Photograph




Puisi-Puisi Sulaiman Djaya
(Sumber: Majalah Sastra Horison Edisi Januari 2014)


Photograph

Aku menemukanmu bersama kenangan ibuku
antara meja belajar dan aroma dapur.
Pematang-pematang lengang selepas hujan
seperti kesepian yang panjang.
Antara rimbun bukit dan nyanyian srigunting
ada dingin yang runcing

dan senja yang tipis. Kata-kataku adalah sajadah
bagi mereka yang tak bisa menulis kesedihannya
jadi sajak. Doaku adalah ricik lembut
di sela-sela batu

saat kau masih dirundung embun
dan subuh. Aku menemukanmu
di bawah langit berkabut, antara kembang sepatu
dan gerimis sorehari di sepanjang ingatanku.
Sebentang jalan basah pernah begitu sabar
menghitung kesepianku.

Sesabar ibuku menjagai bubungan asap
di liang-liang tungku yang dicintainya
dengan segenap ketabahan
dan ketakmengertiannya bila maghrib pun tiba

bersama azan yang lantang dikumandangkan
menuju kejauhan. Pernah sekali guyur hujan
kubayangkan para peri bebas beterbangan
di genting-genting rumah.
Aku menemukanmu bersama munajat ibuku
yang begitu akrab

dengan lampu-lampu damar
yang tenang menyala seadanya
menujut sudut-sudut pintu dan jendela
selepas riuh gemuruh hujan isya.

(2013)


Munajat Kalimat

Beberapa langkah dari tempat aku dilahirkan,
Tuhanku, ada burung-burung yang bercerita
tentang lelap cuaca. Ada doa ibunda
yang menyalin hidup

dengan majaz paling akrab yang tak dipahaminya.
Kenangan digambar oleh kabut abu-abu Januari pertama
di balik musim yang lebih mirip figur samar
sebuah lukisan. Dengan hatiku-lah aku membaca

dan mengeja apa yang tak dapat dizikirkan lidah
dan kata-kata. Barangkali tak ada yang lebih sabar mendaki
sesabar kalimat-kalimat puisi
yang kehilangan hitungan tasbih.

Aku ingat ketika hujan bercengkerama
dengan hening magrib,
sisa gerimis yang bermain-main
dengan semilir angin terakhir yang letih.

Sesekali kurenungi pelajaran pertamaku sebagai lelaki
bagaimana selampu damar di meja belajar
menghangatkan lembab di dinding kamar
dan jendela. Bagaimana usia sesekali membuka

lembar-lembar coklat masa kanaknya.
Bagaimana ingatan menjadi dewasa
saat tak lagi mengenali nama-nama yang ingin ditulisnya
sebagai paragraf pertama baris-baris sajak.

Beberapa langkah dari tempat di mana aku mendaras
alif ba-Mu, Tuhanku, bahasaku senantiasa lumpuh
seperti seorang darwis dicekam petaku ragu,
seperti rindu yang tak menemu pintu di mulut waktu.

(2013)


Amsal Sajak

Figur-figur dalam puisiku tak pernah sekali pun
tak mencintai hujan.

Mungkin karena hujan senantiasa mengingatkan
pada kenangan, usia, dan kematian

yang tak saling bertengkar.

Mereka juga suka sekali bermunajat dan berdo’a
meski seringkali tak pernah terus-terang

melantangkan nama-nama Tuhan.

Aku tahu mereka adalah para tamu
yang paling jujur.

Meski seringkali tak pernah merasa perlu
mengetuk pintu rumahku.

Menjelang malam, ketika senja akan padam,
aku renungkan bila saja mereka

adalah para kijang yang terlambat atau bingung
seperti ingatan masa kanakku

sebelum jatuh cinta padamu,
mungkin kau akan paham

kenapa aku selalu percaya tak ada kesabaran
yang paling ikhlas

setulus sujud daun-daun
menjelang kumandang adzan dilantangkan.

(2013)


Zikir Penyair

Matahari baru saja memanen rembang
di antara lipatan-lipatan musim-Mu,
Tuhan. Sunyi bertasbih
dalam sepi yang basah.

Adalah hamba-Mu
yang senantiasa menerka vokal
dan konsonan. Bahkan benda-benda
begitu cerdik menyimpan rahasia mereka.

Usiaku seperti butir-butir gerimis:
satu persatu hilang dan menjelma udara.
Di balik hening yang perwira,
waktu menertibkan sepasang jendela

sebuah rumah bernama senja
berwarna jingga. Aku berusaha membaca
nama-Mu yang paling indah
yang menjadi kiasan siang dan malam.

Setiap kali aku tak berdaya menulisnya,
aku tinggalkan ke dalam lelap.
Barangkali Kau akan memberi
riuh semerbak bagi mautku kelak.

Bila aku terjaga dalam tafakkur dan doa,
aku hanya bisa mendaras bisu munajat
dengan kata-kata dan kalimat
yang lelah bagai sesatnya peziarah.

(2013)   


Tidak ada komentar: