Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2014)
Dalam
catatan sejarah, Kesultanan Safawi dikenal sebagai kesultanan yang telah
mengukir prestasi di bidang filsafat, kajian keagamaan, ilmu pengetahuan, seni
dan arsitektur. Bahkan, menurut sejumlah sejarawan, kegemilangan Safawi dalam
prestasi-prestasi tersebut telah mengungguli Turki Usmani. Lihatlah
bangunan-bangunan indah di Isfahan dan wilayah-wilayah lain di Iran yang
merupakan peninggalan-peninggalannya”
MASA AWAL
Kesultanan Safawi bermula dari gerakan tarekat yang
berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan, sebuah kawasan yang terbilang
indah dan menawan. Tarekat ini diberi nama Safawiyah karena pendirinya bernama
Syekh Safuyudin Ishaq (1252-1334), seorang guru agama yang lahir dari sebuah
keluarga Kurdi di Iran Utara. Beliau merupakan anak murid Syekh Zahed Gilani
(1216–1301) dari Lahijan.
Pada
mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang
inkar dan golongan Ahlul Bid’ah. Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf
yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai
pengaruh besar di Persia, Syiria (Suriah) dan Anatolia (Turki).
Di
negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi al Din menempatkan
seorang wakil yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di
daerahnya masing-masing. Bermula dari sinilah, gerakan Safawi mewakili sebuah
kebangkitan Islam Populer yang menentang dominasi militer Mongol yang
meresahkan dan bersifat eksploitatif. Tidak seperti gerakan lainnya, gerakan
Safawiyah memprakarsai penaklukan Iran dan mendirikan sebuah Kesultanan baru
yang berkuasa dari 1501 sampai 1722. Sang pendiri mengawali gerakannya dengan
seruan untuk memurnikan dan memulihkan kembali ajaran Islam.
Berdirinya
Kesultanan Safawi ini bersamaan dengan masa ketika kerajaan Turki Usmani sudah
mencapai puncak kejayaan, persis di saat Kesultanan Safawi yang didirikan di
Persia tersebut baru berdiri. Hanya saja, tanpa diduga, kesultanan ini dapat
berkembang dengan cepat.
Nama
Safawi ini pun terus dipertahankan sampai Tarekat Safawiyah menjadi gerakan
politik dan menjadi sebuah kesultanan yang disebut Kesultanan Safawi. Dan dalam
perkembangannya, Kesultanan Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki
Usmani. Kesultanan Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam
lainnya, seperti kerajaan Turki Usmani di Turki dan Mughal di India. Kesultanan
ini menyatakan sebagai Penganut Syi’ah Islam dan dijadikan sebagai mazhab
Negara, dan sejarah pun seolah kembali terulang, di mana ketika Revolusi Islam
Iran yang dipimpin Imam Khomeini sukses menyudahi rezim Syah Pahlevi yang
disokong Amerika dan Israel itu, Iran kembali memantapkan Syi’ah Islam sebagai
mazhab resmi Negara.
JALAN SEJARAH KESULTANAN SAFAWI
Bangsa Safawi (Tarekat Safawiyah) memiliki komitmen
yang sangat kuat dalam menjalankan Syi’ah Islam, dan seiring perkembangannya,
banyak murid-murid Tarekat Safawiyah yang menjadi tentara dan prajurit.
Semenjak itulah, mereka memasuki dunia perpolitikan pada masa kepemimpinan Syah
al Junaid. Selanjutnya Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menumbuhkan
kegiatan politik di dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
Pada
tahun 1459 M, Junaid mencoba merebut Ardabil tapi gagal, dan pada tahun 1460 M
ia mencoba merebut Sircasia, sayangnya pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh
tentara Sirwan dan ia terbunuh dalam pertempuran tersebut. Penggantinya
diserahkan kepada anaknya, Haidar, pada tahun 1470 M. Haidar menikah dengan
seorang cucu Uzun Haisan dan lahirlah Ismail yang kemudian hari secara tegas
menetapkan bahwa Syi’ah lah yang resmi dijadikan mazhab Negara ini.
Selanjutnya,
gerakan Militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival
politik oleh AK Koyunlu setelah ia menang dari Kara Koyunlu (1476 M). Karena
itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircasia dan pasukan Sirwan, AK Koyunlu
mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan ia
terbunuh. Ali, putera dan pengganti Haidar, didesak bala tentaranya untuk
menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Akan tetapi
Ya’kub pemimpin AK Koyunlu menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya,
Ibrahim, Ismail dan ibunya di Fars (1489-1493 M).
Periode
selanjutnya, kepemimpinan Gerakan Safawi diserahkan pada Ismail. Selama 5
tahun, Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan (Jilan, Iran) untuk
menyiapkan pasukan dan kekuatan. Pasukan yang dipersiapkan itu diberi nama
Qizilbash (Baret Merah). Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash alias pasukan
“Baret Merah” dibawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu
(Domba Putih) di Sharur dekat Nakh Chivan.
Qizilbash
terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota AK Koyunlu dan
akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di kota Tabriz inilah Ismail
memproklamasikan dirinya sebagai Sultan pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga
Ismail I, dan berkuasa kurang lebih 23 tahun antara 1501-1524 M. Pada sepuluh
tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, buktinya ia dapat
menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai provinsi
Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M),
Baghdad dan daerah Barat Daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan.
Hanya
dalam waktu sepuluh tahun itulah wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh
Persia dan bagian Timur Bulan Sabit Subur.
Sebagaimana
para pendahulunya, Ismail memberlakukan Syi’ah Islam sebagai mazhab resmi
negara. Ismail, yang dikenal sebagai Ismail I, ini adalah orang yang sangat
berani dan berbakat. Ambisi politiknya mendorong untuk menguasai negara lain
sampai Turki Usmani. Namun dalam peperangan ia dikalahkan pasukan militer Turki
yang lebih unggul dalam kemiliteran. Karena keunggulan militer Kerajaan Usmani,
dalam peperangan ini Isma’il mengalami kekalahan, malah Turki Usmani dibawah
pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan
oleh pulangnya Sultan Salim ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan
militer Turki di negerinya.
Kekalahan
akibat perang dengan Turki Usmani ini membuat Ismail sedikit kehilangan
harapan. Rasa pemusuhan dengan Kerajaan Usmani pun terus berlangsung
sepeninggal Ismail I, hingga peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini
terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II
(1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga raja
tersebut Kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini dikarenakan sering
terjadinya peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat.
MASA KEJAYAAN KESULTANAN SAFAWI
Keadaan Kesultanan Safawi yang memprihatinkan tersebut
baru bisa diatasi setelah Sultan Safawi Kelima, Abbas I, yang naik tahta pada
tahun 1588 dan berkuasa hingga 1628. Popularitas Abbas I ditopang oleh sikap
keagamaannya. Ia terkenal sebagai seorang Syi’ah Islam yang shalih. Sebagai
bukti atas kesalehannya adalah bahwa dia sering berziarah ke tempat suci Qum
dan Masyhad. Disamping itu ia pun melakukan perubahan struktur birokrasi dalam
lembaga politik keagamaaan. Lembaga sadarat secara berangsur-angsur digantikan
oleh lembaga Ulama yang dipimpin oleh seorang Syeikhul Islam.
Abbas
I telah berhasil menciptakan kemajuan pesat dalam bidang keagamaan, yang
membuat Syi’ah Islam menjadi harum dan semakin kokoh di Iran dan sekitarnya. Di
antara langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan
Kesultanan Safawi tersebut, misalnya, berusaha menghilangkan dominasi pasukan
Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang berasal dari budak-budak dan
tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia.
Selain
itu, ia juga mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara
menyerahkan wilayah Azerbaijan dan Georgia, yang pada saat bersamaan ia adalah
orang yang tidak mencela Abu Bakr, Umar, dan Usman, yang meski dalam sejarah
telah merebut hak Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah dan Imam ummat Islam yang
ditunjuk langsung oleh Nabi Muhammad Saw berdasarkan otoritas wahyu.
Kesuksesan
Abbas I juga pada keberhasilannya dalam program administrasi dan ekonomi,
seperti pembentukan ibukota baru yang besar, Isfahan. Isfahan merupakan kota
yang sangat penting bagi tujuan politik dan ekonomi bagi negara Iran yang
memusat dan bagi legitimasi Dinasti Safawiyah ini. Dinasti Safawiyah membangun
kota baru tersebut dengan mengitari Maydani-Syah, yakni sebuah alun-alun yang
besar yang luasnya sekitar 160×500 meter. Alun-alun tersebut berfungsi sebagai
pasar (bazaar) tempat perayaan dan sebagai lapangan permainan polo. Ia
dikelilingi oleh sederetan toko bertingkat dua, dan sejumlah gedung utama pada
setiap sisinya. Pada sisi bagian timur terdapat Masjid Syaikh Luthfallah, yang
mulai dibangun pada 1603 dan selesai pada 1618, merupakan sebuah oratorium yang
disediakan sebagai tempat peristirahatan pribadi Syah.
Sejumlah
bazar di Isfahan sangat penting kedudukannya bagi perekonomian negara, sebab ia
merupakan pusat produksi dan kegiatan pemasaran, dan mereka berada di dalam
pengawasan petugas perpajakan negara. Ibukota tersebut juga sama pentingnya
bagi vitalitas Islam Syi’ah Iran. Pada tahun 1666, menurut keterangan seorang
pengujung bangsa Eropa, Isfahan memiliki 162 masjid, 48 perguruan, dan 273
tempat pemandian umum, yang hampir seluruhnya dibangun oleh Abbas I dan
penggantinya Abbas II (1642-1666).
Di
bawah pemerintahan Abbas I Kesultanan Safawi mencapai kekuasan politiknya yang
tertinggi. Pemerintahannya merupakan sebuah pemerintahan keluarga yang sangat
dihormati dengan seorang penguasa yang didukung oleh sejumlah pembantu, tentara
administrator pribadi. Sang penguasa secara penuh mengendalikan birokrasi dan
pengumpulan pajak, memonopoli kegiatan industri dan penjualan bahan-bahan
pakaian dan produk lainnya yang penting, membangun sejumlah kota besar, dan
memugar sejumlah tempat keramat dan jalan-jalan sebagai ekspressi dari
kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyatnya.
PRESTASI INTELEKTUAL DAN PERADABAN SAFAWI
Selain itu, keberhasilan Abbas I adalah menyatukan
wilayah-wilayah Persia di bawah satu atap, yang merupakan kesuksesannya di
bidang politik yang juga cukup prestisius. Betapa tidak, karena sebelumnya
wilayah Persia terpecah dalam berbagai dinasti kecil yang bertaburan di
mana-mana, sehingga para sejarawan berpendapat bahwa keberhasilan Safawiyah itu
merupakan kebangkitan nasionalisme Persia. Tentu saja, kemajuan yang dicapai
Kesultanan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik, melainkan bidang
lainnya, semisal di bidang ekonomi. Kemajuan ekonomi ini dicapai terutama
setelah kepulauan Hurmua dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar
Abbas. Dengan dikuasainya Bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara
Timur dan Barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Prancis
sepenuhnya jadi milik Kesultanan. Sektor pertanian juga mengalami kemajuan
terutama di daerah Bulan Sabit Subur.
Letak
Geografis Persia sendiri yang setrategis dan sebagian wilayahnya yang subur,
hingga dikenal sebagai daerah bulan sabit subur, membuat mata dunia
internasional pada saat itu memusatkan perhatiannya ke Persia. Portugal,
Inggris, Belanda, dan Prancis berlomba-lomba menarik simpati Istana Safawiyah.
Bahkan Inggris telah mengirim duta khusus dan ahli pembuat senjata modern guna
membantu memperkuat militer Safawiyah.
Bidang
lainnya yang juga mengalami kemajuan di masa Abbas I ini adalah bidang Ilmu
Pengetahuan, termasuk tasawuf. Kemajuan di bidang tasawuf ditandai dengan
berkembangnya Filsafat Ketuhanan (al Hikmah al Ilahiyah) yang kemudian terkenal
dengan sebutan filsafat pencerahan atau al Isyraqiyah. Sepanjang sejarah Persia
yang dikenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan berjasa
mengembangkan ilmu pengetahuan, filsafat terus mengalami kemajuan, dan banyak
ulama dan ilmuan yang selalu hadir di majlis istana Safawiyah, yang antara lain
adalah Baha al Din al Syirazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al Din al
Syirazi, filosof, dan Muhammad al Baqir Ibn Muhammad Damad, yang dikenal
sebagai filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah mengadakan
observasi tentang kehidupan lebah. Selain itu ada juga Bahauddin al ‘Amali,
yang tak hanya seorang teolog dan sufi, tapi ia juga ahli matematika, arsitek,
dan ahli kimia yang terkenal. Ia menghidupkan kembali studi matematika dan
menulis naskah tentang matematika dan astronomi untuk menyimpulkan ahli-ahli
terdahulu. Ia ahli agama yang juga ahli matematika ternama. Dalam bidang ilmu
pengetahuan inilah, Kesultanan Safawi dapat dikatakan lebih maju dibanding
Mughal dan Turki Usmani.
Selain
bidang keagamaan dan ilmu pengetahuan, pencapaian lainnya adalah dalam bidang
Pembangunan Fisik dan Seni. Kemajuan bidang seni arsitektur, misalnya, ditandai
dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah Isfahan sebagai
ibukota kesultanan. Sejumlah Masjid, sekolah, rumah sakit, jembatan yang
memanjang di atas Zende Rud dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga
diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik. Beberapa perayaaan di bulan
Muharram pun menjadi prioritas, seperti pembacaan tragedi Imam Husain di
Karbala yang sangat memilukan hati itu. Terlepas dari sisi kurang baiknya,
sebagaimana perjalanan sejarah pada umumnya, Kesultanan Safawi telah menjadi
sebuah “alternatif versi” untuk apa yang dinamakan Islam yang menjadi inspirasi dan rahim pengetahuan dan peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar