Bala Tentara Akal



Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya seluruh kebaikan hanya dimengerti oleh akal.” (Tuhaful Uqul 54; Biharul Anwar 77:158).

Rasulullah bersabda: “Mintalah petunjuk kepada akal, niscaya kamu akan mendapatkannya. Dan jangan menentangnya, niscaya kamu akan menyesal.” (Ushul Kafi 1:25).

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata: “Akal adalah sumber pengetahuan dan pengajak kepada pemahaman” (Ghurar al Hikam karya al-Amudi 1:102).

Dari Imam Ja’far as Shadiq as: “Akal adalah petunjuk orang mukmin” (Ushul Kafi 1:25).

Selain peran dan nilai akal dalam menguak alam semesta, riwayat-riwayat ke-Iislaman menegaskan bahwa Allah berhujjah kepada para hamba-Nya melalui akal. Argumentasi ilahi dengan akal dan berbagai implikasinya berupa, siksaan dan tanggung jawab, menunjukkan kepada kita betapa agungnya nilai akal dalam kehidupan manusia dan dalam agama Allah.

Imam Musa al Kazhim bin Imam Ja’far as Shadiq as juga berkata: “Allah benar-benar telah menyempurnakan hujjah-hujjah-Nya pada manusia melalui akal, membukakan (akal mereka) dengan al-bayan (penjelasan) dan menunjukkan mereka pada rububiyyah-Nya dengan berbagai dalil (bukti)” (Biharul Anwar 1:132).

Nabi Muhammad saww, pernah ditanya, “Apakah Akal itu?” Beliau menjawab: “Ia adalah (alat) untuk ketaatan kepada Allah. Karena, orang-orang yang taat kepada Allah adalah orang-orang yang berakal” (Biharul Anwar 1:131).

Imam Ja’far as-Shadiq as pernah ditanya apakah akal itu. Beliau menjawab: “Akal adalah alat yang digunakan untuk menyembah (beribadah) kepada Ar-Rahman , Allah dan untuk memperoleh surga-Nya” (Bihar ul Anwar 1:116).

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata lebih lanjut mengenai akal ini: “Akal adalah pedang yang tajam. Bunuhlah hawa nafsumu dengan senjata akalmu. Jiwa memendam berbagai hasrat nafsu, akal berfungsi untuk mencegahnya. Hati memendam berbagai hasrat jelek, sedangkan akal selalu menahannya. Orang yang berakal adalah orang yang mengalahkan hawa nafsunya dan orang yang tidak menukar akhiratnya dengan dunianya. Orang yang berakal adalah orang yang meninggalkan hawa nafsunya dan yang membeli dunianya untuk akhiratnya. Orang berakal adalah musuh kelezatan dan orang bodoh adalah budak syahwatnya. Orang yang berakal adalah orang yang melawan nafsunya untuk taat kepada Allah. Orang yang berakal adalah orang yang mengalahkan kecenderungan-kecenderungan hawa nafsunya. Orang yang berakal adalah orang yang mematikan syahwatnya dan orang kuat adalah orang yang menahan kesenangannya.”

Prajurit-Prajurit Akal
Tugas akal yang sulit telah dibantu Allah dengan dianugerahkannya sejumlah kekuatan dan perangkat yang dapat mendukung jerih payahnya itu. Dalam etika Islam ada yang namanya Junud al ‘aql (prajurit-prajurit akal), yaitu merupakan sejumlah faktor pendukung.

Dari Sa’d dan Al-Humairi dari Al-Baqi dari Ali bin Hadid dari Sama’ah (bin Mahran) berkata: “Saya pernah hadir dalam majlis Abu Abdillah (Imam Ja’far as Shadiq as), di sana juga hadir sebagai murid yang lain. Majlis itu membahas tentang akal dan kejahilan. Kemudian Abu Abdillah berkata, ‘Kamu hendaknya mengetahui akal beserta bala tentaranya dan kejahilan serta bala tentaranya agar kamu mendapat petunjuk’. Kemudian Sama’ah berkata, maka aku bertanya, ‘Semoga jiwaku jadi tebusanmu, saya tidak mengerti kecuali apa yang Anda jelaskan.”

Abu Abdillah (Imam Ja’far as Shadiq as) menjawab: “Sesungguhnya Allah mengatakan Akal sebagai makhluk pertama yang bersifat ruhani. Saat itu akal terletak di samping kanan arsy yang tercipta dari Nur-Nya". Kemudian Allah berfirman kepada akal: “Menghadaplah!” Akalpun menghadap. Allah berfirman: “Berpalinglah!” kemudian ia pun berpaling. Kemudian Allah berfirman: “Kuciptakan kamu sebagai ciptaan yang agung. Kumuliakan kamu di atas seluruh ciptaan-Ku.”

Beliau (Imam Ja’far as Shadiq as) melanjutkan: “Allah menciptakan jahl (kejahilan) dari laut asin yang dhulmani (gelap gulita). Kemudian Allah menyuruhnya berpaling dan ia pun berpaling. Kemudian Allah menyuruhnya menghadap, tetapi kejahilan tetap tidak mau menghadap. Allah berfirman kepadanya: “Kau congkak?” Lalu Allah mengutuknya. Kemudian Dia menciptakan 75 tentara akal.”

Melihat hal itu dengan nada permusuhan, kejahilan berkata: Tuhan, akal adalah makhluk-Mu sebagaimana juga aku. Mengapa ia Engkau muliakan dengan kekuatan sedang aku lawannya tidak mempunyainya? Berilah aku kekuatan seperti dia. Lalu Allah berfirman: “Baiklah. Tetapi apabila engkau beserta bala tentaramu bermaksiat, maka akan Kukeluarkan kamu sekalian dari Rahmat-Ku. Kejahilan menjawab: “Saya terima janji itu.” Allah kemudian memberinya 75 tentara. Adapun 75 tentara akal dan kejahilan itu adalah:

TENTARA AKAL >< TENTARA JAHL

1. Kebajikan (menteri akal) >< Kejahatan (menteri jahil) 2. Iman >< kufur 3. percaya >< ingkar 4. harapan >< putus asa 5. keadilan >< kezaliman 6. rela >< tidak rela / murka 7. syukur >< ingkar nikmat 8. gemar kebaikan >< putus ikhtiar 9. tawakal >< ambisius 10. lemah lembut >< lalai (ghirrah) 11. kasih sayang >< amarah (ghadhab) 12. ilmu >< bodoh (jahl) 13. cerdik >< dungu (humq) 14. menjaga diri >< ceroboh (tahattuk) 15. zuhud >< hasrat (raghbah) 16. sopan >< kasar 17. waspada >< gegabah (jur’ah) 18. rendah hati >< takabur 19. kalem (ta’uddah) >< tergesa-gesa 20. bijaksana >< konyol (safah) 21. pendiam >< pengoceh (hadzar) 22. menyerah >< menentang 23. mengakui >< membandel 24. lunak >< keras (qaswah) 25. yakin >< syak 26. sabar >< meronta (jaza’) 27. pemaaf (shafh) >< pendendam 28. kaya (ghina) >< fakir 29. tafakur >< lalai (sahw) 30. hapal (hifzh) >< lupa (nisyan) 31. penyambung >< pemutus 32. kanaah >< ingin tambahan (hirsh) 33. emansipasi >< isolasi diri 34. rasa sayang >< rasa permusuhan 35. memegang (wafa’) >< melepas 36. taat >< maksiat 37. khudhuk >< arogansi 38. selamat >< bencana 39. cinta (hubb) >< marah 40. jujur >< bohong 41. hak >< batil 42. amanat >< khianat 43. murni >< noda (syaub) 44. cekatan >< lamban 45. cendikia >< tolol 46. pengetahuan >< penyangkalan 47. pengukuhan >< penyingkapan 48. menjaga aib orang lain >< makar 49. menjaga rahasia >< ekspose 50. shalat >< penyia-nyiaan 51. puasa >< iftar 52. jihad >< lari dari jihad 53. haji >< ingkar janji 54. menjaga omongan >< membongkar skandal 55. bakti kepada orang tua >< durhaka 56. realitas >< riya’ 57. makruf >< tabu 58. menutup aurat >< bersolek 59. taqiyyah >< mengobral perkataan 60. jalan tengan (inshaf) >< fanatisme 61. kebaktian >< onar 62. bersih >< kotor 63. malu >< bugil 64. terarah (qashd) >< bablas (‘udwan) 65. relaks >< lelah (ta’ab) 66. kemudahan >< kesukaran 67. berkah >< binasa 68. afiat >< petaka (bala’) 69. normal >< berlebih 70. hikmah >< hawa nafsu 71. bahagia >< nestapa 72. taubat >< berkeras kepala 73. istiqhfar >< pongah (ightirar) 74. mawas diri >< lengah (tahawun) 75. berdoa >< berpaling (istinkaf)

Ke-75 bala tentara ini tidak akan dipersatukan kembali kecuali pada seorang Nabi, penerus Nabi (washi) atau seorang mukmin yang hatinya telah lulus ujian. Selain mereka, mempunyai sebagian. Dan dalam perjalanannya nanti, dia akan menyempurnakan bala tentara akal dalam jiwanya sambil selalu mewaspadai bala tentara jahil. Setelah itu, baru manusia dianggap sederajat dengan para Nabi dan washy.

Tentunya, sebelum mencapai apapun, manusia mesti mengerti dan mengenal akal dan bala tentaranya. Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk berlaku taat dan mendapat ridha-nya” (Bihar ul Anwar 1:109-111 bagian Kitab Al-Aql wa Al-Jahl). Maka dapat diambil kesimpulan: Tuhan Maha Kuasa, dan karena roh “berasal dari perintah Tuhan-ku”, salah satu ciri utamanya adalah pengetahuan dan kesadaran. Namun nafs menyeret jauh dari cahaya kesadaran roh itu, dan seperti jasad, ia tidak dapat menangkap kilauan cahaya yang bersinar dari balik kegelapannya.

Roh memiliki kualitas pemahaman yang disebut AKAL. Dan tingkatan manusia itu dibedakan oleh kekuatan cahaya akal dalam menembus selubung nafs. Memang selalu terjadi pertengkaran yang sengit antara akal dan nafs, dan sayangnya bagi sebagian besar orang, nafs lah yang menang. Sedangkan bagi nabi dan orang-orang suci, akal lah yang menang.

Rumi berkata: Dua ekor rajawali dan elang dalam satu sangkar; mereka saling mencakar...... O Dalam setiap desahan nafas kita, akal berjuang melawan godaan nafs. Keterpisahaan dari Sumber telah menyebabkan mereka terpuruk. Jika desakan nafs keledai telah kalah, akal akan menjadi Messiah (penyelamat). Sungguh akal dapat melihat setiap akibat, nafs tidak. Akal yang telah dikalahkan nafs menjadi nafs—Yupiter bertekuk lutut pada Saturnus, mungkinkah? oAkal adalah cahaya yang mencari kebaikan. Mengapa kegelapan nafs dapat mengalahkannya? Nafs memiliki rumahnya sendiri, dan akal adalah musafir. Di depan pintunya, seekor anjing begitu tunduk pada singa.”

Sumber: Al Hawa fi Hadis Ahl al Bayt oleh Muhammad Mahdi al-Ashify, Majma’ al-Alami li Ahl al Bayt.

Mengapa Makam Fatimah Azzahra Dirahasiakan?



Tarikh ini dicatat dalam catatan-catatan lintas mazhab, utamanya dalam Syi’ah dan Sunni, baik dari kalangan muhaddits hingga para sejarawan yang semasa atau yang hidup di jaman berikutnya. Memang, ada satu kejanggalan, ketika mayoritas ummat Islam barangkali tidak pernah bertanya ‘di mana gerangan makam Fatimah Azzahra as?’ Tetapi, marilah kita mulai saja bahasan ini.

Sebuah rombongan (kafilah) kecil yang terdiri dari orang-orang yang setia dan patuh pada Rasulullah tampak berjalan gontai. Segukan tangis lirih yang terasa mengiris-iris hati yang pilu terdengar dari mereka. Wajah-wajah mereka lusuh tertunduk tersembunyi dalam tutup-tutup kepala yang jatuh menaungi kepala-kepala mereka.  

Rombongan (kafilah takziah) itu berjalan tanpa mengeluarkan bunyi berarti ke sebuah tempat sunyi yang khusus untuk menguburkan salah seorang manusia suci yang mereka cintai. Mereka berjalan dalam kegelapan malam pada bulan Jumadil Tsani, hari ketiga di tahun 11 Hijriah. Rombongan itu menyusuri jalan-jalan kota Madinah. Terasa segar dalam ingatan, baru beberapa lama lewat mereka melakukan hal yang sama untuk manusia suci lainnya, Muhammad Al-Mustafa. Sekarang giliran puterinya yang tercinta, Fatimah Az-Zahra (as).

Dalam rombongan itu ada anak-anak dengan ayah mereka beserta teman-teman dekat dari sang ayah. Mereka semua berjalan dalam kebisuan dan kesabaran. Pada wajah-wajah mereka tampak kepasrahan dan keridhoan akan apa yang telah menimpa mereka selama beberapa hari ini. Akan tetapi meskipun begitu, sesekali masih terdengar tangis yang tertahan di tenggorokan, meski air mata yang mengucur deras dengan tangisan yang lirih sekali hampir tak terdengar, seakan ingin menyembunyikan kepedihan yang telah menimpa mereka agar tidak ada orang yang mendengar mereka di kegelapan malam, karena memang mereka tidak ingin seorangpun tahu di kota Madinah itu bahwa mereka sedang melakukan sebuah perbuatan yang akan direkam baik oleh sejarah.

Seorang ayah yang tadi disebutkan di atas ialah Imam Ali (as), sementara anak-anak yang turut bersamanya ialah putera-puterinya. Ada Imam Hasan (as) di sana, ada Imam Husain (as), ada Zainab, dan ada Umm Kultsum yang berjalan gontai dalam kebisuan di belakang ayahnya. Bersama mereka ada para sahabat pilihan yang sangat setia kepada Nabi saw, baik ketika Nabi masih hidup atau ketika sudah wafat. Mereka adalah Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad al-Aswad, dan Salman Al-Farisi.

Ketika setiap mata dari penduduk Madinah tertutup, ketika tak ada suara sedikitpun dari mereka, rombongan surga itu meninggalkan rumah Imam Ali (as) membawa usungan tandu berisi jenazah suci dari puteri sang Nabi, Fatimah Az-Zahra (sa). Anak-anaknya sekarang mengantar jenazah ibunya itu ke sebuah pemakaman yang sunyi yang sudah ditentukan. Akan tetapi di manakah ribuan penduduk kota Madinah yang seharusnya ada di tempat?

Ketika iringan pengantar jenazah puteri Nabi itu lewat, mengapa tak seorangpun dari mereka datang melawat? Mengapa pemakamannya dilangsungkan pada saat dianggap sangat tidak tepat? Mengapa pemakaman itu harus dilangsungkan di kegelapan malam yang pekat?

Sayyidah Fatimah Az-Zahra (sa) memang merencanakan itu semua sebelum wafatnya, dan telah memberi wasiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib as agar para penduduk kota Madinah itu tidak datang ke pemakamannya. Ia ingin dikuburkan pada malam hari dan ingin agar kuburannya disembunyikan dari pengetahuan penduduk kota Madinah.

Ada kesunyian dan keheningan yang mencekam di sana, namun tiba-tiba terdengar tangisan agak keras dan parau memecah kesunyian tersebut. Tangisan itu datang dari pahlawan padang pasir yang musuh manapun pasti akan ngeri dan menyingkir saat berhadapan dengannya. Tapi tangisan itu tiba-tiba terdengar lebih keras seakan ingin menuntaskan rasa penasaran, setelah sebelumnya berusaha ditahan sekuat tenaga dan perasaan.

Sang pahlawan itu berkata dalam tangisannya:  “Ya, Rasulullah! Salam bagimu, wahai kekasihku. Salam dariku dan dari puterimu yang sekarang ini akan datang kepadamu dan ia sangat bergegas meninggalkanku untuk sampai kepadamu. Ya, Rasulullah, rasa luluh lantak terasa pada diriku dan rasa lemah tak berdaya telah menggerogoti diriku. Itu tak lain karena engkau dan puterimu telah meninggalkanku. Tapi aku sadar semua ini milik Allah dan kepadaNyalah segala sesuatu itu kembali (Al-Qur’an Surah Albaqarah [2] Ayat 156).

Semua yang telah dititipkan itu akan diambil kembali. Semua yang pernah kita miliki itu akan diambil lagi oleh pemiliknya yang sejati. Sementara itu, kepedihan dan kesedihan Imam Ali sang washinya Muhammad saw itu, tetap bersemayam dalam dirinya, baik siang maupun malam.

Tak ada batasan yang jelas bagi Imam Ali kapan ia bersedih dan kapan ia terbebas dari kesedihannya itu. Kepergian dua orang yang dicintainya sangat mengguncang dirinya. Perasaan itu akan tetap pada dirinya hingga dirinya nanti bertemu lagi dengan yang dicintainya, yaitu pada hari dimana ia dipanggil oleh Allah untuk menghadapNya.

Imam Ali kembali mengadu kepada Rasulullah dalam rintihan yang lirih: ”Ya, Rasulullah, puterimu pastilah akan mengadukan kejadian yang sedang menimpa umat ini. Puterimu ingin umat ini bersatu kembali. Puterimu ingin agar engkau datang kembali agar bisa mempersatukan umat yang sudah bercerai berai ini. Dan engkau nanti akan bertanya padanya secara rinci. Engkau akan bertanya mengapa umat ini menentang keluarga Nabi. Mengapa mereka mengkhianati apa-apa yang telah ditentukan oleh Nabi. Dan mengapa mereka melakukan hal ini, padahal kematianmu itu baru saja terjadi dan umat masih merasakan kejadian ini! Salam untuk kalian berdua! Salam perpisahan dariku yang sedang berduka bukan dariku yang telah tak suka kepada kalian berdua. Kalau aku pergi dari pusara kalian, itu bukan karena aku merasa bosan kepada kalian. Dan kalau aku berlama-lama di pusara kalian, itu bukan karena aku tak lagi percaya dengan kuasa Tuhan dan apa yang telah Tuhan janjikan kepada orang-orang yang tengah ditimpa kepedihan.”

Setelah menguburkan Fatimah Az-Zahra (as), rombongan berisi keluaga dekat Nabi dan para sahabat pilihannya itu pun segera bergegas kembali ke rumahnya masing- masing, sehingga tidak ada satu orangpun di kota Madinah yang tahu di mana Fatimah Azzahra as dikuburkan (dimakamkan).

Sesampainya mereka di rumah, anak-anak dengan segera sadar bahwa mereka telah ditinggalkan oleh ibunya. Mereka merasakan kesepian yang mencekik. Imam Ali segera menghibur mereka supaya kesedihan tak terlalu larut membawa pikiran mereka. Akan tetapi memang pada kenyataannya hal itu tidak mudah dilakukan. Imam Ali mencoba menenangkan diri mereka dan kemudian ia sendiri masuk ke dalam kamar dan kemudian larut dalam tangisan yang sendu. Sang pahlawan Badar, Uhud, Khaybar, Khandaq dan beberapa perang lainnya itu merasakan kelelahan yang luar biasa dalam menahan kepedihan dan akhirnya ia lampiaskan dalam tangisan. Tangisan karena rasa cinta dan kehilangan, bukan tangisan manja dan penuh keputus-asaan.

Mereka semua telah melalui serangkaian kejadian yang menyesakkan sepeninggal Rasulullah. Pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah yang hak dan yang sesungguhnya, pemimpin dalam agama dan masyarakat atau pemimpin ummat sebagai Imam sekaligus pemegang hak kekhalifahan yang dicuri saat beliau dan keluarganya sedang memakamkan Rasulullah, dan washi (sebagai pengemban wasiatnya) Muhammad saw di Ghadir Khum telah dilupakan secara sengaja oleh banyak orang, ketika sebagian sahabat tergiur kekuasaan untuk menjadi khalifah.

Tanah Fadak warisan Rasulullah pun sudah dirampas semasa Abu Bakar berkuasa. Rumah mereka telah diserang oleh para utusan khalifah pertama demi memaksakan bai’at bagi ke-Khalifahan Abu Bakar. Pintu rumah keluarga Nabi yang dibakar itu pun menimpa Fatimah Az-Zahra as —pintu itu mematahkan beberapa tulang iganya dan menggugurkan kandungannya. Isteri sang Imam harus terbaring sakit di ranjangnya selama beberapa hari setelah itu, terbaring sendirian dan terisolasi dari dunia luar dan kemudian meninggal dalam kepedihan yang menyesakkan!

Malam hari itu, setiap anak terpaksa saling menghibur untuk meredakan kesedihan mereka. Mereka berkumpul dalam satu kamar dan tidur kelelahan, sungguh memang hari-hari yang berat akan masih menyambangi mereka satu demi satu. Sementara itu Bunda Fatimah Az-Zahra as menyaksikan mereka dengan wajah sendu.

MENGAPA MAKAM FATIMAH AZZAHRA DIRAHASIAKAN?
Hingga detik ini, tidak ada seorang pun yang tahu persis di manakah makam (kuburan) Sayyidah Fatimah Azzahra (as), yang kepadanya Rasulullah selalu memberikan pernghormatan yang penuh takzim. Rasulullah selalu senantiasa berdiri menyambut apabila Fatimah Az-Zahra as datang menjenguk. Rasulullah seringkali berkata (yang acapkali didengar langsung oleh sejumlah para sahabat dan kaum muslim): “Fatimah itu adalah bagian dari diriku. Siapapun yang menyakiti diri Fatimah akan berarti menyakiti diriku.”

Sejarah telah mencatat bahwa Fatimah dikuburkan di sekitar Jannat al-Baqi di Madinah, akan tetapi tidak ada seorangpun yang tahu tempat persisnya. Tak ada seorangpun yang bisa menunjukkan dengan pasti di mana makam dari puteri Nabi yang suci itu.

SEJARAH PERSELISIHAN ANTARA FATIMAH AZ ZAHRA DAN ABU BAKAR
Masalah ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunni dan Syi'ah. Orang yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali harus mengatakan bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang keliru dalam perselisihannya dengan Fatimah Az-Zahra as, dan ia tidak bisa menolak fakta bahwa Abu Bakar pernah menzalimi Penghulu Wanita Alam semesta ini.

Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya secara rinci akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Fatimah Az-Zahra as dan mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah Az-Zahra as tidak mempunyai alasan untuk berhujjah dengan nash-nash Al-Ghadir dan nash-nash lainnya akan keabsahan hak khilafah suaminya dan putra-pamannya, yakni Imam Ali bin Abi Thalib as.

Diantaranya adalah, seperti dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Fatimah Az-Zahra (semoga Allah melimpahkan padanya kesejahteraan) pernah keluar mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum Anshar dan minta mereka membantu dan membai'at Imam Ali. Mereka menjawab: "Wahai putri Rasulullah, kami telah berikan bai'at kami pada orang ini (Abu Bakar). Seandainya suamimu dan putra pamanmu mendahului Abu Bakar, niscaya kami tidak akan berpaling darinya."

Kala itu Imam Ali berkata: "Apakah aku harus tinggalkan Nabi di rumahnya dan tidak kuurus jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang kepemimpinan ini?" Fatimah Az-Zahra as pun menyahut, "Abul Hasan telah melakukan apa yang sepatutnya beliau lakukan, sementara mereka telah melakukan sesuatu yang hanya Allah sajalah akan menjadi Penghisab dan Penuntutnya."[1]
  
Seandainya Abu Bakar memang berniat baik dan keliru, maka kata-kata Fatimah Az-Zahra as telah cukup untuk menyadarkannya. Tetapi Fatimah az-Zahra as masih tetap marah padanya dan tidak berbicara dengannya sampai beliau wafat.

Karena Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan Fatimah Az-Zahra as dan tidak menerima kesaksiannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun, akhirnya Fatimah Az-Zahra as pun murka pada Abu Bakar, sampai beliau tidak mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang beliau wasiatkan pada suaminya, Imam Ali. Fatimah Az-Zahra as juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.[2

Alhasil, Fatimah Az-Zahra as sebenarnya ingin melaporkan kepada generasi muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya, agar mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah Az-Zahra as sampai memohon pada suaminya agar dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa pun. Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah kebenaran lewat telaah-telaahnya yang intensif dalam bidang sejarah .

Dalam konteks ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah: Kau tunggangi onta[3] Kau tunggangi baghal[4] Kalau kau terus hidup, kau akan tunggangi gajah. Sahammu kesembilan dari seperdelapan, tapi telah kau ambil semuanya. Ini adalah contoh dari rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah mewarisi semua rumah Nabi saw sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas?

Apabila Nabi tidak meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan oleh Abu Bakar (yang memang keliru) dan karenanya dia melarangnya dari Fatimah Az-Zahra as, lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam Al-Quran suatu ayat yang memberikan hak waris pada isteri tapi melarangnya dari anak perempuan? Ataukah politik yang telah merubah segala sesuatu sehingga anak perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si isteri diberi segala sesuatu?

Catatan: 
[1] Tarikh al-Khulafa jil. 1 hal.19; Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili.
[2] Shahih Bukhori jil.3 hal. 36; Shahih Muslim jil. 2 hal. 72.
[3] Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau menunggangi onta.
[4] Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal dalam usaha menghalangi Imam Hasan as dari dikuburkan dekat pusara datuknya. 

Everyday Iran

People visiting an exhibition of avant-garde visual artists named ‘Auto-Totemize’ at Y Gallery. #Tehran, #Iran. Photo by Fardinn Nazari @fardin.nazari 
A vendor sells different kinds of melons on street. #Tehran, #Iran. Photo by @rmitphotogallery 
Farmers planting rice in a paddy field. #Alamut, #Qazvin. Photo by Ali Safari @alisafari70 
A family has fun in a spring at Farang Village. #Galikash, #Golestan, #Iran. Photo by Nemat Sargolzaei @nemat.sargolzaei 
Asalem to #Khalkhal Road. #Gilan, #Iran. Photo by Soroush Heydari @soroushheydari.ch 
People praying together during one of the nights of ‘Qadr'. It is believed that the verses of Quran were wholly revealed to the Islamic prophet Muhammad at one of the ‘Qadr’ nights (19th or 21st or 23rd or 27th of Ramadan). Muslims believe that at these nights, the blessings from Allah are abundant, sins are forgiven, supplications are accepted, and that the annual decree is revealed to the angels who also descend on earth. #Tehran, #Iran. Photo by Meisam Amani @misilart 
Pare-Sar Forest. #Gilan, #Iran. Photo by Hossein Mirkamali @hosseinmirkamali 
 
Petals of borage flower put in the sunlight to get dry. These petals are used to make some kind of tisane which is believed to be curative. #Masuleh Village, #Gilan, #Iran. Photo by Omid Akhavan @omidakhavanphotography 
Passengers at #Tehran to #Mashhad train. #Iran. Photo by @dimunicouple 
Namak-Abroud gondola lift in #Mazandaran, #Iran. Photo by Hamid Alavi @hamid__alavi 
A woman makes tea in the high ground of #Khalkhal, #Ardabil, #Iran. Photo by @maede_hjr 
 
A driver cleans his bus down on street. #Ahwaz, #Khuzestan, #Iran. Photo by Milad Esmaeili @milad_esmaelii 
Mashti Baba, 74, sells milk by the side of a road in Band-e-Pey Village, #Mazandaran, #Iran. Photo by Negin Kiani @neginkianii 
 
Villagers look at sheep died of some unknown disease. Soubatan Village, #Talesh, #Gilan, #Iran. Photo by Amin Rahmani @aminrahmanii 

A young farmer takes a rest after getting the rice harvest in. ‪#‎Gilan‬, ‪#‎Iran‬. Photo by Shirin Isfahani @shirin_isfahani ‪#‎everydayGilna‬ ‪#‎everydayIran‬ ‪#‎everydayMiddleEast‬ ‪#‎everydayAsia‬ ‪#‎everydayEverywhere‬ کشاورز جوانی در حال استراحت بعد از برداشت محصول برنج. ‫#‏گیلان‬، ‫#‏ایران‬. عکاس: شیرین اصفهانی http://ift.tt/1Nkxqnf

Falsafatuna (Pengantar Penulis)



Setelah Dunia Islam jatuh ke tangan kaum penjajah, arus pemikiran Barat yang bersandar pada budaya kolonialis telah menyapu bersih prinsip-prinsip dan konsep-konsep budaya Islam berkenaan dengan alam, kehidupan dan kemasyarakatan. Keadaan tersebut membantu kolonialisme dalam upayanya melakukan ekspansi ideologis secara terus-menerus guna memusnahkan eksistensi pemikiran Islam dan warisan luhur Islam.

Pada gilirannya, pertentangan antara pemikiran Barat dengan kehidupan, intelektual dan politik umat Islam pun tak dapat dielakkan. Gelombang dahsyat konsep-konsep Barat yang beraneka-ragam yang merasuki negeri-negeri Islam dan berusaha untuk memusnahkan konsep-konsep kebudayaan Islam mendapatkan perlawanan. Adalah suatu keharusan bagi Islam untuk menyatakan pandangannya dalam kancah pertentangan yang pahit ini. Pandangan itu harus kukuh, dalam, jelas, tegas, lengkap, dan komprehensif – baik yang berhubungan dengan alam semesta, kehidupan, manusia, masyarakat, negara maupun sistem lain – sehingga umat dapat memproklamasikan kalimah Allah dalam pertentangan tersebut dan mengajak dunia untuk tunduk kepadanya, serta bagaimana umat terdahulu telah melakukannya.

Buku ini tak lain adalah bagian dari kalimah Allah yang di dalamnya masalah-masalah alam semesta ditelaah sebagaimana ia harus dipecahkan lewat sorotan Islam. Dalam buku kami yang lain dibahas bagaimana Islam menjelaskan dan memecahkan secara tepat berbagai problem alam semesta dan kehidupan.

Falsafatuna adalah sekumpulan konsep kita yang mendasar tentang dunia dan metode berpikir kita tentang dunia tersebut. Karena itu, buku ini –kecuali bagian pendahuluan – kami bagi dalam dua pembahasan: Pertama, berkaitan dengan teori pengetahuan (epistemologi) dan kedua berkaitan dengan metafisika (konsep filsafat tentang dunia).

Bagian pertama tersebut ingin mengemukakan pembahasan yang dapat dirinci sebagai berikut:

[1] Mengemukakan suatu tesis yang menyatakan bahwa metode rasional dalam berpikir adalah logis dan dapat dipercaya akal, termasuk pengetahuan-pengetahuan yang tidak bergantung pada eksperimen atau pengetahuan a-priori merupakan kriteria pertama yang menentukan kesahihan pemikiran manusia. Tidaklah mungkin ada pemikiran filosofis atau ilmiah tanpa menundukkannya kepada kriteria umum ini. Bahkan eksperimen yang diduga oleh kaum empiris sebagai kriteria pertama, pada hakikatnya hanyalah sarana bagi penerapan kriteria rasional tersebut. Teori empiris tidak dapat tidak tentu membutuhkan logika rasional.

[2] Mempelajari nilai pengetahuan manusia dan menunjukkan bahwa pengetahuan itu dapat dipandang mengandung nilai yang benar berdasarkan pertimbangan logika rasional, bukan logika dialektik yang tidak mampu memberikan nilai yang benar bagi pengetahuan.

Tujuan pokok dari pembahasan bagian pertama tersebut adalah untuk menentukan metode penelaahan di bagian kedua. Karena, peletakan konsep umum dalam metafisika bergantung, pertama-tama, pada penetapan landasan-landasan berpikir, kriteria umum bagi pengetahuan yang benar, dan keluasan nilai pengetahuan yang benar tersebut. Oleh sebab itulah, studi di bagian pertama pada dasarnya adalah pengantar bagi bagian kedua; dan bagian kedua sendiri membahas soal-soal mendasar yang secara khusus layak mendapat perhatian pembaca.

Di bagian kedua, studi kami bagi menjadi lima bagian:

[1] Mengemukakan pertentangan konsep-konsep filosofis dan penjelasan atasnya.

[2] Mengemukakan konsep dialektika sebagai logika. Konsep ini penting dikemukakan karena ia dijadikan dasar materialisme modern. Dalam bagian ini akan ditelaah secara objektif dan rinci mengenai keseluruhan pemikiran pokok yang dirumuskan oleh dua filosof dialektis, yaitu Hegel dan Marx.

[3] Menelaah prinsip dan hukum-hukum kausalitas yang mengatur dunia, termasuk juga penafsiran filosofis secara komprehensif tentang dunia yang diajukan kepada kita oleh hukum kausalitas. Di bagian ini juga akan dicoba untuk memecahkan sejumlah keraguan (skeptisisme) filosofis yang muncul dalam semangat perkembangan ilmu pengetahuan modern.

[4] Menelaah tentang “materi dan Tuhan”. Di sini penelaahan akan melibatkan perdebatan antara materialisme dan konsep-konsep teologis, yang dengan cara demikian ini pada akhirnya konsep-konsep teologis kita tentang dunia akan dapat dirumuskan atas dasar semangat hukum-hukum filosofis dan ilmu pengetahuan – baik ilmu-ilmu fisika maupun humaniora.

[5] Kemudian di bagian akhir buku ini, akan ditelaah suatu problem filosofis yang terpenting, yaitu tentang wilayah konflik antara materialisme dan spiritualisme. Pembahasan akan dilakukan secara filosofis dan dalam sorotan berbagai ilmu yang berkaitan dengan objek tersebut, seperti misalnya ilmu-ilmu alam, fisiologi, dan psikologi.

Demikianlah kerangka umum buku ini, yang merupakan hasil kerja keras selama sepuluh bulan. Kami berharap sangat, buku ini dapat menyampaikan pesan suci secara damai dan ikhlas. Kami juga berharap agar para pembaca sudi menelaah buku ini secara objektif dan dengan konsentrasi penuh, untuk kemudian menilainya atas dasar pertimbangan filosofis dan ilmiah dan bukan atas dasar emosional atau keinginan-keinginan subjektif – baik penilaian Anda itu ditujukan untuk penolakan ataupun penerimaan atas pemikiran dalam buku ini.

Kami tidak ingin para pembaca menelaah buku ini seperti membaca sebuah novel atau roman atau hanya sekadar dianggap sebagai kesenangan intelektual atau semacam buku sastra. Buku ini jelas bukan berisi tentang cerita-cerita sastra ataupun cerita-cerita yang menyenangkan akal. Pada hakikatnya, buku ini ingin mengungkapkan persoalan-persoalan manusia sebagai makhluk berpikir. Dan tiada taufik bagiku selain dari Allah.  Kepada-Nyalah aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali.

Najf Al-Asyraf, 29 Rabi’ul Tsaniy 1379 H
Muhammad Baqir Ash-Shadr