Di Sebuah Senja yang Berkarat




Dua puisi Sulaiman Djaya


Senja

Aku pun memandang
pohon-pohon berkarat
senja agustus
seperti dukamu
yang nisan itu.
Hanya kukenang air mata
yang kini udara.

Kusangka akan datang hujan
menggoyang lembing pematang.
Kusangka dingin angin
sisa januari

dan matamu yang kaca itu
kini embun.

Kukira engkau akan datang
dengan tembang
dan seikat kembang
dan matamu  
yang dulu mawar
kini coklat
kehitaman
dengan bibir sebenang sutra
setipis daun cemara.

Aku pun memandang
kemarau yang panjang
mengeringkan sungai
dan sekeping roman.
Kusangka engkau akan datang
dengan wajah ranum
kesayuan
dan cekung
matamu.

Rambutmu yang terurai
masih membuatku gontai
dan nada suaramu
seperti senja
yang berdendang.

Sumber: Majalah Sastra Horison Edisi Maret 2008.




Jika Kematian Sedingin Ciuman

Di seruangku yang dingin dan biasa ini, perempuanku,
jarum jam telah lama menjauh
dari angka tujuh.
Lampu dan buku-buku
seakan tengah merenungi
bayang-bayang wajahku.

Jika maut yang kaubayangkan sedingin ciuman,
perempuanku, dan kabut yang kaupandang
adalah gairah yang terpendam,
aku akan tergoda menulis sebuah sajak
tentang malam yang begitu panjang
di jalan-jalan kota yang kaukhayalkan.

Aku akan tergoda membayangkan
dunia seperti segerbong kereta yang lengang.
Dengan hujan yang lambat
dan angin yang tersendat di antara jendela-jendelanya.
Dan hasratku-hasratmu saling menabung bisu
di dua matamu-mataku.

Begitu dingin malam di seruang bacaku yang mungil
dan biasa ini, perempuanku,
dengan selampu kamar yang patuh menghangatkan
setiap huruf sajak-sajakku. Aku tergoda dan tak kuasa
membayangkan kau dan aku sebagai dua bidak
yang kasmaran

dan sama-sama terbius malam. Kegelapan memintal
waktunya sendiri, waktu yang memandang
dan terlelap di antara jalan-jalan
dan gerimis yang menyelam
antara keheningan dan gerak samar dedaunan,
waktu yang adalah engkau, perempuanku.

Sumber: Tuah Tara No Ate, Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastrawan IV, UMMU Press. Hal. 459. 


Tidak ada komentar: