Tiga dari Lima Puisi

Qasim di Karbala 

“Akulah Qasim putra Hasan, cucu nabi terpilih
dan terpercaya”

Pemuda belia itu berada pada barisan tiga ribu tentara, 
berhari-hari kehausan, terkepung sendirian. 

Lalu Ahmad bin Hasan bin Ali menyeruak 
ke dalam barisan:

"Paman, adakah seteguk air bagiku?"

“Anakku, bersabarlah sejenak,
sebentar lagi engkau akan bertemu 

dengan kakekmu
pelepas dahagamu”

Pemuda itu kembali memacu diri, seraya berkata :
“Akulah cucu Al-Mukhtar, putra Haidar” 

Namun ia segera jatuh 
Ribuan panah menghantam tubuh. 

(2017)

Kanak Kanak Matahari

Di masa kecil, di sela-sela udara yang bermain 
Di batang-batang lalang dan rumput-rumput liar, 
Kegembiraan begitu riang berlarian tanpa henti
Dengan kaki-kaki gaib mereka. 

Ibuku, ibuku, memanen kesunyian seorang lelaki 
Dengan kesabaran dua tangannya yang raib. 
Aku seorang bocah, yang belum memahami 
Bahasa puisi, hanya tahu memburu para belalang 

Di keriuhan butir-butir hujan. Kulafal 
Ceracau burung-burung kedinginan 
Di ranting-ranting pohon dan lembab rembang 
Kalbuku. Ibuku, ibuku, mendongeng hikayat 

Rambut merah kemarahan seorang bapak 
Yang suka terlambat pulang bila magrib 
diwartakan. Di masa kecil, bila senja meruncing, 
Kupahami lalang pematang sebagai kematian. 

(2017) 

Akhir Januari

Butir-butir gerimis adalah kanak-kanak sepi:
Usia yang hilang bersama sorehari.
Betapa dekat aku kepada mautku
Bila umurku nanti adalah sunyi
Yang bertamu
Di beranda dua matamu.

Dingin adalah matahati
Pikiran yang letih. Jauh sekali
Mataku menerka rapih
Gerak lembut gugusan rambutmu.
Daun-daun bergetar seperti kekal abadi
Teka-teki takdir

Yang selalu luput kutulis
Dan tak pernah dapat kupahami.
Burung-burung terbang dalam basah
Cakrawala padam
Ketakmengertianku menyelami bahasa.
Dan misalkan hidup tak lebih

Mesin hitung yang rusak
Adakah aku akan jadi mengetahui
Nama-nama Tuhan 
Yang tak termaktub di kitab-kitab suci?
Adakah sujudku
kepada kematianku sendiri

Adalah penebusan ketakpahamanku
Pada kuasa Tuhan?
Butir-butir gerimis adalah rimbun mautku
Menandur umur di kekal waktu
Yang tak dapat kau hitung
Seperti rinduku pada kegembiraanmu.  

(2018) 


Sulaiman Djaya. Sumber: Majalah Sastra Horison Edisi Juli-Agustus-September 2018 halaman 33-37

Nasionalisme dalam Perspektif Kebudayaan


Nasionalisme dan Ketahanan Budaya Indonesia

Ketahanan Budaya Indonesia sesungguhnya sedang menghadapi tantangan yang berat, terutama dari globalisasi. Budaya-budaya daerah/lokal yang merupakan kesatuan dalam ikatan budaya nasional kian melemah sehingga dengan mudah diklaim oleh bangsa lain menjadi miliknya. Ironisnya, keadaan ini berlangsung tanpa pembelaan yang cukup dari Negara. Contohnya adalah kasus ketika sejumlah ikon budaya Indonesia dijadikan tayangan iklan promosi wisata dan budaya oleh Negara tetangga beberapa tahun silam. 

Melemahnya daya tahan budaya ditenggarai karena kegagalan kita sebagai bangsa menyikapi globalisasi secara cerdas sehingga mudah menerima dan menerapkan budaya asing yang beberapa aspeknya justru bertentangan dengan budaya bangsa kita sendiri.

Nasionalisme yang kian memudar dan ketahanan budaya yang terus melemah berpotensi menggoyahkan bangunan ‘rumah Indonesia” yang bersifat multietnik dan multikultural. Konsep nasionalisme Indonesia bukan semata-mata konsep politik, melainkan juga konsep budaya. Idealnya nasionalisme Indonesia menggambarkan ikatan budaya yang menyatukan dan juga mengikat rakyat Indonesia yang majemuk menjadi satu bangsa dalam ikatan suatu Negara-bangsa (nation-state).


Anggapan para ahli politik tentang nasionalisme adalah sebuah ideologi yang sudah jelas bisa dibilang keliru, karena pada dasarnya nasionalisme adalah konsep yang “terbuka” untuk berbagai interpretasi atau bagi ragam tafsir. Nasionalisme mencakup banyak aspek yang bila ditelisik cukup kompleks.


Pertama, nasionalisme merefleksikan sejarah masa lalu, khususnya menyangkut kisah perjalanan hidup atau proses terbentuknya suatu bangsa yang juga disebut nasion. Kedua, keterikatan warganegara terhadap Negara-bangsa di mana ia tinggal atau hidup.


Aspek lain nasionalisme adalah hubungan antara beberapa entitas penduduknya, yakni Negara, bangsa, dan masyarakat yang membentuk Negara-negara tersebut. Sebelumnya penting untuk dicatat bahwa membicarakan hubungan tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks dimana hubungan-hubungan itu mempunyai arti. Pada hakikatnya konteks yang dimaksud di sini terkait dengan tiga struktur utama, yaitu lokal-nasional, nasional-global, dan lokal-global yang pada praktiknya terkait satu sama lain. 


Nasionalisme dan Ketahanan Budaya Indonesia Sebagai Sebuah Problem Kontemporer

Melemahnya nasionalisme Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari persoalan konseptual dari nasionalisme itu sendiri. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Azyumardi Azra, akhir-akhir ini kita bisa melihat adanya perkembangan lain dari nasionalisme Indonesia, yaitu: pertama, melalui penerapan otonomisasi dan desentralisasi sejak 2004 yang cenderung menonjolkan “semangat kedaerahan” tidak jarang berimplikasi terjadinya konflik dan kekerasan antar etnik pada lokalitas tertentu. Kedua, adanya kecenderungan meningkatnya arus dan gerakan islam transnasional yang menolak bukan hanya nasionalisme Indonesia, melainkan juga Negara-bangsa Indonesia, dan sebagai gantinya menawarkan ‘khilafah’ atau entitas politik tunggal bagi seluruh umat islam di jagad raya ini.

Menurut Juwono Sudarsono, “tiada ilmu yang lebih mendasar dan lebih menentukan hari depan suatu bangsa dari pada ilmu kependudukan atau demografi. Jumlah, struktur, kualitas serta persebaran penduduk suatu bangsa erat berhubungan dengan masalah serta kebijakan politik, ekonomi, sosial-budaya, sains-teknologi, lingkungan hidup, serta pertahanan-keamanan setiap bangsa”. Demografi atau ilmu kependudukan memang memberikan informasi-informasi yang bersifat dasar dari dinamika kependudukan yang mencakup tiga hal pokok yaitu kematian, kelahiran, dan migrasi.


Nasionalisme dan ketahanan budaya merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, dan keduanya merupakan bagian penting dari sebuah Negara-bangsa yang memiliki kedaulatan atas wilayah dan warganegaranya. Nasionalisme dan ketahanan budaya adalah kualitas-kualitas mental atau psikologis yang melekat pada warga Negara sebuah Negara, dan bukan pada negaranya sendiri. Oleh karena itu , kuat atau lemahnya rasa nasionalisme dari warga Negara sebuah negeri, sekaligus mencerminkan kuat atau lemahnya ketahanan budaya yang dimiliki oleh warga Negara negeri yang bersangkutan.


Migrasi dan Masalah Kewarganegaraan


Migrasi atau mobilitas penduduk secara geografis adalah sebuah kenyataan sosial yang telah ada sejak hadirnya manusia di planet bumi ini. Migrasi merupakan bagian dari dan yang ikut membentuk sejarah dan peradaban umat manusia. Mobilitas penduduk itu sudah terjadi sebelum lahirnya sistem Negara-bangsa, justru lahirnya Negara bangsa itu menimbulkan persoalan bagi migrasi, karena bersamaan dengan itu muncul batas-batas wilayah Negara (state boundaries) yang merupakan penghalang bagi mobilitas penduduk yang sebelumnya bebas.


Persoalan kewarganegaraan (citizenship) sangat jarang didiskusikan di Indonesia. Kecuali persoalan yang menyangkut dwi-kewarganegaraan pada orang-orang keturunan Cina, kewarganegaraan boeh dikatakan sebagai sebuah non-isu di negeri ini karena terbukti imigrasi tidak pernah menjadi masalah yang besar di indonesia.

Nasionalisme dan ketahanan budaya yang dimiliki oleh sebuah bangsa tidak mungkin dilepaskan dari tinggi atau rendahnya rasa kewarganegaraan dan martabat yang dimiliki oleh warga bangsa tersebut, yang hanya bisa dipenuhi jika Negara mampu menyejahterakan warga negaranya, terutama secara ekonomi, dan menegakkan keadilan dan hukum bagi seluruh warga Negara tanpa memandang perbedaan identitas kultural mereka. 


Transformasi Nasionalisme Indonesia


Ke-indonesia-an atau kebangsaan yang tidak diisi ulang atau tidak diaktualisasikan dalam kebijakan-kebijakan publik, tentu akan berujung pada ke-indonesia-an yang stagnasi, baik di tingkat internal maupun dalam interaksinya dengan dunia global. Nasionalisme Indonesia memang mengalami transformasi yang sangat signifikan, yaitu nasionalisme kultural (bukan hanya berbasis etnis tetapi juga tercakup di dalamnya agama) yang berubah menjadi nasionalisme politik. 

NKRI, Sentralisasi, dan Integrasi Semu Orde Baru


Kebijakan politik sentralisasi yang sangat berlebihan oleh Orde Baru, menurut Kenneth Davey (1989), dilatar belakangi paling tidak oleh tiga alasan. Pertama, adanya kekhawatiran terhadap persatuan nasional dan munculnya kekuatan-kekuatan yang memecah persatuan. Kedua, sentralisasi diperlukan dalam rangka memelihara keseimbangan politik dan keamanan dalam pembagian sumber daya, khususnya antara Jawa yang dihuni sebagian besar rakyat Indonesia dan luar Jawa yang memiliki sebagian besar sumber daya ekonomi. Dan Ketiga, pengalaman politik yang dialami oleh Indonesia sebelum 1965, sehingga pemerintah ingin tetap memgang kendali yang kuat atas kebijakan pembangunan ekonomi.

Di bawah sistem otoriter Orde Baru, Soeharto bukan hanya melanjutkan upaya menyatukan dan menyeragamkan ideologi partai-partai dan bahkan ideologi organisasi-organisasi kemasyarakatan kedalam asas tunggal Pancasila, melainkan juga cenderung mendistorsikan ide persatuan semata-mata sebagai “kesatuan teritorial” atas wilayah Negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke kedalam frasa “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI). 


Melihat Kembali Nasionalisme Indonesia dalam Konteks Masyarakat Plural Melalui Perspektif Sejarah

Persoalan otda (otonomi daerah) di Indonesia memang tak kunjung selesai. Penerapan otda di masa pemerintahan Hindia pada 1906-1938, formatnya pun tidak pernah selesai. Fatalnya, kita saat ini jatuh di lubang yang sama karena kita tidak belajar dari sejarah pemerintahan Hindia Belanda dan justru terperosok kedalam permasalahan otda yang sama.


Ke-melayu-an dalam Nasionalisme Indonesia


Bagi Indonesia, Melayu adalah pemahaman budaya. Sedangkan di Malaysia, Melayu adalah pemahaman politik. Bagi Indonesia, Melayu adalah salah satu dari rangkaian mozaik yang ada di Indonesia. Konsep Nusantara bagi Indonesia dan Malaysia juga berbeda. Bagi Indonesia, Nusantara adalah konsep politik dari Sabang sampai Merauke, sedangkan bagi Malaysia, Nusantara adalah konsep kebudayaan dari Patani sampai Pasifik yang kemudian dilebarkan ke dalam konsep “The Malay World” dari Taiwan hingga Madagaskar. Jadi, jika Malaysia ingin mengembangkan kebudayaan Melayu, itu adalah karena ia juga merasa sebagai pewaris dari alam melayu. Hal inilah yang dihadapi oleh industri budaya (industri kreatif) masa kini.

Dari Peran Lembaga Adat ke Peran Institusi Pendidikan dalam NKRI


Banyak institusi tradisional yang tidak mampu lagi menopang tatanan kehidupan baru Indonesia Barulah pasca kemerdekaan peran itu dijalankan oleh institusi pendidikan modern. Ketika itulah lembaga-lembaga pendidikan/sekolah-sekolah seharusnya memegang peranan penting, karena lembaga-lembaga pendidikan/ sekolah-sekolah-lah yang menciptakan manusia Indonesia Baru sebagai pendukung kebudayaan masyarakatnya. Kebudayaan yang dimaksud di sini adalah kebudayaan dalam arti yang luas.

Lembaga-lembaga pendidikan/ sekolah-sekolah berperan penting memberi bekal penalaran kepada masyarakat agar dapat menilai mana-mana dari tradisi yang berhenti karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, mana-mana yang berlanjut dan mana-mana yang berubah bentuk. Tanpa pendidikan, seleksi tidak mungin terjadi, arena nilai-nilai budaya suatu bangsa hanya dapat dijaga dan diwariskan melalui pendidikan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pendidikan adalah suatu alat yang dapat menjaga kelestarian budaya. Melalui pendidikan suatu bangsa akan mampu mengaktualkan nilai budaya bangsanya, karena kebudayaan adalah satu dinamia hidup suatu bangsa. Kebudayaan harus selalu aktual dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. 


Beberapa Acuan Untuk Membaca “Ikatan Budaya” dan “Nasionalisme Indonesia” Melalui Perspektif Regional atau Kedaerahan


Menurut Castles, Nasionalisme Indonesia menyadari adanya perbedaan kebudayaan di antara kelompok-kelompok etnik atau suku-suku bangsa, tetapi juga tidak pernah menekankan kesamaan kebudayaan sebagai sebuah bangsa. Oleh karena itu, kesadaran nasional Indonesia merupakan perkembangan baru, sama seperti kesadaran suku bangsa yang muncul akhir-akhir ini seperti pada kasus Tapanuli Utara.


Nasionalisme Indonesia secara sederhana ada kaitannya dengan penemuan kata “Indonesia”. Tanpa kata “Indonesia”, maka tidak ada Nasional Indonesia.


Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia


Sesungguhnya Islam, baik secara normatif maupun historis tidak memiliki masalah yang signifikan dengan nasionalisme. Hal ini dikarenakan Islam tidak pernah mempertentangkan ke-Islam-an (keimanan) maupun etnik.


Karakter penyebaran Islam yang berlangsung damai di Indonesia sejak akhir abad ke-12 melibatkan lebih banyak proses akomodasi Islam terhadap kepercayaan dan budaya lokal yang begitu beragam di Indonesia, sehingga Islam berpadu dan bahkan menjadi ‘part and parcel’ tradisi budaya lokal dari satu daerah atau etnisitas ke daerah dan etnisitas lain.


The End of Ideology?


Menurut Daniel Bell, ketika ideologi-ideologi intelektual lama abad ke-19 khususnya Marxisme telah exhausted (kehabisan tenaga, lumpuh) dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi “baru” semacam industrialisasi, Pan-Arabisme, warna kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru menemukan momentumnya, khususnya di Negara-negara yang baru bangkit di Asia Afrika sesuai Perang Dunia II.


Tiga Fase Nasionalisme


Fase Pertama, pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan nasionalisme. Fase ini ditandai penyerapan gagasan nasionalisme yang selanjutnya diikuti pembentukan organisasi-organisasi yang disebut Benda dan McVey atau Hobsbawm sebagai “proto-nasionalisme”.


Fase Kedua, seperti bisa diduga nasionalisme sangat sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural. Tema pokok nasionalisme di sini adalah apa yang disebut pemimpin nasionalis. Semacam Soekarno, sebagai ‘nation and character building’, yakni memupuk keutuhan dan integritas Negara dan bangsa yang akan segera terwujud, sebagaimana dijanjikan Jepang.


Fase Ketiga, nasionalisme tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dalam konteks regional Asia Tenggara, bahkan dalam hubungannya dengan dunia internasional lebih luas.


Nasionalisme, Etnisitas dan Agama


Pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama, sangat kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh realitas Indonesia yang sangat pluralistik, baik secara etnik maupun agama. Peta etnografis Indonesia sangat kompleks, antara lain sebagai hasil dari tipografi kawasan ini. Indonesia di huni oleh kelompok-kelompok etnik dalam jumlaah yang besar yang selain mempunyai banyak kesamaan fisik-biologis, juga memiliki perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup subtansial.

Meskipun demikian, dalam pertumbuhan nasionalisme di Indonesia umumnya, etnisitas dapat dikatakan tidak pernah sempat mengalami kristalisasi menjadi dasar nasionalisme. Terdapat beberapa factor yang menghalangi sentiment etnisitas tersebut. Yang terpenting diantara faktor-faktor itu adalah agama dan kesadarantentang pengalaman kesejarahan yang sama. 


Revitalisasi Nasionalisme

 
Di tengah arus globalisasi yang terus meningkat, memang nasionalisme perlu revitalisasi, kembali digelorakan setiap anak bangsa; sehingga Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tetapi sekaligus lebih berjaya di dalam maupun di luar dalam percaturan internasional.


Nasionalisme dalam Perspektif Kebudayaan

Selain dalam bingkai sejarah dan politik, Nasionalisme Indonesia sesungguhnya berwatak kultural, dan itu tercermin dalam ringkasan Bhinneka Tunggal Ika. Kebudayaanlah yang plastis sekaligus efektif dalam menjaga ruh nasionalisme bangsa ini hingga sekarang. Dalam Perspektif Kebudayaan itulah Nasionalisme dan Kebangsaan Indonesia merefleksikan kesatuan keragaman dalam Nama Indonesia, yang di dalam rumah Indonesia itu hidup ragam bahasa dan budaya daerah, sehingga kekayaan multikultural bangsa ini bisa kembali dibaca dalam konteks mutakhir saat ini.

Bila dalam bingkai politik sebagaimana dipahami dan dinyatakan Mohammad Hatta sebagai tujuan politik karena melambangkan dan mencita-citakan satu tanah air pada masa depan, maka dalam bingkai kebudayaan, nasionalisme Indonesia justru eksis ke panggung dunia karena khazanah kebudayaan dan intelektualnya. Ruh dan bingkai kebudayaan lah yang justru memungkinkan Indonesia bertahan dan mengenali dirinya sebagai sebuah bangsa dalam kontestasi global saat ini. Memungkinkan bangsa ini memiliki identitas yang tak luntur sekaligus sanggup membentengi dirinya dari ideologi-ideologi ekstrim yang berusaha menghancurkan negeri ini.Top of Form