Kunang-Kunang & Kwatrin Jakarta





Puisi-puisi Sulaiman Djaya
(Sumber: Koran Tempo, 17 Maret 2013)


Kunang-Kunang

Aku tak pernah takut gelap
karena nyala senantiasa kubawa dengan ikhlas.
Mungkin kau pernah membaca sebuah cerita
di buku-buku sekolah
cerita tentang para peri yang tersesat di hutan
yang gelisah dirundung petang
lalu jadi gembira saat aku datang
di bawah hujan.

Kanak-kanak berlarian mengejarku
hanya karena aku mirip ingatan.
Meski aku lebih suka dikira kenangan seorang penyair
yang ingin menyalin dendang kekasih
di antara jendela dan gigih pohon-pohon randu
yang selalu sabar menunggu
takdir sang embun.

Seorang ibu menganggapku sebagai harapan
yang sempat hilang. Dan itu tak sepenuhnya salah
meski aku lebih baik diumpamakan semungil lampu
atau seperti sepotong rindu di lembab pintu kamarmu,
sesuatu yang senantiasa luput dari kehendakmu.
Ke mana pun aku pergi dan beterbangan,
Tuhan meminjamku sebagai sebuah buku pelajaran
bagi mereka yang putus-asa atau yang tak pernah tertawa.

Kadang aku muncul dari balik kabut
sebelum malam berkebun di bening sepasang matamu.
Sesekali aku enggan melambung
jika hujan terlampau bingung
dan mengepung belukar dan halaman rumahmu.
Saat itu aku bersembunyi di gunung-gunung
atau di rimbun bakau dekat tanjung.
Seperti usia yang tak habis ditulis

di antara kalimat
dan kiasan sebuah puisi.

(2013) 

Kwatrin Jakarta

Dari titik sebuah trotoar, ketika warna hitam
sudah sedemikian akrab, setiang lampu di taman jalan
memang lebih indah dibanding tugu.
Tak ada ujung atau tanjung

ketika hatiku ingin sejenak berlabuh.
Atau langkah-langkah hijrah sepasukan kijang
ketika aku hanya ingin sekedar membayangkan
kau asyik menerka tokoh utama sebuah cerita

yang hanya ada dalam lipatan sampul anggun.
Tetapi dulu, barangkali, di kota ini,
ada saat ketika bebek-bebek liar
tak sanggup menawan arah pancaroba

di kubangan-kubangan ranca, antara Krukut
dan langit berkabut Kebayoran Lama.
Barangkali dulu, di kota ini, nasib pun
serupa gerimis, atau semisal cahaya matahari

yang menjelma seperti api senjahari.
Lumut, juga daun-daun, mungkin bertafakkur,
dihembuskan mulut-mulut tahun
semisal mendung yang cemburu pada rambutmu.

(2011) 


Tidak ada komentar: