Adakah Perintah Agar Kita Berpegang Kepada Mazhab Empat?



[Terjemahan dari Kitab Limadha Akhtartu Madhhab Ahlul-Bait AS karya Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki. Edisi Pertama, Cetakan Halab, Syiria, 1402 H]. 

Ini (juga) merupakan sebagian daripada sebab-sebab yang mendorongku menjadi seorang Syi'ah. Manakala berdialog dengan mereka, aku dapati diriku dikalahkan oleh hujjah-hujjah mereka, tetapi aku tetap merasa tidak mau menerimanya kala itu. Aku masih mencoba mempertahankan hujjah-hujjahku yang lemah, tak lain karena kala itu aku merasa mempunyai keilmuan yang tinggi di dalam mazhab Syafi'i dan mazhab-mazhab lain. Yang lainnya karena aku telah menuntut ilmu yang banyak di Universitas al-Azhar, yang dengannya aku memperoleh ijazah yang tinggi sebagaimana aku telah menyebutkannya. 

Dialog kami mengambil masa tidak kurang daripada tiga tahun. Kemudian aku mulai meragukan dan menerima kelemahan serta kontradiksi mazhab empat, disebabkan perselisihan sesama mereka sendiri, yang begitu nyata dan tak teringkari.

Mengkaji Buku al-Muraja'at (Dialog Sunni-Syi'ah) 
Akhirnya aku mengkaji buku al-Muraja'at (Dialog Sunni- Syi'ah) karangan Ayatullah al-'Uzhma Sayyid Syarafuddin. Aku mengkajinya dengan teliti. Gaya bahasa dan kemanisan lafaznya mengagumkanku dan membuatku berpikir bagaimana dia dapat memberi hujjah-hujjah yang kuat di dalam dialognya dengan Syaikh al-Akbar Syaikh Salim al-Busyra, Rektor Universitas al-Azhar ketika itu. 

Aku dapati pengarangnya ketika berhujjah tidak berpegang kepada buku-buku Syi'ah, malah dia berpegang kepada buku-buku Sunni. Dan karenanya menjadi sukar bagi lawannya untuk menolaknya, sebab hujjah-hujjahnya dan dalil-dalilnya yang ada di dalam kedua pihak (Syi’ah dan Sunni).

Pada malam itu aku tidak dapat tidur sehingga aku puas hati bahwa kebenaran adalah bersama Syi'ah. Mereka berada di atas mazhab yang benar, sabit dan tetap begitu kuatnya, dan berasal dari Rasulullah SAWAW dan Ahlul-Baitnya AS. Tidak ada syubhat sedikitpun padaku. Aku percaya bahawa mereka tidaklah sebagaimana apa yang diperkatakan dan dituduhkan kaum pendengki dan munafik kepada mereka dengan tuduhan, celaan, dan kata-kata batil yang diciptakan kelompok pendengki dan munafik itu. 

Buku al-Muraja'at (Dialog Sunni-Syi'ah) untuk Saudaraku 
Pada keesokan harinya, aku memberi buku tersebut kepada saudaraku, Ahmad. Dia berkata kepadaku: Apakah ini? Aku menjawab kitab Syi'ah oleh pengarang Syi'ah. Lantas dia berkata kepadaku: Jauhkanlah buku itu dariku, sebanyak tiga kali. Sebab hal itu buku-buku yang sesat, aku tidak perlu kepadanya. Aku benci kepada Syi'ah dan perkara yang berkaitan dengan Syi'ah. Aku berkata: Ambillah dan bacalah saja karena kita tidak perlu beramal dengannya. Ia tidak akan merusak engkau jika engkau membacanya. Dan akhirnya ia pun mengambil buku tersebut, lalu mengkajinya dengan teliti. Dan akhirnya dia juga mengakui kebenaran Syi'ah. Dia berkata: Syi'ah di atas kebenaran. Selain daripada mereka adalah bersalah (Khati'un). 

Kemudian aku dan saudaraku meninggalkan mazhab Syafi'i dan kami berpegang kepada mazhab Syi'ah Ja'fariyyah. Ini disebabkan oleh dalil-dalil yang banyak dan terang. Hati kecilku menikmati ketenangan dengan berpegang kepada Mazhab Ja'fari, mazhab Ahlu l-Bait Rasulullah SAWAW karena aku mengetahui bahwa aku telah sampai kepada matlamat yang paling jauh yaitu berpegang kepada mazhab yang paling suci, yaitu berpegang kepada mazhab keluarga suci (al-Itrah al-Tahirah). 

Dengannya aku mempercayai suatu keyakinan yang tidak dicampuri syak-wasangka dan waham semata, bahwa aku telah berjaya daripada siksaan Allah SWT. Aku bersyukur kepada Allah SWT di atas kejayaan semua keluargaku dan kebanyakan kaum kerabatku, sahabat-sahabatku, dan lain-lain. Ini adalah satu karunia dan nikmat dari Allah SWT yang tidak dapat dinilainya selain daripada Dia sendiri yang berhak: “Wilayah keluarga Rasul SAWAW, karena tidak ada kejayaan kecuali dengan mengangkat mereka sebagai auliya”. Sebuah hadith Rasul SAWAW yang dibenarkan oleh Sunni dan Syi'ah itu adalah: "Perumpamaan keluargaku (ahlul-baitku) sepertilah bahtera Nuh, sesiapa yang menaikinya ia akan berjaya dan sesiapa yang tidak menaikinya akan tenggelam dan binasa." Aku memohon kepada Allah SWT agar merestui kami karena mengangkat wilayah Ahlu l-Bait AS dan mencintai mereka. 

Beberapa Kelompok Pun Menjadi Syi'ah Bersama-Sama Kami 
Akhirnya, sejumlah besar orang dari saudara-saudara kami yang Sunni dari Suriah, Libanon, Turki, dan lain-lain telah turut menjadi Syi'ah bersama kami. Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kepada kami dan kami tidak akan mendapat hidayah, sekiranya Allah tidak memberi hidayah kepada kami.  Apabila tersebarnya berita mengenai kami, orang ramai tanpa sungkan-sungkan datang kepada kami, bertanya kepada kami tentang sebab-sebab yang mendorong kami berpegang kepada mazhab Ahlul-Bait dan meninggalkan mazhab Syafi'i. Kami memberikan jawapan kepada mereka bahwa dalil-dalil yang kuat bersama kami. Maka sesiapa yang ingin supaya kami menerangkan kepadanya mazhab al-Haqq, maka hendaklah ia datang kepada kami. 

Orang Ramai Menjadikan Kami Sebagai Rujukan 
Dalam masa yang singkat saja, orang ramai telah datang kepada kami. Mereka terdiri dari para ulama, guru, pegawai, peniaga, dan lain-lain. Kami menjelaskan kepada mereka kebenaran mazhab Ahlul-Bait AS berdasarkan rujukan Sunni yang muktabar. Di kalangan mereka ada yang mendengar dan berpuas hati, kemudian berpegang kepada mazhab Ahlul-Bait AS, dengan meninggalkan mazhab yang terdahulu. Di kalangan mereka ada yang fanatik, dan terus berpegang kepada mazhabnya. Keuzurannya adalah kejahilannya, dan fanatiknya adalah bahwa dia tidak mampu mempertahankan mazhabnya. Demikianlah berlalunya hari-hari, kami terus berdakwah sehingga banyak orang berpegang kepada mazhab Ahlul-Bait AS di Suriah, Libanon, dan di Turki, al-Hamdu Lillah. 

Muzakarah Di Antaraku Dan Saudaraku 
Untuk menambahkan keyakinan, aku dan saudaraku bermuzakarah tentang mazhab Ja'fari. Kadang-kadang dia jadikan dirinya sebagai seorang Syi'ah dan aku menjadikan diriku seorang Sunni. Kemudian kami memulakan perbincangan. Aku mengemukakan kepadanya beberapa persoalan, maka dia memberi jawapan kepadaku mengenainya berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah. Di dalam perbincangan itu, aku melihat diriku dikalahkan olehnya, lalu aku melihat kebenaran bersama Syi'ah. Dan pada masa yang lain aku jadikan diriku sebagai seorang Syi'ah dan saudaraku sebagai seorang Sunni, maka kami pun bermuzakarah di dalam beberapa masalah. Dia ketawa dan melihat dirinya dikalahkan dan berkata: Kebenaran adalah bersama Syi'ah. Demikianlah berulangnya muzakarah di antara kami. Dan dengan cara ini kami dapati bahwa sesungguhnya kebenaran bersama Syi'ah karena kebenaran adalah tinggi dan tidak ada sesuatu yang lebih tinggi daripadanya. 

Sebagai contoh manakala dia jadikan dirinya sebagai seorang Syi'ah, dia meminta dalil daripadaku karena berpegang kepada salah satu daripada mazhab yang empat seraya berkata: "Apakah dalil Anda berpegang kepada mazhab Syafi'i atau Hanafi, Maliki atau Hanbali? Adakah Anda dapati dalil daripada ayat al-Qur'an seperti maksud firman-Nya (di dalam Surah al-An'am (6): 153 yang bermaksud: "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan (yang lain) karena jalan itu menceraiberaikan kami dari jalanNya." Lihatlah bagaimana Allah SWT menyuruh orang-orang Mukminin supaya berpegang kepada jalanNya yang lurus, dan melarang kami daripada mengambil jalan-jalan (Subul) yang bermacam-macam supaya kami tidak sesat daripada jalanNya. 

Dia bertanya lagi: Adakah Anda mendapati hadis Sahih yang mendukung dan menopang pegangan Anda kepada salah satu daripada empat mazhab? Aku menjawab: Ijmak. Maka dia berkata kepadaku: Tidak ada ijmak, karena mereka berselisih faham pada mazhab-mazhab tersebut, bagaimana pula ijmak dapat dilakukan sementara berselisih bahkan saling menuduh sesat di antara mereka sendiri? 

Apabila dia bertanya kepadaku, aku jadikan diriku sebagai seorang Ja'fari, aku memberikan dalil-dalil daripada al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya. Aku berkata: Sebuah hadis Rasulullah SAWAW yang dimaksud itu adalah: "Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang berharga, kitab Allah dan Itrah  Ahlul-Baitku, selama kalian berpegang kepada kedua-duanya, kalian tidak akan sesat selepasku selama-lamanya. Kedua-duanya tidak akan terpisah sehingga kedua-duanya dikembalikan di Haudh. Justeru itu jagalah baik-baik, bagaimana kalian memperlakukan kedua peninggalanku (tsaqalain) itu." Dan juga sabda Rasulullah SAWAW: "Perumpamaan Ahlul-Baitku pada kalian seperti bahtera Nuh, sesiapa yang menaikinya akan berjaya, dan sesiapa yang tidak menaikinya akan tenggelam." Dia menyerah kalah dan berkata kepadaku: Kebenaran bersama Anda. Begitulah kami melihat kebenaran itu tetap di samping Ahlul-Bait Rasulullah SAWAW. 

Istilah Sebagai Syi'ah 
Sebagaimana kalian telah mengetahui bahwa dalil-dalil yang kuat dan hujjah-hujjah yang terang terdapat di dalam buku-buku Sunni dan Syi'ah tentang kebenaran berpegang kepada mazhab Ja'fari kerana merupakan silsilah emas (manaqib ad-dzahabiah) yang tersusun rapi dan tidak dapat dipisahkan sebagaimana firman-Nya dalam (Surah al-Baqarah (2): 256 yang berbunyi: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus." 

Sebagaimana sebuah hadith muktabar yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib AS dari Nabi SAWAW bersabda: "Kamilah al-Urwah al-Wusthqa (simpul tali yang amat kuat)." Di dalam riwayat yang lain beliau bersabda: "Kamilah al-Sirat al-Mustaqim, kamilah subul (jalan-jalan) kepada Allah." Contoh-contoh hadis seperti ini adalah sangat banyak dan tak mungkin dibatilkan karena bersumber dari Ahlulbait Rasulullah (wilayah yang paling dekat dengan risalah pewahyuan) sebagaimana tak terpisahkannya rumah dengan pintunya. Semuanya menjelaskan kepada kita sabil (jalan) untuk berpegang kepada mazhab Syi'ah. Maka kami menerimanya dengan penuh kegembiraan karena ingin kejayaan dan kemenangan di akhirat kelak. Semoga Allah juga memberi petunjuk kepada kalian.  Sebagaimana seorang penyair bernama al-Kumait berkata dalam puisinya: "Aku adalah Syi'ah Ahmad, dan mazhabku adalah mazhab al-Haqq”

As-Syafi'i berkata: “Manakala aku melihat manusia berpegang kepada mazhab yang bermacam-macam di lautan kebodohan dan kejahilan. Aku menaiki, dengan nama Allah, bahtera kejayaan, mereka adalah Ahlul-Bait al-Mustafa, dan pamungkas segala Rasul. Aku berpegang kepada tali Allah dengan mewalikan mereka sebagaimana Dia memerintahkan kita berpegang kepada tali-Nya. Telah berpecah di dalam agama tujuh puluh golongan lebih sebagaimana tercatat di dalam hadis. Semuanya tidak berjaya kecuali satu golongan, maka katakanlah kepadaku mengenainya wahai orang yang mempunyai pikiran dan akal. Adakah golongan yang binasa itu Ali Muhammad? Atau golongan lain yang berjaya? Katakanlah kepadaku! Sekiranya engkau berkata mengenai orang-orang yang berjaya, maka jawapannya adalah satu (keluarga Muhammad dan pengikut-pengikutnya). Dan sekiranya engkau berkata tentang golongan yang binasa, niscaya engkau tidak boleh berbuat apa-apa lagi. Dan sekiranya maula (wali dan pemimpin) mereka adalah daripada mereka (Ahlul-Bait AS) maka sesungguhnya aku telah meridhai mereka dan senantiasa berteduh di bayangan mereka. Tinggallah Ali untukku sebagai Wali dan juga Keturunannya (11 imam penerus Imam Ali). Dengan mereka (ahlulbait) kalian termasuk orang-orang yang tinggal di dalam kesenangan (abadi di akhirat kelak).

Iman dan Sains



Oleh Albert Einstein (fisikawan penemu teori relativitas)

Selama periode awal evolusi spiritual umat manusia, khayalan manusia relah menciptakan tuhan-tuhan dalam citra manusia sendiri

Selama abad yang lalu, dan sebagian abad sebelumnya, tersebar luas pandangan bahwa ada pertentangan yang tak dapat didamaikan antara ilmu dan agama. Pandangan yang dianut para tokoh zaman itu adalah bahwa sudah saatnya iman digantikan oleh pengetahuan. Iman yang tak bersandar pada pengetahuan adalah takhayul, dan karenanya harus ditolak. Menurut konsepsi ini, fungsi satu-satunya pendidikan adalah untuk membuka jalan kepada pemikiran dan pengetahuan; dan sekolah, sebagai bagian paling penting pendidikan manusia, haruslah memenuhi hanya tujuan itu saja.

Memang amat sulit kita temukan –kalaupun ada – sudut pandang rasionalistik yang diungkapkan dalam bentuk sekonyol itu; karena setiap orang dapat dengan mudah melihat betapa sepihaknya pernyataan itu. Tapi kita perlu menyatakan suatu tesis secara tajam dan telanjang sama sekali, jika ingin mengetahui hakikat sejatinya.

Adalah benar bahwa keyakinan hanya dapat didukung dengan baik oleh pengalaman dan pikiran jernih. Pada titik ini, kita mesti bersepakat sepenuhnya dengan kaum rasionalis ekstrem. Bagaimanapun, titik lemah konsepsi ini adalah bahwa keyakinan tersebut –yang amat penting dan menentukan perilaku dan penilaian kita– tak dapat ditemukan hanya pada wilayah ilmu yang ketat ini.

Ini disebabkan metode ilmiah tak dapat mengajarkan apa pun tentang bagaimana fakta-fakta berhubungan, dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Penghargaan kepada pengetahuan objektif seperti itu haruslah diberikan kepada orang-orang dengan kemampuan tertinggi yang mengembangkannya, dan saya harap Anda tidak menuduh saya ingin mengecilkan pencapaian-pencapaian dan usaha-usaha heroik dari orang-orang yang bergiat di bidang ini. Namun, sama jelasnya adalah bahwa pengetahuan tentang apa yang sebenarnya tidaklah langsung membukakan pintu bagi apa yang seharusnya. Seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang paling lengkap dan paling jelas tentang apa sebenarnya, tapi tak mampu menyimpulkan darinya suatu tujuan dari aspirasi kemanusiaan kita.

Pengetahuan objektif melengkapi kita dengan alat ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, tapi tujuan puncak itu sendiri dan rasa rindu untuk mencapainya harus datang dari sumber lain. Dan hampir tidak perlu memperdebatkan pandangan bahwa kemaujudan dan aktivitas kita memperoleh makna hanya dengan penetapan tujuan seperti itu dan nilai-nilai yang berhubungan dengannya. Pengetahuan tentang kebenaran seperti apa adanya adalah menakjubkan, tapi hanya sedikit perannya sebagai pembimbing, karena bahkan pengetahuan itu sendiri tak dapat membuktikan alasan pencariannya. Maka, di sini kita berhadapan dengan batas konsepsi yang murni rasional dari kemaujudan kita.

Tapi kita juga tak dapat mengasumsikan bahwa pemikiran akal tak dapat berperan sama sekali dalam pembentukan tujuan dan penilaian etis. Ketika seseorang menyadari bahwa untuk mencapai suatu tujuan diperlukan suatu cara, di situ cara itu sendiri sudah menjadi tujuan. Meskipun demikian, berpikir semata tak dapat memberikan suatu kepekaan atau rasa akan tujuan akhir. Bagi saya, inilah tampaknya peranan terpenting yang harus dimainkan oleh agama dalam kehidupan sosial manusia. Yaitu, untuk memperjelas tujuan dan penilaian fundamental ini, dan untuk menancapkannya dalam kehidupan emosional manusia.

Dan jika ada yang bertanya, dari otoritas mana kita mesti mendapatkan tujuan fundamental ini –karena tujuan itu tak dapat dinyatakan dan dijustifikasi hanya oleh nalar– maka jawabannya adalah: tujuan tersebut maujud dalam masyarakat yang sehat sebagai tradisi yang kuat, yang mempengaruhi perilaku, harapan-harapan, dan penilaian anggotanya; tujuan-tujuan itu ada di sana, yaitu, sebagai sesuatu yang hidup, tanpa merasa perlu menemukan justifikasi bagi keberadaannya. Tujuan-tujuan itu maujud tanpa melalui pembuktian atau demonstrasi, tapi lewat semacam pewahyuan, dengan perantaraan pribadi-pribadi tangguh. Tak perlulah menjustifikasinya, tapi yang penting adalah merasakan hakikatnya, secara sederhana dan jernih.

Kini, meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah saling membatasi dengan jelas, bagaimanapun ada hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tapi ia telah belajar dalam artinya yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Dan ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah terilhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga di sini adaIah kepercayaan akan kemungkinan bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu, dapat dipahami nalar. Saya tak dapat percaya ada ilmuwan yang tak memiliki kepercayaan tersebut. Keadaan ini dapat diungkapkan dengan suatu citra: “ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu buta”.

Meskipun saya sudah menyatakan di atas bahwa sesungguhnya tak boleh ada pertentangan antara ilmu dan agama, saya mesti menekankan sekaIi lagi pernyataan itu pada titik yang esensial, dengan mengacu kepada kandungan aktual agama-agama dalam sejarah. Pembahasan ini berhubungan dengan konsep Tuhan.

Perasaan Religus-Kosmik

Semua yang dilakukan dan dipikirkan manusia adalah berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang amat dirasakannya dan usaha menghindari perasaan tidak enak. Ini harus tetap diingat jika kita ingin memahami gerakan-gerakan spiritual dan perkembangannya. Perasaan dan keinginan adalah kekuatan pendorong segala upaya dan kreasi manusia, betapapun tersamarnya ia menampakkan diri kepada kita. Kini, perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan apakah yang telah membawa manusia kepada pemikiran dan keyakinan religius dalam artinya yang paling luas? Pengamatan sepintas saja sudah cukup menunjukkan kepada kita bahwa pemikiran dan pengalaman religius dilahirkan oleh perasaan-perasaan yang amat beragam.

Bagi orang primitif, rasa takutlah, di atas segalanya, yang menimbulkan gagasan religius –takut lapar, binatang buas, sakit, dan mati. Karena pada tingkat kemaujudan ini pemahaman akan hubungan sebab-akibat biasanya tak cukup berkembang, maka akal manusia menciptakan wujud-wujud khayali yang sedikit banyak berfungsi sebagai bagian dari hubungan sebab-akibat: peristiwa-peristiwa menakutkan terjadi sebagai akibat kehendak dan perbuatan wujud-wujud khayali tersebut. Dengan demikian, seseorang berusaha memenuhi keinginan wujud-wujud itu dengan menyajikan kurban-kurban dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang –menurut tradisi yang diteruskan secara turun-temurun ke tiap generasi– bertujuan mendamaikan wujud-wujud itu atau membuat mereka bersikap baik kepada manusia.

Di sini saya sedang berbicara tentang agama-takut. Agama ini adalah suatu tahap penting yang, meskipun tak diciptakan, diteguhkan oleh pembentukan suatu kelompok kependetaan istimewa yang meletakkan dirinya sebagai perantara antara manusia dengan wujud-wujud yang mereka takuti itu, dan kasta ini membangun kekuasaan di atas dasar ini. Seringkali seorang pemimpin, penguasa, atau suatu golongan privilese, yang mendapatkan posisinya karena faktor-faktor lain, mengkombinasikannya dengan fungsi kependetaan agar otoritas sekularnya itu dapat lebih aman terjamin. Atau, para penguasa politik dan kelompok kependetaan bekerja sama demi kepentingan masing-masing.

Desakan-desakan sosial adalah sumber lain dari terbentuknya suatu agama. Bapak, ibu, dan para pemimpin masyarakat adalah makhluk- makhluk yang fana dan dapat berbuat salah. Kebutuhan mereka akan perlindungan, kasih sayang, dan dukungan mendorong manusia untuk membuat konsepsi sosial atau moral tentang Tuhan. Inilah Tuhan Sang Pemelihara yang melindungi, memberi kepastian, memberi ganjaran, dan menghukum; Tuhan yang –sesuai dengan batas pandangan orang yang percaya– mencintai dan memuliakan kehidupan suatu suku atau kehidupan umat manusia, atau bahkan kehidupan itu sendiri; Tuhan yang menjadi penghibur dalam penderitaan dan dalam keinginan yang tak terpuasi; dialah yang memelihara jiwa-jiwa orang yang telah mati. Inilah konsepsi sosial atau moral tentang Tuhan.

Kitab suci agama Yahudi dengan menarik menggambarkan perkembangan dari agama-takut ke agama-moral ini –sebuah perkembangan yang berlanjut dalam Perjanjian Baru. Agama bangsa-bangsa beradab, khususnya bangsa-bangsa Timur, pada pokoknya adalah agama-moral.

Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral adalah satu langkah besar dalam kehidupan umat manusia. Namun, kita tetap harus mewaspadai prasangka bahwa agama primitif didasarkan sepenuhnya pada rasa takut, dan agama bangsa beradab sepenuhnya pada moralitas. Yang benar adalah bahwa semua agama merupakan campuran yang beragam dari kedua tipe tersebut, dengan satu perbedaan: pada tingkat kehidupan sosial yang lebih tinggi, agama moralitas lebih menonjol.

Satu hal yang ada pada semua tipe ini adalah watak antropomorfis dalam konsepsi tentang Tuhan. Pada umumnya, hanyalah orang-orang yang mempunyai bakat istimewa dan yang cerdas, yang merupakan perkecualian, yang dapat naik sampai ke suatu tingkat jauh di atas tingkat ini. Tetapi, ada tingkat ketiga dari pengalaman religius yang ada pada semua tipe tersebut, meskipun jarang ditemukan dalam bentuknya yang murni: saya menyebutnya dengan “perasaan religius-kosmik”.

Sangatlah sulit menjelaskan perasaan ini kepada orang yang sama sekali tak memilikinya, khususnya karena tidak ada konsepsi antropomorfis tentang Tuhan yang berhubungan dengan perasaan itu.

Orang itu merasakan betapa sia-sianya keinginan dan tujuan manusia, dan merasakan kelembutan dan ketertiban yang menakjubkan yang mengungkapkan dirinya dalam alam dan dunia pemikiran. Kemaujudan individual hanya terkesan sebagai semacam penjara dan ia mengalami alam semesta sebagai suatu keseluruhan tunggal yang bermakna. Awal perasaan religius-kosmik sudah muncul pada tingkat awal perkembangan, sebagai contoh, dalam banyak Kitab Zabur Nabi Dawud dan pada beberapa Nabi. Agama Budha seperti yang kita pelajari, terutama dari tulisan-tulisan Schopenhauer, berisi unsur yang lebih kuat dari perasaan tersebut.


Para jenius religius dari segala zaman dibedakan oleh perasaan religius semacam ini, yang tidak mengenal dogma dan konsepsi Tuhan dalam bentukan citra manusia; maka tak akan ada gereja yang ajaran-ajaran utamanya didasarkan pada hal tersebut. Karenanya, kita menemukan orang-orang yang penuh dengan perasaan religius tertinggi ini hanya di antara para heretik (yang dianggap melakukan bid’ah-bid’ah) di setiap zaman; dan dalam banyak hal mereka dipandang oleh orang-orang sezamannya sebagai orang ateis, kadang-kadang juga sebagai santo (wali). Dari sudut pandang ini, orang-orang seperti Demokritos, Francis Assisi, dan Spinoza, sangat mirip satu dengan lainnya.

Bagaimana mungkin perasaan religius-kosmik dikomunikasikan kepada orang lain, kalau perasaan itu memunculkan tak satu pun gagasan yang mutlak tentang Tuhan, dan memunculkan tak satu pun teologi? Dalam pandangan saya, inilah fungsi terpenting seni dan ilmu, yaitu, untuk membangkitkan perasaan ini dan memeliharanya agar tetap hidup pada orang-orang yang dapat menerimanya.

Dengan demikian, kini kita sampai kepada suatu konsepsi yang sangat berbeda dan biasanya tentang hubungan antara ilmu dan agama. Jika seseorang melihat masalah ini secara historis, ia akan cenderung untuk melihat ilmu dan agama sebagai dua hal yang saling berlawanan yang tak dapat didamaikan –dan ada alasan yang jelas untuk ini.

Manusia Religius

Selama periode awal evolusi spiritual umat manusia, khayalan manusia relah menciptakan tuhan-tuhan dalam citra manusia sendiri, yang –dengan berlangsungnya kehendak mereka – ingin menentukan, atau paling tidak mempengaruhi sampai tingkat tertentu, dunia fenomenal. Manusia berusaha mengubah ketentuan tuhan-tuhan ini untuk kebaikan mereka sendiri dengan cara magis dan penyembahan. Gagasan Tuhan pada saat ini adalah penghalusan dari konsep lama tentang tuhan-tuhan. Sifat antropomorfisnya tampak, misalnya, pada kenyataan bahwa manusia memuja Wujud Ilahiah dalam sembahyang-sembahyangnya, dan memohon dipenuhinya keinginan-keinginan mereka.

Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu Tuhan personal yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah dapat menjadi pelipur lara, pemberi bantuan dan pembimbing manusia; juga, disebabkan sederhananya gagasan itu, ia dapat dipahami oleh orang yang pikirannya paling lemah sekalipun.

Tapi, di pihak lain, ada kelemahan yang amat penting dalam gagasan antropomorfis ini sendiri, yang terasa amat menyakitkan sejak permulaan sejarah, yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka setiap peristiwa, termasuk setiap perbuatan manusia, setiap pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi manusia adalan juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan pemikirannya di depan Wujud mahakuasa seperti itu? Dalam memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati penilaian terhadap Diri-Nya sendiri. Bagaimana ini dapat dikombinasikan dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifatnya?

Sumber utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak pada konsep Tuhan yang personal ini.

Orang yang yakin sepenuhnya pada berlakunya hukum sebab-akibat secara universal, tak akan bisa menganut suatu gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya peristiwa-peristiwa – tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis sebab-akibat itu secara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut, begitu juga agama-moral. Suatu Tuhan yang memberi ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena alasan sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan harus dilakukan, sehingga di mata Tuhan ia tak dapat bertanggung jawab –persis sama sebagaimana halnya suatu benda mati tak bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang dijalaninya.

Demikianlah, maka ilmu telah dituduh menghancurkan moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia harus didasarkan secara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan sosial, dan kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar agama. Manusia pasti akan menjadi miskin kalau ia harus dikekang oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan akan ganjaran setelah mati.

Maka, mudah kita pahami mengapa gereja selalu memerangi ilmu dan menghukum para pendukungnya. Di pihak lain, saya berpendapat bahwa perasaan religius-kosmik merupakan motif paling kuat dan mulia bagi penelitian keilmuan. Hanya mereka yang mengerti usaha yang luar biasa dan pengabdian yang telah mewujudkan semua karya pionir dalam ilmu-teoretis, yang dapat menangkap kekuatan emosi yang karenanya karya-karya tersebut – yang begitu jauh dari kenyataan hidup sehari-hari – dapat tercipta.

Betapa dalamnya keyakinan tentang rasionalitas alam semesta, dan betapa kuatnya dorongan untuk memahami yang pasti dimiliki Kepler dan Newton, sehingga mereka dapat bertahan dalam kerja-sunyinya yang bertahun-tahun untuk menguraikan prinsip-prinsip mekanik alam semesta. Mereka yang pengalamannya dalam penelitian keilmuan didapat dari terutama hasil-hasil praktisnya, dengan mudah mengembangkan gagasan yang sama sekali salah tentang mentalitas manusia yang –dalam lingkungan alam skeptis– telah menunjukkan kepada sesamanya suatu semangat yang terserak ke seluruh dunia dan sepanjang masa.

Hanya seseorang yang mengabdikan hidupnya demi tujuan-tujuan serupa yang bisa mempunyai suatu kesadaran gamblang akan apa yang telah mengilhami orang-orang itu dan yang memberi mereka kekuatan untuk tetap setia kepada tujuan-tujuan mereka, meski mengalami kegagalan-kegagalan yang tak terhitung. Adalah perasaan religius-kosmik yang memberi seseorang kekuatan semacam itu. Seorang dari zaman kita telah mengatakan bahwa di zaman yang materialistis ini, hanyalah pekerja ilmu yang serius yang benar-benar merupakan orang religius.

[Tulisan ini diambil dari tiga tulisan yang membahas tema “Agama dan Ilmu”. Yang pertama ditulis untuk New York Times Magazine, 9 November 1930; yang kedua disampaikan pada Princeton Theological Seminary, 19 Mei 1939; dan yang ketiga dimuat pada Science, Philosophy, and Religion: A Symposium yang diterbitkan pada 1941 oleh Conference on Science, Philosophy, and Religion in Their Relation to the Democratic Way of Life. Di sini sengaja diambil satu tulisan lengkap dan sebagian dari dua tulisan lainnya agar gagasan Einstein terungkap secara utuh, tapi tidak tumpang-tindih. Diterjemahkan oleh Zainal Abidin dari Sonja Bargmann (ed.), Ideas and Opinions by Albert Einstein, Bonanza Books, New York].

Catatan: Menjelang akhir hayatnya, dikabarkan bahwa Albert Einstein memeluk Islam dan memilih Syi’ah Imamiah Itsna Asyariyah sebagai khazanah dan mazhabnya, atau yang lazim dikenal Mazhab Ahlulbait as.

Khomeini, dari Revolusi hingga Nuklir


Oleh Ahmad Fadhil, M. Hum (Pengajar Filsafat dan Konseling Islam di IAIN Maulana Hasanuddin Banten)

Imam Khomeini terlihat sedang berwudhu. Fisiknya yang sudah lemah membuat ia nampak dapat digoyang-goyang oleh angin. Pengawal pribadinya melihat itu, dan berkata dalam hati, “Bagaimana orang yang lemah seperti ini dapat membuat Amerika ketakutan?” Lalu si pengawal melihat Khomeini menghampiri dan berkata kepadanya, “Apakah engkau ingin membuat takut Amerika?” Si pengawal menjawab, “Ya.” Khomeini berkata, “Kalau begitu, engkau harus memperkuat hubunganmu dengan Allah.”

Bangsa Iran dan para pengagum Khomeini kini sedang memperingati 19 tahun wafatnya beliau. Ia wafat pada tanggal 3 Juni 1989. Revolusi Islam yang dipimpinnya berhasil memantik kekuatan tersembunyi bangsa Iran dan menempatkan mereka di deretan negara maju dan masuk ke pentas perimbangan kekuatan internasional sebagai aktor utama. Tidak disangsikan bahwa dalam rentang waktu 29 tahun umur revolusi ini, sudah banyak kemajuan yang telah diraih oleh bangsa Iran. Penguasaan sain dan teknologi yang dimahkotai dengan masuknya Iran ke deretan negara pemilik teknologi nuklir dan luar angkasa—sebagai contoh—menuntut adanya kekuatan yang besar di level rakyat.

Bagaimana hal ini terjadi? Bagaimana pesan sederhana seperti pentingnya setiap muslim memperkuat hubungannya dengan Allah seperti terungkap dalam fragmen di atas mampu membuat Iran mewujudkan langkah besar secara politik dan ilmiah, sehingga negara-negara imperialis itu sekaligus terkejut dan bingung, membuat kita tertuntut untuk mengetahui siapa dan apa peran Khomeini bagi bangsa Iran?

Sekelumit Biografi
Ayatullah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini lahir pada tanggal 24 September 1902 di Khomein, kota di dekat Isfahan, 30-40 km dari Teheran. Beberapa bulan setelah kelahirannya, ayahnya, Ayatullah Mushthafa Khomeini meninggal, sehingga ia diasuh oleh ibu dan bibinya. Pada usia 15 tahun, ia kehilangan ibu dan bibinya dalam satu tahun.

Hingga berusia 18 tahun, ia tinggal dan belajar di Khomein. Pada tahun 1921, ia pergi ke Irak untuk belajar. Tidak lama di sana ia langsung pulang ke Qum. Di Qum, ia belajar bahasa Arab, logika, teologi, matematika, astronomi, filsafat, irfan. Di antara gurunya adalah Ayatullah Shahabadi dan Ayatullah Tabrizi.

Pada usia 27 tahun ia mulai mengajar pada bidang-bidang teosofi, fiqih, dan etika.

Sedari muda, ia sudah melawan gerakan anti agama, korupsi, dan penyimpangan baik sosial maupun teologis. Ia menulis buku Kasyf al-Asrâr dan menulis 27 kejahatan Mohammad Reza Shah.

Pada tahun 1960, ia terjun ke kancah perjuangan praktis dengan menentang UU yang menyatakan bahwa pemilih dan kandidat tidak mesti muslim. Ia mengundang para marja ke rumahnya dan mengajak mereka bersatu menentang UU tersebut. Hasilnya, rakyat turun berdemonstrasi hingga UU itu dibatalkan.

Pada tahun 1963 pemerintah menyerang Madrasah Faidhiyah hingga menewaskan beberapa pelajar. Khomeini berpidato dan menyingkap hubungan rahasia Iran dengan Israel. Tanggal 15 Juni 1963, pukul 03.00, rumah Khomeini dikepung, lalu ia ditangkap dan dibawa ke Teheran. Ketika masyarakat tahu ia ditangkap, mereka turun ke jalan-jalan di Qum dan Teheran. Ribuan dari mereka terbunuh. Karena tekanan rakyat, pemerintah membebaskan Khomeini dan menetapkan tahanan rumah baginya.

Pada tahun 1964, pemerintah mengeluarkan satu UU yang membuat Khomeini sangat marah. Ia mengirim utusan ke daerah-daerah untuk mengabarkan bahwa ia akan berpidato menyikapi UU tersebut. Ia mengecam Amerika, ditangkap lagi, lalu diasingkan ke Ankara, Turki. Ia diasingkan di Turki selama 9 bulan. Reza Shah kaget bahwa rakyat semakin melawan. Pada masa ini, Khomeini menulis Tahrir al-Wasilah, risalah praktis yang ditulis sebagai syarat untuk menjadi marja. Di buku ini, berbeda dengan buku-buku marja lainnya, ia menulis tema jihad dan amar makruf nahi munkar.

Masih pada tahun 1964, Khomeini diasingkan ke Najaf. Dari Najaf, ia tetap menjaga hubungan dengan kader-kader revolusi dan keluarga syuhada.

Pada tahun 1967, terjadi perang antara Israel dengan negara-negara Arab. Khomeini bertemu dengan tokoh-tokoh perjuangan Palestina dan berfatwa, “Menolong Palestina dan Libanon hukumnya wajib.” Inilah pertama kalinya seorang marja mengeluarkan fatwa dalam bidang ini. Pada saat itu, pemerintah Iran sangat dekat dengan Amerika. Amerika mengirim bantuan senjata, pesawat tempur, dan minyak ke Israel lewat Iran.

Pada tanggal 23 Oktober 1977, Mushthafa, anak Imam Khomeini terbunuh. Imam diberi tahu. Ia hanya diam, lalu tangannya memegang tanah, lalu berkata, “Ini adalah rahmat Allah.” Banyak orang yang tidak mengerti mengapa ia berkata seperti itu. Kemudian mereka mengerti bahwa kesyahidan itu adalah salah satu kunci keberhasilan revolusi, sebab selama 13 tahun sebelumnya, pemerintah melarang rakyat Iran membicarakan Khomeini. Dengan kematian ini, rakyat Iran mengadakan berbagai acara keagamaan. Nama Khomeini dibicarakan di berbagai tempat. Pemerintah marah. Rakyat terus berdemo. Tapi, kali ini dengan cara yang berbeda. Bila ada yang mati syahid, upacara besar-besaran diadakan pada hari ke 3, 7, dan 40.

Imam Khomeini terus mengirimkan pesan-pesan berisi dukungan revolusi rakyat. Pemerintah Iran mengganti Perdana Menteri dan para pejabat tinggi untuk menenangkan rakyat. Pemerintah Irak mengusir Imam ke Kuwait. Kuwait melarang Khomeini masuk ke wilayah mereka. Maka, ia pergi ke Paris. Pemerintah Perancis melarangnya melakukan aktivitas politik. Khomeini menjawab, “Ini aneh dan bertentangan dengan UU dan jiwa demokrasi kalian.” Di Paris ia mengadakan berbagai pertemuan dan membahas masa depan gerakan revolusi. Reza Shah membebaskan tahanan politik dan menjanjikan perubahan. Tapi rakyat tidak percaya. Akhirnya Shah pergi ke Amerika dan Khomeini kembali ke Iran. Pada tanggal 12 Februari 1979 Khomeini tiba di Iran setelah 15 tahun hidup dalam pengasingan. Sekitar 4-6 juta orang menyambutnya.

Sekelumit Pemikiran

Menurut Khomeini, politik tidak sekadar mengatur dan memerintah negara dan masyarakat serta memberikan servis dan fasilitas bagi mereka, melainkan juga melatih dan mengembangkan kemampuan jiwa dan sumber daya mereka. Dalam pengertian inilah ia mengusung jargon Imam Ali, السياسة أفضل العمل, “Politik adalah pekerjaan yang paling mulia.” Kemuliaan politik ini bersumber dari subjek utama politik menurut Islam adalah mendidik jiwa masyarakat untuk menjalankan ajaran-ajaran kebaikan. Hak pemerintahan adalah milik Allah. Tapi untuk mengatur manusia, maka diperlukan manusia juga. Jadi, jantung politik adalah melatih jiwa manusia. Di sinilah terlihat signifikansi dan kesucian “politik suci”. Imam Hasan mengatakan, “Politik tidaklah seperti yang mereka gambarkan. Politik adalah sesuatu yang suci. Karena itulah Allah menyebut kita politisi.”

Ketika Khomeini dipenjara, salah seorang agen SAVAK menemuinya dan memintanya untuk meninggalkan arena politik dengan alasan politik penuh dusta, tipu daya, dan korupsi. Tindakan-tindakan jelek seperti ini hanya pantas dilakukan orang yang bukan ulama. Khomeini menjawab bahwa politik dalam pengertian tersebut memang tidak pernah ia intervensi, karena ia tidak mempercayai politik yang demikian. Yang ia percayai dan ajarkan adalah politik yang suci, dan karena itu tidak dapat ia tinggalkan.

Dengan dasar ini, Khomeini mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengatur keimanan mereka. Ia mengatakan, “Berpartisipasilah dalam setiap pemilu. Meninggalkan politik adalah salah satu dosa terbesar. Sebab, ketika engkau mengisolasi diri, orang lain akan berkuasa dan mengaturmu. Bagaimana mungkin Islam tidak peduli pada politik, sementara Islam menyuruh shalat jamaah, shalat Jumat, dan haji? Negara-negara super powerlah yang berusaha menjauhkan kita dari politik. Ada dua juta orang berkumpul di Mekkah setiap tahun. Tapi kita menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengenalkan problem muslim satu sama lain, amar makruf nahi munkar ….” Ia mengatakan, “Islam bukan sekadar ritual. Islam tidak jauh dari politik dan usaha membangun pemerintah yang kuat. Islam adalah sebuah rezim. Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan.”

Khomeini menyeru umat Islam untuk memiliki kepribadian yang merangkum tujuan-tujuan luhur para nabi. Setiap muslim harus mewakafkan hidupnya untuk tujuan ini, lalu bekerja sekuat tenaga untuk menyukseskan misi meluhurkan kalimat tauhid, menegakkan kedaulatan Tuhan di bumi, membela kaum tertindas, membungkam dan memberangus kaum tiran dalam berbagai manifestasinya, dan memastikan hal ini bertahan setelah kematian dengan membentuk generasi yang melanjutkan misi ini betapa pun lamanya waktu dan besarnya pengorbanan.

Ia berpesan kepada rakyat Iran bahwa berbagai beban, kesulitan, pengorbanan, tebusan, dan keterhimpitan yang mereka tanggung sesuai dengan kadar keagungan tujuan dan nilai serta ketinggian cita-cita mereka. Apa yang diperjuangkan adalah ajaran paling luhur yang pernah ada sejak dunia tercipta hingga akhir masa, yaitu ajaran tauhid yang termanifestasi di dalam ajaran Nabi Muhammad saw. Usaha semua nabi dan wali adalah untuk merealisasikan tujuan ini, karena ajaran ini yang membawa manusia kepada kesempurnaan yang mutlak. Ajaran inilah yang membuat makhluk yang terbuat dari tanah menjadi lebih mulia daripada para malaikat.

Dari wasiat ini jelas bahwa tujuan revolusi adalah mendidik dan membimbing perjalanan manusia dari dunia “debu” ke dunia “malakut” yang luhur; membentuk masyarakat dan mencipta lingkungan yang tidak disembah di dalamnya kecuali Allah, sehingga cahaya ubudiyah, keikhlasan, dan kepercayaan kepada kegaiban menghilangkan kegelapan hawa nafsu dan syahwat duniawi; menerangi pandangan manusia dengan cahaya keindahan kebenaran di alam wujud; mengembalikan kedaulatan tauhid dan aspek-aspek transendennya di dalam berbagai aktivitas manusia dan relasi masyarakat.

Dengan dasar ini, tidak aneh jika revolusi yang dipimpinnya mendapat perhatian besar dari kalangan pemikir, filosof, dan politikus muslim atau bukan, karena ia tidak serupa dengan revolusi mana pun sebelumnya. Sepanjang sejarah, revolusi adalah upaya mengganti rezim politik, membangkitkan kaum tertindas untuk melawan orang-orang kaya, atau membebaskan diri dari penguasa kolonialis-imperialis. Revolusi Islam Iran, selain bertujuan merobohkan rezim politik, sosial, dan imperialis, juga mengandung makna lain, yaitu menumbangkan kebudayaan dan pandangan hidup tertentu dan menggantinya dengan yang lain. Dari budaya materialis hewani ke budaya spiritualis insani.

Pasca Revolusi, yang terjadi di Iran adalah implementasi konsep Wilayat Faqih. Dasar teori ini adalah asumsi bahwa Nabi memiliki tiga tugas. Pertama, mengajarkan agama. Kedua, membangun dan mengatur pemerintahan. Ketiga, memutuskan masalah-masalah antar individu dalam relasi-relasi sosial. Nabi sudah melakukan tiga tugas itu. Khomeini percaya bahwa ide pemisahan agama dengan politik adalah produksi Barat, karena Barat percaya bahwa untuk meraih kemajuan mereka harus meninggalkan agama. Dalam keyakinan Syiah, tugas ini dilanjutkan oleh para imam maksum. Nah, pada masa kegaiban imam maksum, faqih mengemban tugas yang sama dengan mereka, karena hukum Islam harus terus ditegakkan, dan tidak ada satu pun ajaran agama yang boleh dihentikan pelaksanaannya kapan saja.

Khomeini menanamkan kesadaran bahwa rezim para mulla ini pasti menjadi sasaran dendam pihak-pihak yang ingin menanggalkan semua makna kehidupan manusia selain satu makna, yaitu kemajuan, tapi bukan dalam arti kemajuan manusia dan spiritualitasnya, melainkan kemajuan kekayaan kaum elit dan kemajuan kesusahan mayoritas wong cilik; pihak-pihak yang tidak menyisakan kesenangan bagi kaum mayoritas kecuali kenikmatan berbelanja atau kebahagiaan konsumeristik. Ia juga memprediksi bahwa Iran akan menjadi sasaran tembak dan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala bentuk perlawanan terhadap dominasi Amerika di dunia.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Khomeini menyerukan kemandirian dalam arti yang seluas-luasnya. Ia mengatakan, “Sayang sekali, banyak orang teralienasi dari jati dirinya sebagai muslim. Kita harus percaya diri. Jangan pernah menyangka negara lain akan memajukan negeri kita. Kita harus bekerja sendiri untuk memajukan negeri kita.” Untuk memiliki kemandirian, Khomeini menjelaskan lima syarat yang harus dipenuhi: 1) Percaya kepada Allah, 2) Percaya kepada diri sendiri, 3) Sanggup menanggung atau memiliki toleransi yang besar terhadap beragam kesulitan, 4) Memiliki harapan, 5) Menunggu. Tentang syarat kelima, yaitu menunggu, bisa diberikan catatan di sini sebagai sesuatu yang sangat penting dalam ajaran Syiah, yakni menunggu kedatangan Imam Mahdi. Bagi Syiah, “menunggu” adalah salah satu jenis ibadah.

Dengan konsep kemandirian ini, setiap individu harus bisa mandiri, yakni memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dengan dirinya sendiri. Setiap keluarga harus bisa mandiri. Setiap masyarakat harus mandiri. Setiap kota harus mandiri. Dan bangsa juga harus mandiri. Walhasil bangsa Iran telah berhasil melakukan dua hal, yaitu memanfaatkan keahlian putra bangsa dan menyerap kebaikan asing atau Barat.

Ada sebuah kisah, Imam Ali dicela oleh orang-orang Bashrah karena pakaiannya tidak bagus. Imam Ali menjawab, “Janganlah kalian mencela aku, sebab bajuku ini dibuat oleh istriku sendiri.” Imam Baqir mengatakan, “Tuhan menyuruh salah seorang nabinya, ‘Peringati umatmu untuk tidak memakai baju musuh-Ku, tidak makan makanan musuh-Ku, tidak minum minuman musuh-Ku. Jika tidak, maka mereka adalah musuh-Ku.”

Imam Khomeini, saat memimpin revolusi Iran, tidak mengandalkan apa pun kecuali seruan kembali kepada Islam otentik yang dibawa oleh Muhammad saw. Ketika menegaskan hal ini, dia tidak melakukan sesuatu yang asing dalam agama Islam. Ia hanya ingin agar umat berkomitmen kepada kesadaran dan keterjagaan dalam menerima Islam sebagai akidah, syariat, dan akhlak, serta menghindari semua bentuk sikap serba berlebihan atau serba kekurangan (ifrath dan tafrith) yang sayap-sayapnya menaungi kondisi umat Islam di zaman modern.

Berkaitan dengan sikap seimbang ini, Khomeini berkata, “Melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika dan budaya, meskipun demi terwujudnya tujuan Islami, adalah tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan  uslub-uslub Islam.” Dengan penegasan ini, ia menempatkan diri di bawah kebijakan politik Imam Ali sekaligus menarik garis pemisah antara metode perjuangannya dengan sikap-sikap pragmatisme politik. Ia berpesan kepada kader-kader revolusi, “Akibat dari sikap ekstrem apa pun pasti tidak baik.”

Di sini Khomeini mengingatkan peran para ulama untuk mengingatkan kaum Muslim setiap kali mereka merasakan bahaya yang mengancam Islam dan al-Quran agar mereka tidak dipersalahkan di hadapan Allah. Ulama bertugas memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Untuk itu, mereka harus mempelajari dan meneliti ajaran-ajaran Islam dengan cara-cara terbaik, lalu mentransfernya kepada masyarakat. Sangat ironis jika ada banyak lembaga keislaman, tapi ternyata masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sangat minim mengenai Islam. Selain itu, mereka harus berjuang bersama masyarakat dalam melawan intervensi pemikiran dan budaya yang bertentangan dengan Islam.

Selain mengingatkan bahaya kesembronoan dan ketidakpedulian dalam menyikapi wacana-wacana krusial Islam, Khomeini mengingatkan bahaya tunduk kepada Islam yang ia sebut “Islam Amerika”. Program kaum imperialis di bawah pimpinan Washington ini telah berhasil mengentaskan fron-fron ekstrem yang gemar mengkafirkan sesama muslim, mencederai citra Islam yang otentik, dan mengosongkannya dari pilar-pilar utamanya. Di sinilah ulama berperan membimbing umat untuk memilah akidah yang shahih, menghancurkan dinding-dinding kebodohan dan khurafat, dan mengantar kepada jernihnya mata air Islam otentik yang dibawa oleh Muhammad saw.

Penutup
Khomeini berhasil memimpin revolusi karena kepribadiannya sama dengan pikiran dan ucapannya. Menguatkan hubungan dengan Allah SWT dan sekaligus memutuskan hubungan dengan musuh-musuh-Nya—simbol terbesarnya adalah kaum imperialis dan Zionis—adalah kunci kekuatan pribadi maupun masyarakat. Di sinilah makna pemilahan term ibadah dan ubudiyah. Mayoritas muslim sudah melaksanakan ibadah. Ini tidak cukup. Dengan ubudiyah, seorang muslim beribadah tidak pada waktu-waktu tertentu saja, melainkan 24 jam sehari. Ibadah laksana memandang lautan, sedangkan ubudiyah laksana berada di dalam lautan.

Wasiat Khomeini ini relevan bagi kita, orang-orang Islam Indonesia yang kerap menjadi korban atas apa yang terjadi di berbagai tempat atas nama Islam, padahal Islam terbebas sama sekali darinya, yang telah membawa petaka bagi kaum muslimin maupun non muslim. Tapi jelas bahwa pesan ini akan hidup di tengah-tengah kita hanya jika para ulama, pemikir dan politisi muslim, serta para penganut Islam peduli, sadar, paham, dan bersatu padu dalam menjalankan peran dan tanggung jawab keagamaan mereka. Dengan demikian kita pun berhasil menjadi juru dakwah yang terhormat dari sebuah agama yang terhormat. Semoga!