Kudeta Bayangan M16 Ingris dan CIA Amerika di Indonesia


Pada musim gugur 1965, Norman Reddaway (George Frank Norman Reddaway) seorang yang terpelajar dengan karir yang bagus di Kantor Luar Negeri Inggris, mendapat brifing untuk suatu misi khusus. Duta Besar Inggris untuk Indonesia saat itu, Sir Andrew Gilchrist, baru saja mengunjungi London untuk berdiskusi dengan Kepala Dinas Luar Negeri, Joe Garner. Diskusi itu mengenai Operasi Rahasia (Covert Operations) untuk melemahkan Sukarno, Presiden Indonesia yang merepotkan dan berpikiran mandiri, ternyata tidak berjalan dengan baik. Lalu, Garner dibujuk untuk mengirim Reddaway, pakar propaganda FO, untuk Indonesia. Tugasnya untuk mengambil hati anti-Sukarno dalam "Operasi Propaganda" yang dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri Inggris dan Dinas Rahasia M16. Garner memberikan Reddaway £100.000 poundsterling tunai untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk menyingkirkan Sukarno.

Kemudian Reddaway bergabung dengan sebuah tim yang terdiri dari kelompok campuran dari Kementerian Luar Negeri Inggris, M16, Departemen Luar Negeri dan CIA di Timur Jauh (Asia Timur), semua berjuang untuk menggulingkan Sukarno dalam difus dan cara-cara licik. Selama enam bulan ke depan, ia dan rekan-rekannya akan menjalankan misi menjauhkan dan meretakkan teman dan kerabat yang bersekutu di rezim Sukarno, merusak reputasinya dan membantu musuh-musuhnya di militer.

Pada bulan Maret 1966 basis kekuatan Sukarno mulai compang-camping dan ia dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada Jenderal Suharto, sebagai panglima militer, yang sudah menjalankan kampanye dengan pembunuhan massal terhadap dugaan komunisme. Menurut Reddaway, penggulingan Sukarno adalah salah satu kudeta dan misi paling sukses yang dilakukan oleh Kantor Luar Negeri Inggris yang telah mereka rahasiakan sampai sekarang. Intervensi Inggris di Indonesia, disamping operasi CIA yang "gratis", menunjukkan seberapa jauh Kementerian Luar Negeri siap untuk melakukan operasi rahasianya dalam mencampuri urusan negara lain selama Perang Dingin.

Indonesia sangat penting baik secara ekonomi dan strategis. Pada tahun 1952, AS mencatat bahwa jika Indonesia jauh dari pengaruh Barat, maka negara tetangganya seperti Malaya mungkin akan mengikuti, dan mengakibatkan hilangnya sumber utama dunia karet alam, timah dan produsen minyak serta komoditas lainnya yang sangat strategis dan penting. Ketika terjadi penjajahan oleh Jepang saat Perang Dunia Kedua di Indonesia, yang bagi orang Indonesia bahwa ini adalah sebuah periode lain yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial, telah direvitalisasi gerakan nasionalis yang setelah perang, menyatakan kemerdekaan dan berkuasanya Republik Indonesia.

Ahmad Sukarno menjadi presiden pertama Indonesia. Kekhawatiran Barat tentang rezim Sukarno tumbuh karena kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada puncaknya beranggotakan lebih dari 10 juta, ini adalah partai komunis terbesar di luar negara komunis (non-komunis) di dunia. Kekhawatiran dunia barat tidak dapat disembuhkan oleh kebijakan internal dan eksternal Sukarno, termasuk nasionalisasi aset Dunia Barat dan peran pemerintah untuk PKI. Pada era awal Sukarno di tahun 60-an, masa ini telah menjadi duri besar bagi Inggris dan Amerika. Mereka percaya ada bahaya nyata bahwa Indonesia akan jatuh ke komunis. Untuk menyeimbangkan kekuatan ketentaraan yang tumbuh, Sukarno menyelaraskan dirinya lebih dekat dengan PKI.

Indikasi pertama dari ketertarikan Inggris dalam menghilangkan Sukarno muncul dalam sebuah memorandum CIA dari tahun 1962. Perdana Menteri Macmillan dan Presiden Kennedy setuju untuk melikuidasi Presiden Sukarno, tergantung pada situasi dan kesempatan yang tersedia. Permusuhan terhadap Sukarno diintensifkan oleh keberatan Indonesia atas keberadaan "Federasi Malaysia". Sukarno mengeluhkan proyek ini sebagai plot neo-kolonial yang menunjukkan bahwa Federasi adalah proyek Barat untuk mengekspansi tanah raja-raja Malon dengan cara mencomot wilayah pulau Kalimantan dan penerusan pengaruh Inggris di wilayah tersebut.

Tercatat dalam sejarah sebelum terjadi penjajahan di wilayah Asia Tenggara oleh Inggris, Belanda, Portugis dan negara imperialis lainnya, Nusantara jauh lebih besar. Kini terkotak-kotak dan terpisah sesuai dengan 'bagi-bagi kue' diantara negara imperialis tersebut.  Niat Sukarno ingin menyatukan kembali raja-raja yang dulunya bersatu padu kembali berjaya dalam Republik Indonesia Raya (Greater Indonesia) atau Melayu Raya. Pada tahun 1963 keberatan Sukarno mengkristal dalam kebijakan tentang "Konfrontasi Indonesia-Malon", yaitu sebuah kebijaksanaan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan pihak Malon yang dianggap pro-imperialis, dan segera ditambah dengan intervensi militer tingkat rendah oleh Indonesia.

Sebuah perang perbatasan yang berlarut-larut dimulai sepanjang 700 mil di perbatasan antara Indonesia dan Malon di pulau Kalimantan dan pihak Malon sempat kewalahan, lalu pihak mereka akhirnya dibantu oleh Inggris dan juga dibantu Australia. Sukarno tak rela, saudara-saudara mereka (suku Dayak dan suku lainnya di Kalimantan) yang tinggal di satu pulau, ternyata dibagi menjadi dua bagian, mereka sejatinya adalah satu, satu saudara, dan tak boleh dipisahkan. Dan sebenarnya memang begitulah yang terbaik bagi mereka untuk menjadi satu, namun karena ada campur tangan Inggris di sana pada saat menjajah, maka pulau yang terdiri dari para raja-raja Kalimantan tersebut justru dibagi menjadi dua bagian.

Kalimantan dibagi-bagi, dan pembagian daerah jajahan ini dilakukan oleh negara imperialis setelah menguasai Kalimantan. Dua bagian itu adalah utara dan selatan, yang bagian utara menjadi Kalimantan Utara (bekas jajahan Inggris dan menjadi negara caplokan boneka Malon, karena di dukung Inggris) dan wilayah Kalimantan Selatan (bekas jajahan Belanda dan tetap menjadi Indonesia). Jadi secara otomatis mental para raja-raja Malon adalah memang bukan pejuang dan merupakan kaki-tangan Imperialis Inggris sejak dulu hingga kini. Menurut sumber-sumber Kementerian Luar Negeri Inggris, keputusan untuk menyingkirkan Sukarno telah diambil oleh pemerintah Konservatif Macmillan dan dilakukan selama pemerintahan partai buruh oleh Wilson pada tahun 1964.

Kementerian Luar Negeri Inggris telah bekerja sama dengan rekan-rekan Amerika mereka pada sebuah rencana untuk menggulingkan Sukarno yang masih bergolak.

Maka dibuatlah sebuah operasi rahasia dan strategi perang psikologis yang menghasut, berbasis di Phoenix Park, Singapura, markas Inggris di kawasan itu. Tim intelijen M16 Inggris melakukan hubungan dekat secara terus-menerus dengan elemen kunci dalam ketentaraan Indonesia melalui Kedutaan Besar Inggris. Salah satunya adalah Ali Murtopo, kemudian kepala intelijen Jenderal Suharto, dan petugas M16 juga secara terus-menerus melakukan perjalanan bolak-balik antara Singapura dan Jakarta.

Informasi Departemen Riset Kantor Luar Negeri Inggris (The Foreign Office’s Information Research Department atau IRD) juga bekerja dari Phoenix Park, Singapura guna memperkuat kerja intelijen M16 dan ahli perang psikologis militer. IRD didirikan oleh pemerintah Partai Buruh di Inggris pada tahun 1948 untuk melakukan perang propaganda anti-komunis melawan Soviet. Tetapi dengan cepat justru IRD menjadi andalan dalam berbagai operasi gerakan anti-kemerdekaan dalam usaha penurunan kolonial dan imperialisme oleh Kerajaan Inggris (British Empire) oleh negara-negara yang sedang dijajah, termasuk di utara pulau Kalimantan yang masih dipertahankan oleh Inggris melalui Malaysia, hingga kini.

Pada tahun 60-an, IRD memiliki staf di London sekitar 400 orang dan staf informasi yang berada di seluruh dunia guna mempengaruhi liputan media yang menguntungkan pihak Inggris. Menurut Roland Challis, koresponden BBC pada saat di Singapura, wartawan terbuka bagi manipulasi IRD, karena ironisnya kebijakan Sukarno sendiri. Dengan cara yang aneh dan tetap menjaga keberadaan media dari luar negeri di Indonesia, Sukarno justru membuat mereka manjadi korban dari media resmi luar negeri tersebut karena hampir satu-satunya informasi penyadapan dan mata-mata yang bisa didapatkan adalah dari Duta Besar Inggris di Jakarta. 

Kesempatan untuk mengisolasi Sukarno dan PKI datang pada bulan Oktober 1965 ketika dugaan percobaan kudeta oleh PKI adalah 'dalih dari tentara' untuk menggulingkan Sukarno dan membasmi PKI. Siapa sebenarnya yang menghasut kudeta, dan untuk tujuan apa, tetap menjadi spekulasi. Namun, dalam beberapa hari kudeta itu telah dilakukan lalu terjadi kehancuran, dan pihak tentara dengan tegas telah mengendalikan situasi. Kemudian Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia atau PKI berada di balik kudeta, dan mulai menekan mereka.

Setelah kudeta yang dirancang oleh Inggris dengan memanfaatkan situasi telah berhasil, pada tanggal 5 Oktober 1966, Alec Adams, penasihat politik untuk Commander-in-Chief, Wilayah Timur Jauh, menyarankan Departemen Luar Negeri: "Kita harus tak ragu-ragu untuk melakukan apa yang kami bisa lakukan secara diam-diam untuk menghitamkan PKI di mata tentara dan orang-orang Indonesia." Kementerian Luar Negeri Inggris setuju dan menyarankan tema propaganda yang cocok seperti kekejaman PKI dan intervensi Cina.

Salah satu tujuan utama yang dikejar oleh IRD adalah membuat opini tentang ancaman yang ditimbulkan oleh PKI dan komunis Cina. Laporan surat kabar Inggris terus menekankan bahaya yang akan dilakukan PKI.  Tapi keterlibatan Sukarno dengan PKI pada bulan-bulan setelah kudeta berdarah justru yang akhirnya menjadi kartu truf untuk Inggris.

Menurut Reddaway, "Pemimpin komunis, Aidit, melarikan diri alias buron dan Sukarno menjadi politikus, pergi ke depan istana dan mengatakan bahwa pemimpin komunis Aidit harus diburu dan diadili. Dari pintu samping istana, Sukarno selalu berurusan dengan Aidit setiap hari oleh seorang kurir."  Informasi ini diungkapkan oleh intelijen sinyal GCHQ Inggris (the signal intelligence of Britain’s, GCHO). Orang-orang Indonesia tidak memiliki teknologi tentang rahasia mata-mata stasiun radio dengan bermuka dua dipantau dan didengar oleh GCHQ, sedangkan Inggris memiliki basis penyadapan utama di Hong Kong untuk menyiarkan peristiwa di Indonesia.

Mendiskreditkan Sukarno adalah penting bagi Inggris. Sukarno tetap menjadi pemimpin yang dihormati dan populer selama Suharto yang tidak bisa bergerak secara terbuka, sampai kondisi benar-bener memungkinkan untuk melakukan kudeta. Rentetan konstan dengan cakupan internasional yang buruk dan posisi politik jungkir balik Sukarno, secara fatal telah merusak dirinya. 

Pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno dipaksa untuk menandatangani surat atas pengambil-alih kekuasaan kepada Jenderal Suharto yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966. Sekarang, hal ini dianggap terkait erat dengan usaha kudeta dan masalah PKI, Sukarno telah didiskreditkan ke titik dimana tentara merasa mampu bertindak. PKI telah dieliminasi sebagai kekuatan yang signifikan dan kediktatoran militer pro-Barat yang mapan. Hal itu dilakukan tidak lama sebelum Suharto dengan diam-diam mengakhiri kebijakan yang akhirnya tidak aktif dalam Konfrontasi Indonesia dengan Malon yang mengakibatkan peningkatan sangat cepat dalam hubungan Anglo-Indonesia yang terus menghangat hingga hari ini.  

Disadur dari Britain’s Secret Propaganda War 1948-77 by Paul Lashmar and James Oliver.

Mengobrol Sambil Sarapan Dengan Bung Karno


Oleh Willem Oltmans

Pada paruh kedua abad ke-20 virus anti komunis menyebar dari Washington ke semua benua di planet ini. Obsesi Amerika menentang Marxisme-Leninisme disebarkan dengan cara apa saja yang dapat dipakai, sering dengan tindakan jahat yang dilakukan secara rahasia oleh pasukan misterius anggota Tim Rahasia yang menggunakan teror sebagai senjata internasionalnya, CIA, dan unit intelijen lainnya dalam struktur kekuasaan Amerika Serikat. Para pemimpin negara Asia Afrika yang non-blok sama sekali tidak beranggapan demikian dan oleh sebab itu, mereka dipandang sebagai lawan bagi Pax Americana. Mereka disingkirkan satu per satu. Kwame Nkrumah dari Ghana dijatuhkan ketika ia berada di Cina. Norodom Sihanouk digulingkan saat ia berada di Moskow. Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem dan saudaranya ditembak mati seperti anjing. Diem mula-mula diambil dari sebuah lembaga keagamaan di dekat Philadelphia untuk berfungsi sebagai ‘Gauleiter’ untuk Washington di Saigon.

Tetapi setelah pemerintahan JFK menganggap ia sudah tidak lagi bermanfaat, ia didepak begitu saja. Jenderal-jenderal pengkhianat di Vietnam Selatan silih berganti dimanfaatkan oleh Tim Rahasia, tetapi mereka itu diperkenankan menghabiskan masa hidupnya di AS setelah setiap perbuatan makar (coup) baru terjadi di Saigon. Ketika Bung Karno digulingkan pada tahun 1965 oleh perwira Indonesia yang berkhianat, Adam Malik mengubah haluan dari yang semula menjadi teman Bung Karno, kemudian memihak Soeharto, mulai melobi orang-orang di sekitarnya untuk memohon presiden ini pergi meninggalkan Indonesia demi kebaikannya sendiri, dan tinggal di luar negeri, seperti yang dilakukan Kaisar Bao Dai. Kaisar ini meninggalkan Vietnam dan menjauhkan diri tinggal di sebuah vila di Riviera Prancis. Soekarno menolak, tanpa menyadari niat sebenarnya dari para jenderal pembelot di sekitar Soeharto, yang berniat membiarkan Bung Karno mati merana seperti bunga yang tak diberi air. Bung Karno telah diberitahu mengenai ancaman ini tetapi ia tidak pernah mau percaya bahwa mereka akan melakukannya.

Di bulan Oktober 1966, setahun setelah pergolakan yang direkayasa CIA di Jakarta, hampir setiap hari saya duduk bersama Presiden Soekarno, dan sarapan di teras belakang Istana Merdeka. Kadang-kadang kami melanjutkan obrolan kami pada akhir pekan di daerah pegunungan di Bogor, tempat ia tinggal bersama Ibu Hartini Soekarno di sebuah bungalo kecil di lahan istana presiden yang dibangun di zaman penjajahan sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Belanda, menghindar dari udara panas Jakarta. Kami selalu bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, bahasa yang dikuasai dengan sangat baik oleh Bung Karno, berbeda dengan Soeharto yang tidak menguasai bahasa asing, karena pendidikannya yang rendah atau sama sekali tidak ada.           

Tanggal 6 Oktober 1966, Presiden Soekarno mengejutkan saya dengan bertanya, ‘Mengapa Dubes Marshall Green tidak kembali dari Washington?’ Tampaknya, Green pergi untuk memberi penjelasan singkat kepada Tim Rahasia yang tidak sabar itu, menjelaskan mengapa pada tahun 1966 itu Soekarno masih menjadi kepala negara, karena secara de-facto kekuasaan sudah di tangan Soeharto sejak tahun 1965. Green rupanya telah memberitahu atasannya bahwa junta itu sangat takut dan tidak berani menyentuh Bung Karno, khawatir akan terjadi pemberontakan secara nasional. Soekarno juga tersadar bahwa Green pernah menjabat sebagai Dubes Korea Selatan ketika Presiden Syngman Rhee digantikan oleh Jenderal Park Chung Hee. LBJ mencatat dalam buku kenangannya (memoirs), percobaan pembunuhan terhadap Park setelah itu, yang dapat dicegah oleh sebuah mukjizat. Seperti biasa, mantan Presiden Johnson juga tidak merinci siapa yang bertanggung jawab dalam kup di Seoul. Omong kosong yang ditulis LBJ dalam ‘The Vantage Point’ (Popular Library, New York, 1971) mengenai fitnah terhadap Soekarno yang condong ke PKI atau Cina, tidak ada kaitannya dengan pikiran Bung Karno atau kedudukannya sebagai pemimpin Indonesia. Tulisannya hanya mencerminkan angan-angan yang ada di lingkungan Tim Rahasia, yang memberitahu presiden mereka sehubungan dengan obsesi mereka sendiri yang anti Marxisme. Presiden Johnson dengan datar mengatakan bahwa peristiwa 30 September 1965 adalah kup komunis dan ‘Amerika Serikat tidak ada peranannya di dalam kup-tandingannya (oleh Soeharto)’.

Ketika rakyat Indonesia menanyakan saya pada tahun 2001, mana bukti yang mengatakan bahwa yang terjadi di tahun 1965 itu adalah campur tangan CIA di negeri kami, misalnya dengan mempertimbangkan bagian dari buku yang ditulis orang yang pada tahun 1965 menjadi Presiden Amerika Serikat, saya jawab sebagai berikut. Pada tahun 1967 LBJ menolak dicalonkan kembali untuk masa jabatan yang kedua di Gedung Putih. Mengapa ia menolak? Di tahun 1964, armada perang AS diduga telah diserang oleh Vietnam Utara di Teluk Tonkin. LBJ percaya akan apa yang dikatakan orang kepadanya, namun beberapa tahun kemudian ia mengetahui, bahwa perang di laut itu direkayasa CIA agar presiden akhirnya memerintahkan pemboman atas Hanoi dan Haiphong, tindakan yang ditahannya karena khawatir mencelakai banyak rakyat biasa. Tim Rahasia menciptakan peristiwa Teluk Tonkin untuk membuat LBJ marah dan memutuskan untuk bertindak seperti yang dikehendaki Tim Rahasia tersebut. Ketika LBJ pada akhirnya mengetahui bahwa saat itu ia, dan berkali-kali sesudahnya, telah dengan sengaja dikelabui dinas rahasia ini, ia membuat pernyataan di televisi yang terkenal, mengenai alasannya menolak menjadi presiden untuk kedua kalinya. ‘Saya tidak dapat mengendalikan kelompok Mafia terkutuk (CIA) ini.’ Akhirnya, Johnson menyadari sepenuhnya bahwa memang ada ‘pemerintah di dalam pemerintah’ dan yang ini tidak dapat dikendalikannya.

Pada tanggal 6 Oktober 1966, saya teringat akan pertemuan saya dengan Green di tahun 1958 di Departemen Luar Negeri di Washington. Saya memutuskan akan menemuinya sekembalinya ia ke Jakarta. Saya menemuinya pada tanggal 20 Oktober di kantornya di kedutaan. Ia kelihatan agak bingung ketika mendengar ceritera saya mengenai berita yang saya peroleh dari berbagai sumber yang berwenang, bahwa ia dipandang sebagai ancaman bagi negara dan dicurigai telah sangat terlibat dalam usaha Soeharto merebut kekuasaan. Hal ini membuatnya marah. Ia mengatakan bahwa ia tidak menentang presiden. ‘Tetapi, ia tidak pernah memberiku kesempatan.’ ‘Apakah Anda terkejut setelah apa yang dilakukan Washington di sini selama tahun-tahun terakhir ini?’ saya balas bertanya. ‘Tuan Oltmans,’ demikian jawabnya, ‘pada hari yang sama saat saya menyerahkan surat kepercayaan saya sebagai Dubes AS, ia mengundang saya masuk dan berbicara dengan para mahasiswa, “ini agen imperialisme”.’ Saya hanya satu kali berkesempatan berbicara dengannya empat mata selama satu jam, yang berlangsung amat baik. Ia bahkan mengantar saya sampai ke mobil saya. Tetapi ketika saya kembali ke kedutaan ini, para perusuh melempari jendela gedung ini dengan batu.

Namun, setelah bertukar pandangan selama dua jam, bahkan Green mengakui, dan ini mengejutkan saya, bahwa ia membenarkan Bung Karno yang tidak mempercayai Amerika Serikat dan terutama cara kotor yang dipakai CIA. Pada akhir pertemuan kami, saya sarankan kepadanya agar ia sebaiknya membuka kembali hubungan dengan Presiden ini, karena dubes dari berbagai negara lain menemaninya sarapan di istana, sementara ketidakhadirannya tampak mencolok. Ia menjawab, bahwa ia akan datang apabila ada jaminan bahwa ia akan diterima dengan baik. Reaksinya ini menyebabkan saya menceriterakan ihwal percakapan saya dengan Dubes AS ini keesokan harinya kepada Bung Karno. Kesan saya adalah, bahwa presiden tidak berkeberatan Green datang sebagai tamu untuk makan pagi bersama. Saya sampaikan pesan ini ke sekretaris Green yang mengatakan, ‘Baik, bagus, tetapi siapa yang mengundang siapa?’

Dua hari kemudian saya mengunjungi Soekarno dan Ibu Hartini untuk bersantap malam di Bogor. Kami naik mobil Lincoln Continental dari bungalo ke istana untuk menonton film. Di dalam mobil, presiden tiba-tiba bertanya, ‘Apa yang dimaksud Green ketika ia mengatakan bahwa ia memahami ketidakpercayaan saya kepada CIA atas apa yang mereka lakukan di sini selama bertahun-tahun?’ ‘Ia mengakui begitu saja, bahwa Anda punya alasan untuk mencurigai CIA,’ jawab saya. ‘Apakah ia menjelaskan bagaimana mahasiswa yang membuat kerusuhan itu mendapat jaket penyamarannya?’ tanya Bung Karno. Pada umumnya orang menduga bahwa CIA telah memberi para mahasiswa yang berunjuk rasa menentang Soekarno, pakaian militer. Saya jelaskan bahwa Green mengelak menjawab pertanyaan ini. Bung Karno mengakhiri pembicaraan ini dengan: ‘Apakah ada manfaatnya bila saya mengundangnya sarapan? Green sudah bertindak subversif.’ Kami tidak lagi membincangkan masalah ini dan Green tidak muncul lagi. Tidak lama kemudian Green meninggalkan Indonesia dan jabatannya sebagai dubes.

Presiden Soekarno tahu bahwa saya membuat film dokumenter mengenai Orde Baru-nya Soeharto. Sangatlah penting untuk menambah nilai hasil akhir kerja saya bila saya dapat menampilkan jenderal ini di depan kamera saya. Tetapi, sekali lagi, saya tidak menyadari saat itu bahwa ia, atas alasan kepraktisan, telah menggantikan Bung Karno. Saya bicarakan masalah ini dengan presiden, karena semua usaha saya lewat Kolonel Sutikno, teman saya selama sepuluh tahun dan tangan kanan Soeharto, gagal. Lagi pula, jenderal tersebut juga belum pernah diwawancarai untuk film televisi bagi kamera asing sebelumnya. Oleh sebab itu, tantangannya di sini ialah untuk meraih yang ‘tak mungkin’. Saya hanya bisa melakukannya dengan bantuan presiden.

Pada suatu upacara di Istana Merdeka dalam rangka pelantikan Dubes Indonesia yang baru untuk Pakistan dengan sumpah jabatan terhadap Presiden Soekarno, tanpa diduga Bung Karno mendatangi Soeharto dengan berkata, ‘Mengapa Anda tidak mengizinkan Oltmans mewawancaraimu untuk siaran televisi?’ Soeharto tampaknya menganggap hal ini sebagai perintah presiden. Ia menerima perintah ini dan dengan salam militer ia berkata kepada saya dalam bahasa Indonesia, bahwa ia menunggu kedatangan saya keesokan harinya pukul 09:00 pagi bersama awak kamera saya di rumahnya, Jalan Cendana 8.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa ketika saya merekam film Soeharto pada tanggal 25 Oktober 1966, saya tidak sadar akan apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia sejak 1 Oktober 1965. Selama sepuluh tahun, saya hanya mengenal Soekarno sebagai orang yang berkuasa penuh. Saya tidak menyadari, bahwa perwira Angkatan Bersenjata yang menyalami saya secara militer ini, Soeharto, sebenarnya terlibat dalam permainan wayang kulit Jawa yang mengerikan untuk merebut kekuasaan dari kepala negara yang sah, panglima besarnya sendiri. Media Barat kebanyakan mengacuhkan peristiwa berdarah yang dilakukan Soeharto dan pengikutnya terhadap pendukung Soekarno dan kaum komunis. Dalam wawancara untuk film saya pagi itu, saya menyinggung mengenai rumor bahwa sejumlah lawannya telah hilang, tetapi saya sama sekali tidak tahu, bahwa pelanggaran besar Soeharto atas hak asasi manusia, terus berlangsung selama ini. Lagi pula, ia menjawab pertanyaan saya dengan bahasa Indonesia, dan Kolonel Sutikno, yang bertindak sebagai juru bahasa, juga tidak memberi saya gambaran yang jelas mengenai apa yang sebenarnya dikatakan jenderal yang menjadi atasannya itu.

‘Kami kurang waspada dalam masalah politik,’ demikian antara lain kata Soeharto. ‘Di masa lalu kami betul-betul percaya bahwa PKI berjuang untuk kepentingan rakyat, bekerja sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Kami telah menghadapi kerusuhan sebanyak dua kali, yang disebabkan oleh kaum komunis. Yang pertama pada tahun 1948 di Madiun dan yang kedua, setahun yang lalu dengan kup oleh Untung dan kelompoknya pada tanggal 30 September 1965. Kami harus berupaya agar ‘pemberontakan’ semacam itu tidak terjadi untuk yang ketiga kalinya. Oleh sebab itu, kami akan mengupayakan segala hal yang kami anggap perlu untuk mencegah PKI memperoleh kekuatannya kembali.’ Saya menyatakan keraguan saya bahwa PKI-lah yang menjadi biang keladi di tahun 1965. ‘Apakah Anda pernah memikirkan,’ tegasnya, ‘apa yang akan dilakukan kaum komunis terhadap kita apabila yang menang pada tahun 1965 itu PKI dan bukan ABRI?’ Kalau saya ingat kembali ke wawancara penting di tahun 1966 itu, saya masih merasa malu bahwa saya kurang siap untuk menanggapi pertanyaan mendasar mengenai pembunuhan masal, yang dilakukan pria ini bersama konco-konconya pada saat itu.

Pada awal bulan itu, saya terlibat dalam pertukaran pendapat secara tidak langsung, yang terjadi di antara Soekarno dan Soeharto melalui Kolonel Sutikno Lukitodisastro. Sutikno telah berusaha meyakinkan saya, bahwa kedudukan Presiden Soekarno masih terjamin, apabila ia bersedia mengutuk PKI karena telah memicu ‘Gerakan 30 September’ (G30S). Dari percakapan saya dengan Bung Karno sambil sarapan, saya tahu bahwa hal ini sungguh tidak mungkin, karena presiden menganggap tindakan Soeharto pada tanggal 1 dan 2 Oktober 1965 sebagai tindakan tidak sah dan kontra-revolusi. Sementara beberapa perwira menyebut kelompok Untung sebagai ‘Gestapu’, presiden menyebut gerakan Soeharto ‘Gestok’, kependekan dari Gerakan Satu Oktober. Bagi presiden, peristiwa yang terjadi pada hakikatnya adalah masalah intern ABRI. Ia menerima dua laporan rahasia dan tidak mempercayai keduanya. Saya menemukannya pada tahun 1966 itu sebagai orang yang masih mencari-cari, ‘petasan’ yang mana yang meledak pertama kali selama pergolakan di tahun 1965 itu. Di dalam buku ‘Bung Karno Sahabatku’ saya beberkan lebih lanjut rincian percakapan yang saya atur langsung di antara presiden dan Kolonel Sutikno, yang menjadi salah seorang perwira di lingkungan-dalam Soeharto. Kami bertemu pada tanggal 11 Oktober 1966 untuk sarapan bersama di teras samping Istana Merdeka. Kemudian Bung Karno mengundang Sutikno dan saya masuk ke dalam. Kami berbicara selama 45 menit. Kolonel itu menyebutkan masalahnya, bahwa bila saja presiden menuduh PKI sebagai kelompok yang mendalangi makar tahun 1965 itu, maka ia telah mengabdi pada bangsanya dengan baik dan tetap menjadi kepala negara. Presiden Soekarno menolaknya dengan marah dan mengatakan ia tahu bahwa PKI tidak bersalah dalam upaya menggulingkan dirinya. Sebenarnya, saya terkejut akan sikapnya itu, bahwa apabila ketidakmauannya mengutuk kaum komunis Indonesia itu berarti ia akan kehilangan kursi kepresidenannya, maka itulah yang terjadi.

Setelah pertemuan kami, Kolonel Sutikno mengantar saya dengan jipnya kembali ke Hotel Indonesia. Ia sangat optimis dan berkata, ‘Pertemuan tadi sangat bagus. Sekarang, orang tua itu (dalam bahasa Belanda ia menyebut ‘de oude heer’, karena Soekarno sering disebut demikian oleh teman-temannya) akan memikirkan hal ini nanti malam.’ Tampaknya ia mengira presiden akhirnya akan tunduk kepada tuntutan dari para perwira di sekeliling Soeharto. Jelas saya tidak sepakat dengannya, dan saya sadar lagi, bahwa sampai saat itu saya baru memahami pikiran presiden Indonesia yang pertama ini, jauh lebih baik daripada kebanyakan orang yang ada di kelilingnya. Betapa seringnya ia dituduh, misalnya oleh Joseph Luns di dalam buku kenang-kenangan Perdana Menteri Belanda itu, sebagai oportunis total dengan satu tujuan saja, yaitu ingin tetap berkuasa?

Setelah ia dikhianati pada tahun 1965 oleh beberapa perwira militer dan kawan politiknya yang terdekat, karakter Bung Karno yang sebenarnya muncul ke permukaan lagi agar dilihat semua orang. Ia tentu saja bisa pergi ke luar negeri dan hidup bebas dan tidak dianiaya sampai akhir hidupnya. Bagi Bung Karno, cara seperti itu cara pengecut. Ia memilih untuk tinggal dan menerima perlakuan buruk atau siksaan mental apa pun yang disiapkan musuh-musuhnya untuk dikenakan terhadap dirinya. Komplotan Soeharto ternyata adalah pemenjara yang paling kejam. Mereka tidak ragu-ragu membunuh dia, bapak bangsa ini, dengan menghinanya dan mengucilkannya secara total. Saya akan menjelaskan sejelas-jelasnya di sini: Soeharto dan konco-konconya adalah pembunuh Bung Karno. Tim Rahasia dan CIA adalah biang keroknya, karena mereka menjadi penggerak utama dalam meracuni pikiran beberapa perwira Indonesia dengan pemikiran, bahwa membunuh Soekarno merupakan tugas patriotik ditinjau dari sudut menyebarnya aliran komunis ke Korea, Vietnam dan barangkali suatu hari juga ke Indonesia.

Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Bagian Keempat)


oleh Ir. Soekarno (Bung Karno)

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, ialah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum “bursuasi”, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya. 

Walaupun pembaca tentunya semua sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pulalah agaknya, jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli-fikir ini ialah:- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek) ; – ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya “kerja” untuk membikin barang-barang itu, sehingga “kerja” ini  ialah “wert­bildende Substanz”, dari barang-barang itu (arbeids-waardeleer); – ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); – ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan budi­akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaan­nya berhubung dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya” (materialistische geschiedenis-opvatting) ; – ia mengadakan teori, bahwa oleh karena “meerwaarde” itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan­perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaals-concentratie); – dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam­hati yang makin lama makin sangat (Verelendungs-theorie); – teori-teori mana, berhubung dengan kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum begitu mengetahuinya. 

Meskipun musuh-musuhnya, di antara mana kaum anarchis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe B l a n q u i dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu “menetapkan kejadian-kejadiannya” sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa ke­jadian-kejadian itu terjadi”; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli-fikir sebagai Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; – meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelselnya Karl Marx itu mempunyai pengertian yang tidak kecil dalam sifatnya umum, dan mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya. Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli­ fikir lain, dirinya Marxlah,  yang meski “bahasa”nya itu untuk kaum “atasan” sangat berat dan sukarnya, dengan terang-benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum “tertindas dan sengsara yang me­larat-fikiran” itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang-benderang. Dengan gampang sahaja, sebagai suatu soal yang “sudah-mustinya-begitu”, mereka lalu mengerti teorinya atas meer­waarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak memberikan semua hasil-pekerjaan padanya; mereka lalu sahaja mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetap­kan keadaan manusia tentang budi, akal, agama, dan lain-lainnya, – bahwa manusia itu: e r i s t was e r i s t ; mereka lantas sahaja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan-hidup yang lebih adil,  – bahwa kaum “burjuasi” itu “teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya”. 

Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu masuk tulang-sungsum­nya kaum buruh di Eropah, masuk pula tulang sungsumnya kaum buruh di Amerika. Dan “tidakkah sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa kepercayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada suatu kekuasaan juapun di muka bumi ini yang dapat mencabut lagi dari padanya”. Se­bagai tebaran benih yang ditiup angin ke mana-mana tempat, dan tumbuh pula di mana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; di mana-mana pula, maka kaum “bursuasi” sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh-tumbuhan “bahaya proletar” yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropah itu, sebagian telah diterbangkan oleh tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh di antara bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar di segenap kepulauan “sabuk-zamrud”, yang bernama Indonesia. Dengungnya nyanyian “Internasionale”, yang dari sehari-ke-sehari menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah haibatnya bergaung dan ber­kumandang di udara Timur … 

Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berazas ke-Islaman. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suatu pertengkaran perselisihan faham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara, yang, – sebagai  yang sudah kita terangkan di muka, – menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya kekalahan kita. Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah-air, dan lenyapkanlah politik-keagamaan, – begitulah seakan-akan lagu-perjoangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunyai tanah-air”? Katanya: Bukankah dalam “Manifes Komunis” ada tertulis, bahwa “komu­nisme itu melepaskan agama”? Katanya: Bukankah Babel telah mengatakan, bahwa “bukanlah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang membikin-bikin Tuhan”? 

Dan sebaliknya! Fihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki fihak Marxis, mencaci-maki pergerakan yang “berseku­tuan” dengan orang asing itu, dan mencaci-maki pergerakan yang “mungkir” akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapatnya: azasnya sudah palit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi, bahkan mendatangkan “kalang-kabutnya negeri” dan bahaya-kelaparan dan hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia, suatu jumlah yang lebih besar daripada jumlahnya sekalian manusia yang binasa dalam peperangan besar yang akhir itu. 

Demikianlah dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah s a l a h mengerti dan saling tidak mengindahkan. 

Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih sahaja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berobah.

Sebaliknya, Nasionalis dan Islamis yang menunjuk-nunjuk akan “faillietnya” Marxisme itu, dan yang menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang telah terjadi oleh “prac­tijknya” faham Marxisme itu, – mereka menunjukkan tak mengertinya atas faham Marxisme, dan tak mengertinya atas sebab terpelesetnya “prac­tijknya” tadi. Sebab tidakkah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa sosialismenya itu hanya bisa tercapai dengan sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar itu semuanya di-“sosialis”-kan? 

Bukankah “kejadian” sekarang ini jauh berlainan daripada “voor­waarde” (syarat) untuk terkabulnya maksud Marxisme itu? 

Untuk adilnya kita punya hukuman terhadap pada “practijknya” faham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa “failliet” dan “kalang­kabut” – nya negeri Rusia adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokkade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh han­taman dan serangan pada empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis, dan jenderal-jenderal Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat-khabar di seluruh dunia. 

Di dalam pemandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggungjawab atas matinya limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu, di mana mereka menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel itu dengan harta dan benda; di mana umpamanya negeri  Inggeris,  yang membuang-buang berjuta-juta rupiah untuk menyokong penyerangan-penyerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu, telah “mengotorkan nama Inggeris di dunia dengan menolak memberi tiap-tiap bantuan pada kerja-penolongan” si sakit dan si lapar itu; di mana di Amerika, di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum itu untuk kayu-bakar, sedang di negeri Rusia orang-orang di distrik Samara makan daging anak-anaknya sendiri oleh karena laparnya. 

Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Inggeris yang masyhur itu, seorang yang bukan Komunis, di mana ia dengan tak memihak pada siapa juga, menulis, bahwa, umpamanya kaum bolshevik itu “tidak dirintang-rintangi mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment (percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi peri-kemanusiaan … Tetapi mereka dirintang-rintangi”. 

Kita yang bukan komunis pula, kitapun tak memihak pada siapa juga! Kita hanialah memihak kepada Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua! 

Kita di atas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berobah, hingga kesengitan “anti” ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afghanistan. 

Adapun teori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori-teorinya haruslah diikut­kan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham atau perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung” sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”,  maka segeralah tampak pada kita perobahan faham atau perobahan perindahan itu. Bahwasanya: benarlah pendapat sosial demokrat Emile Vandervelde, di mana ia mengatakan, bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya”. 

Perobahan taktik dan perobahan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang “muda” baik “sabar” maupun yang “keras”, terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh­-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di negeri-negeri Asia, di mana belum ada kaum proletar dalam arti sebagai di Eropah atau Amerika itu, pergerakannya harus diobah sifatnya menurut pergaulan-hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropah atau Asia, dan haruslah “bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk”, oleh karena di sini yang pertama-tama perlu bukan kekuasaan tetapi ialah perlawanan terhadap pada feodalisme”. 

Supaya kaum buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjalankan pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu m e r d e k a, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjoangan proletar, oleh karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya”, begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional itu j u g a, dengan tidak menghitung-hitung, azas apakah pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula. 

Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme di hati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-“bawah” terhadap pada rakyat yang di-“atas”-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machts-politiek dari rakyat sendiri.Mereka harus ingat, bahwa rasa-internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagai di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima faham internasionalisme itu pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid” pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja di lain-lain negeri, dengan iktikad: “ubi bene, ibi patria: di mana aturan-kerja bagus, di situlah tanah-air saya”, – sebagai kaum buruh di Eropah yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya. 

Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya. 

Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan ber­bentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. 

Tak pantas mereka memerangi pergerakan, yang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga dengan seterang-terangnya ialah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, dengan seterang-terangyya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxsme-baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Ko­munis” mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen” atau dile­paskan adanya.

Kita harus membedakan Historis-Materialisme itu daripada Wijsgerig-Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada maksudnya Wijsgerig-Materialisme tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah fikiran itu terjadi, sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan adanya (wezen) fikiran itu; historis-materialisme menanya­kan sebab-sebabnya fikiran itu b e r o b a h ; wijsgerig-materialisme men­cari asalnya fikiran, historis materialisme mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig materialisme adalah wijsgerig, historis materialisme adalah historis. 

Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti­henti mengusahakan kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu ialah kaum yang mempelajarkan, bahwa fikiran itu hanialah suatu pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi. 

Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropah terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropah terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, di mana kaum gereja itu memakai-makai agamanya untuk melindung-lindungi kapitalisrne, memakai-makai agamanya untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reak­sioner sekali. 

Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari sikap kaum gereja yang reaksioner itu, sudah dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di Eropah itu. Di sini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; di sini agama Islam adalah agama kaum yang di-“bawah”. Sedang kaum yang memeluk agama Kristen adalah kaum yang bebas; di sana agama Kristen adalah agama kaum yang di-“atas”. Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka, agama kaum yang di-“bawah” ini; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum “bawahan”, – agama yang demikian itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjoangan yang dalam beberapa bagian s e s u a i dengan perjoangan Marxisme itu. 

Karenanya, jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropah dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan tangannya, sambil berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya seazas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi di lain-lain negeri, maka niscaialah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi. 

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperhatikan segala perobahan teori azasnya, dengan menjalankan segala perobahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menye­butkan diri pembela rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat. 

Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, – Marxis yang demikian itu jangan­lah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya! 

Tulisan kita hampir habis. 

Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin di lain negeri. Tetapi kita yakin, bahwa kita dengan terang­-benderang menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insyaf, bahwa Persatuan­lah yang membawa kita ke arah ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa, walaupun fikiran kita itu tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menunjukkan bahwa Persatuan itu bisa tercapai. Sekarang tinggal menetapkan sahaja organisasinya, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya sahaja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu-Indonesia, yang mempunyai Putera-putera sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Semaun, –  apakah Ibu-Indonesia itu tak mempunyai pula Putera yang bisa menjadi Kampiun Persatuan itu? 

Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula. 

Dan jikalau kita semua insyaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa” ; jikalau kita insyaf, bahwa Roh Rakyat Kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang berada ditengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini, – maka pastilah Persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga. 
Sebab Sinar itu dekat! 


“Suluh Indonesia Muda”, 1926
Ir. Soekarno (Proklamator & Presiden Republik Pertama Republik Indonesia)
Dicuplik dari Buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karya Ir Soekarno – Jilid Pertama Cetakan Ketiga tahun 1964