Syi’ah wa Ushul al Fiqh


Oleh Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr

Ketahuilah bahwasannya orang pertama yang membuka pinta ilmu ini dan merumuskannya ialah “Sang Pembongkar Ilmu” (Baqir al ‘Ulum) –Imam Muhammad ibn Ali Al-Baqir as. Lalu putra beliau –yaitu Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Mereka telah mendiktekan kaidah-kaidah dan masalah-masalah ilmu tersebut kepada sekelompok murid mereka, yang pada gilirannya mereka (para murid) itulah yang mengumpulkan semua itu, kemudian ulama-ulama yang datang setelah mereka menyusunnya sesuai dengan kerangka pembahasannya, seperti kitab Usul Alir-Rasul , kitab Al-Fushulul Muhimmah fi Ushulil Aimmah dan kitab Al-Ushulul Ashilah. Semua kitab ini dilengkapi dengan riwayat-riwayat para perawi yang terpercaya dan sanad-sanadnya bersambung sampai kepada Ahlulbait as.

Dapat dikatakan bahwa orang pertama yang secara khusus menyusun sebagian pembahasan ilmu Usul Fiqih ke dalam sebuah kitab ialah Hisyam ibn Al-Hakam –guru besar kaum mutakallim (para ahli ‘ilmu kalam), murid utama Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Ia mengarang kitab Al-Alfadz, di mana ia menuliskan sejumlah masalah yang merupakan pembahasan pokok ilmu tersebut. Setelah Hisyam ialah Yunus ibn Abdurrahman –pembantu keluarga Yaqthin, murid utama Imam Musa Al-Kadzim as. Ia mengarang kitab Ikhtilaful Hadits, yang di dalamnya terdapat pembahasan penting seperti ‘Ta’arudh Dalilain’ dan ‘At-Ta’adul wa Tarjih bainahuma’ (sebuah topik ilmu Usul Fiqih yang membahas pertentangan antar-dalil hukum dan metode mengkompromikan dan memprioritaskan di antara dalil-dalil tersebut –pent.).

As-Suyuthi di dalam Al-Awail mengatakan: “Orang pertama yang mengarang di bidang ilmu Usul Fiqih ialah Asy-Syafi’ie, berdasarkan ijma para ulama”. Maksudnya, Imam Asy-Syafi’ie adalah orang pertama di antara empat imam mazhab Sunni. Mirip dengan kitabnya dari segi ukurannya yang kecil dan susunan pembahasannya, adalah kitab Usulul Fiqih karya Syeikh Mufid Muhammad ibn Muhammad ibn An-Nu’man yang terkenal dengan gelar ‘Ibnul Mu’alim’ dan ‘Syeikhusy Syi’ah’. Kedua kitab mereka telah dicetak.

Namun, kitab Ushul Fiqih yang dikarang oleh generasi pertama ialah kitab Adz-Dzari’ah fi Ilmi Ushulusy Syari’ah, karya Syarif Al-Murtadha. Kendati ukurannya paling sederhana, kitab ini mengandung pembahasan ilmu tersebut secara lengkap di dalam dua juz. Selain itu, Al-Murtadha juga mengarang banyak kitab di bidang ini, dan kitab Adz-Dzari’ah merupakan kitabnya yang paling sederhana sekaligus paling baik. Namun, bisa dikatakan bahwa terdapat sebuah kitab yang lebih baik darinya, yaitu Al-‘Iddah karya Syeikh Abu Ja’far Muhammad ibn Al-Hasan ibn Ali Ath-Thusi. Kitab terakhir ini sungguh terbaik yang pernah dikarang sepertinya di masa-masa sebelumnya. Itulah kitab yang begitu sederhana, penuh ketelitian dan kecermatan sang penulisnya.

Perlu juga saya sampaikan di sini bahwasanya ulama-ulama Ushul Fiqih Syi’ah telah mencapai puncak pengkajian di bidang ilmu ini –dan dalam pendalaman serta analisis yang ketat terhadap masalah-masalahnya secara mentradisi dari satu generasi ke generasi lainnya. Bahkan, mereka mengarang kitab berjilid-jilid, yang secara khusus mengulas sebagian masalah Ushul Fiqih, apalagi bila mereka mengulas semua masalah dan topiknya. Hanya saja, saya  memandang tidak cukup kesempatan di sini untuk menyebutkan nama-nama dan membicarakan riwayat hidup mereka. Saking banyak jumlahnya, tidak begitu berarti lagi upaya mengklasifikasi ihwal generasi mereka. 


Syi’ah Islam dan Hadits Nabi Saw –Bagian Kedua


“Kemudian ia (Nabi Saw) meraih tangan ‘Ali dan mengangkatnya, ia bersabda: “Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama ‘Ali”

Oleh Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki

Hadis Tsaqalain

Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga –yaitu: Kitabullah (al-Quran) dan keturunanku Ahlulbaitku, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat selamanya.”

Hadis di atas sangat terkenal sehingga tidak perlu lagi disebutkan sumbernya karena ia diriwayatkan oleh dua golongan, Ahlus Sunnah dan Syi’ah, dan keduanya pun mengakui kesahihan hadis tersebut. Hadis ini dikenal oleh kalangan khusus dan umum, bahkan dihafal oleh anak kecil, orang besar, alim, dan orang bodoh sekali pun. Akan tetapi, para perawi berselisih dalam redaksi hadis yang mulia ini –namun perselisihan ini tidak mengubah makna dan substansi hadis tersebut.

Perbedaan ini membuktikan bahwa Rasulullah Saw mengucapkan sabdanya tersebut dalam beberapa tempat dan kesempatan –sebagaimana banyaknya perawi hadis tersebut menunjukkan bahwa beliau mengucapkan sabdanya tersebut dalam beberapa tempat yang berbeda. Di antaranya, ketika Nabi Saw melaksanakan Haji Wada’ pada hari Arafah di hadapan kumpulan orang banyak;  dan juga pada hari Ghadir Khum dalam khutbahnya yang terkenal itu; dan di antaranya pula, ketika ia sakit menjelang kewafatannya, yaitu ketika ia berwasiat bagi umatnya.[1]

Kami akan menyebutkan kepadamu wahai pembaca yang budiman, sebagian Imam Ahlus Sunnah yang meriwayatkan hadis tsaqalain tersebut di dalam kitab-kitab sahih mereka, sunan, musnad, tafsir, sejarah, dan lainnya –dengan sanad dan jalur yang beragam agar menambah kejelasan dan ketenangan.

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi Saw, ia bersabda: “Sesungguhnya telah dekat bagiku untuk dipanggil (Tuhanku), aku pun akan memenuhi panggilan itu. Dan sesungguhnya aku tinggalkan tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) kepada kalian, yaitu: Kitabullah ‘Azza wa Jalla dan keturunanku. Kitabullah adalah tali (Allah) yang terbentang dari langit ke bumi, dan keturunanku Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui telah memberi tahuku bahwa keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya berjumpa denganku di Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. “[2]

Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam sumber yang sama, halaman 26, dari Abu Sa’id al-Khudri hadis yang lain. Demikian juga pada halaman 59, dari Abu Sa’id al-Khudri hadis yang lain. Ia juga meriwayatkan pada juz keempat, halaman 367, dari Zaid bin Arqam hadis yang lain.

Disebutkan dalam Shahîh Muslim bahwa Nabi Saw bersabda: “Dan aku tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang berharga), salah satunya adalah Kitabullah (al-Qur’an) yang dalamnya mengandung petunjuk dan cahaya. Ambillah kitabullah itu dan berpegang teguhlah kepadanya,” ia  menganjurkan dengan dorongan yang kuat agar umatnya berpegang teguh kepada Kitabullah. Kemudian ia bersabda: “Dan Ahlulbaitku, aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku.”[3]

Imam Muslim juga menyebutkan hadis yang lain (berkenaan dengan perintah berpegang teguh pada al-Quran dan Ahlulbait) dalam Shahîh-nya,jil. 7, halaman 122. Al-Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dalam Kanzul ‘Ummal[4] hadis yang redaksinya hampir sarna dengan yang diriwayatkan oleh Muslim sebelum ini. Di dalam Shahîh at-Tirmidzi diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah AI-Anshari yang berkata: “Aku melihat Rasulullah Saw di dalam Haji Wada’ (Haji Perpisahan) di atas untanya ‘AI-Qushwa’ (nama unta Rasulullah Saw)’, beliau berkhutbah. Aku mendengar beliau bersabda: “Ayyuhannas, sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan tersesat –yaitu: Kitabullah (Al-Quran) dan keturunanku Ahlulbaitku.” [5]

At-Tirmidzi juga menyebutkan di dalam Shahîh-nya dari Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, yaitu: Kitabullah (al-­Quran), ia adalah tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan keturunanku Ahlulbaitku. Keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di telaga Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya sepeninggalku.” At- Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadis tersebut, “Hadis ini adalah hadis hasan.”

Ath-Thabari meriwayatkan hadis ini di dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 16. AI-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Saw bersabda pada Haji Wada’: “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain: Kitabullah (al-Quran) dan keturunanku. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab, sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.”[6] Al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dalam al-Mustadrak, halaman 148 dan 532, dan setelah menyebutkan hadis tersebut, ia berkata, “Hadis ini sahih sesuai syarat (yang ditetapkan oleh) al-­Bukhari dan Muslim.” Adz-Dzahabi juga meriwayatkan hadis tersebut dalam Talkhîsh al-Mustadrak. AI-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan hadis tsaqalain ini dalam Yanâbi’ul Mawaddah.

Dan ia juga meriwayatkan, halaman 36, dari Imam ‘Ali ar-­Ridha As sesungguhnya ia berkata tentang al-‘itrah (keturunan Rasulullah Saw) ini, “Dan mereka inilah yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw: “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yaitu: Kitabullah (al-Quran) dan Itrah (Ahlulbaitku). Ketahuilah! Sesungguhnya keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga keduanya berjumpa denganku di Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku.

At-Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadis tersebut, “Hadis ini adalah hadis hasan.” Ath-Thabari meriwayatkan hadis ini dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 16.  Al-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Saw bersabda pada Haji Wada’: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain –Kitabullah (AI-Quran) dan keturunanku. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab, sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh..” Al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dalam al-Mustadrak, halaman 148 dan 532, dan setelah menyebutkan hadis tersebut, ia berkata, “Hadis ini sahih sesuai syarat (yang ditetapkan oleh) al-Bukhari dan Muslim.”

Adz-Dzahabi juga meriwayatkan hadis tersebut dalam Talkhîsh al-Mustadrak. AI-Qundfizi al-Hanafi meriwayatkan hadis tsaqalain ini dalam Yandâi’ul Mawaddah. Dan ia juga meriwayatkan, halaman 36, dari Imam ‘Ali ar-­Ridha As sesungguhnya ia berkata tentang al- ‘itrah (keturunan Rasulullah Saw.) ini, “Dan mereka inilah yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw., ‘Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yaitu: Kitabullah (al-Quran) dan keturunan (itrah) Ahlulbaitku. Ketahuilah! Sesungguhnya keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga keduanya berjumpa denganku di Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Ayyuhannas, janganlah kalian mengajari mereka karena sesungguhnya mereka itu lebih tahu daripada kalian.”

Ibn Katsir meriwayatkan hadis tsaqalain ini dalam Tafsir­-nya, jil. 3, halaman 486. Ibn Hajar meriwayatkan  dalam Shawâ’iq-nya hadis tsaqalain ini dengan jalur riwayat yang banyak, dan pada Bab Kesebelas dalam kitab tersebut, ia berkata, “Ketahuilah! Sesungguhnya hadis yang memerintahkan (kaum Muslim) berpegang teguh pada Kitabullah dan Ahlulbait Nabi Saw itu mempunyai jalur riwayat yang banyak, ia diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat Nabi Saw. Dalarn suatu riwayat, ia mengucapkan hadisnya tersebut pada waktu Haji Wada’ di ‘Arafah; dalam riwayat lain, ia sabdakan di Madinah, yaitu ketika ia sakit parah dan di kamarnya yang ketika itu para sahabatnya berkumpul; dalam riwayat lain, ia mengucapkannya di Ghadir Khum; dan pada riwayat yang lain, beliau mengucapkannya ketika ia  berkhutbah sepulangnya ia dari Thaif.

Riwayat-riwayat tersebut sama sekali tidak bertentangan karena sangat mungkin Nabi Saw mengulangi sabdanya tersebut kepada para sahabatnya di beberapa tempat yang berbeda. Sebab, ia sangat memperhatikan hal yang sangat penting tersebut, yaitu: al-Quran dan al- ‘itrah ath-thahirah (keturunan Nabi Saw yang suci).” Di dalam Târikh al-Ya’qubi disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, “Ayyuuhannas, sesungguhnya aku akan mendahului kalian (menghadap Tuhanku), sedangkan kalian akan mendatangiku di Haudh. Dan sesungguhnya aku akan menanyakan kepada kalian tentang tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga). Oleh karena itu, perhatikanlah dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku.

Para sahabat bertanya, “Apakah itu tsaqalain wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab, ‘Tsaqal (peninggalan yang sangat berharga) yang salah satunya adalah Kitabullah, ujung talinya yang satu berada di tangan Allah, sedangkan ujung yang satunya lagi berada di tangan kalian. Maka, berpegang teguhlah kalian dengannya, janganlah kalian sampai tersesat dan jangan pula mengubahnya. Dan Keturunanku Ahlulbaitku.” Masih banyak para imam hadis yang meriwayatkan hadis tsaqalain ini, di antara mereka adalah:

Ad-Darimi dalam Sunan-nya,jil. 2, halaman 432. An-Nasa’i dalam Khashâ ‘ish-nya, halaman 30. Al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, Bab Pertama, halaman 2. Abu Dawud dan Ibnu Majah al-Quzwaini dalam kitab keduanya. Abu Na’im aI-Ishfahani dalam Hilyah-nya, jil. I, halaman 355. Ibnu al-Atsir dalam Asadul Ghâbah, jil. 2, halaman 12, dan jil. 3. halaman 147. Ibn ‘Abdi Rabbih dalam AI-‘lqdul Farid, jil. 2, halaman 158 dan 346. Ibn AI-Jauzi dalam Tadzkiratul Khawâsh, bab kedua belas, halaman 332. Al-Halibi asy-Syiifi’i dalam lnsânul ‘Uyûn, jil. 3, halaman 308. Ats-Tsa’iabi dalam al-Kasyfu wal Bayân tentang tafsir ayat al- i’tishâm dan tafsir ayat ats-tsaqalân. Al-Fakhrur Razi dalam Tafsir-nya, jil. 3, halaman 18, tentang tafsir ayat al-i’tishâm. An-Naisaburi dalam Tafsir-nya, jil. I, halaman 349, tentang tafsir ayat al-i’tishâm.

Al-Khazin dalam Tafsir-nya, jil. I, halaman 257, tentang tafsir ayat al-a’tishâm, dan dalam jil. 4, halaman 94, tafsir ayat al­-mawaddah. Dan tentang tafsir ayat, ar-rahman. Ibn Katsir ad-Dimasyqi dalam Tafsir-nya, jil. 4, halaman 113, tentang tafsir ayat al-mawaddah., dan jil. 3, halaman 485, tentang tafsir ayat at-tathhir, dan juga dalam Târikh-nya, jil. 5, tentang hadis Ghadir Khum. Ibn Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah, jil. 6, halaman 130, tentang makna al- ‘itrah. Asy-Syablanji dalam Nurul Abshâr, halaman 99. Ibn Shibagh al-Maliki dalam al-Fushulul Muhimmah, halaman 25. Al-Hamuyini dalam Farâ’idus Simthain dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas. Dan al-Baghawi asy-Syafi’i dalam Mashâbilush Sunnah, jil. 2, halaman 205-206.

Al-Imam Syarafuddin al-Musawi Ra berkata dalam kitabnya al-Murâja’ât (Dialog Sunnah Syi’ah), halaman 22, “Hadis yang menunjukkan keharusan berpegang teguh kepada tsaqalain (al-­Quran dan Ahlulbait) adalah hadis yang sahih, bahkan mutawatir, yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat. Rasulullah Saw telah menyampaikan hadis tersebut dalam beberapa tempat dan kesempatan.

Nabi Saw pernah menyampaikan hadis tsaqalain itu pada hari Ghadir Khum, ia juga pernah menyampaikannya pada hari Arafah pada waktu Haji Wada’, pernah ia sampaikan sepulang dari Thaif, pernah ia sampaikan di atas mimbarnya di Madinah, dan pernah juga ia sampaikan di kamarnya yang diberkati, yang ketika itu ia sedang sakit dan kamarnya waktu itu dipenuhi oleh para sahabat. Ia bersabda, “Ayyuhannas sudah dekat saatnya nyawaku akan dicabut dengan cabutan yang cepat, lalu aku pun akan meningalkan kalian. Sungguh, aku telah memberikan nasihat kepadamu. Maafkanlah aku. Ketahuilah! Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepadamu Kitabullah dan Itrah Ahlulbaitku.”

Kemudian ia (Nabi Saw) meraih tangan ‘Ali dan mengangkatnya, ia bersabda: “Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama ‘Ali, keduanya tidak akan berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani, an-Nabhani dalam Arba’inal Arbâi’in, dan as-Suyuthi dalam Ihyâ’ul Mayyit. Dan engkau tahu bahwa khutbah Rasulullah Saw, itu tidaklah terbatas pada kalimat itu saja. Sebab, tidaklah mungkin dikatakan kepada orang yang hanya mengucapkan kalimat pendek seperti itu bahwa ia berkhutbah kepada kami. Akan tetapi, politik sungguh telah mengunci lisan para perawi hadis dan menahan pena para penulis. Kendati demikian, setetes air dari lautan tersebut telah memadai dan mencukupi,  dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Ihwal hadis tsaqalain, al-Allamah al-Hujjah al-Kabir as-Sayid Hasyim al-Bahrani menyebutkan dalam bukunya Ghayatul Maram, hal. 211, tiga puluh sembilan jalur riwayat dari Ahlus Sunnah, sebagaimana ia menyebutkannya dalam buku yang sama, hal. 217, delapan puluh dua jalur riwayat dari Syi’ah dari Ahlulbait. Hadis tsaqalain ini juga disebutkan oleh as-Sayid al-Ajal al-Mubajjal (yang diagungkan) al-Imam al-Akbar pemuka mazhab Ahlulbait Ayatullah al-Uzmah as-Sayid Mir Hamid Husain an-Naisaburi, kemudian al-Hindi, dalam ‘Aqabât-nya.

Masih banyak lagi yang meriwayatkan hadis tsaqalain ini, bahkan jumlah mereka mencapai sekitar dua ratus ulama dari berbagai mazhab, dan lebih dari tiga puluh sahabat Nabi Saw, yang seluruhnya meriwayatkan hadis tersebut dari Nabi Saw. Aku katakan, siapa saja yang berpikiran jernih dan objektif, niscaya ia akan mengakui kesahihan hadis tsaqalain tersebut, yang menunjukkan bukti yang nyata dan jelas atas kekhalifaan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As dan anak keturunannya, sebelas Imam Maksum. Sebab, Nabi Saw, telah menyandingkan mereka (Ahlulbait) dengan al-Qur’an. Al-Qur’an adalah rujukan utama bagi umat Islam, tidak ada yang meragukan hal itu, dari mulai awal dakwah sampai akhir dunia, demikian juga ‘Ali dan anak keturunannya yang diberkati, sebelas Imam Ahlulbait As.

Rasulullah Saw juga telah menjadikan berpegang teguh kepada keduanya, al-Qur’an dan Ahlulbait, sebagai syarat terbebas dari kesesatan, sedangkan barangsiapa yang berpaling dari keduanya, niscaya akan celaka dan binasa. Oleh karena itu, ia menyandingkan Ahlulbait dengan al-Qur’an dan memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh kepada keduanya secara bersamaan. Dengan demikian, tidak diperbolehkan bagi kaum Muslimin untuk hanya mengikuti salah satu dari keduanya dan meninggalkan yang lainnya.

Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib berpegang teguh kepada tsaqalain, al-Qur’an dan Ahlulbait, secara bersamaan; bukan hanya mengikuti al-Qur’an lalu meninggalkan Ahlulbait, atau sebaliknya. Al-Qur’an dan Ahlulbait merupakan satu tali ikatan yang kuat, yang tidak mungkin diputuskan di antara keduanya, satu sama lainnya saling bergandengan erat. Akan tetapi Ahlulbait adalah lisan yang berbicara, sedangkan al-Qur’an diam, tidak berbicara.

Kita tidak akan mampu berpegang teguh kepada al-Qur’an, tanpa melalui jalan Ahlulbait. Lantaran, pengetahuan tentang al-Qur’an, seperti menyingkap rahasia-rahasianya, membedakan antara yang muhkam dan mutasyabihat, dan nasikh dan mansukhnya tidak akan benar, kecuali dengan keterangan dan penjelasan mereka. Oleh karena itu, mengikuti keduanya secara bersamaan adalah jalan keselamatan, tidak ada keraguan tentang hal itu.

Adapun orang yang berpaling dari keduanya, atau salah satu darinya, ia akan binasa dan merugi, ia tidak akan mendapatkan keselamatan. Lantaran, Rasulullah Saw sendiri yang memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh kepada keduanya secara bersama-sama, sedangkan ia tidaklah pernah memerintahkan atau melarang sesuatu yang sia-sia. Ia tidaklah mengucapkan sesuatu mengikuti hawa nafsunya, ucapannya itu tidak lainya hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Oleh karena itu, merupakan keharusan dan kewajiban berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan, demi mendapatkan keselamatan dan keberuntungan yang besar serta kenikmatan yang abadi.

Imam Syarafuddin al-Musawi berkata dalam al-Murâja’ât (Dialog Sunni-Syiah), hal. 23 (dalam edisi Arabnya), “Sesungguhnya pemahaman (yang benar) dari sabda Nabi Saw, “Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Itrahti (keturunanku),” adalah siapa saja yang tidak berpegang teguh kepada keduanya secara bersamaan, niscaya ia akan tersesat.

Hal ini dikuatkan dalam sabda Nabi Saw, ihwal hadis tsaqalain yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani, ia bersabda, “Janganlah kalian mendahului keduanya sehingga kalian akan binasa, janganlah kalian tertinggal dari keduanya sehingga kalian akan binasa, dan janganlah kalian mengajari mereka karena sesungguhnya mereka itu lebih tahu daripada kalian.”

Ibnu Hajar berkata, “Sabda Rasulullah Saw, Janganlah kalian mendahului keduanya sehingga kalian akan binasa, janganlah kalian tertinggal dari keduanya sehingga kalian akan binasa, dan janganlah kalian mengajari mereka karena sesungguhnya mereka itu lebih tahu daripada kalian,” menunjukkan bahwa mereka (Ahlulbait) harus didahulukan dalam kedudukan-kedudukan yang tinggi dan tugas-tugas keagamaan…”[7]

Aku katakan, “Sesungguhnya Rasulullah Saw menamakan keduanya (al-Qur’an dan Ahlulbait) “tsaqalain” lantaran keduanya sangat penting dan sangat berharga. Dalam bahasa Arab, sesuatu yang sangat serius dan agung serta sangat berharga nilainya biasanya disebut sebagai “tsaqal.” Sebab berpegang teguh kepada keduanya bukanlah perkara yang mudah dan sederhana. Beramal dengan apa yang telah diwajibkan Allah Swt berkenaan dengan hak-hak keduanya sangatlah berat, di antaranya Ibnu Hajar dalam ash-Shawâ’iq, bab “wasiat Nabi Saw” dan juga as-Suyuthi.

Oleh karena itu, hal itu menunjukkan bahwa khilafah dan imamah terbatas pada mereka saja. Semoga Allah Swt merahmati orang yang melantunkan syair ini: Mereka (Ahlulbait) sejajar dengan KitabullahHanya saja, Kitabullah itu diam sedangkan mereka itu kitab yang berbicara. Hadis tsaqalain ini juga dapat dijadikan dalil kemaksuman Ahlulbait, sebagaimana al-Qur’an merupakan kitab yang maksum, tidak ada keraguan tentang kemaksumannya. Sebab, Nabi Saw telah memerintahkan umatnya untuk merujuk kepada mereka sepeninggalnya, yang hal ini tidak terwujud kecuali terhadap orang-orang yang telah dipelihara Allah Swt dari kesalahan dan dosa.

Kemaksumam mereka (Ahlulbait) juga merupakan petunjuk jelas bahwa khilafah dan imamah hanya berlaku bagi mereka karena ia merupakan syarat dalam khilafah dan imamah. Sedangkan orang-orang selain mereka tidaklah maksum dari kesalahan dan dosa, sebagaimana disepakati oleh kaum Muslimin.

Catatan:

[1] . Lihat, al-Imam al-Hujjah asy-Syaikh, Muhammad al-Husain al-Muzhaffar Rah, ats-Tsaqalain.
[2] . Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil. 3, hal. 17.
[3] . Lihat, Muslim, Shahîh Muslim, jil. 2, hal. 238.
[4] . Lihat, Al-Muttaqi al-Hindi,  Kanzul ‘Ummal, jil. 7, hal. 112.
[5] . Lihat, At-Tirmidzi, Shahîh at-Tirmidzi, jil. 2, hal. 308.
[6] . Lihat, AI-Hakim,  al-Mustadrak, jil. 3, hal. 109.
[7] . Kemudian Imam Syarafuddin al-Musawi Rah mengatakan dalam komentarnya atas pernyataan Ibnu Hajar tersebut, “Lihatlah dalam bab wasiat Nabi Saw, hal. 153 dalam kitabnya ash-Shawâiq, “Kemudian tanyalah kepadanya mengapa ia lebih mendahulukan al-Asy’ari daripada mereka (para Imam Ahlulbait) dalam ushuluddin dan imam fiqih yang empat (Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan asy-Syafi’i) daripada mereka? Dan mengapa ia juga lebih mengedepankan ‘Imran ibnu Haththan dan semisalnya dari golongan Khawarij daripada mereka, lebih mendahulukan Muqatil bin Sulaiman seorang penganut paham Murji’ah dalam ilmu tafsir daripada mereka, dan lebih mendahulukan Ma’ruf dan semisalnya dalam ilmu akhlak dan perilaku serta obat-obat dan penyembuhan jiwa mereka? Kemudian bagaimana mungkin ia mengakhirkan kekhilafahan umum dari Nabi Saw, saudara dan walinya, yang tidak ada seorang pun yang dapat menyampaikan sesuatu dari Nabi Saw selain melaluinya, yaitu Ali bin Abi Thalib As, kemudian ia mengutamakan urusan khilafah kepada anak-anak cecak (Marwan bin Hakam) daripada anak-anak Rasulullah Saw?” Oleh karena itu, barangsiapa yang berpaling dari Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan itu dari semua yang telah kami sebutkan itu, yaitu dari kedudukan-kedudukan yang tinggi dan tugas-tugas keagamaan, lalu ia mengikuti para penentang Ahlulbait Nabi Saw tersebut, bagaimana mungkin ia dapat dikatakan sebagai orang yang berpegang teguh kepada Ahlulbait Nabi Saw, menaiki bahteranya, dan masuk dalam pintu pengampunannya.”

Syi’ah Islam dan Hadits Nabi Saw


Bagian Pertama

“Ini ‘Ali adalah pembantuku, washiy (penerima wasiat)-ku, dan khalifahku sepeninggalku.” 


Oleh Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki

Syi’ah adalah golongan yang berpegang teguh pada Sunnah Nabawiyah yang bersumber dari penghulu para nabi Saw –dan mereka sedikit pun tidak akan pernah berpaling darinya selamanya. Mereka berpegang pada al- ‘urwâtul wusqâ (buhul tali yang amat kuat), berjalan pada jalannya yang lurus –dan mengambil dari para imam yang suci yang dipelihara dari kesalahan dan dosa (al-ma’shumin). Mereka mengikuti Sunnah yang tidak ada keraguan dan kebimbangan di dalamnya –Sunnah yang lurus yang tidak ada kebengkokan padanya. Mereka hanya mengambil riwayat hadis dari jalur para imam mereka dengan sanad yang kuat dan dipercaya –dari imam yang maksum dan juga sepertinya dan demikian seterusnya sampai Rasulullah Saw dari Jibril –dari Allah Yang Maha Agung.

Para sejarawan tidak pernah meriwayatkan kepada kita bahwa seorang pun dari para imam Ahlulbait itu mengambil atau berguru kepada seorang sahabat, tabiin, atau lainnya. Bahkan, orang-orang yang berguru kepadanya –sedangkan para imam Ahlulbait tidak pernah berguru kepada seorang pun.

Imam Ja’far ash-Shadiq As berkata: “Sungguh mengherankan orang-orang itu, mereka berkata bahwa mereka mengambil ilmu mereka semuanya dari Rasulullah Saw lalu mereka mengetahuinya dan mendapatkan petunjuk. Mereka memandang bahwa kami Ahlulbait tidak mengambil ilmu Rasulullah Saw dan tidak mendapatkan petunjuk dengannya. Sesungguhnya kami adalah keluarga dan keturunannya, di rumah kamilah wahyu turun, dan dari rumah kami pula ilmu menyebar kepada manusia. Maka, apakah kalian berpendapat bahwa mereka mengetahui dan mendapatkan petunjuk, sedangkan kami bodoh dan sesat?”

Imam Muhammad al-Baqir As berkata: “Seandainya kami menceritakan kepada orang-orang dengan pendapat dan hawa nafsu kami –niscaya kami akan binasa. Akan tetapi, kami menceritakan kepada mereka dengan hadis-hadis yang kami menyimpannya dari Rasulullah Saw sebagaimana mereka menyimpan emas dan perak mereka.”

Imam Ja’far ash-Shadiq As berkata: “Hadisku adalah hadis ayahku, hadis ayahku adalah hadis kakekku, hadis kakekku adalah hadis al-Husain, hadis al-Husain adalah hadis al-Hasan, hadis al-Hasan adalah hadis Amirul Mukminin (‘Ali As), hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah, dan hadis Rasulullah adalah firman Allah.”

Imam Ja’far ash-Shadiq As juga berkata: “Barang siapa menceritakan hadis dari kami, niscaya pada suatu hari kami akan menanyakannya. Apabila dia berkata benar tentang kami, maka sesungguhnya dia berkata benar terhadap Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, apabila dia mengada-adakan kedustaan terhadap kami, maka sesungguhnya dia mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sebab, kami apabila meriwayatkan hadis, kami tidak berkata, “Berkata fulan dan fulan”. Akan tetapi, kami berkata, “Allah berfirman dan Rasul-Nya bersabda.”

Selain itu, Syi’ah hanya mau menerima hadis yang tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh para imam Ahlulbait dan tidak pula bertentangan dengan al-Quran. Sebab, mereka mengetahui secara yakin apa yang terjadi pada masa kekuasaan Bani Umayyah, khususnya pada masa tirani Mu’awiyah, yaitu suatu masa yang hadis menjadi barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Pada masa itu, seorang perawi hadis dibayar nilai hadisnya sesuai dengan kadar pengaruhnya pada jiwa, seperti pujian dan celaan.

Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan Mu’awiyah, “Yang dipercaya itu ada tiga, yaitu: aku, Jibril, dan Mu’awiyah.”

Di antaranya hadis Fathu Makkah (Penaklukan Makkah), yaitu, “Barang siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, maka dia aman,” seakan-akan rumahnya menjadi tempat yang suci, seperti Baitul Haram.

Di antaranya, khutbah-khutbah yang berisikan cacian kepada Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As dan keluarganya –bahkan cacian ini mencapai tujuh puluh ribu mimbar, sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai sumber Ahlus Sunnah.

Oleh karena itu, Syi’ah tidak mau menerima riwayat-riwayat dari mereka para perawi pembohong dan pemalsu hadis. Pada masa yang diliputi kegelapan tersebut, Mu’awiyah telah menamakan dirinya, demikian juga para pengikutnya, “Ahlus Sunnah wal Jamaah” sebagai tipu muslihat terhadap Syi’ah ‘Ali. Akan tetapi, pada hakikat dan realitasnya, Syi’ah-lah yang layak disebut sebagai Ahlus Sunnah karena mereka mengambil Sunnah dari sumbemya yang murni, yaitu para imam Ahlulbait, yang sumbemya dari Rasulullah Saw. Mereka menerima hadis para imam Ahlulbait tersebut tanpa keraguan sedikit pun –dan mereka senantiasa bertanya kepada mereka (para imam Ahlulbait) tentang segala sesuatu yang mereka butuhkan.

Misalnya, Imam Ja’far Ash-Shadiq As, berkumpul di sekeliling tokoh-tokoh ulama terkemuka yang jumlah yang sangat besar. Bahkan, Abul Hasan al-Wasya berkata kepada sebagian penduduk Kufah, “Aku menjumpai dalam masjid ini, yaitu Masjid Kufah, empat ribu Syaikh dari kalangan ahli wara’ dan agama, yang semuanya berkata, “Imam Ja’far bin Muhammad menceritakan kepadaku.”

Berikut ini, kami akan menyebutkan kepadamu sebagian hadis yang menjadi bukti kebenaran keyakinan Syi’ah, yang kami akan meriwayatkannya dari sumber-sumber Ahlus Sunnah.

Hadis Peringatan

Nabi Saw bersabda: “Ini ‘Ali adalah pembantuku, washiy (penerima wasiat)-ku, dan khalifahku sepeninggalku.” Hadis di atas banyak diriwayatkan oleh para imam hadis dan sejarah, baik dari Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, dalam kitab-kitab sahih mereka dan Musnad mereka. Mereka mengakui kesahihan hadis tersebut.

Ath-Thabari menyebutkan dalam Târikh-nya dari Abil Hamid yang berkata: “Salamah menceritakan kepada kami, ia berkata, “Muhammad bin Ishaq menceritakan kepada saya, dari ‘Abdul Ghafar bin Qasim, dari al-Minhal bin ‘Umar, dari ‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal bin al-Harits bin’ Abdul Muthalib, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dari ‘Ali bin Abi Thalib As yang berkata, “Ketika ayat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmua yang terdekat.” (Qs. asy-Syu’ara’ [26]: 214). Rasulullah Saw memanggilku, lalu ia bersabda, “Wahai ‘Ali, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku, Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!

Maka, menjadi sempitlah dadaku karenanya, dan aku pun tahu, kapan saja aku memulai berkata perkara ini kepada mereka, niscaya aku akan melihat sesuatu yang tidak aku sukai dari mereka. Oleh karena itu, aku diam saja sehingga Jibril datang seraya berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kamu jika tidak mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya Tuhanmu akan menyiksamu.” Maka, buatkan untuk kami (wahai ‘Ali) satu mangkuk makanan, yang di dalamnya ada sepotong kaki kambing, dan semangkuk penuh susu. Kemudian kumpulkanlah untukku Bani ‘Abdul Muthalib sehingga aku berkata kepada mereka dan menyampaikan apa yang telah diperintahkan (Allah) kepadaku.”

Kemudian aku memanggil mereka, sedangkan jumlah mereka pada hari itu sekitar empat puluh orang laki-laki, di antara mereka terdapat paman-pamannya, yaitu: Abu Thalib, Hamzah, al-‘ Abbas, dan Abu Lahab.

Ketika mereka sudah berkumpul di rumah Rasulullah Saw, ia menyuruhku untuk mengeluarkan makanan yang telah kubuatkan untuk mereka, lalu aku pun mengambilkan makanan itu. Ketika aku meletakkan makanan itu, ia mengambil daging kambing itu seraya memotongnya dengan giginya, kemudian ia melemparkan daging itu ke pinggiran mangkuk yang berisi makanan, kemudian ia bersabda, ‘Makanlah dengan nama Allah!’ Lalu, mereka pun makan sekenyang-kenyangnya. Demi Allah, yang jiwa ‘Ali berada dalam genggaman-Nya, semua yang hadir memakan makanan yang aku hidangkan itu.

Kemudian ia bersabda kepadaku: “Berilah mereka minum!’ Lalu, aku mengambilkan mangkuk yang berisi susu itu, mereka pun semuanya minum sepuasnya. Ketika Rasulullah Saw hendak memulai berbicara, Abu Lahab mendahuluinya, ia berkata, “Sungguh, kawan kalian ini (Muhammad Saw.) telah menyihir kalian.” Maka, orang-orang pun berpencar (meninggalkan Rasulullah Saw) sebelum Rasulullah Saw sempat berbicara kepada mereka.

Lalu Rasulullah Saw bersabda kepadaku: ‘Wahai ‘Ali, orang ini (Abu Lahab) telah mendahuluiku, sebagaimana yang kamu dengar ucapannya, sehingga orang-orang pun berpencar (meninggalkanku) sebelum aku sempat berbicara kepada mereka. Oleh karena itu, ulangilah besok membuat makanan sebagaimana yang telah kamu buat, kemudian kumpulkanlah mereka kepadaku!’

‘Ali As berkata: Aku tunaikan perintah itu. Kemudian aku kumpulkan (kembali) mereka, lalu ia menyuruhku menghidangkan makanan, aku pun mendekatkan makanan kepada mereka, lalu ia melakukan sebagaimana yang ia lakukan kemarin. Kemudian mereka makan sekenyang­-kenyangnya, lalu ia bersabda kepadaku, ‘Berilah mereka minum!’ Aku mengambilkan mangkuk yang berisi susu itu, lalu mereka pun minum sepuasnya.

Kemudian Rasulullah Saw berbicara: “Wahai Bani ‘Abdil Muththalib, sesungguhnya aku, demi Allah, tidak mengetahui seorang pemuda pun di kalangan orang Arab yang datang kepada kaumnya lebih utama daripada apa yang aku datang dengannya. Sesungguhnya aku telah datang kepada kalian dengan membawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan sesungguhnya Allah Swt telah menyerukan kalian kepada seruan-Nya. Lalu, siapakah di antara kalian yang akan membantuku dalam perkara ini sehingga ia akan menjadi saudaraku, washiyy (penerima wasiat)-ku, dan khalifahku di tengah-tengah kalian?”

Semua orang diam,  lalu aku berkata, sedangkan aku orang yang paling muda di antara mereka, “Aku wahai Nabi Allah, yang akan menjadi pembantumu atas seruanmu ini.” Kemudian, ia memegang leher belakangku, kemudian ia bersabda: “Sesungguhnya orang ini (‘Ali As) adalah saudaraku, washiyy-ku, dan khalifahku di tengah-tengah kalian, maka dengarkanlah dan taatilah dia!”

Maka, orang-orang bangkit dari tempat duduknya sambil tertawa di antara sesama mereka, lalu mereka berkata kepada Abu Thalib: “Sesungguhnya ia (Muhammad Saw) telah memerintahkan kepadamu agar engkau mendengarkan anakmu (‘Ali) dan menaatinya.” AI-‘Allamah al-Hujjah al-Amini berkata dalam kitabnya al-Ghadir,[1] setelah menyebutkan hadis tersebut, “Hadis dengan lafal tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ja’far al-Iskafi al-­Mutakallim al-Mu’tazili al-Baghdadi, wafat pada tahun 240 Hijriah, dalam kitabnya Naqdhul ‘Utsmaniyyah dan ia berkata, “Sesungguhnya hadis ini diriwayatkan dalam riwayat yang sahih.” [2]

Al-Faqih Burhanuddin menukil hadis tersebut dalam Anbâ ‘u Nujabâ ‘ul Abnâ’, halaman 44-48.
Ibnul Atsir dalam al-Kâmil, halaman 24. Abul Fida’ ‘Imaduddin ad-Dimasyqi dalam Târikh-nya, jil. 1, hal. 116. Syihabuddin aI-Khafaji dalam Syarhusy Syafâ, karya al-­Qadhi ‘Iyadh, jil. 3, hal. 37, dan ia berkata, “Disebutkan di dalam ad-Dalâ ‘il, al-Baihaqi, dan lainnya dengan sanad yang sahih. Al-Khiizin ‘Ala’uddin al-Baghdadi dalam tafsimya, halaman 390. Al-Hafizh as-Suyuthi dalam Jam ‘ul Jawâmi’ kamâ fi Tartibihi, jil. 6, hal. 392, yang ia nukil dari ath-Thabari, dan pada halaman 397 dari enam orang hafizh, yaitu: Abu Ishaq, Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, Abu Nu’aim, dan al-Baihaqi. Ibn Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah, jil. 3, hal. 254. Sejarawan George Zaidan menyebutkannya dalam Târikh at-Tamaddun alI-Islâmi, jil. 1, hal. 31. Dan Ustad Muhammad Husain Haikal di dalam Hayâtu Muhammad, hal. 104, cetakan pertama.

Para perawi hadis tersebut di atas semuanya tepercaya, kecuali Abu Maryam ‘Abdul Ghaffar bin al-Qasim, ia dilemahkan oleh sebagian kalangan tertentu hanya karena ia berpaham Syi’ah. Akan tetapi, Ibn ‘Uqdah memuji Abu Maryam dengan pujian yang sangat tinggi, sebagaimana disebutkan di dalam Lisânul Mizân,jil. 4, hal. 43. Para hafizh dan imam hadis serta tokoh-tokoh ulama terkemuka lainnya telah meriwayatkan dar!nya hadis tersebut, dan tidak seorang pun dari mereka yang mencela atau berkata bahwa hadis tersebut lemah karena di antara perawinya adalah Abu Maryam (‘Abdul Ghaffar bin al-Qasim), bahkan mereka berhujah dengannya dalam Dalâ’ilun Nubuwwah wa Khashâ’ishun Nabawiyyah (Tanda-Tanda Kenabian dan Kekhususan-Kekhususan Nabi Saw).

Abu Ja’far al-Iskafi dan Syihabuddin juga telah mensahihkan hadis tersebut, dan demikian as-Suyuthi dalam Jam’ul Jawâmi’ kama fi Tartibihi, jil. 6, hal. 396, yang menyebutkan bahwa Ibn Jarir ath-Thabari mensahihkan hadis tersebut dan menyebutkan bahwa hadis ini juga diriwayatkan dengan sanad yang lain, yang para perawinya semuanya tsiqah (tepercaya). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis tersebut dalam Musnad-nya, jil. 1, hal. 111, dengan sanad yang semua perawinya adalah perawi hadis sahih, yang tidak diragukan lagi, yaitu: Syarik, al-A’masy, al-Minhal, dan ‘Ibad.

Kemudian al-‘Allamah al-Amini berkata, “Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, jil. 1, hal. 159, dari ‘Affan bin Muslim ‘tsiqah (tepercaya)’ dari Abu ‘Iwanah ‘tsiqah’, dari ‘Utsman bin al-Mughirah ‘tsiqah’, dari Abu Shadiq Muslim al-Kufi tsiqah’, dari Rabi’ah bin Najidz “tabi’in al-Kufi tsiqah”, dari ‘Ali Amirul Mukminin.”

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Târikh-nya, jil. 1, hal.  217, dan al-Hafizh an-Nasa’i dalam al-­Khashâ’ish, halaman 18. Dan al-Hafizh al-Kanji asy-Syafi’i juga meriwayatkan hadis tersebut i dalam al-Kifâyah, hal. 89, dan Ibn Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah, jil. 3, hal. 255. Al-Hafizh Ibnu Mardawaih meriwayatkan, sebagaimana dinukil oleh as-Suyuthi di dalam Jam’ul Jawâmi’, juga disebutkan dalam Kanzul ‘Ummâl, jil. 6, hal. 401, setelah menyebutkan permulaan hadis tersebut, kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Bani ‘Abdul Muththalib, sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada makhluk secara umum, dan kepada kalian secara khusus. Dia berfirman, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”  (Qs. asy-Syura [26]: 214)

Aku menyeru kepada kalian dengan dua kalimat yang ringan di lisandan berat dalam mizân (timbangan), yaitu kesaksian tidak ada Tuhan kecuali Allah dan aku adalah Rasul Allah. Siapakah yang bersedia menyambut seruanku ini dan membantuku, niscaya ia menjadi saudaraku, pembantuku, washiyy-ku, ahli warisku, dan khalifahku sepeninggalku?”  Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang menyambut seruan itu, lalu ‘Ali berdiri seraya berkata, “Aku wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda: “Duduklah kamu!” Kemudian ia mengulangi lagi untuk yang kedua kalinya, tetapi mereka tetap diam saja. Kemudian, ‘Ali kembali berdiri seraya berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Nabi Saw bersabda: “Duduklah kamu'” Kemudian beliau mengulangi lagi untuk yang ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada seorang pun di antara mereka yang menyambut seruan itu. Lalu, ‘Ali berdiri seraya berkata: “Aku wahai Rasulullah.” Ia bersabda: “Duduklah! Engkau adalah saudaraku, pembantuku, washiyy-ku, ahli warisku, dan khalifahku sepeninggalku.”

AI-Imamul Akbar as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin Ra berkata dalam kitabnya  al-Murâja ‘ât (Dialog Sunnah Syi’ah), hal. 119, “Hadis ini (hadis peringatan Nabi Saw. kepada para kerabatnya terdekat) juga disebutkan oleh Muhammad Husain Haikal al-Mishri dalam kitabnya Hayâtu Muhammad, cetakan pertama, tetapi ia tidak menyebutkannya kembali pada cetakan kedua dan ketiga dalam kitabnya tersebut. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh-nya, Ahmad dalam Musnad-nya, ‘Abdullah bin Ahmad di dalam Ziyâdât al-Musnad, Ibnu Hajar al-Haitsami di dalam Jam ‘ul Fawâ’id, Ibnu Qutaibah dalam ‘Uyûnul Akhbâr, Ibnu ‘Abdi Rabbih dalam al- ‘Iqdul Farid, AI-Jahizh dalam Risâlah-nya tentang Bani Hasyim, dan Ats-Tsa’iabi dalam Tafsir-nya.

Aku katakan, hadis ini (hadis peringatan) Nabi Saw kepada para kerabatnya terdekat) merupakan dalil yang terang dan hujah yang meyakinkan bahwa khalifah sepeninggal Rasulullah Saw adalah ‘Ali bin Abi Thiilib As. Sebab, Rasulullah Saw mengeluarkan penyataan tentang perkara ini pada awal dakwahnya dan menjadikan ‘Ali As sebagai pembantunya dalam dakwahnya ini, dimana ketika itu orang-­orang yang hadir di rumahnya tidak ada satu pun yang menyambut seruan itu kecuali ‘Ali As. Rasulullah Saw hingga menawarkan tiga kali kepada mereka untuk membantunya dalam dakwahnya, yang orang itu akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Akan tetapi, setiap kali tawaran itu diajukan, setiap kali itu pula hanya ‘Ali As yang bangkit berkata, “Aku wahai Rasulullah.”

Akbirnya, pada kali ketiganya, Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali As, “Engkau (wahai ‘Ali) adalah saudaraku, pembantuku (dalam dakwah ini), washiyy-ku, dan khalifahku sepeninggalku.” Demi Allah, wahai pembaca yang berpikiran bebas dan objektif, apakah ada nash lain yang lebih tegas daripada nash ini tentang kekbalifahan ‘Ali As ini sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung? Wahai kaum Muslimin, mengapa masih saja ada kefanatikan setelah adanya nash yang tegas tentang kekbalifahan ‘Ali As langsung sepeninggal Rasulullah Saw yang diriwayatkan sendiri oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah?

Catatan:

[1]. Lihat, al-‘Allamah al-Hujjah al-Amini,  al-Ghadir , jil. 2, hal. 279.
[2]. Lihat, Syarh Nahjul Balâghah, jil. 3, hal. 263.