Russell VS Muthahhari tentang Agama dan yang Lainnya


Oleh Sulaiman Djaya (Penyair dan penulis lepas)

Dalam kancah filsafat, sains dan ilmu pengetahuan, demikian Thomas Nagel dalam bukunya yang berjudul The View from Nowhere, ada sebuah pertanyaan yang sangat urgen dan mendasar, yaitu bagaimana mengkombinasikan perspektif personal yang sifatnya partikular dalam sebuah dunia dengan pandangan objektif di dunia yang sama. Dan memang, masalah tersebut senantiasa hadir dalam kancah sains, filsafat dan ilmu pengetahuan, karena berkenaan dengan manusia sebagai subjek yang “mencari tahu” itu sendiri dan “apa yang ingin diketahui”. Belum lagi soal-soal lain yang berkenaan dengan itu semua.

Terkait dengan persoalan yang tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Thomas Nagel tersebut, adalah cukup menarik untuk melakukan komparasi sekaligus konfrontasi antara dua filsuf, yaitu Bertrand Russell dan Murtadha Muthahhari, mengenai agama dan sains serta masalah-masalah yang hadir dan terkait dengan sendirinya berkenaan dengan persoalan tersebut.

Bertrand Russell dan Murtadha Mutahhari, meski saling bertolak-belakang satu sama lain dalam hal kepercayaan, paradigma, dan lanskap epistemologis intelektual mereka, sama-sama memiliki konsen yang intens dalam masalah interaksi, hubungan, dan dialektika agama dan ilmu (pengetahuan sekuler). Tak terkecuali menyangkut isu-isu atau materi-materi bahasan pelik seputar teisme adan ateisme – di mana dalam masalah ini, mereka akan terlihat nyata dan jelas saling bertolak belakang dan bertentangan satu sama lain.

Russell, di satu sisi, adalah seorang filsuf dan pemikir bebas yang mendaku diri sebagai seorang agnostik (menunda keputusan apakah Tuhan ada atau tidak ada) –yang kadangkala pendapat dan kritik-kritiknya terhadap agama acapkali tidak jauh berbeda dengan kritik yang dilancarkan kaum ateis terhadap agama. Sedangkan Muthahhari, di sisi lainnya, adalah seorang faqih, ‘ulama, sekaligus filsuf yang menjadikan Islam (Syi’ah)-nya sebagai basis dan dasar bagi tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikiran intelektualnya, sembari dengan gigih senantiasa berusaha membuktikan bahwa Islam adalah dasar dan khazanah intelektual dan pemikiran itu sendiri, yang dengan demikian, baginya tak ada pertentangan antara Islam dan intelektualisme atau antara Islam dan pengetahuan:

“Ilmu pengetahuan memberikan kepada kita cahaya dan kekuatan. Agama memberi kita cinta, harapan dan kehangatan. Ilmu pe­ngetahuan membantu menciptakan peralatan dan mempercepat laju kemajuan. Agama menetapkan maksud upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya tersebut. Ilmu pengetahuan membawa revolusi lahiriah (material). Agama membawa revolusi batiniah (spiritual). Ilmu pengetahuan menjadikan dunia ini dunia manusia. Agama menjadikan kehidupan sebagai kehidupan manusia”.

Sebaliknya, Russell yang lebih menjadikan sains dan empirisisme-nya sebagai dasar paradigma intelektualnya, tak segan-segan bersikap enteng dan tanpa beban ketika “mengkritisi” dogma religius, sebagaimana diakui sendiri dalam otobiografinya: “Ketika saya menemukan dalam Autobiography Mill kalimat ‘ayah saya mengajari saya bahwa pertanyaan siapa yang menciptakan saya?’ tidak bisa dijawab karena pertanyaan itu segera memunculkan pertanyaan berikutnya ‘siapa yang menciptakan Tuhan’?” –di mana bagi kaum agamawan, retorika Mill yang kembali diungkapkan Russell tersebut juga ‘rancu’ karena mengandaikan “Sang Pencipta” ada “yang menciptakan”, yang secara logika tak dapat diterima.

Kita tahu, berbeda dengan Muthahhari yang memahami khazanah Islam (Syi’ah-nya) sebagai mata air dan khazanah ilmu dan hikmah intelektual dan tulisan-tulisannya, Russell (yang dengan basis pengetahuan dan tradisi Kristianisme) lingkungan dan keluarganya, seringkali lantang menyatakan bahwa dalam sejarah ummat manusia, utamanya sejarah Eropa dan Barat, acapkali agama “menghalangi” jalan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan: “Konflik antara sains dan agama, yang mulai meruncing pada abad 16, dalam berbagai bentuknya, berlanjut sampai jaman kita saat ini.”

Namun, berbeda dengan Russell, Muthahhari, ketika melihat hubungan, interaksi, atau dialektika antara agama (Islam) dan sains ini, memandangnya dengan paradigma harmonis dan saling melengkapi, bukan saling bertentangan sebagaimana Russell memandangnya: “Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat dibahas dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah kita lihat apakah ada sebuah agama yang konsepsinya melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, atau semua gagasan yang ilmiah itu bertentangan dengan agama, tidak memberikan harapan dan tidak melahirkan optimisme.

Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita….

Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama memberikan kekuatan kepada manusia. Namun, kekuatan yang diberikan oleh agama adalah berkesinambungan, sedangkan kekuatan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan terputus-putus. Ilmu pengetahuan itu indah, begitu pula agama. Ilmu pengetahuan memperindah akal dan pikiran. Agama memperindah jiwa dan perasaan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama membuat manusia merasa nyaman. Ilmu pengetahuan melindungi manusia terhadap penyakit, banjir, gempa bumi dan badai. Agama melindungi manusia terhadap keresahan, kesepian, rasa tidak aman dan pikiran picik. Ilmu pengetahuan mengharmoniskan dunia dengan manusia, agama menyelaraskan manusia dengan dirinya….

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama harus dipahami dengan memperhatikan ilmu pengetahuan, sehingga tidak terjadi pembauran agama dengan mitos. Agama tanpa ilmu pengetahuan berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam dapat kita lihat sebagai satu contoh kemungkinan ini. Contoh lainnya yang beragam bentuknya telah kita lihat, yaitu pada periode-periode selanjutnya, dan masih kita saksikan.

Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir’aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu?

Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia mate­rial ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu mem­bentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih”.

Jika Muthahhari menilai agama secara positif dan memandangnya sebagai entitas konstitutif dalam masyarakat, menyehatkan masyarakat dan membangun peradaban, sebaliknya dari perspektif yang berseberangan dan bertolak-belakang, Russell senantiasa melihat agama secara kritis dan tak jarang melontarkan pernyataan-pernyataan sinis terkait agama dan kaum agamawan, bahkan tak segan-segan memandang agama sebagai “penyakit” dalam masyarakat dan peradaban ummat manusia: “Pandangan saya akan agama sama dengan Lucretius,” demikian tulis Russell, “saya menganggap agama sebagai penyakit yang timbul dari rasa takut dan sebagai sumber penderitaan yang tak terungkapkan bagi umat manusia”.

Yang haruslah kita pahami dalam konteks pandangan dan kritik Russell terhadap agama yang acapkali agak sinis adalah bahwa Russell senantiasa melihat dan mendekati agama sebagai seorang filsuf, lebih tepatnya sebagai seorang pemikir bebas yang memang dekat ke watak kaum ateis, kritikus sosial, dan tentu saja sebagai individu –yang acapkali kecewa dengan agama institusional yang seringkali terpolitisasi oleh politik dan kekuasaan. Sesekali Russell pun tak sungkan-sungkan melontarkan sindirian anti-agama, misalnya saat ia mengungkapkan bahwa ‘ketika ia akan dibawa ke hadapan Tahta Langit (Tuhan), ia akan menegur Penciptanya karena tidak menyediakan cukup bukti akan eksistensi-Nya’.

Meskipun demikian bagi kita para pembaca, demi menghindari tuduhan yang terlampau terburu-buru terhadap Russell dan demi menghindari simplifikasi tanpa dasar, kita sepertinya harus juga mengetahui bahwa seringkali pandangan Russell terhadap agama bersikap mendua dan fluktuatif, semisal pandangannya yang memuji agama (religiusitas personal), di mana ia acapkali juga menaruh hormat kepada agama, tepatnya sikap keberagamaan, yang mengembangkan simpati dan kasih-sayang: “Saya menganggap beberapa bentuk agama personal sangat dibutuhkan dan merasa banyak orang tidak puas karena tidak memilikinya”.

Singkat kata, agama yang dikritik dan diserang Russell adalah agama yang, misalnya, gandrung mengobarkan kebencian, permusuhan, perang, dan yang sejenisnya –yang menurutnya bersumber dari dogmatisme keagamaan yang seringkali bercampur dengan kepentingan politik dan kekuasaan institusional agama itu sendiri, hingga ia dengan cukup ekstrem menyatakan: “Kasih-sayang terhadap manusia bagi saya adalah dasar untuk melepaskan diri dari kesia-siaan mencari Tuhan”.

Hanya saja, ekstremisme Russell tersebut-lah yang justru dikritik oleh Muthahhari, di mana Russell seakan-akan tidak bisa memisahkan antara ‘agama’ itu sendiri dan perilaku para penganut agama bersangkutan, yang memang acapkali “memolitisasi” agamanya dan “menaklukkan” dan “memanipulasi” agama untuk kepentingan diri sendiri, golongan, atau kelompok yang acapkali “menggunakan” agama atau “mengatasnamakan” agama demi  kekuasaan dan ambisi politik, contohnya. Dengan kata lain, Russell mereduksi fenomena perilaku para penganut agama dan “menyamaratakan” atau main pukul rata dalam melihat dan memandang agama secara kritis dan sinis.

Harus diakui, memang banyak sekali pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisan Russell yang sangat keras mengkritik agama, misalnya:

“Mudah-mudahan kita sepakat (sependapat) untuk sementara bahwa agama adalah kepercayaan dengan banyak dogma yang mengarahkan perilaku manusia dan tidak didasarkan atas –atau bertentangan dengan- bukti yang riil.”

Beberapa komentator memandang kritik-kritik Russell terhadap agama tak jauh berbeda dengan serangan dan kritik Freud. Sementara itu, dalam konteks jaman kita saat ini, ada banyak contoh kritik dan serangan Russell terhadap agama mirip (atau malah pengembangan dari argumen dan retorika Russell sendiri) dengan retorika dan argumen kaum ateis militan mutakhir, semisal Richard Dawkins, Sam Harris, Daniel Dennet dan yang lainnya, yang ironisnya menempatkan diri di garis kaum fundamentalist, tanpa mereka sadari.

Sebagai seorang intelektual dan filsuf yang mendaku diri agnostik, sejumlah pandangan dan pernyataan Russell memang sama dengan pandangan dan khazanah kaum materialis, yang persis di sini dan dalam hal inilah, Muthahhari menyindir Russell, sementara beberapa komentator tulisan-tulisan Russell menilai klaim agnostisisme Russell mirip dengan pengakuan ateisme yang tidak eksplisit, untuk tidak menyebutnya sebagai pendakuan atau klaim yang malu-malu.

Pandangannya yang berciri materialis contohnya adalah pernyataan Russell yang berbunyi: “Sesungguhnya manusia itu lahir oleh berbagai faktor yang tidak direncanakan sebelumnya, dan tidak pula mempunyai tujuan tertentu. Prinsip manusia adalah pertumbuhan dan perkembangan, termasuk emosinya seperti cita-cita, rasa takut, cinta dan keyakinan, itu semua hanyalah gejala-gejala interaksi biologis dari berbagai partikel”.

Pandangan Russell tersebut digaungkan kembali oleh Richard Dawkins, sang biologist mutakhir yang kerap dijuluki sebagai juru-bicara kaum ateis militan saat ini. Russell sendiri memang mangaku sebagai pembaca The Origin of Species-nya Charles Darwin, dan menaruh hormat pada tulisan-tulisan Darwin: “Di rumah, saya diajarkan dasar-dasar Unitarianisme…..dalam sebagian besar masalah yang dibicarakan suasananya liberal……Darwinisme diajarkan sebagai materi khusus,” demikian tulisnya dalam otobiografinya yang berkisah tentang keluarganya yang Kristen puritan, sementara Russell sendiri, sebagaimana yang ia nyatakan, cenderung menjadi seorang yang berpikir bebas.

Bagi kita saat ini, contoh pandangan materialis Russell tersebut, kembali mendapatkan suaranya dalam pandangan dan tulisan-tulisan Richard Dawkins. Kita tahu, misalnya, Richard Dawkins pun tak jarang melakukan reduksi dan generalisasi. Dawkins misalnya menyatakan bahwa  teori evolusi mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Salah-satu buku Richard Dawkins yang populer, dan yang dijadikan sebagai media mempublikasi pandangan evolusionis materialisnya adalah The Selfish Gene yang kira-kira semacam pemaparan argumentasi tentang sifat selfish (mementingkan diri sendiri) yang merupakan kodrat gen yang natural alias alami.

Buku Dawkins tersebut, tak diragukan lagi, merupakan Darwinisme mutakhir jaman kita saat ini. Dalam buku tersebut, contohnya, Dawkins menyatakan bahwa prilaku mementingkan diri sendiri (selfish) dan prilaku baik (altruism) memiliki akar dalam biologi, lebih tepatnya dalam gen. Sifat-sifat tersebut, demikian menurut Dawkins, akan sangat mempengaruhi relasi (hubungan) antar makhluk hidup dan selanjutnya tentu saja berpengaruh dalam skala kehidupan sosial yang lebih luas, semisal dalam ekonomi dan politik. Contoh dari sifat mementingkan diri sendiri antara lain prilaku menolak membagi sumber-daya yang berharga seperti makanan, daerah atau pasangan, yang mencapai titik ekstrim pada kanibalisme atau mengorbankan orang lain untuk kepentingan sendiri. Sedangkan sifat altruisme, misalnya, tampak pada lebah yang mengorbankan nyawanya demi membela sarangnya, karena sesudah menyengat musuh, lebah akan mati.

Masih menurut Dawkins, adanya sifat-sifat di atas dapat diterangkan dengan hukum dasar yang disebut “gene selfishness”, atau sifat mementingkan diri sendiri gen. Sifat mementingkan diri sendiri timbul karena evolusi bekerja melalui seleksi alam. Hal ini berarti hanya yang paling fit yang akan dapat bertahan hidup. Namun apa yang menjadi dasar seleksi? Untuk menjelaskan hal ini sang penulis buku tersebut (Richard Dawkins) mengajak kembali ke asal mula terciptanya kehidupan di bumi. Bumi memiliki bahan mentah kimia yang melimpah, antara lain air, karbondioksida, metana, amonia, dan energi, namun melalui seleksi alam akhirnya tercipta sejumlah molekul yang lebih kompleks dan lebih stabil dibandingkan lainnya, dalam bentuk sup yang berisi asam amino, yaitu blok pembangun protein.

Dan sekarang kita kembali kepada pandangan dan pernyataan Russell yang berciri materialis, seperti yang telah disebutkan, di mana dalam menanggapi pandangan Russell tersebut, Muthahhari menyindirnya sembari membandingkan pandangan tersebut dengan tulisan dan pandangan Albert Eisntein. Muthahhari menulis:

“Dengan ucapannya (tersebut), Russell mengingkari wujudnya kekuatan intelegensi yang mengatur alam semesta dengan bijaksana, meskipun kadang-kadang dia juga mensifati dirinya sebagai termasuk golongan yang ragu-ragu (skeptis) dan agnostik. Pada sisi lain kita melihat Einstein –ilmuwan jenius abad 20- mengatakan pendapat yang menentang opini Russell dengan menyatakan, ‘Anda tidak akan menemukan di antara pikiran-pikiran para ilmuwan tanpa perasaan keberagamaan….Rasa keberagamaan itulah yang menuai keta’juban terhadap harmoninya hukum semesta, yang melahirkan superioritas intelektual atas rasa keberagamaan tersebut, dan tanpanya seluruh sistematika berpikir dan bertindak manusia akan menjadi sia-sia. Perasaan ini adalah penuntun yang mendasar bagi kehidupannya (kehidupan ilmuwan). Selanjutnya akan membebaskannya dari belenggu hawa nafsu egonya. Suatu hal yang niscaya bahwa perasaan keberagamaan itu erat kaitannya dengan mereka yang memiliki kegeniusan beragama pada setiap tingkat usia’. Bisakah kita berkata bahwa Russell lebih familiar dengan konsep sains modern sementara Einstein tidak?”

Dapat dikatakan, sejumlah pandangan dan tulisan Russell yang mengkritik agama, segaris dengan tulisan-tulisan dan pandangan-pandangan kaum materialis-ateis modern, meskipun Russell jarang menggunakan kepercayaan ateistik-nya sendiri untuk mengkritik agama, dan lebih sering melakukannya atas nama sains dan filsafat. Walau pun kerap-kali terdengar dan terasa, memang, bahwa beberapa tulisan dan pandangannya yang mengkritik agama bercitarasa ateistik dan materialistik. Barangkali hal itu karena sebuah resiko ketika ia berusaha mengupayakan suatu pandangan tentang agama yang sejalan dengan akal dan sains.

Meskipun demikian, kita harus berhati-hati untuk tidak menyamakan Russell dengan kaum ateis-materialis saat ini. Sebab bagaimana pun, sebagai seorang filsuf dan ahli polemis, Bertrand Russell acapkali lebih mampu bersikap rendah-hati, tidak memabi-buta, dan di atas segalanya, kita akan menjumpai bahwa dalam beberapa hal, pandangan Russell, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bersifat mendua dan fluktuatif sejauh menyangkut agama. Ia bahkan mengaku, sebagai sebuah seruan moral, masih memegang beberapa perintah Injil, seperti: “Janganlah engkau mengikuti orang-orang dalam bertindak jahat”, yang seperti didakunya, adalah motto pribadinya dalam kiprah sosial-politiknya.

Terlepas apakah berkaitan atau tidak berkaitan dengan sejumlah tulisan dan pandangan Russell yang berciri materialis di mana Muthahhari sempat menyindirinya itu, Muthahhari menulis bahasan khusus dan tersendiri dalam rangka mengkritisi aliran materialisme dan kaum materialis ini. Tilikan Muthahhari terkait materialisme tersebut, juga berkenaan dengan maraknya gerakan tersebut di Barat (khususnya Eropa) yang menggiringnya pada suatu telaah dan tesis di mana menurutnya gerakan materialisme dalam banyak hal lahir dan berkembang dalam situasi dan kondisi sosial-politik-historis dan teologis di Barat itu sendiri.

Menurut Muthahhari, suburnya paham dan gerakan materialisme di Barat tak dapat dilepaskan dari “kekurangan” doktrin Gereja Kristen dan kuatnya paham antropomorfisme Tuhan dalam doktrin Kristen dan Gereja Barat. Kita pun maphum, bahwa dalam sejarahnya, agama Kristen telah tercampur dengan paham dan budaya Yunani ketika diterima di Eropa (Barat). Muthahhari menulis:

“Gereja menggambarkan sosok Tuhan serupa dengan manusia dan mengajukannya kepada manusia dalam rupa antropomorfis. Di bawah Gereja (Barat)-lah mereka dibesarkan dengan mengkonsepsikan Tuhan sama dengan manusia dan bentuk fisik lainnya. Kemudian dengan kemajuan sains, mereka menjumpai gagasan itu tidak konsisten dengan kaidah-kaidah ilmiah yang objektif dan rasionalitas”.

Singkat kata, sedari awal, doktrin Gereja telah menempatkan dan memposisikan dirinya bertentangan dengan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan sains, dan anehnya hal ini pula yang banyak disoroti pula oleh Russell ketika mengkritik agama dan Gereja, yang juga menurut Russell, banyak bertentangan dengan sains dan ilmu pengetahuan. Mari kita simak apa yang ditulis dan dikemukakan oleh Russell ketika ia menyingkap kiprah Gereja Eropa di masa silam yang berseberangan dengan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan sains modern, hingga menghukum (menginkuisisi) banyak ilmuwan dan pendetanya yang sejalan dengan sains modern:

“Mereka (Gereja) berpendapat bahwa bumi adalah pusat alam semesta, dikelilingi oleh lapisan benda-benda angkasa, semua yang berada di luarnya adalah kerajaan dan singgasana Tuhan beserta malaikat-malaikatNya…..

Dan Calvin berkata: ‘Siapa yang akan berusaha menempatkan otoritas Copernicus di atas Roh Kudus?’ Tetapi pada umumnya Copernicus tidak banyak diperhatikan. Ia tidak memberi dasar yang kuat akan teorinya, dan karenanya boleh mengabaikannya.

Karya Galileo-lah yang menyebabkan Gereja Katolik mengumumkan Teori Copernicus sesat, pertama pada 1616 dan kemudian pada 1633. Serangan pada teori ini sangat keras. Jesuit Inchofer, salah-satu pemimpinnya, berkata pada 1631: ‘Pendapat bahwa Bumi bergerak adalah kesesatan yang paling menjengkelkan, paling jahat, paling keji; tidak bergeraknya Bumi adalah tiga kali sakral; argumen menentang keabadian jiwa, eksistensi Tuhan, dan inkarnasi, bisa lebih ditoleransi daripada argumen yang ingin membuktikan bahwa Bumi bergerak’.

Kita pun maphum, sebagaimana dikeluhkan oleh Russell tersebut, di abad ke-16 –yang lazim kita kenal sebagai Abad Inkuisisi di Eropa itu, Nicolaus Copernicus dengan berani mengemukakan teori dan pandangannya bahwa matahari tidak mengelilingi bumi sebagaimana yang dinyatakan Ptolomeus dan dipercayai Gereja, tapi bumi-lah yang justru mengelilingi matahari. Kesimpulan Heliosentrisnya itu ia dapatkan berdasarkan observasi dan perhitungan matematis, hanya saja ia tidak menerbitkan karyanya kala itu karena khawatir inkuisisi Gereja akan menimpa dirinya.

Seabad kemudian setelah temuan Nicolaus Copernicus itu –tepatnya di abad 17, Galileo Galilei dengan teleskop ciptaannya mampu membuktikan teori dan pandangan Nicolaus Copernicus tersebut dengan lebih meyakinkan, bahwa bumi mengelilingi matahari, yang juga menyebabkan terjadinya siang-malam secara bergiliran selama 24 jam. Karena kegigihan dan pembelaannya tersebut, Galileo dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Gereja. Sementara itu, seorang pendeta Dominikan yang juga membenarkan teori-nya Nicolaus Copernicus tersebut, yaitu Giordano Bruno (1548-1600) dibakar hidup-hidup di tiang pancang oleh Gereja di tahun 1600.

Terkait ketidakselarasan antara doktrin Gereja dan ilmu pengetahuan atau sains modern ini, yang meski berbeda tilikannya tapi masih searah dengan Russell, Muthahhari bahkan memandang beberapa ayat dalam Genesis (Kitab Kejadian) itu sendiri sudah menunjukkan sebagai ayat-ayat yang tidak selaras dengan ilmu pengetahuan dan akal. Muthahhari menulis:

Di dunia Kristiani, sayangnya, bagian-bagian tertentu dari Perjanjian Lama mengajukan gagasan, bahwa terjadi kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Dasar dari gagasan ini—yang sangat merugikan ilmu pengetahuan dan agama—adalah Kitab Kejadian, Perjanjian Lama.

Dalam meriwayatkan “Kisah Adam dan Pohon Terlarang”. Kitab Kejadian, Bab II, ayat 16-17 mengatakan:

Dan Tuhan Allah memberikan perintah kepada lelaki itu, dengan mengatakan, “Dari setiap pohon di surga, engkau boleh leluasa makan (buahnya). Namun untuk pohon pengetahuan tentang baik dan buruk, engkau tidak boleh makan (buahnya). Karena kalau engkau makan (buah) dari pohon itu, engkau pasti akan mati.”

Dalam Bab II, ayat 1-7 dikatakan:

Kini naganya lebih canggih ketimbang binatang buas sawah yang diciptakan Tuhan Allah. Dan dia berkata kepada wanita itu, “Ya, Tuhan telah berfirman, engkau tak boleh makan dari setiap pohon di surga?” Dan wanita itu berkata kepada sang naga, “Kita boleh makan buah dari pohon-pohon di surga. Namun untuk buah dari pohon yang ada di tengah-tengah surga, Tuhan telah ber­firman, engkau tidak boleh makan buah itu, juga tak boleh menyentuhnya, agar engkau tidak mati.” Dan sang naga berkata kepada sang wanita, “Tentu saja engkau dilarang, karena Tuhan tahu bahwa begitu engkau makan (buah itu), maka kedua matamu akan terbuka, dan engkau pun akan seperti dewa, tahu mana yang baik dan mana yang buruk.” Dan ketika sang wanita tahu bahwa pohon itu baik untuk makanan, dan bahwa pohon itu menyedapkan pandangan matanya, dan sebuah pohon yang dibutuhkan untuk membuat orang jadi arif, wanita itu pun memetik buah dari pohon itu, kemudian memakannya, dan juga memberikan kepada suaminya, dan sang suami pun memakannya. Dan mata mereka pun terbuka, dan mereka mendapati diri mereka telanjang. Lalu mereka menjahit daun-daun ara untuk pakaian mereka.

Dalam ayat 22-23 dalam Bab yang sama dikatakan:

Dan Tuhan Allah berfirman, “Lihatlah, lelaki itu menjadi seperti Kami, tahu yang baik dan yang buruk. Dan kini, jangan sampai dia mengulurkan tangannya, lalu memetik (buah) dari pohon kehidupan, kemudian makan (buah itu), dan hidup abadi.”

Menurut konsepsi tentang manusia, Tuhan, ilmu pengetahuan dan kedurhakaan ini, Tuhan tidak mau kalau manusia sampai tahu yang baik dan yang buruk. Pohon Terlarang adalah pohon pengetahuan. Manusia baru dapat memiliki pengetahuan kalau dia menentang perintah Tuhan (tidak menaati ajaran agama dan para nabi). Namun karena alasan itulah manusia terusir dari surga Tuhan.

Menurut konsepsi ini, semua isyarat buruk merupakan isyarat ilmu pengetahuan, dan nalar merupakan iblis sang pemberi isyarat. Sebaliknya, dari Al-Qur’an Suci kita menjadi mengetahui bahwa Allah mengajarkan semua nama (realitas) kepada Adam, dan kemudian menyuruh para malaikat untuk sujud kepada Adam. Iblis mendapat kutukan karena tak mau sujud kepada khalifah Allah (Adam) yang mengetahui realitas. Hadis-hadis Nabi (saw) menyebutkan bahwa Pohon Terlarang adalah pohon keserakahan, kekikiran dan hal-hal seperti itu, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan sisi hewani Adam, bukan berhubungan dengan sisi manusiawi Adam. Iblis selalu mengisyaratkan hal-hal yang bertentangan dengan akal dan hal-hal yang dapat memenuhi hasrat rendah (hawa nafsu). Yang mencerminkan iblis di dalam diri manusia adalah hasrat seksual, bukan akal. Beda dengan semua ini, yang kita temukan dalam Kitab Kejadian sungguh-sungguh sangat mengherankan”.

Pustaka:

[1]Basil Willey, The Eighteen Century Background, Beacon Press 1964
[2]Bertrand Russell, Education and Social Order (Pendidikan dan Tatanan Sosial, Yayasan Obor Indonesia 1993)
[3]Louis Greenspan and Stefan Anderson, Russell On Religion (Bertuhan Tanpa Agama, penerjemah: Imam Baehaqi, Resist Book 2008)
[4]Murtadha Muthahhari, The Causes Responsible for Materialist Tendencies in the West (Kritik Islam Terhadap Materialisme, penerjemah: Mujahid Husayn, Al-Huda 2001)
[5]Murtadha Muthahhari, Man and Universe (Falsafah Agama & Kemanusiaan, penerjemah: Arif Maulawi, RausyanFikr 2013)
[6]Thomas Nagel, The View from Nowhere, Oxford University Press 1986

Hak cipta © pada Sulaiman Djaya (2015)

Tidak ada komentar: