Theater Iran Near Term

(Foto: Iran dalam Kepungan Pangkalan Militer Amerika) 

oleh Michel Chossudovsky (Direktur Centre for Research on Globalization)

“Bagi Amerika, Iran adalah musuh bagi ambisi mereka (Amerika dan aliansinya) untuk menguasai Timur Tengah, dan karena itu Iran dan Syiah Islam harus dihancurkan. Upaya meruntuhkan Iran tersebut harus menggunakan semua persenjataan dan tekhnologi paling canggih, selain dengan penyebaran propaganda di dunia Islam untuk memunculkan gelombang besar kebencian muslim dunia terhadap Islam Syiah dan Iran”

Penimbunan dan penyebaran sistem senjata canggih yang diarahkan terhadap Iran dimulai sesudah pengeboman dan invasi kepada Irak tahun 2003. Sejak awal, rencana perang ini dipimpin oleh Amerika Serikat, dalam hubungannya dengan NATO dan Israel. Setelah invasi Irak tahun 2003, pemerintahan Bush mengidentifikasi Iran dan Suriah sebagai tahapan berikutnya dari “peta jalan untuk perang”. Sumber-sumber militer Amerika Serikat mengisyaratkan bahwa serangan udara terhadap Iran bisa melibatkan penyebaran yang berskala besar sebanding dengan “shock and awe” serangan bom Amerika Serikat di Irak pada Maret tahun 2003. “Serangan udara Amerika terhadap Iran akan jauh melebihi jangkauan serangan Israel tahun 1981 di pusat nuklir Osiraq di Irak, dan akan lebih menyerupai hari pertama dari serangan udara tahun 2003 melawan Irak.

“THEATER IRAN NEAR TERM” (TIRRANT)
Nama kode yang diberikan oleh para perencana militer Amerika Serikat adalah TIRANNT, “Theater Iran Near Term”, simulasi serangan terhadap Iran telah dimulai pada Mei tahun 2003 “ketika pemodel dan spesialis intelijen mengumpulkan data yang diperlukan untuk tingkat-medan perang (berarti berskala besar) analisis skenario bagi Iran.” ((William Arkin, Washington Post, 16 April 2006). Skenarionya mengidentifikasikan beberapa ribu sasaran di dalam wilayah Iran sebagai bagian dari “Shock and Awe” Blitzkrieg: “Analisis yang disebut TIRANNT, singkatan dari “Theater Iran Near Term,” masih ditambah pula dengan skenario tiruan invasi Korps Marinir dan simulasi kekuatan rudal Iran. Dalam waktu yang bersamaan para perencana Amerika Serikat dan Inggris melakukan sebuah permainan perang Laut Kaspia. Bush mengarahkan Komando Strategis Amerika Serikat untuk menyusun rencana aksi serangan perang global untuk menyerang lokasi senjata pemusnah massal Iran. Semua ini akhirnya akan menjadi masukan berupa rencana perang baru untuk “major combat operations” terhadap Iran yang sekarang sudah dikonfirmasikan oleh sumber militer [April 2006] dalam bentuk draft.

Di bawah TIRANNT, Angkatan Darat dan Perencana Pusat Komando Amerika Serikat telah melakukan pemeriksaan, baik skenario jangka pendek maupun jangka panjang perang dengan Iran, termasuk semua aspek operasi tempur utama, dari mobilisasi dan pengerahan pasukan melalui operasi stabilitas pasca perang setelah terjadi perubahan rezim (William Arkin, Washington Post, 16 April 2006). Perbedaan “Skenario medan perang” dalam menyerang Iran secara maksimal telah dipikirkan: “Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Marinir Amerika Serikat telah memiliki semua rencana pertempuran yang disusun selama empat tahun, membangun pangkalan-pangkalan dan pelatihan untuk melaksanakan “Operasi Pembebasan Iran.” Laksamana Fallon, Kepala Pusat Komando Amerika Serikat yang baru telah menerima rencana komputerisasi TIRANNT (Teater Iran Near Term)” (New Statesman, 19 Februari 2007).

Pada tahun 2004, dirumuskan skenario perang awal di bawah TIRANNT, Wakil Presiden Dick Cheney menginstruksikan USSTRATCOM untuk menyusun sebuah “rencana darurat” operasi militer berskala besar yang diarahkan terhadap Iran “digunakan dalam merespon terhadap serangan teroris sejenis 9/11 di Amerika Serikat”. Rencana tersebut termasuk penggunaan pre-emptive senjata nuklir terhadap negara non-nuklir. “Rencana tersebut termasuk serangan udara besar-besaran terhadap Iran baik menggunakan senjata nuklir maupun konvensional dan taktis. Di dalam wilayah Iran terdapat lebih dari 450 sasaran strategis penting, termasuk sejumlah sasaran yang dicurigai sebagai tempat pengembangan program-senjata-nuklir. Banyak target keras atau jauh berada di bawah tanah dan tidak bisa dihancurkan oleh senjata konvensional, maka akan dihancurkan dengan opsi nuklir. Beberapa pejabat senior Angkatan Udara yang terlibat dalam perencanaan dilaporkan terkejut terhadap implikasi dari apa yang akan mereka lakukan – bahwa Iran sedang disiapkan untuk sebuah serangan nuklir yang tak beralasan – namun tidak seorangpun siap untuk merusak karirnya dengan mengajukan keberatan” (Philip Giraldi, Deep Background,The American Conservative August 2005).

THE MILITARY ROAD MAP: “IRAK DULU, IRAN KEMUDIAN”
Keputusan untuk menargetkan Iran di bawah TIRANNT adalah bagian dari proses perencanaan militer yang lebih luas dari urutan operasi militer. Hal tersebut sudah dilakukan di bawah pemerintahan Clinton, Pusat Komando Amerika Serikat (USCENTCOM) telah menyusun “rencana medan perang”, pertama untuk menyerang Irak dan kemudian Iran. Akses terhadap minyak Timur Tengah adalah merupakan tujuan strategis lain. “Kepentingan dan tujuan keamanan nasional yang luas dinyatakan Presiden dalam Strategi Keamanan Nasional - National Security Strategy (NSS) dan Ketua Strategi Militer Nasional – National Military Strategy (NMS) membentuk dasar strategi medan perang Pusat Komando Amerika Serikat (NSS) mengarahkan pelaksanaan strategi penahanan ganda dari negara-negara nakal seperti Irak dan Iran selama negara-negara tersebut menjadi ancaman terhadap kepentingan Amerika Serikat, kepada negara-negara lain di wilayah ini. Penahanan ganda dirancang untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di wilayah itu tanpa tergantung baik kepada Irak atau Iran. Strategi medan perang terhadap Iran yaitu USCENTCOM adalah merupakan interest-based danthreat-focused. Tujuan dari keterlibatan Amerika Serikat seperti yang dianut pada NSS, adalah untuk melindungi kepentingan vital Amerika Serikat di wilayah tersebut – supaya tidak terganggu, Amerika Serikat aman demikian juga akses Sekutu kepada minyak Teluk.”

Perang di Iran dipandang sebagai bagian dari suksesi operasi militer. Menurut (mantan) Panglima NATO Jenderal Wesley Clark, peta-jalan militer Pentagon terdiri dari urutan negara-negara: “Rencana operasi militer lima tahun [termasuk] total tujuh negara, dimulai dengan Irak, kemudian Suriah, Libanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan.” Dalam “Winning Modern Wars” (halaman 130) Jenderal Clark menyatakan sebagai berikut: “Ketika saya kembali melalui Pentagon pada bulan November 2001, salah seorang staf petugas senior militer punya waktu untuk bercakap-cakap. Ya, kami masih berada dalam jalur melawan Irak. Tapi masih ada lagi. Katanya hal ini sedang dibahas sebagai bagian dari rencana operasi militer lima tahun, dan jumlahnya ada tujuh negara, dimulai dengan Irak, lalu Suriah, Libanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan (Secret 2001 Pentagon Plan to Attack Lebanon, Global Research, July 23, 2006).

PERAN ISRAEL
Terdapat banyak perdebatan mengenai peranan Israel dalam memulai serangan terhadap Iran. Israel merupakan bagian dari sebuah aliansi militer. Tel Aviv bukanlah penggerak utama. Israel tidak memiliki agenda militer yang terpisah dan berbeda. Israel terintegrasi ke dalam “rencana perang untuk operasi tempur besar” terhadap Iran yang dirumuskan pada tahun 2006 oleh Komando Strategis Amerika Serikat  (USSTRATCOM). Dalam konteks operasi militer skala besar, suatu tindakan militer sepihak yang tidak terkoordinasi oleh salah satu mitra koalisi, yaitu Israel, dari sudut pandang militer dan strategis hampir mustahil. Israel secara de facto anggota NATO. Setiap tindakan oleh Israel akan membutuhkan “lampu hijau” dari Washington.

Sebuah serangan oleh Israel bagaimanapun juga bisa digunakan sebagai “mekanisme pemicu” yang akan melancarkan perang habis-habisan terhadap Iran, serta pembalasan oleh Iran yang diarahkan kepada Israel. Dalam hal ini, ada indikasi bahwa Washington mungkin mempertimbangkan pilihan serangan awal Israel dengan (dukungan Amerika Serikat) dan bukan sebuah operasi militer pimpinan Amerika Serikat langsung diarahkan terhadap Iran. Serangan Israel – meskipun hubungannya dekat dengan Pentagon dan NATO – akan disampaikan kepada opini publik sebagai keputusan sepihak oleh Tel Aviv. Hal ini kemudian akan digunakan oleh Washington untuk membenarkan di mata opini Dunia, berupa intervensi militer Amerika Serikat dan NATO dengan maksud untuk “mempertahankan Israel”, daripada menyerang Iran. Dalam perjanjian kerja sama militer yang ada, baik Amerika Serikat maupun NATO “diwajibkan” untuk “membela Israel” bila diserang Iran dan Suriah.

Perlu dicatat, dalam hal ini, bahwa pada awal masa jabatan kedua Bush, (mantan) Wakil Presiden Dick Cheney mengisyaratkan, dengan tegas, bahwa Iran berada  “paling atas dalam daftar” dari “musuh nakal” Amerika, dan bahwa Israel akan menyatakan “melakukan pemboman untuk kita”, tanpa keterlibatan militer Amerika Serikat dan tanpa kita menekan mereka “untuk melakukannya” (Michel Chossudovsky, Planned US-Israeli Attack on Iran, Global Research, May 1, 2005): Menurut Cheney: “Salah satu kekhawatiran orang adalah bahwa Israel mungkin melakukannya tanpa diminta…Mengingat fakta bahwa Iran memiliki kebijakan yang menyatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk menghancurkan Israel, Israel mungkin memutuskan untuk bertindak lebih awal, dan membiarkan seluruh dunia khawatir mengenai  penyelesaian  kekacauan diplomatik setelah itu“ (Dick Cheney, dikutip dari Wawancara MSNBC, Januari 2005).

Mengomentari pernyataan Wakil Presiden, mantan penasehat Keamanan Nasional, Zbigniew Brzezinski dalam sebuah wawancara di PBS, menegaskan dengan sedikit ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi, ya: Cheney menginginkan Perdana Menteri Israel untuk bertindak atas nama Amerika dan “melakukannya” untuk kita. “Saya pikir Iran lebih ambigu. Dan ada masalah disana, tentu bukan tirani…..itu adalah senjata nuklir. Dan Wakil Presiden hari ini dalam pernyataan paralel yang aneh terhadap pernyataan kebebasan ini yang mengisyaratkan bahwa Israel mungkin melakukannya, namun kenyataannya menggunakan bahasa yang terdengar seperti pembenaran atau bahkan suatu dorongan bagi Israel untuk melakukannya.” Apa yang berurusan dengan kita adalah operasi militer bersama Amerika Serikat-NATO-Israel untuk membom Iran, yang telah dalam tahap perencanaan aktif sejak tahun 2004. Pejabat Departemen Pertahanan, di bawah Bush dan Obama, telah bekerja tekun dengan militer Israel dan mitra-mitra intelijennya mengidentifikasi dengan hati-hati sasaran di dalam wilayah Iran. Dalam istilah praktis militer, setiap tindakan oleh Israel harus direncanakan dan dikoordinasikan di tingkat tertinggi koalisi yang dipimpin Amerika Serikat.

Serangan oleh Israel juga akan memerlukan koordinasi dukungan logistik Amerika Serikat–NATO, khususnya yang berkaitan dengan sistem pertahanan udara Israel, yang sejak Januari 2009 sepenuhnya terintegrasi ke dalam Amerika Serikat dan NATO (Michel Chossudovsky,  Unusually Large U.S. Weapons Shipment to Israel: Are the US and Israel Planning a Broader Middle East War? Global Research, January 11,2009). Sistem radar X band Israel dibangun pada awal tahun 2009 dengan dukungan teknis Amerika Serikat telah “mengintegrasikan sistem pertahanan rudal Israel dengan jaringan deteksi rudal global Amerika Serikat [Pangkalan-Ruang Angkasa], yang meliputi satelit, kapal Aegis di Mediterania, Teluk Persia dan Laut Merah serta Patriot radar dan yang berpangkalan di darat” (DefenseTalk.com, January 6, 2009). Apakah ini berarti bahwa Washington akhirnya memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Lebih baik Amerika Serikat daripada Israel yang mengendalikan sistem pertahanan udara:’ ‘ini artinya tetap dengan menggunakan sistem radar Amerika Serikat,’ “kata jurubicara Pentagon, Geoff Morrell. “Jadi ini bukan sesuatu yang kita berikan atau menjualnya kepada Israel dan hal itu adalah sesuatu yang wajar akan memerlukan personel Amerika Serikat untuk mengoperasikannya.” (Dikutip dari Israel National News, 9 Januari 2009).

Angkatan Udara Amerika Serikat  mengawasi sistem Pertahanan Udara Israel, yang terintegrasi ke dalam sistem global Pentagon. Dengan kata lain, Israel tidak dapat melancarkan perang terhadap Iran tanpa persetujuan Washington. Oleh karena pentingnya undang-undang yang disebut “Green Light” di Kongres Amerika Serikat  yang disponsori oleh partai Republik di bawah Resolusi House 1553, yang secara eksplisit mendukung serangan Israel terhadap Iran: “Undang-undang diajukan oleh Louie Gohmert, partai Republik dari Texas dan 46 rekannya, mendukung penggunaan “semua sarana yang diperlukan Israel” terhadap Iran “termasuk penggunaan kekuatan militer….”Kita harus melakukan ini. Kami perlu menunjukkan dukungan kepada Israel. Kita harus berhenti bermain game dengan sekutu penting di tengah wilayah yang sulit” (Webster Tarpley, Fidel Castro Warns of Imminent Nuclear War; Admiral Mullen Threatens Iran; US-Israel Vs. Iran-Hezbollah Confrontation Builds On, Global Research, August 10, 2010).

Dalam praktek, undang-undang yang diusulkan tersebut adalah “Green Light” kepada Gedung Putih dan Pentagon daripada kepada Israel. Ini merupakan persetujuan untuk perang yang disponsori Amerika Serikat melawan Iran yang menggunakan Israel sebagai landasan melancarkan gerakan militer yang sesuai. Hal ini juga berfungsi sebagai pembenar untuk berperang dengan tujuan untuk membela Israel. Dalam konteks ini, Israel memang bisa memberikan alasan palsu untuk berperang, sebagai tanggapan terhadap dugaan serangan Hamas atau serangan Hizbullah dan/atau memicu permusuhan di perbatasan Israel dengan Lebanon. Apa yang penting untuk dipahami adalah bahwa sebuah “insiden” kecil dapat digunakan sebagai alasan untuk memicu sebuah operasi militer besar terhadap Iran. Dikenal oleh perencana militer Amerika Serikat, Israel (bukan Amerika Serikat) akan menjadi sasaran pertama pembalasan militer Iran. Secara umum, Israel akan menjadi korban dari intrik Washington maupun pemerintah mereka sendiri. Ya,  dalam hal ini, sangat penting bahwa Israel tegas menentang setiap tindakan oleh pemerintah Netanyahu untuk menyerang Iran.

PEPERANGAN GLOBAL: PERAN KOMANDO STRATEGIS AMERIKA SERIKAT (USSTRATCOM)
Operasi militer global dikoordinasikan dari Markas Komando Strategis Amerika Serikat  (USSTRATCOM) dari pangkalan Angkatan Udara Offutt di Nebraska, berkerja sama dengan komando regional, Komando Pejuang Terpadu (misalnya Komando Sentral Amerika Serikat di Florida, yang bertanggung jawab untuk Timur Tengah -Tengah dan kawasan Asia serta unit komando koalisi di Israel, Turki, Teluk Persia dan Diego Garcia, yaitu pangkalan militer Amerika Serikat di Samudera Hindia. Perencanaan Militer dan pengambilan keputusan di tingkat negara sekutu Amerika Serikat-NATO yang dilakukan oleh individu juga “negara-negara mitra” diintegrasikan ke dalam desain militer global termasuk mempersenjatai ruang angkasa. Di bawah mandat baru, USSTRATCOM memiliki tanggung jawab untuk “mengawasi rencana serangan global” yang terdiri dari senjata konvensional dan nuklir. Dalam jargon militer, yang dijadwalkan untuk memainkan peran adalah “sebuah integrator global dengan beban misi Operasi Ruang Angkasa; Operasi Informasi; Pertahanan Rudal Terpadu; Komando Global & Pengendalian; Intelijen, Surveillance dan Reconnaissance; Global Strike; dan Strategic Deterrence….“

Tanggungjawab USSTRATCOM meliputi: “Memimpin, perencanaan, pelaksanaan strategis dan operasi pencegahan ” di tingkat global, “sinkronisasi rencana operasi dan pertahanan rudal global”, “sinkronisasi rencana perang regional”, dan lain-lain. USSTRATCOM merupakan lembaga utama dalam mengkoordinasikan peperangan modern. Pada bulan Januari 2005, pada awal pengerahan dan pembangunan militer yang ditujukan kepada Iran, USSTRATCOM diidentifikasi sebagai “Komando Peramg  untuk integrasi dan sinkronisasi Departemen Pertahanan Amerika Serikat dalam upaya memerangi senjata pemusnah massal” (Michel Chossudovsky, Nuclear War against Iran, Global Research, January 3, 2006). Apakah ini berarti bahwa koordinasi serangan yang berskala besar terhadap Iran, termasuk berbagai skenario eskalasi di dalam dan di luar wilayah Timur Tengah serta yang lebih luas Asia Tengah akan dikoordinasikan oleh USSTRATCOM.

SENJATA-SENJATA NUKLIR TAKTIS DIARAHKAN LANGSUNG KEPADA IRAN
Dikonfirmasi dengan dokumen militer serta laporan resmi, baik Amerika Serikat maupun Israel memikirkan penggunaan senjata nuklir yang diarahkan terhadap Iran. Pada tahun 2006, Komando Strategis Amerika Serikat (USSTRATCOM) mengumumkan bahwa pihaknya telah mencapai kemampuan operasional untuk mentargetkan sasaran secara cepat dengan menggunakan senjata nuklir atau senjata konvensional ke seluruh dunia. Pengumuman ini dibuat setelah melakukan simulasi militer yang berkaitan dengan serangan nuklir yang dipimpin Amerika Serikat terhadap negara fiktif (David Ruppe, Preemptive Nuclear War in a State of Readiness: U.S. Command Declares Global Strike Capability, Global Security Newswire, December 2, 2005). Kesinambungan dalam hubungannya dengan era Bush-Cheney: Presiden Obama telah mendukung sebagian besar doktrin pre-emptive penggunaan senjata nuklir yang dirumuskan oleh pemerintahan sebelumnya. Di bawah the 2010 Nuclear Posture Review, pemerintahan Obama menegaskan “bahwa itu merupakan pesan berupa hak untuk menggunakan senjata nuklir terhadap Iran” sebagai risiko ketidak-kepatuhan Iran terhadap tuntutan Amerika Serikat mengenai program dugaan (tidak ada) senjata nuklir (U.S. Nuclear Option on Iran Linked to Israeli Attack Threat – IPSipsnews.net, April 23, 2010). Pemerintahan Obama juga mengisyaratkan bahwa mereka akan menggunakan nuklir dalam hal Iran merespon atas serangan Israel  kepada Iran (Ibid). Israel juga membuat sendiri “rencana rahasia” untuk membom Iran dengan senjata nuklir taktis.

Sumber-sumber senior mengatakan “Komandan militer Israel yakin serangan konvensional mungkin tidak lagi cukup untuk memusnahkan fasilitas pengayaan yang semakin baik dipertahankan. Beberapa telah dibangun di bawah tanah minimal 70 kaki dari beton dan batu. Namun, the nuclear-tipped bunker-busters akan digunakan hanya jika serangan konvensional dikesampingkan dan jika Amerika Serikat menolak untuk campur tangan”(Revealed: Israel plans nuclear strike on Iran – Times Online, January 7, 2007). Pernyataan Obama tentang penggunaan senjata nuklir terhadap Iran dan Korea Utara konsisten dengan doktrin senjata nuklir Amerika Serikat pasca 9/11 yang memungkinkan untuk penggunaan senjata nuklir taktis di medan perang konvensional. Melalui kampanye propaganda yang telah meminta dukungan dari “otoritatif” ilmuwan nuklir, senjata nuklir mini itu didukung sebagai instrumen perdamaian, yaitu sarana untuk memerangi “terorisme Islam” dan mengukuhkan “demokrasi” gaya Barat di Iran. Nuklir low-yield telah dibersihkan untuk “digunakan di medan perang”. Senjata nuklir tersebut dijadwalkan akan digunakan Amerika terhadap Iran dan Suriah dalam tahap berikutnya, disamping senjata konvensional dalam “perang melawan Terorisme”. “Para pejabat pemerintah menyatakan bahwa senjata nuklir low-yield diperlukan sebagai pencegah yang kredibel terhadap negara-negara nakal [Iran, Suriah, Korea Utara]. Logika mereka adalah bahwa senjata nuklir yang ada terlalu destruktif untuk digunakan kecuali dalam perang nuklir yang berskala penuh. Musuh-musuh potensial menyadari hal ini, sehingga mereka tidak memperhitungkan ancaman pembalasan nuklir dapat dipercaya. Namun, senjata-senjata low-yield kurang daya merusaknya, sehingga dapat dipikirkan untuk digunakan. Dengan demikian akan menjadikan mereka lebih efektif sebagai senjata penangkal” (Opponents Surprised By Elimination of Nuke Research Funds Defense News November 29, 2004).

Pemilihan penggunaan senjata nuklir terhadap Iran berupa senjata nuklir taktis (Buatan Amerika), yaitu bunker buster bom dengan hulu ledak nuklir (misalnya B61-11), dengan kapasitas peledak antara sepertiga sampai enam kali bom Hiroshima. The B61-11 adalah “versi nuklir” dari “konvensional” BLU 113 atau Unit Pemandu Bom GBU-28.. Bom ini dapat dibawa dengan cara yang sama seperti bunker buster bom konvensional (Michel Chossudovsky,http://www.globalresearch.ca/articles/CHO112C.html, see alsohttp://www.thebulletin.org/article_nn.php?art_ofn=jf03norris). Sementara Amerika Serikat tidak bermaksud menggunakan senjata termonuklir strategis terhadap Iran, sebagian besar penyebaran senjata nuklir Israel terdiri dari bom termonuklir dan dapat digunakan dalam perang dengan Iran. Dengan sistem rudal Jericho-III Israel yang jangkauannya berkisar antara 4.800 km sampai 6.500 km, maka semua wilayah Iran akan berada dalam jangkauannya.

JATUHAN RADIOAKTIF
Persoalan jatuhan radioaktif dan kontaminasi, meski begitu saja dikesampingkan oleh analis militer Amerika Serikat-NATO, dampaknya akan menghancurkan, berpotensi merusak wilayah yang luas di Timur Tengah (termasuk Israel) dan wilayah Asia Tengah. Dengan logika yang diplintir, senjata nuklir disajikan sebagai sarana untuk membangun perdamaian dan mencegah “kerusakan kolateral”. Tidak ada senjata nuklir Iran apalagi merupakan ancaman bagi keamanan global, sebaliknya Amerika Serikat dan Israel adalah instrumen perdamaian yang “tidak membahayakan bagi penduduk sipil di sekitarnya”.

“IBU DARI SEMUA BOM” “THE MOTHER OF ALL BOMBS” (MOAB) DIJADWALKAN DIGUNAKAN TERHADAP IRAN
Signifikansi militer senjata konvensional dalam angkatan bersenjata Amerika adalah 21.500-pon “senjata rakasa” dijuluki “ibu dari semua bom” The GBU-43/B or Massive Ordnance Air Blast bomb (MOAB) dikategorikan “sebagai senjata non-nuklir paling kuat yang pernah dirancang” diketahui sebagai arsenal konvensional terbesar di Amerika Serikat. MOAB diuji pada awal Maret 2003 sebelum dikirim ke medan  perang Irak. Menurut sumber-sumber militer Amerika Serikat, Kepala Staf Gabungan telah memberitahu pemerintah Saddam (Irak) sebelum diluncurkan tahun 2003 bahwa “ibu dari semua bom” akan digunakan terhadap Irak. (Ada laporan yang belum dikonfirmasi bahwa MOAB telah digunakan di Irak). Departemen Pertahanan Amerika Serikat telah mengkonfirmasi pada bulan Oktober 2009 bahwa bermaksud untuk menggunakan “Ibu dari semua Bom” (MOAB) terhadap Iran. Dikatakannya MOAB “ideal untuk mengubur fasilitas nuklir seperti Natanz atau Qom di Iran” (Jonathan Karl, Is the U.S. Preparing to Bomb Iran? ABC News, October 9, 2009). Kebenaran dari masalah ini adalah bahwa MOAB, karena mengingat daya ledaknya tersebut, akan mengakibatkan korban sipil yang sangat besar. Ini adalah “mesin pembunuh” konvensional dengan jenis awan jamur nuklir.

Pengadaan empat MOAB ditugaskan pada bulan Oktober 2009 dengan biaya yang cukup besar sejumlah US$,58,4 juta ($ 14,6 juta untuk masing-masing bom). Jumlah ini termasuk untuk membiaya pengembangan dan pengujian serta integrasi bom MOAB ke pembom siluman B-2 (ibid). Pengadaan ini berkaitan langsung dengan persiapan perang dalam hubungannya dengan Iran. Pemberitahuan dimuat dalam sebuah “reprogramming memo” setebal 93 halaman termasuk instruksi berikut ini: “Departemen memiliki sebuah Urgent Operational Need (UON) yang berkemampuan menyerang sasaran keras di daerah yang tinggi tingkat ancamannya dan sekaligus menguburkannya. MOP [Ibu Segala Bom] adalah senjata pilihan yang memenuhi persyaratan UON [Urgent Operational Need].” Dinyatakan lebih lanjut bahwa permintaan tersebut didukung oleh Komando Pasifik (yang memiliki tanggung jawab atas Korea Utara) dan Komando Sentral (yang memiliki tanggung jawab atas Iran) (ABC News, op cit, emphasis added).

Pentagon merencanakan sebuah proses kehancuran infrastruktur Iran dan korban massal sipil melalui penggunaan gabungan nuklir taktis dan bom konvensional rakasa awan jamur, termasuk MOAB dan yang lebih besar lagi yaitu GBU-57a/B atau Massive Ordnance Penetrator (MOP), yang melampaui MOAB dalam hal kapasitas daya ledaknya. MOP digambarkan sebagai “sebuah bom baru yang kuat dan tepat sasaran untuk menghantam fasilitas nuklir bawah tanah Iran dan Korea Utara. Bom raksasa yang ukuran panjangnya lebih dari 11 orang duduk berdempetan bahu-ke-bahu [lihat gambar di bawah] atau lebih dari 20 kaki dari lantai ke hidung” (Edwin Black, “Super Bunker-Buster Bombs Fast-Tracked for Possible Use Against Iran and North Korea Nuclear Programs”). Ini adalah WMD dalam artian yang sebenarnya dari kata tersebut. Tujuannya tidak begitu tersembunyi dari MOAB dan MOP, termasuk penggunaan nama julukan Amerika untuk menggambarkan secara sederhana bahwa MOAB (“ibu dari semua bom’), adalah “pemusnah massal” dan korban sipil secara massal dengan maksud untuk menanamkan rasa takut dan putus asa.

TEKNOLOGI PERSENJATAAN TERCANGGIH: “PERANG MENJADI MUNGKIN DENGAN TEKNOLOGI BARU
Proses pengambilan keputusan militer Amerika Serikat dalam hubungannya dengan Iran ini didukung oleh Star Wars, militerisasi ruang angkasa dan revolusi dalam komunikasi serta sistem informasi. Mengingat kemajuan teknologi militer dan pengembangan sistem senjata baru, serangan terhadap Iran bisa secara signifikan berbeda dalam hal campuran sistem senjata, bila dibandingkan dengan Blitzkrieg yang dilancarkan pada bulan Maret 2003 terhadap Irak. Operasi militer terhadap Iran dijadwalkan untuk menggunakan sistem senjata yang paling canggih untuk mendukung serangan udara tersebut. Dan dalam semua kemungkinan, sistem senjata baru akan diuji. Dokumen The 2000 Project of the New American Century – Proyek Tahun 2000 Abad Baru Amerika yang berjudul Rebuilding American Defenses – Membangun Kembali Pertahanan Amerika, menguraikan mandat militer Amerika Serikat dalam hal medan perang berskala besar, yang akan dilancarkan secara bersamaan di berbagai wilayah Dunia: “Memenangkan Beberapa pertempuran dengan meyakinkan secara simultan dalam beberapa medan perang.”

Formulasi ini serupa dengan penaklukan perang global oleh kekaisaran adidaya tunggal. Dokumen PNAC juga menyerukan transformasi pasukan Amerika Serikat untuk mengeksploitasi “revolusi dalam urusan militer”, yaitu penerapan “perang yang dimungkinkan melalui teknologi baru” (Project for a New American Century, Rebuilding Americas Defenses Washington DC, September 2000, pdf). Yang terakhir ini terdiri dari pengembangan dan penyempurnaan kecanggihan mesin pembunuh global berdasarkan gudang persenjataan baru yang canggih, yang pada akhirnya akan menggantikan paradigma yang ada. “Dengan demikian, dapat diramalkan bahwa proses transformasi justru akan menjadi proses dua-tahap: PERTAMA transisi, yaitu transformasi yang lebih menyeluruh. Titik nyaman akan datang ketika jumlah yang lebih besar sistem senjata baru mulai memasuki masa tugasnya, mungkin ketika, misalnya, pesawat udara tak berawak mulai banyak menjadi biasa seperti pesawat berawak. Dalam hal ini, Pentagon harus sangat berhati-hati melakukan investasi besar dalam program-program baru misalnya -. tank, pesawat, kapal induk, – dimana pasukan Amerika Serikat akan berkomitmen melakukan paradigma baru untuk berperang selama beberapa dekade yang akan datang (ibid, penekanan ditambahkan). Perang dengan Iran memang bisa menandai breakpoint penting ini, dengan sistem senjata baru yang berpangkalan-di angkasa dipergunakan dengan maksud untuk melumpuhkan musuh yang memiliki kemampuan konvensional militer yang signifikan yang jumlahnya lebih dari setengah juta pasukan darat.

SENJATA ELEKTROMAGNETIK
Senjata elektromagnetik dapat digunakan untuk mengacaukan sistem komunikasi Iran, menonaktifkan pembangkit tenaga listrik, merusak dan mengacaukan komando serta kontrol, infrastruktur pemerintah, transportasi, energi, dan lain-lain. Dalam keluarga senjata yang sama, teknik modifikasi lingkungan (ENMOD) (peperangan cuaca) yang dikembangkan berdasarkan program HAARP juga bisa diterapkan (Chossudovsky Michel, “Owning the Weather” for Military Use,, Global Research, September 27, 2004). Sistem senjata ini sepenuhnya operasional. Dalam konteks ini, dokumen Angkatan Udara Amerika Serikat AF 2025 secara eksplisit membenarkan aplikasi militer dengan teknologi modifikasi cuaca. “Modifikasi Cuaca akan menjadi bagian dari keamanan domestik dan internasional dan bisa dilakukan secara sepihak…Senjata ini bisa aplikasikan baik secara ofensif maupun defensif dan bahkan dapat digunakan untuk tujuan pencegahan. Senjata ini berkemampuan untuk menghasilkan curah hujan, kabut, dan badai di bumi atau mengubah ruang cuaca, meningkatkan komunikasi melalui modifikasi ionosfir (penggunaan cermin ionosfir), serta produksi cuaca buatan, yang kesemuanya itu merupakan bagian dari serangkaian teknologi terpadu yang dapat memberikan peningkatan penting dalam kemampuan Amerika Serikat atau dalam menundukkan musuh, juga untuk mencapai kesadaran global, jangkauan, dan kekuasaan” (Air Force 2025 Final Report, See also US Air Force: Weather as a Force Multiplier: Owning the Weather in 2025, AF2025 v3c15-1 | Weather as a Force Multiplier: Owning…| (Ch 1) at http://www.fas.org).

Radiasi elektromagnetik memungkinkan melakukan “gangguan kesehatan dari jarak jauh” mungkin juga dipikirkan untuk digunakan dalam medan perang (Mojmir Babacek, Electromagnetic and Informational Weapons:, Global Research, August 6, 2004). Pada gilirannya, penggunaan baru senjata biologis oleh militer Amerika Serikat juga mungkin akan dipertimbangkan seperti yang disarankan oleh PNAC: “Lebih lanjut bentuk peperangan biologis dapat “mentargetkan” genotipe tertentu yang mungkin mengubah perang biologis dari dunia teror menjadi alat politik yang berguna” (PNAC cit, op, hal. 60).

KEMAMPUNAN MILITER IRAN: MISIL JARAK MENENGAH DAN JAUH
Kemampuan militer Iran telah maju, termasuk misil jarak menengah dan jauh yang mampu mencapai sasaran di Israel dan negara-negara Teluk. Karena itu perhatian  aliansi Amerika Serikat-NATO Israel pada penggunaan senjata nuklir, yang dijadwalkan akan digunakan baik secara pre-emptive maupun sebagai respons pembalasan terhadap serangan rudal Iran (Range of Iran’s Shahab Missiles. Copyright Washington Post). Pada bulan November 2006, Iran menguji-coba rudal permukaan 2 yang diputuskan bertahap dengan operasi perencanaan yang tepat dan hati-hati. Menurut seorang ahli rudal senior Amerika (dikutip oleh Debka), “Iran memperlihatkan up-to-date teknologi peluncur-rudal dimana Barat tidak mengetahui bahwa Iran memilikinya” (Michel Chossudovsky, Iran’s “Power of Deterrence” Global Research, November 5, 2006) Israel acknowledged that “the Shehab-3, whose 2,000-km range brings Israel, the Middle East and Europe within reach” (Debka, November 5, 2006).

Menurut Uzi Rubin, mantan kepala program misil anti-balistik Israel, bahwa “intensitas latihan militer belum pernah terjadi sebelumnya…Hal itu dimaksudkan untuk membuat kesan – dan berhasil membuat kesan” (www.cnsnews.com 3 November 2006). Latihan tahun 2006, sekaligus menciptakan sebuah gelora politik di Amerika Serikat dan Israel, dengan cara apa pun tidak mengubah keputusan Amerika Serikat-NATO-Israel untuk melancarkan perang terhadap Iran. Teheran telah menegaskan dalam beberapa pernyataannya bahwa Iran akan merespon jika diserang. Israel akan menjadi tujuan langsung dari serangan rudal Iran seperti ditegaskan oleh pemerintah Iran. Oleh karena itu persoalan sistem pertahanan udara Israel penting. Amerika Serikat dan fasilitas militer sekutu di negara-negara Teluk seperti Turki, Arab Saudi, Afghanistan dan Irak juga bisa menjadi sasaran target Iran.

ANGKATAN DARAT IRAN
Sementara wilayah Iran dikelilingi oleh pangkalan militer Amerika Serikat dan sekutu, Republik Islam Iran memiliki kemampuan militer yang signifikan. Apa yang penting untuk diakui adalah jumlah kekuatan angkatan bersenjata Iran yang dilihat semata-mata dari segi jumlah personil (angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara) jika dibandingkan dengan pasukan Amerika Serikat dan NATO yang bertugas di Afghanistan dan Irak. Menghadapi sebuah pemberontakan yang terorganisir, pasukan koalisi sudah kewalahan di Afghanistan dan Irak. Apakah kekuatan ini mampu mengatasi jika pasukan darat Iran memasuki medan perang yang ada di Irak dan Afghanistan? Potensi gerakan perlawanan terhadap Amerika Serikat dan sekutu pendudukan pasti akan terpengaruh.

Pasukan darat Iran adalah 700.000 orang, sejumlah 130.000 orang adalah tentara profesional, 220.000 wajib militer dan 350.000 tentara cadangan (Islamic Republic of Iran Army – Wikipedia). Ada 18.000 personil Angkatan Laut dan 52.000  angkatan udara Iran. Menurut International Institute for Strategic Studies, Iran “memiliki Pengawal Revolusi yang diperkirakan berjumlah 125.000 personil dalam lima angkatan: Mereka punya Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Pasukan Darat sendiri serta Pasukan Quds (Pasukan Khusus)” Menurut CISS, Basij yaitu  sukarelawan paramiliter Iran diperkirakan berkekuatan 90.000 orang berseragam aktif bertugas dan dikontrol oleh Pengawal Revolusi, 300.000 cadangan, dan total 11 juta orang yang dapat dimobilisasi jika diperlukan” (Armed Forces of the Islamic Republic of Iran – Wikipedia). Dengan kata lain, Iran bisa memobilisasi sampai setengah juta pasukan reguler dan beberapa juta milisi. Pasukan khusus Quds sudah beroperasi di Irak.

US MILITARY AND ALLIED FACILITIES SURROUNDING IRAN
Dalam beberapa tahun ini Iran telah melakukan latihan-latihan perang sendiri. Sementara Angkatan Udaranya memiliki kelemahan, namun rudal jarak menengah dan jauh sepenuhnya operasional. Militer Iran dalam keadaan siap-siaga. Pemusatan  pasukan Iran saat ini berada dalam jarak beberapa kilometer dari perbatasan Irak dan Afghanistan, dan dekat perbatasan Kuwait. Angkatan Laut Iran dikerahkan ke Teluk Persia dengan jarak yang dekat kepada fasilitas militer Amerika Serikat dan sekutu di Uni Emirat Arab. Perlu dicatat bahwa dalam menanggapi peningkatan jumlah besar militer Iran, Amerika Serikat telah mengirim senjata kepada sekutu non-anggota NATO di Teluk Persia termasuk Kuwait dan Arab Saudi. Sementara senjata canggih Iran tidak sebanding dengan Amerika Serikat dan NATO, pasukan Iran berada dalam posisi untuk menimbulkan kerugian besar terhadap pasukan koalisi dalam sebuah medan perang konvensional, di wilayah Irak atau Afghanistan. Pasukan darat Iran dan tank pada bulan Desember 2009 melintasi perbatasan masuk ke wilayah Irak tanpa dihadapi atau ditantang oleh pasukan sekutu dan menduduki wilayah sengketa di ladang minyak Maysan Timur.

Bahkan di saat terjadi Blitzkrieg yang efektif, dengan menargetkan fasilitas militer Iran, sistem komunikasinya dll melalui pemboman udara besar-besaran, dengan menggunakan rudal jelajah, bom bunker buster konvensional dan senjata nuklir taktis, perang dengan Iran, sekali dimulai, akhirnya bisa mengarah menjadi perang darat. Ini merupakan sesuatu hal dimana perencana militer Amerika Serikat tidak ragu-ragu bahwa hal tersebut seperti yang dimaksudkan dalam skenario simulasi perang mereka. Jenis operasi ini akan mengakibatkan korban militer dan sipil yang signifikan, terutama jika menggunakan senjata nuklir. Anggaran yang membengkak untuk membiayai perang di Afghanistan saat ini diperdebatkan di Kongres Amerika Serikat juga dimaksudkan untuk digunakan dalam kemungkinan serangan terhadap Iran. Dalam skenario eskalasi, pasukan Iran dapat menyeberang ke perbatasan Irak dan Afghanistan. Pada gilirannya, eskalasi militer dengan menggunakan senjata nuklir bisa membawa kita ke dalam sebuah skenario Perang Dunia III, meluas di luar kawasan Timur Tengah Asia Tengah.

Dalam arti yang sangat nyata, proyek militer ini, yang telah di gambarkan Pentagon selama lebih dari lima tahun, mengancam masa depan kemanusiaan. Sementara kami memfokuskan tulisan ini terhadap persiapan perang. Faktanya bahwa persiapan perang telah sempurna dan dalam keadaan siap, namun tidak berarti bahwa mereka akan melakukannya sesuai dengan rencana. Aliansi Amerika Serikat-NATO-Israel menyadari bahwa musuh memiliki kemampuan yang signifikan untuk merespon dan membalas. Faktor ini sendiri penting selama lima tahun terakhir dalam mengambil keputusan, baik oleh Amerika Serikat maupun sekutunya untuk menunda serangan terhadap Iran. Faktor penting lainnya adalah kerangka aliansi militer. Sementara NATO telah menjadi kekuatan yang tangguh, Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO), yang merupakan aliansi antara Rusia dan Cina dan sejumlah negara mantan republik Sovyet melemah secara signifikan.

Ancaman militer Amerika Serikat secara terus-menerus yang langsung ditujukan kepada Cina dan Rusia, dimaksudkan untuk melemahkan SCO dan mencegah segala bentuk aksi militer sebagai pihak sekutu yang akan membela Iran, dalam hal  terjadinya serangan NATO-Amerika Serikat-Israel. Kekuatan seimbang apa yang mungkin dapat mencegah perang ini terjadi? Ada banyak kekuatan-kekuatan di dalam aparatur Negara Amerika Serikat yang sedang bekerja langsung, baik Kongres maupun Pentagon dan NATO.

Kekuatan sentral dalam mencegah terjadinya perang pada akhirnya secara mendasar datang dari dalam masyarakat yang dengan penuh kekuatan melakukan tindakan menentang antiperang oleh ratusan juta orang di seluruh negeri, baik nasional maupun internasional. Rakyat harus memobilisir tidak hanya terhadap agenda militer jahat, namun juga harus menentang terhadap otoritas Negara dan para pejabatnya.


This war can be prevented if people forcefully confront their governments, pressure their elected representatives, organize at the local level in towns, villages and municipalities, spread the word, inform their fellow citizens as to the implications of a nuclear war, initiate debate and discussion within the armed forces (Perang ini dapat dicegah jika rakyat bersikap tegas dalam menghadapi pemerintah mereka, memberikan tekanan kepada wakil yang dipilih oleh mereka, mengorganisir di tingkat lokal di perkotaan dan pedesaan, menyebarkan berita, menginformasikan sesama warga mengenai implikasi perang nuklir, memulai debat dan diskusi dalam upaya mencegah perang di dalam angkatan bersenjata). Tidak cukup hanya dengan menyelenggaraan demonstrasi massa dan protes antiperang. Apa yang diperlukan adalah pengembangan jaringan akar rumput antiperang yang luas dan terorganisir dengan baik yang menantang struktur otoritas dan kekuasaan. Apa yang diperlukan adalah gerakan massa rakyat yang kuat menentang legitimasi perang, gerakan masyarakat global yang menyadari bahwa perang merupakan sebuah kejahatan.

Islam Memandang Politik


Radar Banten, 11 Agustus 2014

“Dalam suratnya kepada Malik Ashtar itu, Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berpesan, Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya hanya satu diantara dua: saudaramu dalam Agama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri”.

Suatu hari, sebagaimana Abdul Warits meriwayatkannya dari Abu Amru bin al-Ala’ dari ayahnya, ia berkata, “Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata dalam khutbahnya, ‘Wahai sekalian manusia, demi Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Aku tidaklah mengambil harta kalian sedikit maupun banyak kecuali ini.’ Kemudian beliau mengeluarkan botol kecil berisi parfum dari saku bajunya lalu beliau berkata, ‘Ad Dihqaan menghadiahkan ini untukku.’ Dan diriwayatkan dari Abdullah bin Zurair al Ghafiqi, ia berkata, “Kami datang menemui Ali pada hari ‘Iedul Adha. Lalu beliau menghidangkan khazirah (daging yang diiris kecil-kecil) kepada kami. Kami berkata, ‘Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, alangkah baik bila engkau hidangkan kepada kami bebek dan angsa ini. Karena Allah telah menurunkan kebaikan yang sangat banyak.’ Ali berkata, ‘Wahai Ibnu Zurair, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal bagi khalifah mengambil bagian dari harta Allah (maksudnya harta baitul mal) kecuali dua piring saja. Satu piring untuk ia makan bersama keluarganya dan satu piring lagi untuk ia berikan kepada orang lain.” (Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyq 12/373-374 dan Imam Ahmad dalam al Musnad, 1/78).

Memang, sebagaimana Rasulullah, Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah dikenal sebagai pemimpin yang zuhud dan bersahaja. Ad Dajili (1379:135), contohnya, sebagaimana dikutip Afifah Ahmad dalam tulisannya yang berjudul Konsep Ekonomi Nahjul Balaghah, meriwayatkan bahwa “Suatu hari di masa kepemimpinan Imam Ali as, saudaranya yang bernama Aqil datang mengunjunginya. Saat itu udara begitu panas, keduanya berbincang di teras rumah, menghadap ke arah keramaian pasar. Tibalah saat makan malam, hanya ada roti kering dan garam. Jauh dari dugaan Aqil yang mengira akan makan besar dijamu oleh khalifah muslim negeri itu.  Tibalah saat Aqil harus mengutarakan maksud kedatangannya, ia berharap saudaranya dapat melunasi hutangnya yang cukup besar melalui kas negara. Imam Ali as sangat ingin membantunya, “Tapi tidak dengan uang kas negara” katanya tegas. Andai saja aku memiliki simpanan cukup, tentulah semuanya akan kuberikan. Aqil kecewa dan terus mendesak. 

Setelah dialog panjang, akhirnya Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata padanya: “Karena Engkau terus mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku. Aku menyarankan sesuatu yang dapat melunasi hutangmu. Lihatlah kotak uang di pasar itu, saat pasar sepi, ambilah!” Mendengar itu Aqil pun sangat terkejut, lalu ia balik bertanya “Mengapa Engkau menyarankan kepadaku untuk mencuri uang pedagang yang seharian bekerja keras?” Imam Ali Karramallahu Wajhah pun menjawab: “Lalu, bagaimana bisa Engkau mendesakku untuk mencuri uang seluruh rakyat negeri ini?” Apa yang dinarasikan dan diriwayatkan oleh Ad Dajili tersebut tak ragu lagi telah menyuguhkan kepada kita teladan agung di mana akhlaq dan politik merupakan satu kesatuan yang integral. Islam sendiri memang tidak pernah mengajarkan pemisahan antara akhlaq dan politik, sebagaimana kesalehan pribadi seorang muslim juga mesti termanifestasikan dalam kesalehan sosial atau seimbangnya antara yang mahdhah dan yang ghayru mahdhah.

Pesan Ali Bin Abi Thalib lainnya yang tak kalah berharganya adalah saran dan nasehatnya kepada Malik al Asytar, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Mesir di bawah kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah sendiri: “Sesungguhnya keadaan orang-orang baik dapat diketahui dari penilaian yang diucapkan oleh kebanyakan rakyat awam. Maka hendaknya kaujadikan amal-amal saleh sebagai perbendaharaanmu yang paling kausukai. Untuk itu, kuasailah hawa nafsumu dan pertahankanlah dirimu dari segala yang tidak dihalalkan bagimu. Sikap seperti itu adalah yang paling adil bagi dirimu, baik dalam hal yang disukai ataupun yang tidak disukai. Insafkanlah hatimu agar selalu memperlakukan semua rakyatmu dengan kasih sayang, cinta dan kelembutan hati. Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya hanya satu diantara dua: saudaramu dalam Agama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri”.

Islam Agama Integral

Islam tidak mengenal pemisahan antara yang sakral dan yang profan, antara akhlaq dan politik, sebab kesemuanya bersifat integral sebagaimana spirit dan ajaran monotheisme Islam itu sendiri. Saya kira, meski bertaut waktu yang jauh dengan Rasulullah dan Imam Ali Karramallahu Wajhah seperti yang telah dicontohkan, Imam Khomeini juga menegaskan pentingnya integrasi antara politik dan akhlaq ini. Dengan meminjam langsung bahasa Ahmad Fadhil dalam tulisannya berjudul Imam Khomeini, dari Revolusi Hingga Nuklir, Ayatullah Khomeini memandang bahwa dalam Islam, politik tidak sekadar mengatur dan memerintah negara dan masyarakat serta memberikan servis dan fasilitas bagi mereka, melainkan juga melatih dan mengembangkan kemampuan jiwa dan sumber daya manusia atau warga negara. Dalam pengertian ini, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ali Karramallahu Wajhah, “Politik adalah pekerjaan yang paling mulia.” Kemuliaan politik ini tak lain bersumber dari subjek utama politik itu sendiri yang menurut spirit dan doktrin Islam adalah mendidik jiwa masyarakat untuk menjalankan ajaran-ajaran kebaikan. Di sini, hak pemerintahan sesungguhnya adalah milik Allah. Namun, untuk mengatur manusia, maka diperlukan manusia juga. Singkatnya, jantung politik adalah melatih jiwa manusia.

Refleksi Kita Bersama

Berdasarkan spirit, nilai-nilai, dan doktrin Islam seperti yang telah diilustrasikan itu, agaknya barangkali kita perlu menengok kehidupan politik kita dan bagaimana kita memandang politik itu sendiri, yang belakangan telah sama-sama kita tahu dan kita rasakan: memprihatinkan. Di mana kita juga sama-sama merasa prihatin ketika politik yang hanya dipahami dan dimaknakan hanya sekedar hiruk-pikuk memperebutkan kekuasaan, namun setelahnya acapkali gagal menggunakan kekuasaan itu sendiri untuk menciptakan kemajuan dan kebaikan bersama. Selama ini kita memahami dan mempraktekkan politik hanya sebagai arena transaksional dan modus-modus manipulasi, seperti politik uang, demi meraih suara terbanyak, tanpa dibarengi oleh keinginan yang baik dan tulus untuk menciptakan progress setelah kekuasaan diraih.

Dalam hal ini, sebagaimana dikeluhkan Ignas Kleden dalam tulisannya yang berjudul Indonesia Setelah Reformasi, ternyata politik Indonesia sebelum dan sesudah reformasi tidak mengalami perubahan apa pun. Bersamaan dengan itu, lanjut Ignas Kleden, orientasi utama dalam realpolitik Indonesia melulu yang terpusat dan senantiasa disibukkan pada usaha memperebutkan kekuasaan atau power building dan bukannya pada efektivitas penggunaan kekuasaan atau the use of power itu sendiri. Sementara itu di sisi lain, demikian Ignas Kleden melanjutkan, dalam analogi dengan perkembangan ekonomi, maka politik Indonesia sebagian besarnya lebih sering berkutat pada politik mikro dan mengabaikan pergeseran-pergeseran dan hubungan-hubungan dalam politik makro. Singkatnya, real-politik Indonesia senantiasa disibukkan pada hiruk-pikuk politik yang tidak produktif, lebih banyak menghamburkan uang demi perebutan kekuasaan, sembari tidak memiliki visi yang jelas untuk menjelmakan dirinya sebagai bangsa yang memiliki paradigma ekonomi dan politik ke masa depan.

Tepat dalam hal itulah, sangat relevan sekali apa yang pernah dikatakan Bung Karno: “Barang siapa punya imajinasi terhadap masa depan, maka dialah yang akan dimenangkan oleh sejarah”. (Sulaiman Djaya)