Profil Para Penerima Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten Tahun 2017


Kategori Bidang Seni

Bidang Sastra: Encep Abdullah “Penggerak Sastra Generasi Muda

Dikenal sebagai anak muda yang memiliki semangat tinggi untuk menularkan kerja-kerja kepenulisan di kalangan generasi muda di Banten, terutama di kalangan para pelajar dan mahasiswa. Di sela-sela kesibukannya sebagai guru di sebuah sekolah menengah di kawasan Pipitan, Walantaka, Serang, anak muda kelahiran Serang, 20 September 1990 ini, masih menyempatkan waktunya untuk membuka Komunitas Menulis yang ia beri nama KOMENTAR, Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa, untuk para pelajar sekolah menengah.

Ia juga produktif menulis puisi, prosa, dan esai yang tersebar di banyak media lokal dan nasional, seperti Pikiran Rakyat, Indo Pos, Radar Banten, Republika, dan koran-koran di luar Jawa. Sejumlah antologi tunggalnya antara lain: Lelaki Ompol (YCBK 2017), antologi puisi Tuhan dalam Tahun (Kubah Budaya 2014), dan buku esai tentang bahasa berjudul Cabe-cabean (Kubah Budaya 2015) yang merupakan kumpulan esai-esainya yang pernah dimuat Harian Pikiran Rakyat.

Berkat asuhan dan dedikasinya, sejumlah pelajar yang bergiat di komunitas yang ia dirikan pun bisa menerbitkan buku, baik antologi tunggal atau pun sejumlah puisi dan cerpen yang merupakan buku-buku himpunan karya anak-anak asuhnya di Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa. Baginya, upaya untuk mencerdaskan dan memajukan masyarakat harus dimulai dari generasi muda, terutama sekali harus dimulai dari pembangunan intelek generasi muda melalui sastra.
Bidang Sinematografi: Darwin Mahesa “Mempromosikan Sejarah dan Budaya Banten Melalui Film

Ia memilih sinema untuk mengangkat sejarah dan budaya Banten. Dengan modal dan tekad yang kuat, anak muda kelahiran Cilegon 21 Agustus 1992 ini memilih film untuk mengangkat Banten karena menurutnya film adalah pilihan yang paling tepat sebagai media visual sekaligus naratif yang hidup. Bersama Kremov Pictures yang digawanginya ia hadirkan khazanah budaya dan sejarah Banten ke publik luas melalui film, sebutlah film Ki Wasyid, sebuah film pendek berdurasi 17 menit yang berusaha mengangkat sejarah perjuangan rakyat Banten, dari kalangan para petani dan santri, melawan kolonialisme Belanda.  

Sementara itu, film besutannya yang lain, yaitu Jawara Kidul (45 menit) terpilih sebagai 3rd Film Terbaik  FVE 2016 Kemendikbud RI. Film ini mengetengahkan sebuah lanskap sosial-politis Banten ke dalam dunia akting dan visual sebagai upaya estetik dan artistik untuk mengangkat sisi-sisi sosial budaya Banten lebih dekat kepada para pemirsa.

Ada puluhan karya yang telah dihasilkan anak muda yang bertampang kalem ini, semisal karyanya yang baru rilis tahun ini, yaitu Tirtayasa The Sultan of Banten, sebuah film yang berupaya untuk menarasikan ulang salah satu babakan sejarah Kesultanan Banten di masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, justru dalam rangka menggambarkan sejarah Indonesia itu sendiri dalam kaitannya dengan politik global. Berkat dedikasinya mengangkat khazanah budaya dan sejarah Banten melalui film inilah Anugerah Seni DKB 2017 diberikan kepadanya.

Bidang Tari: Wiwin Purwinarti “Mengangkat Banten Lewat Koreografi

Perempuan kelahiran Serang  11 Desember 1970 yang memiliki latar belakang akademik dalam bidang seni di sejumlah institut dan akademi ini, seperti ASTI, STSI, dan ISBI, dikenal produktif melahirkan karya-karya tari. Sebutlah Tari Ahlan Wasahlan (2000), Tari  Gandrung Dzalail (Tahun 2001), Tari Rampak Terbang Ciolang (2002), Tari Dzalail Panggung Jati (2004), Tari Bentang Banten (2005), Tari Serang Bersyukur (2007), Tari Ringkang Jawari (2008) yang kini cukup populer, Tari Mayang Kedaton (2011), dan Tari Kawunganten (2012).

Produktivitas dan prestasi dalam seni yang digelutinya dengan penuh dedikasi itu telah membawanya melanglang buana ke sejumlah tempat dan negara, tentu saja dalam rangka mementaskan atawa memanggungkan karya-karya tarinya di hadapan khlayak luas, semisal ke Brunei Darussalam (2014), Myanmar (2015), dan Australia (2016). Ia juga acapkali menjadi koreografer untuk sejumlah event dan festival berskala nasional dan regional.

Istri dari Beni Kusnandar ini juga aktif memberikan workshop dan pelatihan bagi generasi muda Banten yang memiliki minat pada dunia tari, tentu bersama suaminya, Beni Kusnandar, di sanggar yang mereka dirikan: Wanda Banten. Anugerah Seni DKB dianugerahkan kepadanya berkat kiprah dan dedikasinya yang telah menghasilkan karya Tari Ahlan Wa Sahlan dan Tari Ringkang Jawari yang kini populer di Banten.
Bidang Teater: E.B. Magor “Aktor yang Konsisten Berteater

Mengenal Teater sejak era 70-an, E. Bachtiar Magor pernah bermain di Teater Roda JKT, Teater RR JKT, Teater Papimoer JKT, Road Teater JKT, Teater Kail JKT, Teater Luka JKT, Teater SAE JKT, Teater KBT 35 JKT, Teater Study 24 JKT, Teater Cermin JKT, Boeloek Teater,  Sanggar Guriang Kencana, Teater Kelakon, Teater Kuman JKT, Komunitas Teaterawan Tangerang, Teater Cahaya UMT, Teater Samudra JKT, Teater Nebula JKT, Teater Gumilar JKT. Naskah-naskah yang pernah dimainkan antara lain:  Wot atawa Jembatan, Perguruan, Seh Siti Jenar, Perampok, Polisi,  Teroris, Bila Malam Bertambah Malam, Terbit Bulan Tenggelam Bulan, Kereta Kencana, Nyanyian Angsa, Egon, Ben Gotun, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang, Makhbet (Williem Shakespeare & Ionesco), Kucak-Kacik, Androcles dan Singa, Nabi Kembar, Pakaian dan Kepalsuan, End Game, Suara-suara Mati, Terdakwa, Bui, Intrik, Malam Jahanam, Tanda Silang, Tiang Debu, Big Bang, Perjalanan-Perjalanan, Bukan Rumah Gue.  Ia juga pendiri komunitas Teaterwan Tangerang, Sanggar Ekspresi Seni Tangerang, dan Cemani Performing Art.

Bermula dari seorang aktor yang sering pentas dan bergiat di Jakarta, lelaki yang kini tinggal di Tangerang ini masih konsisten menjadi seorang aktor teater. Acapkali pentas di sejumlah tempat, seperti di Jakarta dan Tangerang, Magor adalah seorang aktor dan pegiat teater yang tetap masih melakukan aksi-aksi panggung yang dipentaskan oleh banyak grup dan kelompok teater di Jakarta dan Banten. Bagi Magor, akting dan panggung adalah panggilan jiwa yang ia lakoni dengan ikhlas. Komitmen dan konsistensinya sebagai seorang aktor dan pegiat teater ini telah ikut menyulut semangat generasi muda untuk bersungguh-sungguh melakoni kerja-kerja akting dan pementasan. Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten diberikan kepadanya karena konsistensi dan komitmennya sebagai seorang aktor dalam dunia teater dan seni pertunjukan.

Bidang Seni Rupa: Mas Uci Sanoesi Didjaja“Pelopor yang Kesepian

Lama berkiprah dalam dunia dan kerja seni rupa, Uci Sanoesi Didjaja terbilang generasi awal seniman rupa, bersama Gebar Sasmita, di Banten. Pria kelahiran Serang 2 April 1940 ini dikenal sebagai pelukis yang memulai kiprahnya secara nasional di era 60-an di Jakarta, tempatnya bekerja di reklame film sejak tahun 1956. Setahun kemudian ia mendirikan Sanggar Surosowan Art, dan sejak tahun 1967 mulai melakukan pameran keliling bersama di Jawa Barat, Riau,  Jakarta, Pandeglang, dan Serang.

Karya-karyanya acapkali menampilkan figur-figur dan objek-objek yang sederhana dan bersahaja, kehidupan wong cilik, juga lukisan-lukisan alam dalam gagrak naturalis. Ia seakan ingin mengajak kita untuk mengakrabi kehidupan dan keseharian orang-orang biasa, masyarakat kebanyakan, atau wong cilik secara lebih dekat dengan lukisan-lukisannya yang acapkali sederhana dan bersahaja itu, semisal figur anak-anak yang memegang tabungan yang terbuat dari tanah liat. 

Uci Sanoesi Didjaja-lah yang mula-mula menggerakkan kerja-kerja seni rupa kepada anak-anak muda di Banten, seperti yang juga dilakukan Gebar Sasmita. Ia melakukan pameran tunggal dan pameran bersama di saat pameran-pameran Seni Rupa di Serang, Banten (yang ketika masih merupakan wilayah Provinsi Jawa Barat) di era 60-an itu belum merupakan sebuah acara dan event yang lazim. Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten diberikan kepadanya karena mempertimbangkan kepeloporannya dalam bidang seni rupa.
Bidang Musik: Jahidi bin Sangad bin Kamad “Pelestari Musik Tradisi Banten

Jahidi bin Sangad mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan Seni Terebang Gembrung di tengah merebaknya budaya pop jaman mutakhir kita saat ini. Tentulah untuk mengenal kiprah dan sumbangsihnya dalam dunia kesenian di Banten, kita terlebih dulu mestilah mengenal Seni Terebang Gembrung. Terebang Gembrung adalah jenis kesenian musik tradisional Banten, berupa zikir dan solawat yang diiringi dengan waditera (alat musik) terebang (rebana) dan bedug (kendang). Dinamakan “Terebang Gembrung” karena diambil dari suara terebang yang dipukul berbunyi “brung-brung-brung”.

Lazimnya kesenian ini dipentaskan pada acara Maulid Nabi, peringatan keagamaan tertentu di bulan Muharram (bulan pertama dalam penanggalan Islam), serta pada resepsi pernikahan dan khitanan, serta acara-acara lainnya. 

Sementara itu zikir dan solawat yang digunakan sebagai lagu merujuk dari kitab Barzanji ('Iqd al-Jawahir).  Saat ini Terebang Gembrung hanya dapat dijumpai di tiga tempat, yaitu: Pertama, di lingkungan Cikentang, Desa Sayar, Kecamatan Taktakan Kota Serang (15 menit dari alun-alun Kota Serang). Kedua, di Desa Cimoyan Kec. Taktakan, dan Ketiga di Desa Pancur Kec. Taktakan. Jahidi adalah pegiat Grup kesenian Terebang Gembrung yang ada di Lingkungan Cikentang. Secara historis, kesenian Terebang Gembrung ini ada sejak era Kesultanan Banten.

Kategori Anumerta

Agus Djaya “Pelita Seni Rupa Indonesia

Lahir di Pandeglang, Banten 1 April 1913, Raden Agus Djaya adalah seorang seniman nasionalis yang juga pendiri Akademi Seni Lukis yang pertama di Indonesia. Dengan demikian, tidak sah menulis sejarah seni rupa Indonesia tanpa menyebut nama Agus Djaya. Sebagai figur yang hidup di masa-masa revolusi kemerdekaan, kontribusinya tidak hanya di bidang seni, namun juga berperan aktif dalam putaran sejarah kemerdekaan Republik ini. Bahkan terakhir ia menyandang pangkat kolonel untuk bidang tugas intelijen, sebuah tugas dan posisi yang tidak sembarangan. Ia adalah pejuang yang mendapat tugas “psy war” sekaligus menjalankan “diplomasi budaya” di Belanda. Di sana, ia sempatkan diri untuk memperdalam keahlian melukis dengan ikut kuliah di RIjks Academie Boeldende Kunsten di Amsterdam (1947-1949), selain mengikuti kuliah jurnalistik di Universiteit Amsterdam.

Selama ia di Eropa itulah, ia berkenalan dan bersinggungan dengan pelukis-pelukis besar Eropa, sekelas Pablo Picasso di Vallauris, Perancis Selatan, Salvador Dali di Madrid, Spanyol, dan dengan pematung Paris asal Polandia, Ossip Zadkine. Mulanya, seniman yang ayahnya seorang pengawas hutan di zaman Kolonial Belanda dan yang mewarisi darah seni dari ibunya ini, bercita-cita menjadi dokter, tetapi kemudian menjadi seniman rupa ketika bakat melukisnya ditemukan Suwanda Mihardja, seorang guru menggambar yang kemudian mengarahkan Agus Djaya pada teknik-teknik dasar melukis. Tak hanya itu saja, bersama S. Sudjojono, ia pun mendirikan Persatoean Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938-1942, dan duduk sebagai ketua pada kurun waktu tersebut. Kepeloporan inilah yang menjadi dasar dan landasan Dewan Kesenian Banten untuk memberikan Anugerah Seni DKB 2017.

Misbach Yusa Biran “Pendobrak Film Indonesia

Lahir di Rangkasbitung, Lebak, Banten, 11 September 1933 – meninggal di Tangerang Selatan, Banten, 11 April 2012 pada umur 78 tahun, Misbach Yusa Biran adalah sutradara film, penulis skenario film, drama, cerpen, kolumnis, serta pelopor dokumentasi film Indonesia. Pria berdarah Minang dan Banten ini diberi-nama Misbach karena ayahnya seorang pengagum tokoh sosialis Islam, Haji Misbach.

Suami dari aktris film Nani Widjaya ini merupakan seorang sineas berkelas internasional yang telah menghasilkan karya-karya sinema (film) berkualitas dan berkelas, selain seorang penulis handal, sebutlah film-film besutannya, seperti: Pesta Musik La Bana (1960), Holiday in Bali (1962), Bintang Ketjil (1963), Panggilan Nabi Ibrahim (1964), Apa Jang Kautangisi (1965), Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966), Menjusuri Djedjak Berdarah (1967), Operasi X (1968), Honey, Money, dan Djakarta Fair (1970), selain dua skenario yang ditulisnya: Menyusuri Djedjak Berdarah (1967) dan Ayahku (1987).

Karirnya sebagai seorang sineas dimulai ketika ia menyutradarai sandiwara saat ia masih duduk di bangku sekolah awal tahun 1950-an, selain di masa-masa itu, ia juga menulis resensi film dan sejumlah karya sastra. Misbach Yusa Biran adalah seorang sineas sekaligus sastrawan, seorang multitalenta. Dalam rentang waktu 1954-1956, ia bekerja di Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pimpinan Usmar Ismail, yang ia awali sebagai pencatat skrip, sebelum kemudian menjadi asisten sutradara dan anggota Sidang Pengarang. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Perfilman H. Usmar Ismail Jakarta, anggota Dewan Film Nasional, dan Ketua Umum Karyawan Film dan Televisi (1987-1991).

Di masa-masa itu pula, tepatnya di 1955, Misbach Yusa Biran pun menulis skenario pertama dari cerpen Sjumandjaja, Kerontjong Kemajoran, yang kemudian oleh Persari diangkat menjadi film berjudul Saodah. Semenjak itu kreativitasnya seakan tak terbendung lagi, yang ia tuangkan melalui penulisan skenario dan penyutradaraan film. Selama tahun 1957-1960, Misbach Yusa Biran pun membuat film pendek dan dokumenter, juga menyutradarai beberapa film layar lebar selama kurun waktu 1960-1972, yang salah satunya berjudul Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1967) yang menerima penghargaan untuk sutradara terbaik dalam ajang "Pekan Apresiasi Film Nasional". Ia juga mendapat penghargaan skenario terbaik, untuk film Menjusuri Djedjak Berdarah di ajang yang sama. 

Selain sebagai seorang sineas dan sastrawan, salah-satu kiprah dan jasa terbesarnya dalam sejarah sinema dan kebudayaan Indonesia adalah sebagai seorang dokumenter film. Misbach Yusa Biran dalam dunia sinema Indonesia tak ubahnya Hans Bague (H.B.) Jassin dalam sejarah sastra Indonesia. Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten 2017 dianugerahkan kepadanya karena kontribusinya dan kerja kerasnya sebagai seorang pelaku yang ikut menentukan masa depan film di Indonesia.

Muhammad Idris “Mengharumkan Debus Banten ke Mancanegara

Debus Banten adalah seni yang telah mengangkat ‘marwah’ Banten ke pentas nasional dan internasional. Dan Debus Banten adalah identitas Banten itu sendiri. Lurah Idris, yang bernama asli, Haji Mochammad Idris yang lahir di Desa Tinggar, Cikeusal, Serang pada 17 Oktober 1903, yang kemudian tinggal di Walantaka, Serang,  ini adalah seorang penjaga Seni Debus Banten yang penuh dedikasi dan sangat populer di kalangan para pegiat dan pelaku Seni Debus Banten. Kelompok Debus yang dibina dan dipimpinnya, Debus Surosowan Walantaka, adalah kelompok Debus Banten yang ternama.

Walantaka, dan tentu saja Lurah Idris, sendiri punya tempat yang unik dalam sejarah budaya dan politik Banten. Di era 90-an, ada film berjudul “Serigala Putih” yang dibintangi Barry Prima dan Advent Bangun. Di film itu ada seorang tokoh bernama Ki Jari Getih. Tak banyak yang tahu, kecuali si pembuat film itu, bahwa Ki Jari Getih itu adalah ‘Jawara Banten’ dari Walantaka, Kota Serang, Banten.

Secara historis dan kultural, jika disebut nama Walantaka, maka itu adalah sebuah nama di mana dulu kala hingga saat ini, hiduplah para pegiat Seni Debus Banten, selain Pamarayan (Kab. Serang), dan tempat-tempat lainnya. Walantaka sebenarnya sebuah desa kecil, tapi desa ini adalah tempat lahirnya kesenian tradisional Banten yang sudah sangat mendunia, yaitu Debus. Di desa inilah terdapat Padepokan Surosowan, padepokan debus tertua di Banten, yang telah melahirkan jawara-jawara Banten yang terkenal, yang salah satunya adalah almarhum Lurah Idris, sang pendiri padepokan tersebut. 

Berkat kiprah dan jasanya mendirikan Padepokan Surosowan Banten dan jasanya mengangkat seni Debus Banten ke mancanegara oleh dirinya dan murid-muridnya, Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten dianugerahkan kepada Lurah Idris yang telah menjaga dan merawat Identitas Banten sebagai sebuah lanskap kultural dan politis yang unik dan yang tak tergantikan.
Kategori Anumerta: Toton Green Toel “Lagu Berbahasa Banten Untuk Indonesia

Bernama asli Achmad Tantowi, Toton Greentoel konsisten menyanyikan lagu-lagu berbahasa Jawa Serang dan Sunda Banten, yang lirik-liriknya berasal dari lagu dolanan dan tembang-tembang masyarakat pedesaan, menjadi akrab dengan kemasan genre pop yang digemari anak-anak muda. Kiprahnya telah memberikan sumbangsih bagi pentingnya arti identitas sebuah masyarakat yang ingin menemukan jati diri. Bermula dari sebuah ejekan di meja makan di tahun 1998, saat ia makan bersama beberapa teman-temannya dari Batak, Padang, dan Sunda, teman-teman sesama pekerja proyek pembuatan alat pengebor minyak di Bojonegara, Kabupaten Serang, tentang tidak adanya lagu-lagu daerah Banten yang populer di masyarakat Indonesia, sebagaimana dari daerah-daerah dan provinsi-provinsi lain.

Sontak saja, demi menutupi rasa malu, ia pun menyanyikan tembang dolanan anak-anak Banten yang diingatnya. “Surantang-surinting, bibi Semar nyolong gunting, guntinge bibi laos, sedakep tangan sios,” sebuah tembang dolanan masyarakat Banten yang kini kembali populer berkat petikan gitar dan alunan suaranya mendendang. Waktu pun berjalan, dan empat tahun kemudian, ketika ia di-PHK atau diputus hubungan kerja di pabriknya, sementara ia harus menghidupi keluarganya dengan mengamen, ingatannya terhadap tembang dolanan anak Banten yang sempat ia nyanyikan demi menjawab ledekan kawan-kawannya sesama buruh itu pun belum pudar. Sejak itulah ia mulai mengamen demi memenuhi kehidupan sehari-hari dan mengaransemen tembang-tembang dolanan anak-anak Banten.

Tanpa ragu lagi, pria kelahiran Serang, 7 April 1968, ini pun memosisikan diri sebagai pengamen dengan “brand” lagu-lagu berbahasa Jawa-Serang dan Sunda-Banten, dan seiring waktu berjalan, tempat ia tampil pun mulai meluas hingga menyanyi di hotel-hotel di sekitaran Serang dan Anyer, Banten. Tak dipungkiri, memang, selama menggubah lagu-lagu daerah Banten, Toton Greentoel sendiri acapkali merasa gamang, seiring dengan kegamangan umumnya masyarakat Banten tentang identitas kedaerahan mereka yang memiliki dan mempraktikkan multi-bahasa, sebelum akhirnya ia menetapkan untuk memantapkan pilihan untuk mempopulerkan lagu-lagu berbahasa Jawa Serang. 

Anugerah Seni DKB 2017 diberikan kepadanya karena dedikasinya dan komitmennya mengangkat identitas sosial dan budaya melalui musik, dengan instrumen gitar yang setia ia mainkan bila ia tampil dan bernyanyi. Berkat kerja-keras dan konsistensinya dalam memainkan dan mempopulerkan kembali tembang-tembang dolanan yang sempat punah dan dilupakan itu kembali hadir dan populer menjadi lagu-lagu yang easy listening, bisa dinikmati masyarakat banyak di Banten, sebuah wujud ‘pencarian’ identitas masyarakat Banten yang terjawab berkat kerja dan kiprah seninya selagi ia hidup.

Media Sosial, Teologi yang Terkoyak, dan Fungsi Sastra


oleh Sulaiman Djaya (Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten)

Dengan nama Allah yang Maha Kasih dan Maha Welas Asih. Sholawat dan salam kita hazratkan untuk Rasulullah penghulu para nabi dan rasul berserta keluarga dan para sahabat setianya.

Saya ingin berbagi terkait pengalaman pribadi, dalam kaitannya dengan forum diskusi hari ini. Sepertinya hari ini inti bahasan yang sesungguhnya adalah fenomena terorisme dan bagaimana ‘mencegah’ merebaknya terorisme di dalam masyarakat, tetapi saya ingin memulainya dari soal media sosial hingga teologi, sebelum saya akan mengkomparasikan dan mengkoherensikannya dengan fungsi sastra dalam rangka melahirkan kecerdasan bagi masyarakat, menggalakkan budaya intelek dan literer, substansi dari sastra itu sendiri. Hari ini, soal-soal keagamaan tak dapat dilepaskan dari aktivitas orang-orang di media sosial di mana media sosial itu pula yang menjadi ‘media’ penyebaran doktrin-doktrin yang diklaim sebagai ajaran dan nilai religius yang setiap saat melakukan agitasi dan penghasutan kepada para pengguna media sosial.

Yang kedua, dan ini juga tak kalah peliknya, media sosial itu seakan telah menjadi ‘pesantren’ singkat tak resmi, yang sayangnya lebih sering menyebarkan teologi yang devian, dan yang lebih buruknya lagi, adalah justru telah melahirkan budaya oral ketimbang membuat orang-orang terbiasa melakukan analisa, berpikir kritis, dan membaca narasi panjang yang bernas. Setiap hari, media sosial menghadirkan ‘bujukan’ informasi yang sifatnya kilasan dengan pergantian dan durasi yang demikian cepat, semisal di fesbuk, instagram, twitter, dan yang sejenisnya, yang oleh orang-orang yang tak punya daya kritis dan analitis yang memadai akan ditelan mentah-mentah begitu saja, meski informasi-informasi itu ternyata tak lebih hasutan, propaganda, atau hoax.

Mereka yang menjadi ‘korban’ hasutan dan propaganda yang tersebar di media sosial itu kemudian menjadi para penyebar propaganda dan hoax pula dan begitu seterusnya. Mereka membagikan terus-menerus propaganda, hoax, dan hasutan tersebut, seperti di fesbuk, yang ketika sedemikian menjadi massif lalu akan dianggap sebagai ‘kebenaran’ yang tak terbantahkan. Di sini sesungguhnya saya juga hendak mengatakan bahwa ketika media-media atau situs-situs yang narasi dan isinya adalah hasutan, bahkan ujaran kebencian tersebut begitu mudah dianggap sebagai ‘kebenaran’, publik terpengaruh dan mereka seakan memiliki ‘pembenaran’ atau laku membenci pihak lain yang ‘difitnah’, dan ujung-ujungnya mereka merasa memiliki ‘dasar’ yang sah untuk mempraktikkan kekerasan. Inilah yang saya sebut teologi devian.

Di era digital dan jaman android sekarang ini, ketika orang-orang lebih sibuk dan lebih senang menghabiskan waktu keseharian mereka untuk berselancar di media sosial: fesbuk, instagram, twitter dan yang sejenisnya, ketimbang membaca buku, betapa mudahnya hasutan dan propaganda ‘teologi devian’ disebarkan dan lalu dikonsumsi banyak orang. Tak jarang orang-orang begitu mudahnya menganggap yang hoax sebagai fakta dan kebenaran, yang tak lain adalah mereka yang menjadi korban hasutan tersebut, tiba-tiba merasa yang paling benar dan paling beriman. Inilah jaman ketika akal dan analisis dibunuh oleh tekhnologi internet, yang justru diciptakan manusia, bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi mesin perang yang berubah menjadi zombi-zombi yang akalnya mati sebelum tubuh mereka sendiri menjadi jenazah atau mayat, semisal mereka yang menjadi para pelaku teror dan pelaku praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Karena itulah, tak diragukan lagi, di jaman ketika mesin telah membunuh akal dan intelegensia, yaitu era android dan internet kita saat ini, para penyair dan para sastrawan, kaum akademik dan intelektual, mestilah menjalankan tugas ‘profetik’ sebagai para pencerah, dan tentu saja menjadi para penyuluh masyarakat yang sanggup memberi lentera dan pelita bagi hidupnya akal manusia melalui karya-karya mereka, yang mereka tuliskan, yang mereka terbitkan dan mereka bukukan. Sebab jika tidak, intelek dan bahkan jiwa manusia akan remuk ditelan tekhnologi internet yang diciptakannya sendiri, yang belakangan menjadi medan penyebaran hoax, hasutan, ujaran kebencian, propaganda politik dan perang, di saat internet tersebut juga menjadi media penyebaran ‘teologi devian’.

‘Terbunuhnya’ intelek inilah yang membuat orang mudah diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran teologi devian dan memiliki pandangan bahwa agama tidak memiliki kekariban dan koherensi dengan akal. Di sini, saya teringat apa yang pernah dinyatakan Imam Ali bin Abi Thalib, yang kira-kira bunyinya: “Kadar keberagamaan seseorang sesuai dengan kadar akalnya.” Bukankah dalam Islam, sebagai contoh, syarat kelayakan ibadah seseorang adalah ketika ia ‘aqil balig? Kita tidak diwajibkan berpuasa Ramadhan, misalnya, ketika kita belum aqil balig. Hidupnya intelek ini dimungkinkan dengan aktivitas daras dan membaca, mengaji dan mengkaji, terkait dengan kapasitas literer seseorang. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, akal atau intelek ini terbagi dua: “akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi (eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini bahwa ia memiliki akal dan agama” (Biharul Anwar jilid 78 hal 128).  

Khazanah sastra menyediakan dirinya mengajak orang untuk berempati, berwelas-asih, toleran, dan berpikir terbuka, karena ia mengajak kita untuk mengakrabi dan menemui kehidupan itu sendiri secara intim, adil, tidak langsung menghakimi, melainkan merayu kita untuk berdialog dan berdiskusi. Karena laku dan fungsinya yang demikian itulah, sastra mengajarkan kita tanpa harus menggurui untuk tidak mudah terjerembab dalam ‘dogma’ yang membunuh intelek dan nurani manusia. Terkait hal ini, haruslah diakui, ada masalah ketika indoktrinasi dogmatis yang membunuh intelek juga ternyata ‘mengatasnamakan diri’ sebagai sastra, semisal karya-karya dan pernak-pernik budaya pop yang mencantumkan diri dengan label ‘Islami’, yang secara estetik dan artistik acapkali tak memenuhi ‘syarat’ untuk disebut karya sastra, yang malah sama saja melakukan pola dan laku teologi devian.

Penting untuk dipahami dan dimengerti,  karya sastra menjadi unik karena merayakan konotasi, ambivalensi, dan polifoni demi menghidupkan watak simbolik sastra itu sendiri dengan mengoptimalkan metafor, alegori, personifikasi, hiperbola, ironi, dan lain sebagainya. Bukankah sastra menjadi unik karena terus-menerus bersimpati pada ironi dan subjektivitas bukannya objektivitas? Dan karena sifat dan lakunya yang demikian itulah, sastra mengajarkan sikap terbuka dan mempraktikkan polah dan laku yang toleran bagi para pembacanya.

Juga sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sastra yang melukiskan segi-segi umum dan kebanyakan hanya akan berujung pada kegagalan etos dan watak sastra itu sendiri. Ia tak ubahnya ilmu sosial. Sastra menjadi hidup justru karena menghidupkan polisemi kata, memaksimalkan konotasi, dan menggalakkan ironi, dan tentu saja tidak hanya menciptakan kebaruan makna referensial, tetapi juga makna tekstual. Dalam hal ini, fungsi bahasa bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi juga untuk menyembunyikan. Sastra menjadi unik bukan karena verbalisme-nya, melainkan karena kelihaiannya untuk menyembunyikan makna. Umberto Eco akan menyebutnya sebagai Opera Aperta atau The Open Work (karya terbuka), di mana suatu teks sastra menjadi kaya dan unik karena teks tersebut menciptakan suatu dunia, suasana, dan peristiwa yang bisa ditafsirkan secara bebas (heterogen) oleh pembacanya dan lebih informatif ketimbang traktat sains.

Sementara pada tingkatan yang lebih ekstrem, Jacques Derrida menyebutnya sebagai disseminasi, penyebaran keragaman penerimaan (pembacaan), penafsiran, dan pemaknaan, di mana makna tidak selalu berkaitan dengan referensi, nilai dan keyakinan metafisis, penanda transendental dan rujukan moral, tetapi oleh kumungkinan jalinan kata dan bahasa dalam teks itu sendiri. Dengan demikian citra dalam sastra selalu bersifat simbolik, seringkali menerobos formalisme bahasa dan menjadikannya sebagai ekspressi yang personal. Milan Kundera akan menyebutnya dengan polifoni-teks. Laku dan polah simbolik sastra itulah yang memungkinkan sastra bersifat universal, menjadi perekat keragaman, bahasa bersama dalam perbedaan: MENJADI BAHASA PERDAMAIAN ummat manusia.

PROFIL NARASUMBER
Sulaiman Djaya lahir di Kragilan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten dari keluarga petani bersahaja. Sewaktu mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta aktif di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), Indonesian Studies and Advocacy Center (ISAC), Ketua Bidang Kajian dan Intelektual HMI Cabang Ciputat, dan Jurnal Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, diantaranya: Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Tifa Nusantara 2 (Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara di Tangerang, Banten Tahun 2015), dan masih banyak lagi yang lainnya. Saat ini aktif sebagai Ketua Program Bengkel Seni Budaya (BSB) Dewan Kesenian Banten, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten, dan Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Banten.

Disampaikan dalam acara Bunga Rampai Sastra Cinta Damai yang Diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Banten di Le Dian Hotel 9 November 2017. 


BGA #2 DKB: Bahasa Manusia Adalah Bahasa Perdamaian

Berbeda dengan Banten Gawe Art #1 Dewan Kesenian Banten 3-4 September 2016, Banten Gawe Art #2 Dewan Kesenian Banten 7-29 Oktober 2017 diselenggarakan bertepatan dengan tiga momentum: HUT Banten Ke-17, Perayaan Bulan Bahasa, dan Peringatan Sumpah Pemuda. Foto oleh Ade Wahyu dan Poster oleh Dr. Helmi Bahrul Ulumi (Litbang DKB).