami masih mampu menghadapi para pemberontak itu,” ujarnya. Dan hal itu terbukti, hanya dalam hitungan jam setelah pasukan Ahmad Yani mendarat di Pekanbaru, Padang, serta Bukit Tinggi—pusat konsentrasi para pemberontak—maka kota-kota penting itu pun direbut tanpa perlawanan yang berarti.

Bahkan pesan rahasia CIA kepada para pimpinan pemberontak agar sebelum mundur dari Riau mereka meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, sama sekali tidak sempat dilakukan para pemberontak. (Edisi Koleksi Angkasa: Dirty War; h.48). Juni 1958, pemberontakan ini berhasil ditumpas. Sumitro Djojohadikusumo dan sejumlah tokoh yang terlibat pemberontakan melarikan diri ke Singapura dan dari ‘Basis Israel di Asia Tenggara’ itulah, kelompok ini terus menggerogoti kekuasaan Bung Karno dan berusaha agar Indonesia bisa tunduk pada kepentingan kolonialisme dan imperialisme baru (Nekolim) AS.

Seperti Biasa, Standard Ganda Amerika

Walau awalnya AS membantah keterlibatannya, namun setelah tidak akif lagi di Indonesia, mantan Dubes AS Howard P. Jones mengakui jika dirinya tahu jika CIA ada di belakang pemberontakan itu. Hal ini ditegaskan Jones dalam memoarnya “Indonesia: The Possible Dream” (1990; h.145). Upaya CIA menumbangkan Bung Karno selalu menemui kegagalan. Dari membuat film porno “Bung Karno”, sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai cara. Hal ini menjadikan CIA harus bekerja ekstra keras. Apalagi Bung Karno secara cerdik akhirnya membeli senjata dan peralatan militer ke negara-negara Blok Timur dalam jumlah besar, setelah AS menolak memberikan peralatan militernya. AS tentu tidak ingin Indonesia lebih jauh bersahabat dengan Blok Timur. Sebab itu, setelah gagal mendukung PRRI/PERMESTA, sikap AS jadi lebih lunak terhadap Indonesia. 19 Agustus 1958, AS akhirnya mengeluarkan pengumuman resmi jika pihaknya bersedia menjual senjatanya kepada Indonesia. “Dalam waktu enam bulan, kurang lebih 21 batalyon Indonesia telah diperlengkapi dengan senjata-senjata ringan Amerika,” (Jones; h. 154)

Namun, seperti biasa: standard ganda Amerika sudah menjadi hukum pasti, meski di permukaan AS tampak kian melunak, sesungguhnya AS tengah melancarkan ‘operasi dua muka’ terhadap Indonesia. Di permukaan AS ingin terlihat memperbaharui hubungannya dengan Bung Karno, namun diam-diam CIA masih bergerak untuk menumbangkan Bung Karno dan menyiapkan satu pemerintah baru untuk Indonesia yang mau tunduk pada kepentingan Amerika. Ini termuat dalam dokumentasi laporan Hugh S. Cumming, Kepala Kementerian Pertahanan dan CIA, kepada National Security Council (NSC) pada 3 September 1958. (Suroso; Bung Karno Korban Perang Dingin; 2008; h. 331). Senjata-senjata AS banyak yang dikirim kepada Angkatan Darat, dibanding angkatan lainnya dengan pertimbangan dari analisa agen-agen CIA bahwa elemen ini lebih bisa diajak bekerjasama dengan AS ketimbang elemen lainnya.

Di sisi lain, CIA juga menggarap satu proyek membangun kelompok elit birokrat baru yang pro-AS yang kini dikenal sebagai ‘Berkeley Mafia’. Sumitro dan Soedjatmoko merupakan tokoh penting dalam kelompok ini. Bahkan di awal tahun 1960-an, tokoh-tokoh Mafia Berkeley ini bisa mengajar di Seskoad dan menjalin komunikasi intens dengan sekelompok perwira Angkatan Darat yang memusuhi Panglima Tertinggi/Presiden Soekarno, yang diantaranya adalah Suharto yang kelak berkuasa setelah Bung Karno ditumbangkan di tahun 1965. (untuk hal ini lebih lanjut silakan baca artikel David Ransom: “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia”; Ramparts; 1971).

Tumbangnya Sukarno, Kabar Gembira Buat Washington


Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira Washington. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Untuk membangun satu kelompok militer—terutama Angkatan Darat—di Indonesia yang ‘baru’ (baca: pro Amerika), AS menyelenggarakan pendidikan militer untuk para perwira Indonesia ini di Fort Leavenworth, Fort Bragg, dan sebagainya. Pada masa antara 1958-1965 jumlah perwira Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat menjadi 4.000 orang. (Suroso; 2008; h. 373). Selain militer, AS juga membangun satu kelompok elit birokrat di Universitas-Universitas AS seperti di Berkeley, MIT, Harvard, dan sebagainya, yang dikenal sebagai Mafia Berkeley. Kedua elemen ini binaan AS ini (kelompok perwira AD yang dipimpin Suharto dan kelompok birokrat yang tergabung dalam ‘Mafia Berkeley’ pimpinan Sumitro) kelak berkuasa di Indonesia setelah Soekarno ditumbangkan. Inilah cikal bakal Orde Baru (The New Order). Amerika Serikat sendiri juga dikenal sebagai pemimpin Orde Dunia Baru (The New World Order).

Sejak kegagalan mendukung PRRI/PERMESTA, National Security Council (NSC) lewat CIA terus memantau perkembangan situasi Indonesia secara intens. Sejumlah lembaga-lembaga sipil dan militer AS juga sangat aktif menggodok orang-orang Indonesia yang dipersiapkan duduk di kursi kekuasaan paska Soekarno. Sebuah memorandum CIA yang dipersiapkan untuk State Department yang dikeluarkan di Washington, 18 September 1964 berjudul Prospek Untuk Aksi Rahasia berisi 18 point, dalam point ke-16 antara lain berbunyi:…Seberapa jauh kita dapat melakukan usaha memecah PKI dan lebih penting lagi, untuk mengadu PKI melawan elemen non-komunis, khususnya dengan Angkatan Darat? Sampai sejauh mana, bila dimungkinkan, kita harus menyerang Soekarno? Apakah tidak dapat terpikirkan untuk menggerakkan tekanan internal seperti membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu, dan di bawah syarat-syarat tertentu mungkin akan memaksa Angkatan Darat untuk meraih kekuasaan besar guna memulihkan keamanan dan ketertiban? Kita tidak ingin nampak terlalu ambisius dalam hal ini. Tapi jika kita membangun program yang didalamnya terdapat bentuk [kurang dari 1 baris teks sumber tidak dideklasifikasikan] sebagai supplement di dalam perkembangan politik jangka panjang. Penting sekali mengetahui kemana kita akan berjalan dan mampu menuntut kemungkinan segala konsekuensinya dari segala usaha kita. Saat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini adalah sekarang, tidak ada nanti…” (Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965; 2007).

Demikianlah. Sudah banyak literatur dan dokumen yang membongkar keterlibatan CIA di dalam peristiwa Oktober 1965, yang pada akhirnya menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Jenderal Suharto. Atas nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di Indonesia kepada Jenderal Suharto. Orang yang dijadikan penghubung antara CIA dan Suharto dalam hal ini adalah Adam Malik (lihat tulisan Kathy Kadane, seorang lawyer dan jurnalis State News Service, berjudul “Para Mantan Agen Berkata: CIA Menyusun Daftar Kematian di Indonesia”; Herald Journal, 19 Mei 1990. Artikel yang sama dimuat di San Fransisco Examiner, 20 Mei 1990; di Washington Post, 21 Mei 1990; dan di Boston Globe, 23 Mei 1990). CIA memang memberi daftar kematian sejumlah 5.000 orang, namun fakta di lapangan jauh di atas angka itu. Kol. Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil dihabisi. Bukan tokoh PKI saja yang dibunuh, namun juga orang-orang kecil yang tidak tahu apa-apa yang menjadi korban politik kotor konspiratif antara CIA dengan para ‘local army friend’.

Terbukanya Upeti Besar dari Asia

Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat. “Salah satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan, menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme Barat,” demikian tulis Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008).

Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tim ini kelak disebut sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller. Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua COE korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional. Dalam fase awal kekuasaannya, Jenderal Suharto didampingi oleh dua tokoh Orde Baru, sama-sama Amerikanis, yakni Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX. Mereka ini dikenal sebagai Triumvirat Orde Baru.

Dalam tulisan berikutnya akan disorot jejak CIA di dalam masa kekuasaan Jenderal Suharto, di mana bukan hanya CIA yang diajak masuk ke Indonesia namun juga nantinya MOSSAD, sebagaimana telah ditulis dengan jelas di dalam Memoirnya Jenderal Soemitro, mantan Pangkopkamtib. Pada Juli 1966, seorang pejabat CIA, bernama Clarence “Ed” Barbier mendarat di Jakarta. Jabatan resminya adalah Asisten Khusus Duta Besar AS. David Ransom, di dalam artikel “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1971), dengan jujur memaparkan bagaimana AS lewat CIA membangun satu kelompok elit baru guna memimpin satu Indonesia yang tunduk pada kepentingan kekuatan Neo-Imperialisme dan Neo-Kolonialisme Barat. Bahkan sesungguhnya, Amerikalah yang merancang dan menyusun strategi pembangunan nasional negeri ini yang dikenal dengan istilah Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) lewat satu tim asistensi CIA dan sejumlah think-tank AS yang bekerja di belakang para teknokrat dan birokrat rezim Orde Baru.

Para pejabat pendiri Orde Baru seperti Adam Malik, Sumitro, Soedjatmoko, dan sebagainya memang dikenal amat dekat dengan para pejabat AS, baik yang bekerja di Jakarta maupun Washington. Lewat CIA, AS telah memanfaatkan para pejabat Indonesia anti Soekarno ini untuk memuluskan kepentingannya. Bahkan Tim Werner dalam “Legacy of Ashes: A History of CIA” (2007) menulis jika Adam Malik telah direkrut menjadi agen CIA lewat pengakuan seorang mantan agen CIA bernama McAvoy. Walau yang terakhir ini sempat jadi polemik, namun kedekatan Adam Malik—dan kawan-kawan-dengan para pejabat AS saat itu adalah suatu fakta sejarah. Pada Juli 1966, seorang pejabat CIA, bernama Clarence “Ed” Barbier mendarat di Jakarta. Jabatan resminya adalah Asisten Khusus Duta Besar AS. “Eufismisme diplomatik ini biasanya dikhususkan bagi Kepala Stasiun CIA yang secara terbuka menyatakan hal ini kepada negara penerima… Dua kepala stasiun sebelumnya tidak diberitahukan secara resmi kepada pemerintah Soekarno dan hanya terdaftar sebagai ‘Sekretaris Pertama/Politik’, suatu jabatan untuk menyamarkan kepala perwakilan ini di antara para diplomat resminya,” tulis Ken Conboy dalam “Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia” (2007; h. 47-48). Barbier yang fasih Bahasa Jepang dan bekerja pada intelijen AL-AS pada Perang Dunia II sebelumnya bertugas di Pacific. Dari lembaga intel AL-AS, Barbier dipindahkan ke CIA di awal berdirinya dan bertugas mengawasi jalur komunikasi dinas intelijen Vietnam Selatan.

Salah satu operasi rahasia CIA di Indonesia di awal era Orde Baru adalah operasi HABRINK, yang berbasis di Konsulat AS di Surabaya. Saat itu, rezim Suharto ‘menerima’ warisan perlengkapan dan persenjataan perang dari negara-negara Blok Timur seperti Chekoslovakia dan Soviet. Kebetulan, AS tengah berperang di medan tempur Indocina dan menghadapi pihak lawan yang menggunakan peralatan perang seperti yang ada di Indonesia. “Operasi rahasia yang digelar pada 1967 ini bertujuan untuk mendapatkan detil teknis dan juga contoh barang perlengkapan militer Soviet seperti Rudal SA-2, kapal selam kelas Whiskey, kapal perang jenis Riga, dan pesawat pembom Tu-16. Operasi ini dibuka kepada umum ketika salah seorang pejabat CIA yang terlibat dalam operasi ini, David Henry Bennet, dihukum pada 1980 karena diketahui telah menjual detil operasi ini kepada pihak Soviet. Hal ini berasal dari catatan Bakin Personnel File atau BPF dengan title ‘David Henry Barnett’”, tulis Conboy dalam bukunya (h.57). Clarence Barbier, demikian tulis Conboy, bekerja dengan mulus di Indonesia disebabkan kesamaan agenda antara AS dengan rezim Suharto, yakni memerangi komunisme. Dalam tugasnya, Barbier merekrut sejumlah orang Indonesia, baik militer maupun sipil. Lewat hubungan yang amat baik dengan Kolonel CPM Nicklany Soedardjo, seorang perwira didikan AS (lulusan Fort Gordon, 1961), Barbier berhasil merekrut seorang tokoh Perti (Partai Tarbiyah Indonesia) bernama Suhaimi Munaf, yang oleh Suharto dianggap dekat dengan orang-orang komunis. Suhaimi sendiri pernah ditangkap pada Februari 1967 dengan tuduhan telah melakukan kejahatan politik.

Pada sekitar Agustus 1968, menjelang kebebasan Suhaimi Munaf, Barbier meminta kepada Kol. CPM Nicklany agar melakukan serangkaian tes psikologi terhadap Suhaimi. Hasil tes menunjukkan Suhaimi memiliki mental baja, keras kepala, dan tidak mudah dipengaruhi. Hasil yang sesuai dengan keinginan CIA. Singkat cerita, Munaf berhasil direkrut CIA dan dikirim ke Pulau Buru dengan menyandang nama sandi Friendly/1. Di pulau tempat pembuangan dan penahanan orang-orang komunis ini, Suhaimi mendapat tugas untuk menjalin hubungan lagi dengan kolega kirinya baik yang berada di dalam maupun luar negeri. “Dengan memanfaatkan simpati atas penahanannya, ia mencari-cari pekerjaan di di kedutaan negara asing komunis… CIA telah menuai sukses awal dengan Friendly/1,” demikian Conboy.

Kerjasama Kol. Nicklany dengan Barbier tidak berhenti di sini saja. Pada awal 1968, Nicklany yang menjabat sebagai Asisten Intelijen Kopkamtib kepada orang-orang terdekatnya menyatakan ingin membentuk satuan tugas kontra intelijen asing, guna menangkap mata-mata asing yang beroperasi di Indonesia. “Mata-mata aing” di sini tentu saja memiliki arti sebagai mata-mata Blok Timur. Karena dengan CIA dan sekutunya, Nicklany malah bekerjasama. Satuan tugas ini akhirnya terbentuk dengan anggota inti sebanyak enampuluh orang, sepuluh perwira aktif dan sisanya sipil, dan menyandang nama resmi “Satuan Khusus Pelaksana Intelijen” atau Satsus-Pintel, yang kemudian diringkas menjadi “Satuan Khusus Intelijen” atau Satsus-Intel. Satuan ini mendapatkan dana dari CIA lewat Barbier termasuk gaji personelnya, lalu bantuan kendaraan untuk kegiatan pengamatan (surveilance), biaya sewa rumah-aman (safe house) di Jalan Jatinegara Timur-Jakarta, dan tape recorder mutakhir merk Sony TC-800 serta perangkat penyadap telepon canggih QTC-11. Hingga awal 1970, Satsus-Intel mendapat 16 sepeda motor, 3 sedan Mercedes, 2 Toyota Corolla, 3 Volkswagen, 1 Toyota Jeep, dan 1 Minibus Datsun dengan kaca belakang yang dilapisi penutup agar minibus ini digunakan untuk melakukan pemotretan rahasia. Semuanya dari CIA (Conboy; h.57).

Jendral Sumitro

Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dengan terus terang menyatakan jika pihaknya memang menjalin kerjasama yang erat dengan MOSSAD Israel, CIA, dan juga MI-6 Inggris dalam hal penumpasan komunis. “Dalam hal ini, Pak Sutopo Yuwono, Pak Kharis Suhud, dan Nicklany. Tiga orang ini yang saya izinkan.” (Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; 1994; h. 251).

Dari CIA Hingga Truman Doctrine, Dusta Amerika Atas Indonesia


Ada upaya membangun opini bahwa Indonesia merdeka berkat Amerika. Sungguh sebuah opini yang menyesatkan bangsa ini yang sengaja dibuat oleh para antek-antek Amerika, semisal para intelektual dan teknokrat karbitan Amerika di era Rezim Soeharto. Tulisan ini akan memberikan gambaran sekilas tentang kondisi Indonesia di masa-masa perjuangan kemerdekaan tidak terlepas dari konteks percaturan politik dunia, utamanya Amerika yang memiliki ambisi untuk menjadi adidaya sejak lama, yang salah-satunya mereka susun dalam sejumlah planning dan rancangan, semisal Truman Doctrine dan Marshall Plan.

Lahirnya Truman Doctrine semula dimaksudkan untuk menghadang penyebaran komunisme di seluruh dunia, di mana rancangan Amerika dalam rangka upayanya untuk memerangi komunisme tersebut dikeluarkan pada 1947. Amerika pun menyusun Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun pengaruhnya di Eropa setelah PD II. Indonesia (dulu “Hindia Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang dicakup dalam rencana dasar Marshall Plan tersebut. Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Hag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di Yogya kala itu. Tentu saja, Indonesia menjadi menggiurkan Amerika yang memiliki ambisi tetap menjadi Negara adidaya karena Indonesia merupakan asset dan kekayaan yang berlimpah.

Bukan itu saja, Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. “Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” (Gouda and Zaalberg: Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia 1920-1949; 2008). Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948 (Dorling and Lee; Australia and Indonesia’s Independence vol.2: The Renville Agreement: 1996).

Selain karena kekayaan dan potensi alam dan material sejenisnya, keinginan penguasaan oleh AS terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II juga disebabkan letaknya yang sangat strategis. Tak heran, menjadikan Indonesia sebagai “wilayah yang bersahabat” dipandang sangat penting bagi AS. George F. Kennan, Direktur Policy Planning Staff (PPS), bahkan pernah berkata kepada Menteri Luar Negeri AS George C. Marshall pada 17 Desember 1948, “Persoalan paling penting dalam pergulatan kita dengan Kremlin sekarang adalah persoalan Indonesia.” (Gouda & Zaalberg; p.35).

Kelahiran NATO

Sementara itu, dalam rangka membangun pengaruhnya di Eropa dan guna membendung pengaruh komunisme Soviet di sana, Amerika mendirikan North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada 4 April 1949. Perlu diketahui, tanggal 1 Oktober 1949 RRC komunis di bawah Mao Tse Tung berdiri dan Perang Korea (1950) memaksa tentara AS yang di bawah panji PBB berhadapan langsung melawan tentara RRC yang membantu Korea Utara. Hal ini menjadikan AS merasa perlu untuk mendirikan Southeast Asia Treaty Organization (SEATO). Kian jelas, NATO dimaksudkan sebaga politik pembendungan terhadap Uni Soviet, sedangkan SEATO ditujukan sebagai politik pembendungan terhadap RRC (Soebadio; Hubungan Indonesia Amerika Dasawarsa ke II Tahun 1955-1965; 2005).

Di akhir tahun 1950, RRC dan Uni Soviet menjalin hubungan yang erat. Ini kian mencemaskan AS yang bernafsu menciptakan dunia sebagai pasar bebas yang besar bagi dirinya, dan juga penguasaan atas wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia. Sebab itu, Menlu AS Dean Acheson di penghujung 1950 merumuskan kebijakan politik luar negeri AS untuk Asia Pasific. AS menjalin perjanjian dengan sejumlah negara di wilayah tersebut. Pada 8 September 1951, As mendirikan pangkalan militer di Okinawa-Jepang, Pangkalan Clark dan; Subic di Philipina berdiri pada 30 Agustus 1951, ANZUS (Australia, New Zealand, and United States) berdiri pada 1 September 1951, Korea Selatan pada 1 Oktober 1953, dan Taiwan pada 2 Desember 1954 (Brown; American Security Policy in Asia; Adelphi Papers 132; 1977).

Amerika Tidak Bisa Dipercaya

Mungkin kita perlu merenungkan sejenak sejarah kita, suka atau tidak suka, yang ketika Soekarno memandang Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang Amerika karena Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan AS (Soebadio: p.42). Sebab itu, Indonesia menentang usaha Amerika menjadikan negara-negara Asia Pasifik sebagai bonekanya (dengan mendirikan pangkalan militer di wilayahnya masing-masing) dan menjalin kerjasama dengan Soviet dalam kedudukan yang setara. Apalagi ketika Soekarno tahu bahwa Amerika terbukti membantu Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Di sini lah, kita juga sebenarnya tak perlu banyak bertanya lagi, kenapa Amerika bernafsu untuk menumbangkan Soekarno dengan segala macam cara manipulasi, seperti mempengaruhi para jenderal di Angkatan Darat dan intelektual anti-Soekarno, semisal para intelektual PSI.

Kita juga tidak boleh lupa, pada 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh. Saat itu, atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan AS guna membentuk Pax-Pacific untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana Amerika menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menggusur Soekarno dan menyingkirkannya.

Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko

Sejak akhir 1940-an, AS sesungguhnya sudah mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko yang berasal dari kalangan elit. Amerika akhirnya mengetahui jika keduanya tidak menyukai Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Sumitro diketahui menyambut baik Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko, demikian panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, Sumitro di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah insentif bagi modal asing (Suroso; Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).

Tak hanya itu saja, David Ransom dalam “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1971) menulis: “Di New York, keduanya dibesarkan oleh satu kelompok yang berhubungan erat dengan apa yang biasa disebut Vietnam Lobby, yang menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala Negara Vietnam yang pro AS. Lobi tersebut, di antaranya ada Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota Komite Kemerdekaan untuk Vietnam dan juga Liga India. Mereka merupakan pelopor Sosialis Kanan (Soska) dunia. “Kita harus berusaha agar usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan AS untuk membentuk pemerintah non-komunis di Asia paska PD II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya”, ujar Robert Delson, anggota Liga yang juga Lawyer di Park Avenue. Delson adalah penasehat hukum untuk Indonesia di AS.”

Orang ini, tulis David Ransom, selalu menemani dan membawa Sumitro dan Koko keliling Amerika dan memperkenalkannya kepada sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action (ADA) yang juga Soska dan berpengaruh dalam sikap polittik luar negeri Amerika.

Usai Konnferensi Meja Bundar

Usai KMB 1949, Sumitro pulang ke Jakarta dan diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, dan kemudian juga sebagai Menteri Keuangan dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sikap Sumitro dan kawan-kawan PSI-nya yang mendukung investasi Belanda di Indonesia merdeka tidak populer di mata rakyat yang nasionalismenya tengah bergelora. Hasilnya, pada Pemilu 1955, PSI hanya mendapat suara yang kecil. Namun, seperti kita ketahui, intelektual-intelektual PSI tetap setia menjadi mitra Amerika, termasuk menjadi para pembisik dan penasehat Amerika dalam upaya penggulingan Bung Karno.

Rancangan Strategis Amerika Untuk Menguasai Indonesia


Beberapa waktu yang lalu, kita dihebohkan dengan ulah tak bermoral seputar penyadapan yang dilakukan Amerika atas perbincangan orang nomor satu di negeri kita yang semestinya merupakan wilayah rahasia. Tidak usah heran! Itu sudah biasa bagi Negara yang setia mempraktekkan standard ganda, yaitu Amerika, hingga Vladimir Putin sempat berseloroh, “Saya iri pada Obama yang bisa memata-matai Negara berdaulat dan tidak mendapat konsekuensi apa pun.” Belakangan, mulai terungkap pula ternyata kelompok-kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam di Timur Tengah, semisal di Suriah, juga dibentuk oleh Amerika bersama para sekutunya, utamanya Israel.

Tidak ada satu kedutaan besar negara di dunia yang tidak melakukan aktivitas intelijen sevulgar Amerika di negara yang ditempatinya. Urusan penilaian terhadap kondisi negara yang menjadi wilayah kedutaan merupakan tugas wajib duta besar dan diplomat yang bersamanya. Bagi negara yang tidak memiliki ideologi, keberadaan kedubes paling-paling hanya terbatas pada urusan kerja sama bilateral antarkedua negara di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan hankam. Sifatnya pasif. Sementara bagi negara yang memiliki ideologi, duta besar dan diplomat memiliki tugas yang jauh lebih besar dari itu. Mereka bisa memiliki agenda sendiri di luar urusan-urusan resmi terkait dengan negara di mana mereka bertugas. Mereka bisa saja bertugas menghancurkan negara sasaran termasuk memasok senjata dan sejenisnya. Dalam hubungan diplomatik, telah menjadi konvensi internasional bahwa para diplomat memiliki kekebalan diplomatik, tidak hanya menyangkut fisik/diri diplomatnya tapi juga segala yang bersama dengan diplomat itu seperti barang, dokumen, dan sebagainya. Negara yang dituju tidak boleh memeriksa itu. Makanya, korps diplomatik dalam beberapa kasus di dunia menjadi alat kejahatan yang luar biasa.

Di Indonesia, campur tangan Amerika telah begitu lama dibiarkan, hingga lambat-laun mengangkangi bangsa ini.

Sejak Indonesia Merdeka

Awalnya, masuknya AS itu untuk mematahkan penyebaran komunis di dunia, termasuk di Indonesia. Keluarlah Truman Doctrine pada 1947, untuk mengepung komunis dan kemudian disusul Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. “Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” (Gouda & Zaalberg: Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia 1920-1949; 2008). Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948.

Dalam rangka menjatuhkan pemerintah Soekarno, Amerika membantu pemberontakan PRRI/PERMESTA. AS menurunkan kekuatan besar. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak.  Pada 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.

AS memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat. Amerika juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Awalnya Amerika membantah terlibat, namun sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pilot pesawat itu  Allan Lawrence Pope berhasil ditangkap hidup-hidup. Ia terbang atas perintah CIA.

Puncaknya ketika Amerika berada di balik pemberontakan G 30 S/PKI. Banyak dokumen dan  literatur membongkar keterlibatan CIA (yang merangkap sebagai diplomat) di  dalam peristiwa Oktober 1965 tersebut. Atas nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di Indonesia kepada Jenderal Soeharto. Namun yang dibunuh bukannya 5.000 orang,  Kol Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil dihabisi, termasuk orang yang tak tahu apa-apa. Inilah tragedi kemanusiaan terbesar setelah era Hitler.

Buku “Membongkar Kegagalan CIA” karya Tim Weiner, wartawan The New York Times, mengungkap bagaimana para diplomat AS yang juga perwira CIA berhasil merekrut Adam Malik sebagai agen mereka.

Tim Weiner menulis, “CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Soeharto.

“Malik memanfaatkan hubungan dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan Duta Besar Amerika yang baru di Indonesia, Marshall Green. Sang Duta Besar mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik “di sebuah lokasi rahasia” dan mendapatkan “gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan” buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut Kap-Gestapu.

Doktrin Arthur-Churchill

Pada Perang Dunia II, Jenderal McArthur dan Winston Churchill membuat doktrin yang dikenal kemudian dengan sebutan ‘Doktrin McArthur-Churchill’. Ini adalah suatu skenario penguasaan kawasan Asia-Pasifik pasca Perang Dunia II. Khusus bagi Indonesia, doktrin ini membagi Kepulauan Indonesia menjadi tiga kawasan, yakni Kawasan Malesia (Sumatera dan Kalimantan), Kawasan Melanesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua), dan Pusat Layanan (Jawa dan Bali).

Menurut doktrin itu, kawasan Malesia disubordinasikan ke Semenanjung Malaysia dan Daratan Asia Tenggara, menjadi ‘Great Malesian Region. Sedangkan Kawasan Melanesia disubordinasikan ke Kepulauan Philippines dan negara-negara Pacific (Australia dan sekitarnya), menjadi ‘Great Melano-Polynesian Region.’ Terakhir Pulau Jawa dan Bali yang menurut rencana akan dijadikan ajang operasi intelijen menggantikan peran strategis Singapura.

Doktrin itu menjadi acuan acuan Amerika dalam menyusun strategi menguasai Indonesia secara geostrategis maupun geopolitik. Tampaknya doktrin ini masih berlaku dan semakin terbukti dengan adanya cengkeraman Amerika yang kian kuat di Indonesia. Bisa jadi Kedubes AS di Jakarta akan menjadi pusat layanan di kawasan ASEAN dan Pasifik seperti yang direncanakan doktrin tersebut.

Zuhud Menurut Islam




oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari (teolog dan filsuf)

“Kezuhudan orang arif berbeda dengan kezuhudan orang yang tidak arif” (Ibn Sina)

Salah-satu ajaran Islam yang memberikan kehidupan adalah konsep kezuhudan. Namun, boleh dikatakan bahwa dewasa ini kezuhudan tampil dalam maknanya yang mati, atau menyimpang serta berubah dari makna aslinya. Dalam pertemuan sebelumnya, telah saya sampaikan dua macam pengertian zuhud. Kedua pengertian tersebut ternyata tidak relevan dengan ajaran Islam. Arti zuhud adalah perasaan puas dengan kehidupan yang serba sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Dalam semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas dengan kehidupan yang serba sederhana.

Namun, perbuatannya tersebut harus dilakukan berdasarkan hikmah dan filosofi tertentu, bukan berdasarkan keyakinan bahwa urusan dunia terpisah dari urusan akhirat. Juga bukan didasari pengertian bahwa kenikmatan duniawi dan ukhrawi bersifat kontradiktif dan saling bertolak belakang satu sama lain. Orang menjalani kezuhudan (hidup dalam kesederhanaan) dikarenakan kondisi dan keadaan tertentu yang di hadapinya —sebagaimana yang telah saya kemukakan, hal ini berhubungan dengan masalah mementingkan orang lain (îtsâr).

Tatkala seseorang menjumpai orang miskin yang membutuhkan, sementara dirinya mampu memberikan bantuan serta kebaikan, tentu ia akan segera membantunya. Tindakan ini muncul dikarenakan ia memiliki sikap lebih mementingkan orang lain (terlebih fakir miskin) ketimbang dirinya sendiri. Tindakan berkorban demi orang lain semacam itu jelas memiliki kemuliaan serta makna filosofis yang amat dalam. Kenikmatan serta kenyamanan yang dimilikinya dikorbankan demi kenikmatan dan kenyamanan orang lain. Perbuatan semacam ini mendapat pujian dari Al-Quran, yang salah satunya tercantum dalam surat Al-Insan (hal atâ), yang diungkapkan dengan bahasa yang sangat menyentuh.

Dalam sejarah terdapat kisah yang sangat populer berkenaan dengan sikap mementingkan orang lain. Imam Ali dan keluarganya yang suci memberikan makanan (untuk mereka berbuka puasa) kepada orang miskin (pada malam pertama), anak yatim (pada malam kedua), dan tawanan perang (pada malam ketiga). Disebabkan nilai keagungan dan pentingnya sifat Ã®tsâr, diturunkanlah ayat yang memuji perbuatan tersebut:

“Dan mereka memberikan makanan yang mereka cintai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Sesungguhnya kami memberi makan kalian semata mengharap keridhaan Allah dan kami tidak mengharapkan balasan dari kalian dan ucapan terima kasih.”[1]

Mereka justru memberikan makanan yang dibutuhkan pada saat melihat orang lain lebih membutuhkan (seperti orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang tersebut). Mereka melupakan diri mereka sendiri dan memberikan makanannya kepada orang lain. Untuk apa semua itu dilakukan? Semata-mata hanya mengharapkan ridho Allah!

Inilah kezuhudan yang memiliki makna filosofis yang agung dan sekaligus menjadi tanda kehidupan jiwa manusia. Sedangkan pengertian zuhud lainnya yang pernah saya sampaikan, tak lebih dari konsep kezuhudan yang mati dan kering kerontang. Kedua konsep zuhud tersebut bersumber dari pemikiran yang keliru serta tidak menunjukkan kehidupan manusia. Mereka menyangka perhitungan dunia dan akhirat terpisah satu sama lain. la tidak menyadari bahwa ibadah yang dilakukannya tidak hanya memberikan pengaruh pada kehidupan akhirat, tapi juga terhadap kehidupan dunia. Sebagaimana berpengaruh bagi kehidupan dunia, ihwal keduaniawian juga berpengaruh kepada kehidupan akhirat. Pemikiran yang keliru telah menjadikan manusia keliru pula dalam melangkah.

Pemikiran tersebut akan membentuk manusia menjadi makhluk yang tidak berperasaan dan memiliki hati yang mati. Orang yang salah kaprah dalam mengartikan zuhud akan meninggalkan urusan dunia dan kehidupan duniawi. la akan pergi ke gua atau puncak gunung untuk duduk menyendiri, bersemedi, dan mengasingkan diri. la menyangka, melalui cara ini dirinya akan memperoleh kebahagiaan di akhirat. Pada akhirnya, ia tidak merasakan kenikmatan duniawi, juga kenikmatan ukhrawi. Dirinya tidak lagi memiliki perasaan dan kepekaan terhadap lingkungannya serta tidak memiliki pengaruh bagi manusia lain. Semua itu merupakan pengertian zuhud yang salah kaprah.

Pengertian keliru lainnya bersumber dari prasangka bahwa Tuhan bakhil. Tuhan akan memberikan kenikmatan duniawi kepada orang yang meninggalkan kenikmatan akhirat. Sebaliknya, Allah akan memberikan kenikmatan akhirat kepada orang yang meninggalkan kenikmatan duniawi. Kita menyangka bahwa mustahil manusia bisa hidup bahagia sekaligus di dunia dan di akhirat.

Pada akhirnya, kita lantas mengharamkan kenikmatan duniawi atas diri kita sendiri agar bisa mencicipi kenikmatan ukhrawi. Ini juga merupakan pengertian zuhud yang absurd. Keberadaan orang yang berkeyakinan seperti ini tak lebih dari seonggok makhluk yang sudah mati.

Keridhaan Allah Swt akan dijumpai seseorang dalam berbuat kasih sayang, saling mengasihi, serta mengabdi kepada makhluk-Nya. la akan menemukan keridhaan Allah dalam ayat yang berbunyi: “… dan mereka mengutamakan orang-orang muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…”[2] bahwa dirinya mesti meninggalkan kenikmatan duniawi untuk diri sendiri, dan memberikannya kepada orang lain. Dengan sikap seperti ini, ia akan menjelma menjadi makhluk hidup yang memiliki kedudukan tinggi. Orang seperti inilah yang akan menjadi hidup –tepatnya lagi, menjadi manusia yang paling hidup.

Telah saya katakan bahwa salah satu doktrin filosofis kezuhudan adalah menjalani kebersamaan dalam merasakan penderitaan. Manusia harus hidup dengan merasakan penderitaan orang lain. Perbedaan kasta yang membedakan antara kelompok “perahu-perahu kenikmatan” (orang-orang kaya) dengan “lautan penderitaan” (orang-orang miskin), merupakan ajaran yang keliru. Saya tidak mengatakan bahwa manusia harus hidup dalam satu tingkatan. Tidak. Ini bukanlah pendapat yang benar. Taraf hidup manusia berbeda-beda berdasarkan potensi, kemampuan, dan upaya masing-masing. Kehidupan merupakan ajang perlombaan. Setiap orang yang lebih keras dalam bekerja akan meraih untung yang lebih banyak dan lebih baik. Untuk memperoleh kekayaan, seseorang tidak boleh menempuh jalan diskriminasi dan berbagai tindak kejahatan. la harus menempuhnya dengan cara yang layak serta kerja keras dan ketekunan. Demikian pula, jangan sampai seseorang menderita kemiskinan dikarenakan kemalasan dirinya — bukan disebabkan tidak adanya penolong.

Imam Ali berkata: “Apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujjah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, tentu saya sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memperlakukan orang yang terakhir sama seperti terhadap orang yang pertama.”

Imam Ali berbicara tentang kekhalifahan yang beliau terima pasca terbunuhnya Utsman bin Affan. Beliau menerima kekhalifahan dalam kondisi yang benar-benar tidak menguntungkan. Sebelumnya beliau enggan menerima tanggung jawab kekhalifahan. Waktu itu, ketika didesak agar berkenan menerima kekhalifahan, beliau berkata: “Tinggalkanlah saya dan carilah omng selain saya, kita akan menghadapi berbagai macam kejadian dan peristiwa di masa yang akan datang.”

Atas dasar pengetahuannya tentang berbagai kejadian yang akan muncul di masa datang, beliau menolak menerima tanggung jawab tersebut. Namun, pada akhirnya, beliau menganggap hal itu sebagai suatu kewajiban bagi dirinya, dan kemudian berkenan menerimanya. Kewajiban apa? Pada dasarnya, Allah telah memegang janji para ulama, di mana Dia kemudian menetapkan tugas yang harus mereka emban. Apa tugas ulama? Salah satunya adalah memimpin kebangkitan tatkala di tengah-tengah masyarakat terdapat sejumlah orang yang perutnya kenyang lantaran terlampau banyak makan, namun tidak membuat kenyang perut orang lain. Dalam kondisi seperti ini, ulama wajib bangkit untuk membuat orang-orang yang kelaparan menjadi kenyang dan menghapuskan diskriminasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Apakah cuma itu tugas ulama? Tidak. Selain itu, ulama harus merasakan penderitaan orang lain. Seseorang yang memiliki taraf hidup tertentu harus merasakan penderitaan orang yang taraf hidupnya lebih rendah. Kadangkala, apapun yang kita upayakan tidak juga mampu meningkatkan taraf hidup (orang lain). Karenanya, yang bisa kita lakukan hanyalah turut merasakan penderitaan orang yang hidup sengsara.

Di masa Imam Ja’far, terjadi musim kemarau yang cukup panjang. Kondisi saat itu sangatlah kritis. Saat itu masyarakat menjadi gelisah. Orang-orang mulai membeli makanan dan menyimpannya. Dan untuk berjaga-jaga, mereka kebanyakan menyimpan cadangan makanan dua kali lipat lebih banyak dari kebutuhan. Imam Ja’far Shodiq kemudian bertanya kepada pegawainya: “Apakah kita menyimpan makanan di rumah?” Pegawai tersebut menduga bahwa Imam akan menyuruhnya menyimpan makanan lebih banyak lagi mengingat masa sulit yang akan berlangsung selama bertahun-tahun. Di luar dugaannya, Imam mengeluarkan perintah: “Berapapun gandum yang kita miliki, bawalah ke pasar dan jual kepada masyarakat.” Pegawai tersebut berkata: “Apakah tuan tidak tahu, jika kita menjualnya, kita tidak akan mampu lagi membelinya.” Imam berkata: “Apa yang dilakukan masyarakat umum?” Pegawai itu menjawab: “Setiap hari mereka membeli roti yang terbuat dari gandum yang dicampur dengan sya’ir (sejenis gandum) di pasar.” Imam Ja’far berkata: “Juallah semua gandum yang ada, dan mulai besok, belilah roti untuk kita, sebab kita tidak bisa menjadikan masyarakat mampu memakan gandum seperti kita lantaran kondisi yang tidak memungkinkan, namun paling tidak kita bisa meniru kondisi hidup yang mereka hadapi dan merasakan penderitaan mereka sehingga tetangga kita akan mengatakan: ‘Biarlah saya memakan roti yang terbuat dari sya’ir karena Imam Ja’far juga memakannya, padahal dia mampu membeli roti gandum.’” Mengapa kita memilih kehidupan seperti ini? Tak lain dikarenakan kita ingin turut serta merasakan penderitaan orang lain.

FAKTOR KEBEBASAN DAN KEMERDEKAAN
Makna filosofis kezuhudan yang ketiga adalah kebebasan dan kemerdekaan. Al-Quran tidak pernah mengharamkan kenikmatan yang halal bagi manusia. “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkari-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?”[3] Al-Quran tidak pernah melarang manusia untuk memanfaatkan kenikmatan yang halal demi mencapai kebahagiaan ukhrawi. Terdapat topik lain yang perlu saya sampaikan di sini, yakni tentang orang-orang yang memiliki harapan untuk hidup bebas dan mendapatkan kebebasan, yang senantiasa berusaha keras untuk melepaskan belenggu yang mengikat tangan dan kakinya, tentunya sebatas kemampuan yang dimiliki.

Coba Anda perhatikan! Kita hidup di dunia ini dengan memiliki mata rantai kebutuhan dan keperluan. Berdasarkan hukum penciptaan, kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak bisa kita hilangkan. Kita membutuhkan makan dan sampai batas terjauh dari kemampuan kita pun, kita tidak hjsa membebaskan diri dari kebutuhan tersebut. Dengan demikian, kita tetap harus makan. Tubuh amat memerlukan pengganti dari segenap hal yang sudah dicerna. Kita tidak bisa membebaskan diri dari udara yang digunakan untuk bernafas. Juga tidak bisa terbebas dari air, atau sampai batas tertentu, dari pakaian. Semua itu merupakan ukuran keterikatan penciptaan dan alam yang berakar dalam diri kita.

Di samping itu, terdapat pula mata rantai pengekang yang ada dalam diri manusia. Mau tidak mau, manusia akan terikat olehnya, dan menjadikan kebebasan tercabut dari dirinya. Salah satunya, mata rantai kebiasaan. Dalam jaman modern ini, kita menjumpai berbagai bentuk kebiasaan. Barangkali teramat jarang orang yang tidak memiliki kebiasaan. Rata-rata dari kita, minimal, memiliki satu kebiasaan. Setidaknya kita memiliki kebiasaan meminum teh. Saat tidak meminum air teh, kita akan merasa gelisah. Banyak orang yang punya kebiasaan merokok. Jika tidak merokok, mereka tidak bisa berkonsentrasi. Tak sedikit pula orang yang memiliki kebiasaan yang berbahaya dan diharamkan, misalnya kecanduan opium, atau bahkan lebih buruk dari itu.

Semakin sering terbiasa terhadap sesuatu, seseorang akan lebih terikat dan tertawan kebiasaan tersebut. Pada saat tertawan, manusia tak lagi memiliki kebebasan. Persoalan ini bukan hanya berkenaan dengan kebiasaan minum teh, merokok, dan menggunakan opium. Tapi juga dengan kebiasaan tidur di atas kasur dan bantal yang empuk. Apabila dalam kondisi tertentu, orang yang memiliki kebiasaan seperti ini harus tidur di atas karpet atau tanah, ia tentu sama sekali tidak akan bisa terlelap. la sudah terikat dengan kebiasaannya.

Sebaliknya, Anda bisa melihat bagaimana orang yang hidup sederhana di dunia tanpa mengharamkan kenikmatan Tuhan atas dirinya dan tidak menganggapnya haram, serta tidak meninggalkan urusan kehidupan (duniawi). Mereka senantiasa berada dalam kehidupan, namun hati mereka menghendaki kehidupan yang serba sederhana. Mereka ingin mengenakan baju yang paling sederhana, menyantap makanan yang paling sederhana, rumah dan kendaraan yang juga paling sederhana. Mengapa? Alasannya, mereka tidak ingin menukar kebebasannya dengan sesuatu yang lain. Sedikit saja mengikatkan diri kepada sesuatu, mereka dengan serta merta akan menjadi tawanannya. Pada saat menjadi tawanan sesuatu, mereka layaknya orang yang terkekang oleh ribuan rantai pengikat. Orang semacam ini tak bisa hidup bebas.

Karena itu, kehidupan para nabi yang agung dan tokoh-tokoh masyarakat akan senantiasa diliputi kesederhanaan. Apabila sebaliknya, di mana kehidupan mereka dilumuri dengan perhiasan (yaitu kehidupan yang halal dan diperbolehkan), mereka mau tak mau harus meninggalkan kursi kepemimpinan. Kehidupan yang dipenuhi perhiasan tidak sesuai dengan prinsip kepemimpinan yang mengharuskan hidup sederhana. Kehidupan sederhana akan menjadikan seseorang leluasa dan bebas bergerak.

Kita membaca keterangan tentang kondisi Rasulullah SAWW yang menyatakan bahwa ‘Rasulullah hidup sederhana’. Pertama kali yang kita akan saksikan dalam sejarah Nabi SAWW adalah sesosok pribadi yang gemar memberikan bantuan. Mulai dari pakaian dan makanannya, cara duduk dan berdirinya, serta bekal perjalanan yang beliau miliki sangatlah sederhana.

BATASAN DAN IKATAN
Lihatlah bagaimana seluruh pengikat yang diciptakan manusia untuk dirinya sendiri telah menghambat kemajuan dirinya. Keterikatan dalam diri seseorang akan menginjak-injak dirinya sendiri. Saya akan memberikan contoh seperti ini; misalnya saya seorang tokoh agama yang terkenal. Saya seorang Hujjatul Islam atau Ayatullah. Apakah saya harus pergi berziarah ke Masyhad? Saya berpikir, tidak mudah untuk pergi ke Masyhad. Bagaimana caranya agar saya bisa memasuki (makam Imam Ali Ridha as)? Dari pintu manakah saya harus masuk (ke makam)? Bagaimana jika orang-orang melihat saya? Saya berpikir ini dan itu. Anda akan melihat bahwa waktu terus berjalan sedangkan saya tetap tidak melakukan hajat yang paling sederhana sekalipun (pergi berziarah ke makam Imam Ridha, —peny.), apalagi untuk suatu kepergian yang sifamya wajib seperti menunaikan haji ke Makkah. Saya telah terbelenggu pelbagai persyaratan dan ikatan. Karenanya, saya tidak bisa pergi dengan leluasa.

Rasulullah justru memiliki kehidupan yang sederhana sekali. Jika kehidupan beliau tidak mudah dan ringan, tentu beliau tidak akan mampu memimpin umatnya. Pada saat berpuasa, apakah beliau harus memanaskan poci untuk minum teh yang mana jika tidak maka beliau akan dipersalahkan? Tak ada perbedaan antara hari puasa atau hari biasa. Kadangkala Nabi baru pulang ke rumahnya setengah jam setelah usai menunaikan shalat Isya. Anas bin Malik, budak Nabi, mengatakan; “Makanan Rasulullah biasanya segelas susu dan sekerat roti. Sewaktu pulang ke rumah, Nabi memakan makanan yang sederhana ini, dan setelah itu Nabi melakukan pekerjaannya.

Nabi makan sedikit dan beristirahat selama dua jam sudah cukup baginya. Setelah bangun tidur, beliau beribadah kepada Allah. Menurut nash al-Quran, Rasulullah tidak tidur selama dua pertiga malam.”

Al-Quran diturunkan di suatu tempat yang bisa disaksikan banyak orang. Jika tidak, maka lawan akan mengingkarinya dan kawan pun tidak akan mempercayainya, dan mengatakan: “Yang kita lihat, Nabi tidak terjaga, mengapa al-Quran mengatakan beliau tidak tidur pada dua pertiga malam? Menurut al-Quran, Nabi minimal terjaga dan melakukan ibadah pada sepertiga malam, dan terkadang pada pertengahan malam atau dua pertiga malam. Pribadi mulia ini tidak beristirahat barang sebentar pun mulai dari waktu subuh hingga akhir malam. ‘Rasulullah hidup sederhana’. Saya pernah membaca syair Parsi yang ditulis Atsiruddin Akhsitegi sehubungan dengan masalah ini. Isi syair tersebut sungguh luar biasa:

Di tengah-tengah lautan peristiwa,
tanggalkanlah pakaian Anda,
dengan telanjang Anda dapat mengarunginya.

Jika Anda ingin menyelam ke dalam lautan peristiwa, pertama-tama Anda harus menelanjangi diri dulu agar dapat berenang. Orang yang mengenakan baju yang memiliki bobot yang berat (seperti jubah, sorban, dan sejenisnya), akan tenggelam ketika ia berupaya menyelam di dalam sungai besar. Itu dikarenakan beratnya beban baju yang dikenakan. Orang seperti ini tidak bisa mengarungi lautan peristiwa. Syarat pertama untuk bisa mengarungi lautan peristiwa adalah bertubuh telanjang. Orang yang tidak ingin terjatuh atau menyengaja terjun ke dalam sungai “peristiwa”, dan hanya ingin hidup di “pinggiran” kehidupan masyarakat, pada dasarnya adalah orang yang tidak memiliki keinginan untuk memperbaiki masyarakatnya. Dengan demikian, orang semacam ini bebas mengenakan baju yang dikehendakinya. Sementara, orang yang ingin terjun ke dalam lautan masyarakat, harus terlebih dahulu menelanjangi dirinya, baru setelah itu ia bisa mengarungi lautan peristiwa kemasyarakatan. Orang yang terbelenggu oleh banyak hal, tidak akan bisa memasuki lautan masyarakat, apalagi memimpinnya.

Bagaimana dengan kehidupan pribadi Imam Ali as? Dalam khotbahnya yang termasyhur, beliau menyifati Nabi:

“Rasulullah memiliki kehidupan yang sangat sederhana. Demikian pula dengan para Nabi yang berkuasa, seperti Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Meskipun memiliki kekuasaan dan fasilitas, kehidupan pribadi Nabi Daud as sangatlah sederhana. Beliau membuat baju besi, yang kemudian dijual sendiri ke pasar. Dengan cara inilah beliau hidup.” Tentang Nabi Isa as, Imam Ali mengatakan: “Begitu sederhana dan bebasnya hidup Nabi Isa, sampai-sampai kendaraan beliau adalah kedua kakinya. Pelita beliau di malam hari adalah sinar rembulan.”

Nabi Isa bukanlah tawanan pelita atau kendaraan tunggangan. Seperti inilah kehidupan seluruh para Nabi. Mereka menjalani kehidupan seperti itu agar bisa memimpin masyarakat. Dengan demikian, kezuhudan yang memiliki makna filosofis yang mendalam adalah kezuhudan seperti ini, dan bukan kezuhudan yang didasari atas keyakinan bahwa kenikmatan dunia bertentangan dengan kenikmatan akhirat, atau anggapan bahwa kehidupan duniawi terpisah dari ibadah. Kezuhudan demikian jelas keliru dan mematikan. Adapun zuhud para Nabi adalah zuhud yang menghidupkan.

(Mahatma) Gandhi merupakan seorang tokoh yang berasal dari India. Sewaktu ingin memimpin dan membebaskan empat ratus juta (400.000.000) rakyat India dari cengkeraman penjajah, ia tidak mempunyai jalan lain kecuali meneladani model kehidupan para Nabi. la memilih hidup sederhana untuk dirinya sendiri. la mengenakan kain sederhana yang melekat ditubuhnya seraya mengatakan: “Dengan ini saya bisa hidup.”

Apa filosofi kezuhudan Gandhi? Dari satu sisi, Gandhi terjun ke dalam kehidupan masyarakat, serta berkeinginan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman cakar penjajah. Dari sisi yang lain, ia hidup zuhud sedemikian rupa dan hanya memiliki kain sederhana yang melekat di tubuhnya. Dalam pada itu, ia menyeru kepada rakyat India: “Jika kalian ingin terbebas dari cengkeraman penjajah, hiduplah secara zuhud.” Maksudnya, hiduplah dalam kesederhanaan supaya Anda bisa terbebas. Setelah Anda bebas, dan ingin memperindah hidup Anda, silahkan lakukan, tapi jangan sampai diri Anda terbelenggu dan kembali tidak bebas. Jenis kezuhudan semacam ini mengandung filosofi kebebasan dan kemerdekaan.

ZUHUD DAN TUNTUTAN JAMAN
Terdapat topik lain yang akan saya kemukakan kepada Anda, yang berkenaan dengan kezuhudan dan tuntutan jaman. Keadaan jaman senantiasa berbeda-beda. Pada suatu jaman, kehidupan zuhud menjadi tugas bagi manusia, dan tidak pada masa yang lain. Jika kita menelaah kehidupan mulia Rasulullah SAWW dan Imam Ali as, kita akan menjumpai bahwa bentuk kehidupan mereka berdua sedikit berbeda dengan bentuk kehidupan Imam Muhammad Baqir as dan Imam Ja’far as. Kehidupan Rasulullah SAWW dan Imam Ali as lebih sederhana dan lebih zuhud dibandingkan dengan kehidupan Imam Muhammad Baqir as, Imam Ja’far Shadiq as, Imam Musa bin Ja’far as, dan Imam Ali Ridha as. Bahkan kehidupan para imam tersebut juga berbeda dengan kehidupan Imam Hasan Mujtaba as.

Dari mana datangnya perbedaan tersebut? Sesuai dengan keterangan sebelumnya, jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi sangat jelas. Imam Ja’far telah menjawabnya dengan gamblang. Pada paruh tengah abad kedua, seorang sufi mendatangi Imam Ja’far Shadiq. la melihat Imam mengenakan pakaian indah dan halus. Kemudian ia mengatakan: “Wahai putra Rasulullah, mengapa Anda mengenakan pakaian mahal dan mewah?” Imam menjawab: “Silahkan duduk dan dengarkan jawaban saya. Kadangkala Anda berbuat suatu kekeliruan dalam bertindak (bukan dengan sengaja) dan kadangkala Anda mengerti (makna sebenarnya dari zuhud) akan tetapi Anda hendak menipu orang-orang awam. Jika Anda memang tidak ada keinginan untuk menipu masyarakat dengan menggunakan bentuk penampilan sederhana, duduklah dan saya akan berbicara denganmu.”

Imam Ja’far berbicara panjang lebar dengannya dan sedikitpun ia tidak mampu membantah ucapan Imam. Setelah itu dia pergi dan taklama kemudian kembali lagi bersama serombongan sahabatnya.

Kisahnya sangat panjang. Saya ingin memfokuskannya hanya pada satu noktah penting. Rombongan yang datang melontarkan protes atas penampilan Imam dengan mengatakan: “Mengapa Anda mengenakan pakaian mewah?” Imam Ja’far menjawab: “Mungkin Anda berpikir, jika mengenakan pakaian mewah merupakan perbuatan baik, mengapa Rasulullah SAWW dan Imam Ali as tidak mengenakannya? Dan apabila itu merupakan perbuatan buruk, mengapa Anda mengenakannya?” Mereka menjawab: “Benar, itu yang akan kami katakan.” Kembali Imam menjelaskan: “Kalian tidak mengikuti perkembangan jaman. Menurut pandangan Islam, mengenakan pakaian mewah bukanlah sebuah dosa. Allah menciptakan semua kenikmatan duniawi untuk dimanfaatkan manusia. Dan Allah tidak menciptakan segala kenikmatan ini untuk dijauhi manusia. Allah menciptakannya supaya kita bisa memanfaatkannya. Namun, terkadang, dikarenakan kondisi dan tujuan (filsafat) tertentu kita diharuskan berpaling dari kenikmatan-kenikmatan tersebut. Salah satunya jika kita berada dalam suatu kondisi kehidupan masyarakat yang sedang sangat kesulitan dan kritis. Dengan kata lain, kita hidup di tengah masyarakat yang tengah mengalami krisis ekonomi. Jika hidup dalam masyarakat seperti ini, sementara kita memiliki fasilitas hidup mewah, kita tidak boleh hidup secara mewah. Sebab, jika kita hidup mewah, berarti kita tidak merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang lain. Namun, kadangkala kita hidup dalam masyarakat yang memiliki kondisi ekonomi yang sangat baik. Dalam kondisi demikian, kita tidak memiliki alasan untuk menutup mata dari pakaian yang indah.”

Kemudian Imam Ja’far menambahkan: “Rasulullah dan Imam Ali hidup dalam kondisi dan masa di mana keadaan ekonomi masyarakat sangatlah buruk. Rasulullah tinggal di Madinah, di mana di dalamnya terdapat sekelompok orang yang terlantar (ashhâb ash-shuffah). Mereka adalah orang-orang yang sangat fakir dan miskin. Tambahan lagi, Madinah saat itu tengah berada dalam situasi peperangan. Negara atau kota yang sedang berperang dengan negara atau kota lain, mau tak mau akan mengalami kesulitan ekonomi, terlebih jika pada saat bersamaan mereka dilanda musim kemarau dan paceklik. Madinah acapkali mengalami kondisi seperti itu. Dikarenakan keadaan semacam itu, para sahabat yang datang dari luar Madinah (ashhâb ash-shuffah) terpaksa tinggal di samping masjid Nabawi. Kehidupan mereka sangat sulit dan menderita, sampai-sampai tidak memiliki pakaian untuk datang ke masjid dan bergabung dengan jamaah lainnya. Saking jarangnya pakaian yang dimiliki, mereka terkadang harus bergantian dalam mengenakan pakaian. Apabila salah seorang usai menunaikan shalat, baju yang tadi dikenakannya kemudian digunakan orang lain, juga untuk shalat. Dalam kondisi seperti ini, tidak dibenarkan bagi seorang mukmin mengenakan baju mewah, meskipun itu dibeli dari hartanya sendiri.

Pernah pada suatu ketika Rasulullah berkunjung ke rumah putrinya, Sayyidah Fathimah Zahra as. Ketika sampai, beliau melihat lengan putrinya dibalut gelang perak dan pintu rumahnya dilapisi tirai berwarna warni. Melihat keadaan putrinya seperti itu, Rasulullah langsung pulang sebagai isyarat kekurangsenangannya terhadap penampilan putrinya. Sayyidab Fathimah langsung memahami sikap ayahnya. Dengan serta merta; beliau melepaskan gelang perak dari tangannya dan menanggalkan tirai dari pintu rumahnya. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk menyerahkan semua itu kepada ayahandanya. “Sampaikan salamku pada ayahku dan katakan bahwa putrinya yang mengirimkan semua ini untuk digunakan menurut yang terbaik bagi Rasulullah.” Kemudian Rasulullah memerintahkan seseorang untuk membagi-bagikannya kepada ashhâb ash-shuffah. Dalam kondisi seperti ini, seorang mukmin memiliki tugas yang lain (yakni turut merasakan penderitaan orang lain).

Kepada orang-orang yang mengkritiknya, Imam Ja’far mengatakan: “Saya sekarang hidup dalam kondisi yang berbeda dengan kondisi Rasulullah. Jika saya hidup dalam kondisi seperti kakekku, Rasulullah SAWW, niscaya saya akan bersikap seperti beliau. Dan jika Rasulullah hidup di masa saya sekarang ini, di mana kondisi ekonomi masyarakat sudah membaik dan lebih mapan, tentu Rasulullah akan hidup dan (berpenampilan) seperti saya.” Inilah salah satu filosofi yang lain dari kezuhudan.

ZUHUD DAN KENIKMATAN SPIRITUAL
Filosofi kezuhudan lainnya adalah suatu keadaan di mana manusia yang tenggelam dalam kenikmatan material (sekalipun itu halal) tidak akan pernah merasakan kenikmatan spiritual.

Manusia memiliki kenikmatan spiritual yang akan mengangkat kekuatan maknawiah dirinya. Orang yang terbiasa bertahajud dan shalat malam adalah orang yang tergolong shâdiqîn (orang-orang yang benar), yang bersabar, dan orang yang memohon ampunan di waktu pagi (al-mustaghfirîna bil ashâr). Mereka adalah orang-orang yang memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan dari shalat malam. Kenikmatan yang diperoleh seseorang yang melakukan shalat malam adalah kenikmatan yang hakiki dan riil. la mendapatkan kenikmatan dari ucapan “astaghfirullâh wa atûbu ilaihi” (Aku memohon ampunan Allah dan kembali kepada-Nya). la merasakan nikmat ketika berzikir “al-afwa” (ya Allah, aku mohon maaf-Mu). la sangat menikmati detik-detik ketika sedang mendoakan sedikimya empat puluh orang mukmin. la amat menikmati ucapan “ya rabbi. …ya rabbi” (wahai Tuhan Pemeliharaku… wahai Tuhan Pemeliharaku….). la tidak pernah merasakan kenikmatan seperti ini dari hal-hal yang bersifat material. Kenikmatan orang yang mengerjakan shalat malam sangatlah lezat dan memberikan kekuatan serta semangat hidup.

Akan tetapi, jika kita tenggelam dalam kenikmatan duniawi, kita tidak akan pernah merasakan kehangatan spiritualitas yang terkandung dalam shalat malam. Pada permulaan malam, umpamanya, kita hanya mengobrol, tertawa terbahak-bahak, menggunjing orang lain yang merupakan perbuatan haram, bersenda gurau, dan setelah itu membentangkan hidangan untuk makan sampai kita kesulitan bernafas lantaran kekenyangan. Berpikir dan bergurau membuat kita lelah dan akhirnya tertidur pulas di atas ranjang. Apakah dalam keadaan seperti ini kita memiliki kesempatan untuk bangun dari tidur dan kemudian menunaikan shalat subuh, sementara waktu fajar tinggal dua jam lagi? Dan apakah setelah itu kita mampu mengucapkan dari lubuk jiwa yang paling dalam, ya rabbi. . . ya rabbi. . .? Kita sama sekali tidak bisa bangun untuk melaksanakan shalat. Kalaupun bangun, kita akan berada dalam keadaan yang mirip dengan orang yang sedang mabuk, yang baru meminum segelas minuman keras.

Jadi, apabila manusia ingin merasakan kenikmatan spiritual dalam kehidupan di dunia ini, tak ada jalan lain kecuali harus meninggalkan kenikmatan material dan duniawi. Pada saat bangun di waktu pagi, Imam Ali as merasakan suasana yang sangat menakjubkan. Seketika itu juga beliau memandang ke arah-langit yang ditaburi bintang-bintang ciptaan Allah, seraya mengatakan:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat Allah di saat berdiri, duduk dan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya mengatakan: ‘Wahai Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau dan selamatkanlah kami dari siksa neraka.”[4]

Pada malam hari, insan beriman ini bangun dari tidurnya dan menghayati kenikmatan bersama Tuhannya tatkala pandangannya menumbuk bintang di langit, seraya membacakan ayat yang merupakan suara kebenaran dan kemudian menyatu dengan alam wujud. Kenikmatan seperti ini tak akan tertandingi oleh seluruh kenikmatan material di jagat alam. Insan semacam ini tidak bisa hidup seperti kita. Beliau tidak bisa duduk di hadapan hidangan yang menyajikan berbagai macam makanan, beragam masakan daging, minyak hewani dan minyak nabati, aneka rupa roti-rotian, serta seluruh makanan yang mengundang selera. Semua itu, lambat laun akan menjadikan jiwa manusia mati. Orang yang duduk dan menyantap banyak makanan sampai kekenyangan tidak akan mampu bangun tengah malam. Kalaupun mampu, kemudian menunaikan shalat tahajud, ia tidak bisa menikmati spirit dari ibadah tersebut.

Karena itu, orang-orang yang mendapat bimbingan (hidayah) untuk menikmati ibadah tidak akan pernah memperdulikan seluruh kenikmatan materi. Tak ada salahnya saya mencoba mengenang masa hidup kakek saya. Seingat saya, kira-kira empat puluh tahun yang silam, saya melihat orang besar dan mulia ini setiap malam membutuhkan waktu untuk tidur selama tiga jam. Beliau makan pada permulaan malam dan tidur selama tiga jam. Minimal, selama dua jam menjelang terbimya fajar subuh, beliau bergegas bangun untuk melaksanakan ibadah. Setiap tengah malam Jumat, beliau senantiasa terjaga dan beribadah selama tiga jam sebelum terbitnya fajar subuh. Sekarang, kakek saya telah berusia seratus tahun, namun saya belum pernah melihat beliau tidak nyenyak dalam tidurnya. Kenikmatan maknawi yang beliau rasakan menjadikan jiwanya tenang dan bahagia. Bukan hanya satu-dua malam saja kakek mendoakan ayah dan ibu saya. Nenek mengatakan bahwa kakek sangat menyayangi diri saya. Tiap malam beliau senantiasa berdoa. Dalam berdoa, beliau senantiasa mengingat keluarga, serta kerabat dekat maupun jauh. Semua hal inilah yang menghidupkan hati orang tersebut. Siapapun yang ingin memperoleh kenikmatan seperti ini, harus menjaga jarak dari berbagai kenikmatan material. Apabila itu sungguh-sungguh diupayakan, niscaya ia akan bisa merasakan kenikmatan spiritual yang sangat lezat.

PANDANGAN IBNU SINA
Ibnu Sina pernah mengatakan: “Kezuhudan orang arif berbeda dengan kezuhudan orang yang tidak arif. Kegiatan ritual dan kezuhudan orang arif merupakan olah batin dan persiapan kekuatan rasional, imajinasi, dan empiris. Karena pada saat dia hendak menghadapkan cermin jiwanya ke hadapan alam malakut, kekuatan-kekuatan tersebut tidak menjadi beban dan penghalang hingga seseorang mampu berdiri di hadapan Allah.”

Sayang, saya tidak ingat lagi kalimat selanjutnya. Namun, inti pemyataannya termaktub dalam ungkapan di atas. Inilah filosofi dari kezuhudan.

Sekarang, berdasarkan berbagai filosofi yang telah saya sebutkan, apakah kezuhudan sanggup menghidupkan jiwa, atau sebaliknya menjadikannya mati? Seseorang menjadi zuhud dikarenakan ingin mengutamakan kepentingan orang lain serta ingin merasakan penderitaan orang lain. Selain pula disebabkan dirinya melihat kondisi perekonomian masyarakat yang sedemikian morat-marit, atau juga dikarenakan ingin menjadi orang bebas di tengah-tengah masyarakat. Seseorang menjadi orang zuhud lantaran dirinya menginginkan jiwa kemanusiaannya terbebas sehingga bisa bermunajat kepada Tuhannya. Apakah dengan kezuhudan semacam ini, jiwa manusia akan hidup ataukah mati? Jawabannya, justru itu akan membuat jiwa manusia lebih hidup. Kezuhudan Imam Ali as dilandasi oleh alasan di atas sehingga menjadikan beliau manusia paling hidup dan pal-ing aktif sepanjang sejarah kemanusiaan. Imam Ali as merupakan orang yang benar-benar zuhud, pemberani, dan memiliki kebesaran jiwa.

Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah orang yang adil. Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah orang yang arif. Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah pemimpin masyarakat pada masanya.

Dengan demikian, seluruh kezuhudan yang dipraktikan orang-orang yang tidak memahami makna sejati kezuhudan, hanya identik dengan tidak berbicara dengan orang lain, tidak mencampuri urusan orang lain, harus berdiam diri, datang ke suatu tempat dari arah sini dan keluar dari arah yang lain (berusaha menutupi diri dari pandangan orang lain, —pent.), menutupi kepala dengan jubah supaya tidak dikenali, dan tidak bergaul dengan siapapun. Kezuhudan seperti ini tidak sesuai dengan ajaran Islam dan akan membunuh jiwa. Islam sama sekali tidak mendukung bentuk-bentuk kezuhudan semacam ini.

Catatan:
[1] Al-Anfâl: 24.
[2] Al-Insân: 8-9.
[3] Al-Arâf: 32.

[4] Ã‚li ‘Imrân: 48.