Imam Muhammad al Jawad, Samudra Ilmu dan Takwa




Pada tanggal 10 Rajab tahun 195 Hijriah, Imam Muhammad Al-Jawad as dilahirkan. Ayah beliau adalah Imam Ali Ar-Ridha as. Dan ibu beliau bernama Khaizran, berasal dari bangsa Maria Qibtiah, istri Rasulullah saw. Imam Muhammad as memiliki banyak gelar. Gelar yang paling masyhur adalah At-Taqi dan Al-Jawad. Saudara perempuan Imam Ridha as, Hakimah mengisahkan, “Pada malam kelahiran Imam Al-Jawad, saudaraku (Imam Ridha) memintaku untuk berada di sisi istrinya. Ia melahirkan seorang bayi dengan selamat. Ketika lahir, bayi itu menatap ke langit dan bersaksi atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata, ‘Wahai saudariku, jangan engkau heran dengan peristiwa ini. Engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi.’”

Kelahiran ini merupakan karunia Ilahi dan berita gembira bagi pengikut Ahlulbait as. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan, dan kecemasan mereka. Nauf Ali menceritakan, “Ketika Imam Ali Ar-Ridha as melakukan perjalanan ke Khurasan, aku berkata kepadanya, ‘Apakah Anda tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan?’ Beliau berkata, ‘Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau hadapi.’” Imam Ridha as berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, “Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku. Ajukan pertanyaanmu kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi imam setelahku.”

Tatkala beberapa orang sahabat Imam Ar-Ridha menunjukkan keheranan dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi Imam umat, beliau mengatakan, “Allah telah mengangkat Isa sebagai nabi ketika beliau bahkan lebih muda dari Abu Ja’far (Imam Jawad). Usia seseorang tidak terlibat dalam urusan kenabian dan kepemimpinan (imamah).” Imam kesembilan umat ini, Muhammad Al-Jawad as menerima tanggung jawab Imamah pada usia sembilan tahun. Salah seorang sahabat beliau berkata, “Ali bin Ja’far, paman Imam Jawad di Madinah, adalah seseorang yang memiliki pengaruh yang besar. Warga kota di sana menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya. Setiap kali ia berangkat menuju masjid, orang-orang pun segera datang mengerumuninya dan bertanya tentang masalah-masalah yang mereka hadapi.

Suatu hari, Imam Muhammad Al-Jawad as memasuki masjid tersebut. Ali bin Ja’far yang sudah tua dan sesepuh kota itu, berdiri dari tempatnya dan mencium tangan Imam as lalu berdiri di sisi beliau. Imam berkata, “Paman, duduklah!” Sang paman berkata kepadanya, “Bagaimana mungkin aku dapat duduk selagi kau masih berdiri?” Ketika Ali bin Ja’far kembali ke kerumunan sahabat-sahabatnya, mereka menegurnya dan berkata, “Anda adalah orang tua dan paman anak ini. Mengapa Anda begitu rupa menghormatinya?” Ali bin Ja’far menjawab, “Diamlah, kedudukan Imamah (kepemimpinan Ilahi) merupakan sebuah kedudukan yang telah digariskan oleh Allah. Allah tidak memandang orang tua ini (Abu Ja’far—penj.) akan mampu mengemban Imamah atas umat. Namun, Dia Mahatahu bahwa anak ini layak dengan kedudukan itu. Maka itu, kalian harus mentaati perintahnya.”

Akhlak Imam Al-Jawad

Ketika ayahandanya wafat, Imam Muhammad Al-Jawad as masih berusia belia. Namun begitu, beliau sungguh memiliki kepribadian yang matang dan sempurna, yang mendesak setiap orang untuk menumpahkan rasa hormat di hadapannya. Selang beberapa hari setelah Imam Ali Ar-Ridha wafat, Khalifah Ma’mun pergi berburu bersama pasukan pengawal pribadinya. Tatkala ia memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di jalan itu. Melihat Ma’mun datang, mereka segera bubar dan lari menjauh, hanya seorang anak yang tidak beranjak dari tempat mainnya.

Ma’mun dan pasukannya berhenti lalu memandangi anak tersebut. Ia bertanya terheran-heran, “Hai bocah, mengapa kau tidak lari seperti anak-anak itu?” Anak itu menjawab, “Jalan ini tidak begitu sempit. Aku tidak menjadi penghalang bagimu untuk lewat. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun sehingga aku harus takut padamu. Aku pikir engkau tidak akan mengganggu seseorang. Dan engkau tidak akan mengejar orang yang tak bersalah. Maka itu, aku tidak lari darimu.” Ma’mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan, dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya, “Siapakah namamu?” “Muhammad bin Ali Ar-Ridha”, jawab anak itu. Ma’mun segera mengungkapkan duka cita atas kewafatan ayahnya. Setelah itu, ia melanjutkan pemburuan bersama para pengawalnya.

Surat Sang Ayah

Imam Ali Ar-Ridha as senantiasa memperlakukan putranya dengan penuh hormat dan selalu memperhatikan pendidikannya. Al-Bazanthi berkata, “Suatu hari, Imam Ridha as menulis surat kepada putranya, Muhammad Al-Jawad, di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut: Wahai putraku, aku mendengar bahwa para pelayan khalifah tidak memperkenankan orang orang untuk datang mengunjungimu atau sekedar menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka padamu. Ketahuilah, mereka (para pelayan khalifah) itu tidak ingin kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia. Kini, aku perintahkan padamu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka. Bilamana engkau pergi, bawalah uang bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang tertimpa kesulitan dan dan membutuhkan pertolonganmu. Pikirkanlah orang-orang yang mendapat kesulitan hidup dan bantulah mereka dengan baik. Janganlah lupa untuk senantiasa bersikap murah dan merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan.”

Keluasan Ilmu Imam Al-Jawad

Setelah berhasil meracun Imam Ali Ar-Ridha as, Ma’mun berusaha keras untuk menunjukkan bahwa kematian beliau adalah sebuah kejadian yang wajar dan alami. Namun, berangsur-angsur keculasan dan kebusukannya tercium oleh orang-orang ‘Alawiyun (keturunan Imam Ali as) dan kaum Muslim Syi’ah. Mereka mengetahui bahwa Ma’mun telah melakukan sebuah tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridha. Oleh karena itu, beragam protes, kecaman, kerusuhan, dan pemberontakan terjadi di berbagai sudut kota. Ma’mun berupaya memadamkan api pemberontakan itu. Ia membawa putra Imam Ar-Ridha itu, Imam Muhammad Al-Jawad as dari Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya sendiri, Ummul Fadhl.

Orang-orang Abbasiyah berusaha untuk menghentikan keinginan Ma’mun itu. Namun, Ma’mun tetap bersikeras pada keputusannya. Mereka mendebatnya, “Dia (Imam Al-Jawad as.) itu masih kecil dan belum mengerti agama. Bersabarlah supaya ia belajar agama terlebih dahulu.”

Ma’mun tangkas menjawab, “Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan sealim-alim manusia untuk aku jadikan menantuku. Kalian dapat mengujinya jika kalian mau.” Orang-orang Abbasiyah mendekati Yahya bin Aktsam, sang hakim agung, dan memintanya agar menyiapkan beberapa pertanyaan untuk menguji Imam Muhammad Al-Jawad as di hadapan majelis resmi Ma’mun. Yahya mengabulkan permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma’mun dan menyampaikan kesediaan Yahya. Ma’mun menentukan hari untuk tanya-jawab tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbasiyah bersama Yahya bin Aktsam memasuki majelis akbar itu. Majelis itu dihadiri oleh orang-orang terhormat, bangsawan, dan para pejabat pemerintahan. Kemudian, datanglah Imam Muhammad Al-Jawad as ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan beliau. Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma’mun yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini, karena ia berpikir Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Ma’mun berkata kepada Imam as, “Yahya bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu.” “Ia boleh bertanya apa pun yang ia ingin tanyakan”, jawab Imam as. Yahya mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihram dan berziarah ke Ka’bah, pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?” Imam Al-Jawad as. bersabda, “Wahai Yahya, kau telah menanyakan sebuah masalah yang masih begitu global. Mana yang sebenarnya ingin kau tanyakan; apakah orang itu berada di dalam Tanah Haram atau di luar? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang buruan itu sejenis burung atau bukan? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?

Pernikahan

Yahya kebingungan sekaligus kagum tatkala Imam as mengurai masalah itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya terbesit tanda kekalahan dan kegagalan. Mulutnya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan dan kekaguman kepada Imam Al-Jawad as setelah menyaksikan keluasan dan kedalaman ilmu beliau. Akhirnya, Ma’mun mengumumkan acara akad pernikahan putrinya dengan Imam Al-Jawad di majelis itu juga. Imam as bangkit lalu menyampaikan khutbah nikah. Mas kawin yang beliau berikan senilai mas kawin Siti Fatimah Az-Zahra as dan pesta pernikahan pun berlangsung sebegitu meriahnya.

Maksud di Balik Pernikahan

Sesungguhnya Ma’mun menyimpan maksud-maksud tertentu di balik keputusannya menikahkan putrinya dengan Imam Al-Jawad as. Di antaranya: a. Menepis kecaman dan tuduhan orang-orang sekaitan pembunuhannya terhadap Imam Ali Ar-Ridha as dan merebut kembali hati masyarakat. b. Agar putrinya dapat mengawasi dan memantau Imam Al-Jawad as sedekat mungkin. c. Membujuk Imam as agar menetap di kota Baghdad yang kehidupannya dipenuhi oleh kemewahan dan kesenangan duniawi.

Kembali ke Madinah

Imam Muhammad Al-Jawad as telah mengambil keputusan bulat untuk segera kembali ke Madinah. Maksud tersebut beliau lakukan dengan cara berangkat ke Makkah dan menunaikan Haji di sana. Masyarakat pun ramai mengantarkan Imam sampai di jalan yang mengarah ke kota Kufah. Di sana, Imam as singgah di sebuah masjid. Ketika waktu shalat telah tiba, Imam as berwudhu di halaman masjid di bawah pohon Nabk. Sungguh Allah SWT telah memberkahi pohon itu sehingga berbuah dengan buah-buah yang manis. Warga Baghdad senantiasa mengenang keberkahan Imam as pada pohon itu.

Beberapa Surat dan Masalah

Ada seorang lelaki dari Bani Hanifah yang menyertai Imam Al-Jawad as dalam perjalanan hajinya. Saat duduk bersama di depan hidangan, ia berkata kepada Imam as, “Jiwaku adalah tebusanmu! Sesungguhnya wali kotaku adalah pecintamu Ahlulbait. Ia amat percaya padamu. Dan sekarang ini aku harus membayar pajak kepadanya. Bisakah kau menuliskan surat untuknya agar ia berbelas kasih kepadaku?” Imam berkata, “Tapi, aku tidak mengenalnya.” Lelaki itu membalas, “Dia sungguh pecintamu, dan suratmu akan dapat berguna bagiku.”

Lalu Imam as mengambil secarik kertas dan menulis, “Bismillahirrahmaninrrahim. Pembawa suratku ini adalah seorang lelaki yang telah mengenalkanmu sebagai manusia mulia. Dan tidak ada perbuatan yang berguna bagimu kecuali kebaikan yang terdapat di dalamnya. Maka, berbuatbaiklah kepada saudara-saudaramu!” Lelaki itu menyerahkan surat tersebut kepada wali kota Naisyabur. Ia menyambutnya, bahkan menciumnya dan melekatkannya di kedua matanya. Lalu berkata kepada lelaki, “Apa keperluanmu?” “Ada pajakmu yang aku tanggung”, begitu keluhnya. Mendengar itu, wali kota memerintahkan agar kewajiban pajaknya dihapuskan, dan mengatakan, “Kau tidak usah membayar pajak selagi kau hidup.”

Datang sepucuk surat kepada Imam Al-Jawad as dari seorang lelaki yang hendak bermusyawarah dengan beliau berkenaan dengan pernikahan anak-anak perempuannya. Imam as menulis balasan untuknya, “Aku telah mengerti apa-apa yang kau paparkan mengenai anak-anak perempuanmu, dan bahwasanya kau tidak menemukan lelaki yang mirip denganmu. Namun, janganlah terlalu menantikan demikian itu. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya, karena Rasulullah saw telah bersabda, ‘Jika datang kepadamu seseorang yang kamu sukai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Bila kamu tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar.’”

Nasib Ma’mun

Warga Mesir bangkit melakukan pemberontakan. Segera Khalifah Ma’mun mempimpin pasukan besar dan memadamkan api pemberontakan itu. Dari sana, ia bertolak ke kawasan Romawi. Maka, terjadilah peperangan yang dahsyat yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin. Dalam perjalanannya kembali dari peperangan, Ma’mun melewati “Riqqah”. Tempat itu terasa sejuk dan tenang dengan mata air yang mengalir. Maka, ia memutuskan untuk berkemah beberapa hari di sana. Di Riqqah, Ma’mun jatuh sakit. Tak lama kemudian, ia mati dan dikuburkan di tempat itu juga.

Kesyahidan Imam Al-Jawad

Setelah kematian Ma’mun, saudaranya yang bernama Mu’tashim menduduki kekhalifahan. Dia dikenal sebagai orang yang kejam, jahat, dan berperangai buruk. Pertama yang dilakukan Mu’tashim ialah memanggil Imam Al-Jawad as dari Madinah untuk kembali ke Baghdad. Setelah itu, mulailah dia merencanakan persengkongkolan dengan Ja’far, anak Ma’mun. Dia mendesak Ja’far agar membujuk saudara perempuannya, Ummu Fadhl supaya meracun suaminya sendiri, Imam Al-Jawad as. Ummu Fadhl pun menyanggupi. Maka, ia bubuhkan racun ganas di dalam anggur, seakan-akan ia telah belajar dari ayahnya sendiri yang telah membunuh Imam Ali Ar-Ridha as dengan cara yang sama. Demikian kesyahidan Imam Muhammad Al-Jawad as. Hal itu terjadi pada hari Selasa, 6 Dzulhijjah 220 H, pada usianya yang masih muda, 25 tahun. Jasad beliau yang suci nan kudus dimakamkan di pemakaman Quraisy (kota Kazhimain sekarang) di samping makam datuknya, Imam Musa Al-Kazhim as. Pusara kedua Imam ini merupakan salah satu tempat ziarah kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Mutiara Imam al Jawad

• “Kehormatan seorang mukmin ialah ketakbergantungannya pada orang lain.”
• “Seorang mukmin senantiasa membutuhkan tiga perkara: taufik dari Allah, penasehat dari dalam dirinya, dan menyambut setiap orang yang menasehatinya.”
• “Hari Keadilan itu lebih mengerikan bagi orang zalim daripada hari perlakuan zalim terhadap orang teraniaya.”
• “Neraca kesempurnaan harga diri seseorang ialah meninggalkan apa saja yang tidak membuat dirinya indah.”
• “Kematian manusia karena dosa-dosanya itu lebih banyak ketimbang kematiannya karena ajalnya, dan seseorang hidup karena kebajikannya itu lebih banyak daripada ia hidup dengan (takdir) umurnya.”

Imam Ali Ar-Ridha, Teladan Pejuang Yang Sabar




Imam Ali Ar-Ridha as lahir pada 11 Dzulqa’dah 148 H. di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kazim as dan ibunya seorang wanita mukmin nan saleh, bernama Najmah. Imam as menghabiskan masa kanak-kanaknya di sisi sang ayah. Imam Musa as berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha. Ali bin Yaqthin berkata, “Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazim—penj.). Tiba-tiba datang Ali Ar-Ridha as, lalu beliau (Imam Musa) berkata, “Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku.” Hisyam menambahkan, “Sesungguhnya aku beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku.” Demikian pula salah seorang sahabat pernah bertanya tentang imam sepeninggalnya. Imam Musa as memberi isyarat kepada anaknya, Ali Ar-Ridha sembari berkata, “Dialah Imam (pemimpin) setelahku.” Pada masa itu, situasi amat menguatirkan, sehingga Imam Musa as berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya itu.

Budi Pekerti Yang Agung

Para Imam Ahlulbait as adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah SWT untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling unggul untuk mencapai derajat kemanusiaan dan akhlak mulia. Ibrahim bin Abbas mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Abul Hasan Ar-Ridha as mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu membantunya. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah kau percaya.”

Seorang laki-laki menyertai Imam Ar-Ridha dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka dalam satu jamuan makan?” “Sesungguhnya Allah SWT adalah satu. Manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu. Mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan”, demikian jawab Imam as. Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abul Hasan (panggilan Imam Ar-Ridha)!” Imam menjawab, “Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!” Salah seorang bersumpah dan berkata, “Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia.” Imam menjawabnya, “Janganlah engkau bersumpah seperti itu. Sebab orang yang lebih baik dari aku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah, Dzat yang menorehkan ayat ini, ‘Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa.’

Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha as berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba seorang warga Khurasan masuk dan berkata, “Salam atasmu wahai putra Rasulullah! Aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu. Aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku. Tak satu harta pun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak.” Dengan nada lembut, Imam Ar-Ridha as berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”

Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?” Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini 200 Dinar. Pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami.” Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as. Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu, wahai putra Rasulullah?” Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi adalah sama seperti tujuh puluh kali ibadah haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni.’”

Jangan Merasa Bangga!

Ahmad Al-Bazanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali melakukan surat-menyurat dengan Imam Ali Ar-Ridha. Kemudian, ia mengakui kebenaran kedudukan beliau sebagai imam. Al-Bazanthi pernah menceritakan pengalamannya berikut ini: “Imam Ar-Ridha as memintaku datang menjumpainya dan mengirimkan keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk dalam sebuah pembahasan. Hingga tiba waktu Isya’, kami melaksanakan shalat. Seusai shalat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam. Aku menjawab, ‘Tidak demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian.’

Beliau berkata kepadaku, ‘Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah.’ Sementara Imam turun, aku berkata pada diriku sendiri, ‘Sungguh aku telah mendapatkan kemulian dari Imam yang aku tidak temukan pada orang lain. Aku telah tertipu oleh setan.’ Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku. Kepadaku beliau menuturkan, ‘Suatu hari, Amirul Mukminin Ali as menengok Sha’sa’ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, ‘Wahai Sha’sa’ah, janganlah engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku menjengukmu.’Seakan-akan Imam membaca apa yang terlintas dalam benak Al-Bazanthi. Beliau menasehatinya dan mengingatkan kakeknya, Imam Ali bin Ali Thalib as bagaimana menjenguk salah seorang sahabatnya.

Nasihat untuk Saudara

Zaid adalah saudara Imam Ali Ar-Ridha as. Dia melakukan pemberontakan di kota Bashrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan Sang Api. Khalifah Ma’mun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun, akhirnya ia tertangkap dan dipenjara. Tatkala Imam Ali Ar-Ridha as diangkat oleh Ma’mun sebagai pengganti khalifah, Ma’mun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as sangat marah atas perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.

Kepada saudaranya Imam as berkata, “Hai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok? Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka? Celakalah engkau! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasul saw dari sabda itu bukanlah aku, bukan pula kau. Akan tetapi, Hasan dan Husain. Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali dengan ketaatan kepada Allah SWT. Apakah kau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah? Kalau begitu, kau lebih besar daripada Allah dan dari ayahmu, Musa bin Ja’far as!”

Zaid berkata,”Bukankah aku saudaramu?” Imam menjawab, “Ya, kau adalah saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau maha pengasih.’ Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh.’ Demi Allah, wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali ketaatan kepada-Nya.”

Di Majelis Ma’mun

Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh-tokoh mazhab Islam, lalu memerintahkan mereka untuk berdiskusi dengan Imam Ali Ar-Ridha as. Ma’mun melakukan itu hanya untuk menjatuhkan Imam di hadapan soal-soal mereka. Imam as bertanya kepada seorang sahabatnya yang bermana Hassan Naufal, “Apakah engkau tahu mengapa Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh mazhab itu?” Naufal menjawab, “Dia ingin sekali mengujimu.” Imam berkata, “Senangkah engkau melihat saat-saat Ma’mun menyesali perbuatannya?.” “Tentu”, jawab Naufal. Imam berkata, “Yaitu tatkala dia mendengar jawabanku dari kitab Taurat terhadap penganut Taurat, jawabanku dari kitab Injil tehadap penganut Injil, jawabanku dari kitab Zabur terhadap penganut Zabur, dan jawabanku dari kitab Ibraniyyah terhadap kaum Sabiah.”

Imam Ali Ar-Ridha as menyiapkan perjalanannya bersama sahabatnya ke istana Khalifah. Setelah sampai dan istirahat sejenak, diskusi pun dimulai. Jatsliq berkata, “Saya tidak ingin berdiskusi dengan orang yang menggunakan Al-Qur’an sebagai dalilnya, karena aku mengingkarinya, dan juga orang yang menggunakan hadis Nabi Muhammad, karena aku tidak mempercayai kenabiannya.” Imam Ar-Ridha as berkata, “Jika aku berdalil dengan kitab Injil, apakah engkau akan beriman?” “Tentu, saya akan menerimanya”, begitu tegas Jatsliq. Lalu Imam Ali Ar-Ridha as membacakan beberapa ayat Injil yang di dalamnya Nabi Isa as mengabarkan kedatangan nabi setelahnya, sebagaimana yang juga diberitakan oleh Hawariyyun (sabahat setia Nabi Isa). Imam juga membacakan sebagian ayat dari Injil Yohanes.

Jatsliq dengan penuh keheranan berkata, “Demi kebenaran Isa Al-Masih, aku tidak pernah menyangka bahwa di antara ulama muslim ada orang sepertimu.” Kemudian Imam Ali Ar-Ridha berpaling kepada pemuka Yahudi dan berdalil dengan ayat-ayat Taurat dan Zabur. Tak ketinggalan pula, Imran Ash-Shabi yang ahli dalam ilmu Kalam. Dia bertanya kepada Imam tentang keesaan Tuhan dan masalah-masalah Kalam lainnya. Ketika masuk waktu Zhuhur, Imam as bangkit untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau melanjutkan diskusi dengan Imran sampai dia mengakui kebenaran agama Allah yang hak. Lalu dia menghadap Kiblat dan bersujud kepada Allah untuk menyatakan keislamannya.

Perjalanan ke Marv

Tak seorang pun tahu alasan sebenarnya yang mendorong Khalifah Ma’mun untuk meminta Imam Ali Ar-Ridha as menjadi penggantinya kelak. Ketika Imam as tinggal di Madinah Al-Munawwarah, tiba-tiba datang perintah Khalifah kepada beliau untuk melakukan perjalanan ke Marv. Imam as menyiapkan perjalanannya ke Khurasan. Beliau tiba di kota Bashrah, lalu bertolak menuju Baghdad, kemudian singgah di kota Qom yang mendapatkan sambutan begitu hangat dari masyarakat di sana. Kala itu, Imam menjadi tamu salah seorang penduduk, dan semenjak hari itu ditetapkanlah hari berdirinya “Madrasah Ar-Ridhawiyyah.”

Di Naisyabur

Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol. Iring-iringan kafilah Imam Ali Ar-Ridha as dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan. Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat menulis. Mereka menunggu Imam meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw, sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu.”

Imam as berkata, “Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far berkat, ‘Aku mendengar Ayahku, Ja’far bin Muhammad berkata, ‘Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali berkata, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Husain berkata, ‘Aku mendengar ayahku Husain bin Ali berkata, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Aku mendengar Jibril berkata, ‘Aku mendengar Allah berfirman, “Kalimat La Ilaha illallah adalah bentengku. Barang siapa masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku.’” Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.

Imam Ali Ar-Ridha as meninggalkan Naisyabur pada waktu pagi. Di tengah perjalanan masuk waktu Zhuhur, Imam as meminta air untuk berwudhu. Akan tetapi, para pengikutnya sulit mendapatkan air. Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir. Imam Ar-Ridha as dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu. Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.

Imam as masuk ke rumah Hamid bin Qahthabah Ath-Tha’i dan masuk ke qubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun Ar-Rasyid. Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, “Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan. Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafaat kami Ahlulbait.” Kemudian, beliau melakukan shalat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih sebanyak lima ratus kali.

Di Marv

Sampailah Imam Ali Ar-Ridha as di Marv. Ma’mun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan. Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, beliau menolaknya. Imam Ali Ar-Ridha as tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Ma’mun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta? Ma’mun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlulbait. Dia menetapkan kewajiban menaati Imam sebagai calon penggantinya, walaupun dengan cara-cara paksa.

Di hadapan permintaan Ma’mun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman itu, akhirnya Imam Ridha as menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa beliau tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan. Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Ma’mun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah, dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as). Lebih dari itu, Ma’mun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ar-Ridha as dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Al-Jawad as.

Shalat Hari Raya

Imam Ali Ar-Ridha as dibaiat sebagai calon pengganti Khalifah pada 5 Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Ma’mun memerintahkan Imam Ar-Ridha as untuk menjadi imam shalat hari raya Idul Fitri. Imam merasa keberatan. Tetapi Ma’mun bersikeras pada keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik beliau. Imam as menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan shalat hari raya sesuai dengan ajaran Rasulullah saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Ma’mun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.

Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as keluar. Matahari terbit menampakkan garis kemilauan emas dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya. Imam Ali Ar-Ridha as mandi dan memakai pakaian dan serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya terurai di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.

Beberapa langkah kemudian, Imam Ar-Ridha as mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka. Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as dengan kaki telanjang. Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.

Berkali-kali masyarakat menghadiri shalat hari raya yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh dari dari makna takbir. Kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang dibawa oleh Nabi saw dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ar-Ridha as. Mata-mata yang mengintai gerakan Imam dan masyarakat segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Ma’mun. Dia malah kuatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan shalat hari raya dan menyampaikan khutbah. Ma’mun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ar-Ridha as yang masih dalam perjalanan. Kepada beliau, ia menyampaikan pesan secara lisan, “Sungguh kami telah membuatmu kepayahan, wahai putra Rasulullah. Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!” Imam as kembali, sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.

Tujuan Ma’mun

Tak seorang pun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Ma’mun dalam berpolitik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ar-Ridha as sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Ma’mun, di di antaranya:

1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, yaitu dengan mengangkat Imam as sebagai penganti kekhalifahannya kelak dan mengganti pakaian hitam dengan pakaian hijau.

2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena ingin kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.

3. Ma’mun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang terjadi pada Imam Ar-Ridha as.

Tentunya, Imam as mengetahui seluruh tipu-daya Ma’mun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan dan sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, salat haru raya, dan syarat beliau atas Ma’mun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.

Di’bil Al-Khuza’i

Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka. Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serbakurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Di’bil Al-Khuza’i. Sejarah mencatat pertemuan Di’bil dengan Imam Ali Ar-Ridha. Abu Shalt Al-Hirawi meriwayatkan, “Di’bil menjumpai Imam Ar-Ridha as di Marv dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya.’ Imam as menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih, lalu mempersilahkan untuk menyenandungkannya. Di antara bait-bait syair Di’bil ialah:

Kediaman-kediaman manusia suci
kini telah sunyi dari pengunjung.
Rumah wahyu tidak lagi
dituruni kabar-kabar langit.
Pusara di Kufah dan
yang lainnya di Thaibah (Baqi’),
pula yang di Fakh
senantiasa tercurah salawatku.
Dan pusara di Baghdad,
milik jiwa yang suci
Tercurahkan rahmat Sang Pengasih
dalam ruang-ruang kedamaian.
Imam lalu menyambutnya,
Pusara di Thus betapa besar
Dera nestapa yang menimpanya.

Di’bil dengan penuh keheranan bertanya, ‘Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?’ ‘Itulah pusaraku, wahai Di’bil,” jawab Imam as. Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlulbait. Imam as menangis, dan air matanya berderai menghangatkan pipinya. Imam memberikan 100 Dinar sebagai hadiah kepada Di’bil. Namun, ia merasa berat menerimanya, dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 Dinar. Di’bil memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok. Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:

Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.
Di tangan mereka harta rampasan dari emas.

Mendengar bait itu, Di’bil bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?” “Ini puisi Di’bil”, jawabnya. “Akulah Di’bil”, kata Di’bil memperkenalkan diri. Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat, serta meminta maaf kepada mereka. Di’bil dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qom. Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu Dinar, namun Di’bil menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qom menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam untuk mengambil berkah dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Di’bil pun merelakannya. Ketika sampai di rumahnya, Di’bil mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, kepada satu tabib ke tabib yang lain. Tapi, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya kamu mengobatinya, karena istrimu akan menderita kebutaan.” Di’bil merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam. Kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya. Tatkala istri Di’bil terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikit pun berkat keramat Imam Ali Ar-Ridha as.

Hari Kesyahidan

Setelah Ma’mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha as dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Ma’mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh beliau. Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma’mun, karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah. Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Ma’mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di dalam anggur. Imam as meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya. Imam Ali Ar-Ridha as syahid pada tahun 203 H. dan dimakamkan di kota Thus (Masyhad, Iran). Sementara itu, Ma’mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis.

Mutiara Imam Ali Ar-Ridha

• “Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah SWT.”
• “Barang siapa yang selalu mengawasi dirinya, niscaya akan beruntung, dan barang siapa melalaikannya, pasti akan merugi.”
• “Sebaik-baik akal adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri.”
• “Bila seorang mukmin marah, maka kemarahannya tidak akan mengeluarkan dirinya dari bersikap benar. Dan jika ia senang, maka kesenangannya tidak akan menghanyutkannya ke dalam kebatilan. Dan jika ia punya kekuatan, ia tidak akan merebut lebih dari haknya.”
• “Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang menceritakan kejelekan orang dan orang yang mendengarkannya serta orang yang banyak bertanya.”