Incest dalam Sejarah Mesir Kuno



Barangkali Levi Strauss perlu intens menulis tentang sejarah Mesir kuno, selain menulis tentang bangsa tropis Amazon, utamanya ketika mengulas “pertukaran perempuan”, atau ketika ia bicara soal incest. Sepertinya, bagi bangsa Mesir kuno, seks tidak dimaknai dan dipraktekan secara monolitik, sebab bangsa Mesir kuno mempraktikkan seks dalam perkawinan sekaligus sebagai komoditas untuk menemukan kesenangan yang sifatnya hiburan, tak berbeda dengan bangsa Mesopotamia Kuno. Begitulah, dahulu kala, 5.000 tahun yang lalu di peradaban kuno Mesir tidak berbeda jauh dengan pendahulunya Mesopotamia. Orang Mesir percaya bahwa seksualitas dan spiritualitas adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagian besar orang Mesir menikmati seks sebagai sarana hiburan selain sebagai sarana mendapatkan keturunan.

Kala itu, perkawinan antara saudara khususnya dalam kerajaan dan dinasti Mesir kuno bukanlah suatu hal yang ganjil. Seorang Raja bisa saja menikahi anak perempuannya sendiri, seorang kakak bisa menikahi adik kandungnya sendiri. Hal ini di lakukan untuk menjaga kemurnian darah Raja dan keturunannya di masa-masa itu. Dengan perkawinan sedarah ini, keluarga kerajaan juga tetap terjaga dari unsur luar (menurut ilmu pengetahuan modern, perkawinan sedarah ini akan ikut menurunkan penyakit keluarga). Catatan seksualitas orang Mesir tercatat di dinding dalam piramida Giza berupa gambar-gambar dan ukiran di dinding. Piramida ini adalah piramida tertua, yang sampai sekarang masih berdiri kokoh yang didirikan oleh Raja Kuhfu 2560 tahun sebelum masehi.

Simbolisme seks orang Mesir kuno digambarkan dengan seorang pria sedang memegang tombak. Selain itu, terdapat simbolisme seks lainnya berupa gambar sayap, burung, angsa, bahkan monyet. Menurut catatan Herodotus, seorang sejarahwan Yunani kuno, Raja Kuhfu dari dinasti ke empat kerajaan Mesir ini mengumpulkan dana untuk membangun Piramida Giza dengan menjual putrinya sendiri sebagai komoditas bagi lembaga prostitusi.

Kesenangan bersamaan dengan keinginan mendapatkan keturunan, erotisme, dan seks setelah kehidupan berikutnya adalah semua elemen penting bagi seksualitas orang Mesir kuno. Mereka yang percaya dan menjalankan kultur yang telah berumur hampir 5.000 tahun yang lalu ini, berusaha menyelaraskan seks dan spiritualitas guna mencapai keseimbangan yang harmonis di antara kesenangan jasmani dan kesempurnaan jiwa. Meski, seperti kita tahu, seksualitas juga kemudian disakralkan ke dalam lembaga perkawinan demi mencapai peradaban yang lebih maju dan harmonis dalam rangka membentuk ketertiban sosial, menghilangkan semangat rasisme, dan utamanya sebagai fondasi kehidupan keluarga yang merupakan pilar dasar atau fondasi utama kehidupan sosial-politik masyarakat.

Secara arkeologis dan kesejarahan, seperti yang dapat dibaca dan ditafsirkan dari bermacam-macam relief, patung, dan benda-benda bersejarah lainnya, bisa diperkirakan bahwa konsep dan pemaknaan (pemahaman) pernikahan orang Mesir kuno hampir tidak berbeda dengan jaman kita sekarang ini. Jimmy Dunn (nama pena Mark Andrews), misalnya, menulis dalam laman touregypt.net bahwa tradisi pernikahan sedarah antar saudara dan antara ayah dan anak sudah dilakukan dalam keluarga kerajaan setidaknya sampai kedatangan bangsa Yunani. Dalih atau dasar mitologis dan religi yang digunakan untuk melakukan pernikahan sedarah bersumber dari mitos Mesir yang menyebutkan pernikahan semacam itu terjadi di antara para dewa. Singkatnya, berdasarkan pemahaman dan kepercayaan paganisme mereka. Hanya saja, sebagian ada yang berteori bahwa itu hanya kedok untuk tetap mempertahankan kekuasaan dalam lingkungan kerajaan dan dinasti mereka yang berkuasa. Sementara itu, kedatangan orang Yunani meningkatkan persentasi pernikahan sedarah di luar anngota kerajaan Mesir. Contoh lain pernikahan sedarah diperkirakan dilakukan oleh Tutankhamun yang mungkin saat berusia 9 tahun telah menikahi saudara perempuannya sendiri. Dalam kasus ini, pernikahan sedarah secara umum dilakukan dalam umur yang masih sangat belia. Setelah memasuki masa pubertas, anak laki-laki harus memenuhi kewajiban untuk bekerja dan dan mengurus keluarga. 
 
 

Persia Menurut Alkitab


Negeri yang dalam Alkitab maupun sejarah sekuler biasanya disebutkan bersama Media. Orang Media dan orang Persia tampaknya mempunyai hubungan kekerabatan karena berasal dari suku-suku Arya (Indo-Iran) kuno; dengan demikian orang Persia adalah keturunan Yafet, mungkin melalui Madai, bapak leluhur orang Media. (Kej 10:2) Dalam sebuah inskripsi, Darius Agung menyebut dirinya ”orang Persia, putra orang Persia, orang Arya, dari benih Arya”.—History of the PersianEmpire, karya A. Olmstead, 1948, hlm. 123.

Inskripsi-inskripsi Asiria dari zaman Syalmaneser III (tampaknya hidup sezaman dengan Yehu dari Israel) menyebutkan penyerbuan atas Media dan penerimaan upeti dari raja-raja ”Parsua”, suatu wilayah yang tampaknya terletak di sebelah barat D. Urmia dan berbatasan dengan Asiria. Banyak pakar menganggap ”Parsua” sebagai nama yang pada waktu itu digunakan untuk negeri orang Persia, tetapi ada juga yang menghubungkannya dengan orang Partia. Apa pun halnya, dalam inskripsi-inskripsi yang ditulis belakangan, orang Persia digambarkan tinggal di daerah yang lebih ke selatan, yaitu ”Parsa” di sebelah tenggara Elam, di daerah yang sekarang adalah provinsi Fars di Iran. Ansyan, suatu distrik atau kota yang berbatasan dengan Elam dan mungkin pernah termasuk wilayah kekuasaannya, juga ditempati oleh orang Persia.

Jadi, pada awal sejarahnya, orang Persia kelihatannya hanya menguasai bagian barat daya plato Iran yang luas itu; batas-batas daerah mereka ialah Elam dan Media di sebelah barat laut, Partia di sebelah utara, Karmania di sebelah timur, dan Tel. Persia di sebelah selatan dan barat daya. Kecuali tanah pesisir yang panas dan lembap di Tel. Persia, negeri itu terutama meliputi bagian selatan daerah Peg. Zagros yang tidak rata, diselingi lembah-lembah yang memanjang serta cukup subur dengan lereng-lerengnya yang berhutan lebat. Lembah-lembah itu beriklim sedang, tetapi di plato-plato yang lebih tinggi, yang kering dan berangin kencang, suhu udaranya sangat rendah pada bulan-bulan musim dingin. Seperti orang Media, tampaknya pekerjaan utama orang Persia adalah beternak, selain bertani, dan raja Persia, Darius Agung, dengan bangga menggambarkan negeri asalnya itu ”indah serta mempunyai banyak kuda dan penduduk”.—Encyclopædia Britannica, 1959, Jil. 17, hlm. 603.

Orang Persia, yang pada mulanya menjalani kehidupan yang cukup keras dan sering mengembara, ternyata sangat menyukai kemewahan dan lingkungan yang mewah selama menjadi imperium. (Bdk. Est 1:3-7; juga pakaian yang diberikan kepada Mordekai, 8:15.) Pada pahatan di Persepolis, orang Persia tampak mengenakan jubah lebar yang berjuntai sampai ke pergelangan kaki, berikat pinggang, dan memakai sepatu bertali rendah. Sebaliknya, orang Media digambarkan mengenakan mantel ketat yang panjangnya selutut dan berlengan panjang. (GAMBAR, Jil. 2, hlm. 328) Orang Persia maupun orang Media tampaknya mengenakan celana panjang; para prajurit Persia terlihat mengenakan celana panjang dan tunik berlengan panjang di atas baju zirah bersisik besi. Mereka adalah penunggang kuda yang mahir, dan pasukan berkuda memainkan peranan penting dalam strategi perang mereka.

Bahasa Persia digolongkan ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa dan terbukti berkaitan dengan bahasa Sanskerta India. Pada suatu waktu dalam sejarah mereka, orang Persia mulai menulis dengan huruf paku, tetapi dengan jumlah huruf yang jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan ratusan huruf paku yang digunakan dalam tulisan Babilonia dan Asiria. Beberapa inskripsi dari zaman Imperium Persia yang telah ditemukan ditulis dalam bahasa Persia Kuno dengan terjemahan dalam bahasa Akad dan bahasa yang umumnya disebut ”bahasa Elam” atau ”bahasa Susiana”, tetapi dokumen-dokumen resmi yang digunakan dalam administrasi di daerah-daerah imperium itu terutama dicatat dalam bahasa Aram sebagai bahasa internasional.—Ezr 4:7.

Perkembangan Imperium Media-Persia. (PETA, Jil. 2, hlm. 327) Seperti orang Media, orang Persia tampaknya diperintah oleh beberapa keluarga bangsawan. Dari salah satu keluarga ini muncul dinasti Akhemenes, yang kemudian menurunkan pendiri Imperium Persia, Kores Agung. Kores, yang menurut Herodotus dan Xenofon mempunyai ayah orang Persia dan ibu orang Media, mempersatukan orang Persia di bawah kepemimpinannya. (Herodotus, I, 107, 108; Cyropaedia, I, ii, 1) Sebelum itu, orang Media mendominasi orang Persia, tetapi Kores memperoleh kemenangan kilat atas raja Media, Astiages, dan merebut ibu kotanya, Ekbatana (550 SM). (Bdk. Dan 8:3, 20.) Dengan demikian, Imperium Media berada di bawah kekuasaan orang Persia.

Meskipun orang Media tetap tunduk kepada orang Persia selama sisa kekuasaan dinasti Akhemenes, tidak ada keraguan bahwa imperium yang terbentuk merupakan kekuasaan kembar. Oleh karena itu, buku History of the PersianEmpire (hlm. 37) menyatakan, ”Hubungan erat antara orang Persia dan orang Media tidak pernah terlupakan. Ekbatana yang telah dijarah tetap menjadi hunian favorit bagi keluarga kerajaan. Orang Media mendapat kehormatan yang sama seperti orang Persia; mereka dipekerjakan dalam kedudukan tinggi dan dipilih untuk memimpin pasukan Persia. Orang Media dan orang Persia sering menjadi bahan pembicaraan orang-orang asing; untuk sebutan tunggal, mereka menggunakan istilah ’orang Media’.”

Di bawah pemerintahan Kores, Imperium Media-Persia mengembangkan sayapnya lebih jauh ke barat, sampai ke L. Aegea, setelah Raja Kroesus dari Lidia dikalahkan oleh Persia dan beberapa kota pesisir Yunani ditaklukkan. Akan tetapi, kemenangan terbesar dicapai pada tahun 539 SM ketika Kores, sebagai kepala pasukan gabungan orang Media, Persia, dan Elam, merebut Babilon yang kuat, menggenapi nubuat-nubuat Alkitab. (Yes 21:2, 9; 44:26–45:7; Dan 5:28) Dengan jatuhnya Babilon, berakhirlah periode panjang supremasi bangsa Semitik, yang kemudian digantikan oleh kuasa dunia pertama yang dominan dari keturunan Arya (Yafetik). Dengan demikian, negeri Yehuda (juga Siria dan Fenisia) masuk ke dalam wilayah kekuasaan Media-Persia. Berdasarkan dekret Kores, pada tahun 537 SM orang Yahudi buangan diperbolehkan kembali ke negeri asal mereka, yang telah telantar selama persis 70 tahun.—2Taw 36:20-23; lihat KORES.

Beberapa ibu kota Persia. Karena imperium itu memiliki kekuasaan kembar, seorang Media bernama Darius menjadi penguasa kerajaan Khaldea yang kalah, walaupun mungkin tidak independen dari kekuasaan Kores. (Dan 5:31; 9:1; lihatDARIUS No. 1.) Babilon tetap menjadi kota kerajaan Imperium Media-Persia, sekaligus pusat keagamaan dan perdagangan. Akan tetapi, karena para penguasa Persia tidak tahan dengan musim panas yang begitu menyengat di sana, Babilon sering kali hanya menjadi tempat tinggal selama musim dingin. Ada bukti arkeologis bahwa setelah Babilon ditaklukkan, Kores segera kembali ke Ekbatana (Hamadan modern), yang letaknya lebih dari 1.900 m di atas permukaan laut di kaki G. Alwand; di sana, musim dingin dengan salju tebal dan suhu udara yang sangat rendah diimbangi oleh musim panas yang nyaman. Di Ekbatana inilah memorandum Kores tentang pembangunan kembali bait di Yerusalem ditemukan beberapa tahun setelah dikeluarkan. (Ezr 6:2-5) Ibu kota Persia sebelumnya ialah Pasargade, sekitar 650 km di sebelah tenggara Ekbatana, tetapi pada ketinggian yang kira-kira sama. Dekat Pasargade, raja-raja Persia, yaitu Darius, Xerxes, dan Artahsasta Longimanus belakangan mendirikan Persepolis, sebuah kota kerajaan, memperlengkapinya dengan jaringan terowongan bawah tanah yang luas, tampaknya untuk memasok air bersih. Ibu kota lainnya ialah Susa (Syusyan) yang berada di dekat S. Khoaspes (Karkheh) di Elam kuno, menempati bagian tengah yang strategis di antara Babilon, Ekbatana, dan Persepolis. Di sini Darius Agung mendirikan istana megah yang umumnya menjadi tempat tinggal pada musim dingin, sebab seperti di Babilon, suhu udara di Susa sangat tinggi pada musim panas. Akan tetapi, seraya waktu berlalu, Susa lebih sering berfungsi sebagai pusat administratif imperium itu.—Lihat EKBATANA; SYUSYAN.

Agama dan Hukum. Meskipun dapat berlaku kejam seperti raja-raja Semitik di Asiria dan Babilonia, paling tidak pada mulanya para penguasa Persia tampaknya berupaya memperlihatkan keadilan dan menjalankan hukum hingga taraf tertentu sewaktu berurusan dengan bangsa-bangsa taklukan mereka. Agama mereka tampaknya memuat konsep tertentu tentang etika. Selain Ahura Mazda, dewa utama mereka, dewa penting lain ialah Mitra, yang tidak hanya dikenal sebagai dewa perang tetapi juga sebagai dewa perjanjian, yaitu dewa yang mata dan telinganya selalu siap mengamati orang-orang yang melanggar perjanjian. (Lihat DEWA DAN DEWI.) Sejarawan Yunani bernama Herodotus (I, 136, 138) menulis tentang orang Persia, ”Mereka mendidik anak-anak lelaki mereka sejak usia lima hingga dua puluh tahun, dan mengajarkan tiga hal saja kepada mereka: menunggang kuda, memanah, dan mengatakan kebenaran. . . . Menurut mereka, dusta adalah hal yang paling menjijikkan.” Walaupun sejarah para penguasa Persia menunjukkan bahwa mereka tidak sama sekali bebas dari intrik dan sikap bermuka dua, pada dasarnya mereka berpaut pada prinsip yang menjadi ciri suku mereka, yaitu ’menepati janji’, dan hal ini terlihat dari keteguhan mereka berpegang pada ”hukum orang Media dan Persia” yang tidak dapat diubah. (Dan 6:8, 15; Est 1:19; 8:8) Jadi, pada waktu dekret Kores ditemukan kira-kira 18 tahun setelah dikeluarkan, Raja Darius mengakui legalitas pembangunan bait oleh orang Yahudi dan ia memberikan perintah agar orang-orang bekerja sama sepenuhnya dengan mereka.—Ezr 6:1-12.

Orang Persia mahir di bidang administrasi dan ini nyata dalam pengorganisasian Imperium Persia. Selain dewan penasihat pribadi raja, yang terdiri dari ”tujuh pembesar Persia dan Media” (Est 1:14; Ezr 7:14), ada para penguasa distrik (satrap) yang berkuasa atas wilayah-wilayah atau negeri-negeri yang penting, seperti atas Media, Elam, Partia, Babilonia, Asiria, Arab, Armenia, Kapadokia, Lidia, Ionia, dan, seraya imperium itu mengembangkan sayapnya, atas Mesir, Etiopia, dan Libia. Para penguasa distrik ini mendapat otonomi tertentu dalam pemerintahan distrik mereka, termasuk pengelolaan urusan pengadilan dan keuangan di daerah mereka. (Lihat PENGUASA DISTRIK.) Dalam sebuah distrik, kelihatannya ada gubernur bawahan untuk distrik-distrik yurisdiksi (yang jumlahnya 127 pada zaman Raja Ahasweros), dan dalam distrik-distrik yurisdiksi ada pembesar-pembesar dari berbagai bangsa yang menjadi penduduk distrik itu. (Ezr 8:36; Est 3:12; 8:9) Ibu kota imperium itu berada agak di ujung wilayah kekuasaan yang sangat luas, maka untuk mengatasi kendala tersebut dibentuklah sistem komunikasi kilat melalui dinas pos kerajaan dengan kurir-kurir yang mengendarai kuda-kuda pos, sehingga raja dapat berkomunikasi dengan semua distrik yurisdiksi. (Est 8:10, 14) Jalan-jalan raya kerajaan dipelihara dengan baik; salah satunya terentang dari Syusyan sampai ke Sardis di Asia Kecil.

Dari Kematian Koresh hingga Kematian Darius. Pemerintahan Kores Agung berakhir pada tahun 530 SM ketika ia tewas dalam suatu kampanye militer. Putranya, Kambises, menggantikan dia sebagai raja dan berhasil menaklukkan Mesir. Alkitab tidak menyebutkan nama Kambises, tetapi ia adalah ”Ahasweros” dalam Ezra 4:6 yang mendapat surat berisi tuduhan palsu atas orang Yahudi dari para penentang pembangunan bait.

Bagaimana akhir pemerintahan Kambises tidak jelas. Menurut salah satu catatan yang diuraikan oleh Darius Agung dalam Inskripsi Behistun dan yang diceritakan kembali dengan beberapa variasi oleh Herodotus dan orang-orang lain, Kambises dengan diam-diam menyuruh orang membunuh saudaranya, Bardiya (oleh Herodotus disebut Smerdis). Lalu, ketika Kambises berada di Mesir, seorang Majus bernama Gaumata (juga disebut Smerdis oleh Herodotus) berpura-pura menjadi Bardiya (Smerdis), merebut takhta dan berhasil memperoleh pengakuan sebagai raja. Dalam perjalanan kembali dari Mesir, Kambises mati, sehingga kukuhlah kedudukan si perebut takhta itu sebagai raja. (Herodotus, III, 61-67) Versi lain, yang lebih disukai oleh beberapa sejarawan, menyatakan bahwa Bardiya tidak dibunuh dan bahwa dia sendirilah, bukan seorang penipu, yang merebut takhta sewaktu Kambises tidak ada di tempat.

Bagaimanapun kejadiannya, pemerintahan Kambises berakhir pada tahun 522 SM, dan pemerintahan berikutnya bertahan selama tujuh bulan, sehingga berakhir juga pada tahun 522 SM dengan dibunuhnya si perebut takhta itu (entah Bardiya atau Gaumata, si Smerdis gadungan). Namun selama pemerintahan yang singkat inilah tampaknya tuduhan kedua terhadap orang Yahudi diajukan kepada raja Persia, yang pada waktu itu disebut ”Artahsasta” (mungkin sebutan atau gelar raja) dalam Alkitab, dan kali ini para penuduh berhasil karena raja mengeluarkan larangan untuk melanjutkan pembangunan bait. (Ezr 4:7-23) Jadi, pembangunan bait terhenti ”hingga tahun kedua dari masa pemerintahan Darius, raja Persia”.—Ezr 4:24.

Darius I (yang disebut Darius Histaspis atau Darius Agung) kelihatannya merekayasa pembunuhan orang yang menduduki takhta Persia dan merebut kedudukan itu. Selama pemerintahannya, pekerjaan pembangunan bait di Yerusalem dilanjutkan dengan perkenan raja, dan bait itu rampung pada tahun keenam pemerintahannya (awal tahun 515 SM). (Ezr 6:1-15) Pemerintahan Darius ditandai dengan ekspansi imperium. Ia memperluas wilayah Persia ke timur sampai ke India dan ke barat sampai ke Trake dan Makedonia.

Setidaknya pada masa inilah para penguasa Persia telah menggenapi gambaran-gambaran nubuat yang diuraikan di Daniel 7:5 dan 8:4; di ayat-ayat itu, Imperium Media-Persia, yang digambarkan sebagai beruang dan juga domba jantan, dikatakan maju ke tiga arah utama, yaitu utara, barat, dan selatan, untuk merebut daerah-daerah. Tetapi, dalam kampanye militer melawan Yunani, pasukan Darius dikalahkan di Maraton pada tahun 490 SM. Darius mati pada tahun 486 SM.—Lihat DARIUS No. 2.

Pemerintahan Xerxes dan Artahsasta. Xerxes, putra Darius, kelihatannya adalah raja yang dalam buku Ester disebut Ahasweros. Tindakannya juga cocok dengan gambaran tentang raja Persia keempat, yang akan ”menggerakkan segala sesuatu untuk menentang kerajaan Yunani”. (Dan 11:2) Dalam upaya membalas kekalahan Persia di Maraton, Xerxes mengerahkan pasukan yang sangat besar ke daratan Yunani pada tahun 480 SM. Setelah kemenangan yang menelan banyak korban di Termopile dan penghancuran Athena, pasukannya mengalami kekalahan di Salamis dan belakangan di Platea, sehingga Xerxes pulang ke Persia.

Pemerintahan Xerxes ditandai oleh beberapa reformasi administratif dan rampungnya banyak pembangunan yang dimulai oleh ayahnya di Persepolis. (Bdk.Est 10:1, 2.) Kisah-kisah Yunani tentang akhir pemerintahan Xerxes berkisar pada problem perkawinan, kekacauan dalam harem, dan dugaan bahwa Xerxes dikuasai oleh salah seorang penggawanya. Walaupun sangat membingungkan dan menyimpang, kisah-kisah ini bisa jadi mencerminkan beberapa fakta dasar dalam buku Ester, termasuk dipecatnya Ratu Wasti yang digantikan oleh Ester, maupun diangkatnya Mordekai ke kedudukan tinggi dalam wilayah kerajaan itu. (Est 2:17; 10:3) Menurut catatan-catatan sekuler, Xerxes dibunuh oleh salah seorang penggawanya.

Artahsasta Longimanus, pengganti Xerxes, menjadi terkenal karena memberi Ezra wewenang untuk kembali ke Yerusalem dengan membawa sumbangan yang besar untuk menunjang dinas bait di sana. Hal ini terjadi pada tahun ketujuh pemerintahan Artahsasta (468 SM). (Ezr 7:1-26; 8:24-36) Pada tahun ke-20 pemerintahan Artahsasta (455 SM), Nehemia diberi izin untuk pergi ke Yerusalem guna membangun kembali kota itu. (Neh 1:3; 2:1, 5-8) Nehemia belakangan kembali ke istana Artahsasta untuk suatu waktu pada tahun ke-32 pemerintahan raja itu (443 SM).—Neh 13:6.

Ada ketidaksesuaian dalam catatan sejarah sehubungan dengan masa pemerintahan Xerxes dan Artahsasta. Menurut karya-karya referensi, Artahsasta naik takhta pada tahun 465 SM. Beberapa dokumen menyatakan bahwa ayahnya, Xerxes, tetap memerintah sampai tahun ke-21. Masa pemerintahan Xerxes biasanya dihitung dari tahun 486 SM, ketika Darius, ayahnya, wafat. Tahun pertama pemerintahannya sendiri dianggap dimulai pada tahun 485 SM, dan tahun ke-21 pemerintahannya serta tahun naik takhtanya Artahsasta sering kali dikatakan jatuh pada tahun 465 SM. Mengenai Artahsasta, para pakar biasanya mengatakan bahwa tahun terakhir masa pemerintahannya dimulai pada tahun 424 SM. Menurut beberapa dokumen, itu adalah tahun ke-41 pemerintahan Artahsasta. Jika hal itu benar, berarti ia naik takhta pada tahun 465 SM dan tahun pertama pemerintahannya dimulai pada tahun 464 SM.

Akan tetapi, ada bukti kuat untuk mengatakan bahwa tahun 475 SM adalah tahun terakhir pemerintahan Xerxes dan tahun naik takhtanya Artahsasta. Bukti ini diperoleh dari tiga sumber: dari Yunani, Persia dan Babilonia.

Bukti dari Yunani. Suatu peristiwa dalam sejarah Yunani dapat membantu kita menentukan kapan Artahsasta mulai memerintah. Temistokles, seorang negarawan dan pahlawan militer Yunani, kehilangan perkenan orang-orang sebangsanya dan lari menyelamatkan diri ke Persia. Menurut Tusidides (I, CXXXVII, 3), sejarawan Yunani yang termasyhur karena kesaksamaannya, pada waktu itu Temistokles ”mengirim surat kepada Raja Artahsasta, putra Xerxes, yang baru naik takhta”. Plutarch’s Lives (Themistocles, XXVII, 1) memberikan keterangan bahwa ”Tusidides dan Kharon dari Lampsakus menceritakan bahwa Xerxes sudah mati, dan bahwa dengan putranyalah, yaitu Artahsasta, Temistokles mengadakan wawancara”. Kharon adalah warga Persia yang hidup selama pergantian kekuasaan dari Xerxes ke Artahsasta. Berdasarkan kesaksian Tusidides dan Kharon dari Lampsakus, kita dapat melihat bahwa pada waktu Temistokles tiba di Persia, Artahsasta baru mulai memerintah.

Kita dapat menetapkan kapan Artahsasta mulai memerintah dengan menghitung mundur dari tahun kematian Temistokles. Tidak semua buku referensi memberikan tanggal yang sama untuk kematiannya. Akan tetapi, sejarawan Diodorus Sikulus (Diodorus of Sicily, XI, 54, 1; XI, 58, 3) menceritakan kematiannya dalam kisah tentang hal-hal yang terjadi ”sewaktu Praksiergus menjadi archon (kepala pejabat) di Athena”. Praksiergus adalah archon di Athena pada tahun 471/470 SM. (Greekand Roman Chronology, karya Alan E. Samuel, Munich, 1972, hlm. 206) Menurut Tusidides, segera setelah tiba di Persia, Temistokles belajar bahasa selama satu tahun sebagai persiapan untuk menghadap Artahsasta. Setelah itu, sang raja mengizinkannya tinggal di Persia sebagai warga yang terhormat. Jika Temistokles mati pada tahun 471/470 SM, ia pasti tinggal di Persia sebelum tahun 472 SM dan ia tiba satu tahun sebelumnya, pada tahun 473 SM. Pada waktu itu, Artahsasta ”baru naik takhta”.

Mengenai kapan Xerxes mati dan Artahsasta naik takhta, M. de Koutorga menulis, ”Kita telah melihat bahwa, menurut kronologi Tusidides, Xerxes mati menjelang akhir tahun 475 SM, dan bahwa, menurut sejarawan yang sama, Temistokles tiba di Asia Kecil tidak lama setelah Artahsasta Longimanus naik takhta.”—Mémoires présentés par divers savants Ã  l’Académie des Inscriptions etBelles-Lettres de l’Institut Impérial de France, seri pertama, Jil. VI, bagian kedua, Paris, 1864, hlm. 147.

Yang lebih jauh mendukung hal itu ialah pernyataan E. Levesque berikut ini, ”Oleh karena itu kita perlu menetapkan, berdasarkan Alexandrian Chronicle, bahwa Xerxes mati pada tahun 475 SM, setelah memerintah selama sebelas tahun. Sejarawan Yustin, dalam karyanya Epitome of the Philippic History of PompeiusTrogus, Buku III, Bagian 1, meneguhkan tawarikh ini dan pernyataan Tusidides. Menurut dia, pada waktu Xerxes dibunuh, Artahsasta, putranya, masih kanak-kanak,puer [anak lelaki], yang memang benar jika Xerxes mati pada tahun 475. Pada waktu itu, Artahsasta berusia 16 tahun, sedangkan pada tahun 465 ia tentu sudah berusia dua puluh enam tahun, sehingga pernyataan Yustin tidak tepat. Menurut kronologi ini, karena Artahsasta mulai memerintah pada tahun 475, tahun ke-20 masa pemerintahannya pasti jatuh pada tahun 455 dan bukan tahun 445 seperti yang cukup sering dikatakan.”—Revue apologétique, Paris, Jil. 68, 1939, hlm. 94.

Jika Darius mati pada tahun 486 SM dan Xerxes mati pada tahun 475 SM, mengapa beberapa dokumen kuno menyatakan bahwa Xerxes memerintah selama 21 tahun? Merupakan hal yang sangat umum bagi seorang raja untuk memerintah bersama-sama putranya. Jika halnya demikian sehubungan dengan Darius dan Xerxes, para sejarawan dapat menghitung tahun-tahun pemerintahan Xerxes sejak awal pemerintahan bersama ayahnya atau sepeninggal ayahnya. Jika Xerxes memerintah bersama ayahnya selama 10 tahun dan sendirian selama 11 tahun, beberapa sumber dapat menyatakan bahwa ia memerintah selama 21 tahun, sedangkan menurut yang lain 11 tahun.

Ada bukti kuat bahwa Xerxes memerintah bersama ayahnya, Darius. Sejarawan Yunani, Herodotus (VII, 3), mengatakan, ”Darius menilai permohonan dia [Xerxes, untuk kedudukan sebagai raja] masuk akal dan menyatakan dia sebagai raja. Tetapi saya pikir Xerxes akan dijadikan raja bahkan tanpa pemberitahuan ini.” Keterangan ini menunjukkan bahwa Xerxes dijadikan raja pada masa pemerintahan ayahnya, Darius.

Bukti dari Persia. Bahwa Xerxes memerintah bersama Darius dapat terlihat khususnya dari beberapa pahatan bas-relief Persia yang telah ditemukan. Di Persepolis, beberapa bas-relief telah ditemukan dengan gambar Xerxes berdiri di belakang takhta ayahnya, mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian ayahnya, dan kepala mereka sama tinggi. Hal ini tidak lazim, karena biasanya kepala raja lebih tinggi daripada semua yang lain.

Dalam A New Inscription ofXerxes From Persepolis (karya Ernst E. Herzfeld, 1932) dikatakan bahwa baik inskripsi-inskripsi maupun bangunan-bangunan yang ditemukan di Persepolis menyiratkan bahwa Xerxes memerintah bersama-sama ayahnya, Darius. Pada halaman 8 dari karyanya, Herzfeld menulis, ”Karakter unik inskripsi-inskripsi Xerxes di Persepolis, yang kebanyakan tidak membedakan kegiatan dirinya dan kegiatan ayahnya, dan keterkaitan yang sama uniknya antara bangunan-bangunan mereka, sehingga tidak mungkin untuk menentukan mana milik pribadi Darius dan mana milik pribadi Xerxes, selalu menyiratkan bahwa Xerxes memerintah bersama Darius. Selain itu, dua pahatan di Persepolis menggambarkan hubungan tersebut.” Sehubungan dengan salah satu pahatan itu, Herzfeld menyatakan, ”Darius digambarkan mengenakan semua atribut raja, duduk di atas takhta pada sebuah panggung tinggi yang disangga oleh wakil-wakil dari berbagai bangsa dalam imperiumnya. Di belakangnya dalam relief itu, atau sebenarnya di sebelah kanannya, Xerxes berdiri dengan atribut raja yang sama, tangan kirinya diletakkan pada sandaran tinggi takhta itu. Ini adalah isyarat yang menyatakan dengan jelas bahwa ia bukan sekadar penerus takhta; ini berarti pemerintahan bersama.”

Mengenai waktu pembuatan relief-relief yang menggambarkan Darius dan Xerxes dengan cara seperti itu, Ann Farkas menyatakan dalam Achaemenid Sculpture(Istambul, 1974, hlm. 53) bahwa ”relief-relief itu bisa jadi dipasang di Perbendaharaan suatu waktu selama pembuatan bangunan tambahan pertama, tahun 494/493–492/491 SM; ini jelas adalah waktu yang paling cocok untuk memindahkan potongan-potongan batu yang demikian berat dan besar. Tetapi tidak soal kapan batu-batu itu dipindahkan ke Perbendaharaan, pahatan-pahatan tersebut mungkin dibuat pada tahun 490-an”.

Bukti dari Babilon. Bukti bahwa Xerxes mulai memerintah bersama ayahnya pada tahun 490-an SM ditemukan di Babilon. Penggalian di sana menemukan istana untuk Xerxes yang rampung pada tahun 496 SM. Tentang hal ini, A. T. Olmstead menulis dalam History of the Persian Empire (hlm. 215), ”Kita mengetahui bahwa pada tanggal 23 Oktober 498 istana putra raja [yaitu Xerxes, putra Darius] sedang dibangun di Babilon; tidak diragukan, ini adalah istana Darius di bagian tengah yang telah kami uraikan. Dua tahun kemudian [pada tahun 496 SM], dalam sebuah dokumen bisnis dari Borsippa yang tidak jauh dari situ, kita mendapat keterangan bahwa ’istana baru’ itu sudah rampung.”

Dua lempeng tanah liat yang tidak lazim mungkin dapat memberikan bukti tambahan bahwa Xerxes memerintah bersama Darius. Yang satu ialah teks bisnis tentang penyewaan sebuah bangunan pada tahun Xerxes naik takhta. Lempeng itu bertanggal bulan pertama tahun itu, yaitu Nisan. (A Catalogue of the LateBabylonian Tablets in the Bodleian Library, Oxford, karya R. Campbell Thompson, London, 1927, hlm. 13, lempeng yang disebut A. 124) Lempeng lain memuat tanggal ”bulan Ab(?), tahun Xerxes naik takhta”. Yang menarik, lempeng yang disebutkan belakangan tersebut tidak menyebut Xerxes dengan gelar ”raja Babilon, raja negeri-negeri”, yang sebenarnya merupakan hal yang lazim pada waktu itu.—Neubabylonische Rechts- und Verwaltungsurkunden Ã¼bersetzt und erläutert,karya M. San Nicolò dan A. Ungnad, Leipzig, 1934, Jil. I, bagian 4, hlm. 544, lempeng No. 634, disebut VAT 4397.

Kedua lempeng ini membingungkan. Biasanya, tahun seorang raja naik takhta dimulai setelah kematian pendahulunya. Akan tetapi, ada bukti bahwa pendahulu Xerxes (Darius) hidup sampai bulan ketujuh tahun terakhir pemerintahannya, sedangkan kedua dokumen yang berasal dari tahun Xerxes naik takhta ini memuat tanggal sebelum bulan ketujuh (yang satu bulan pertama, yang kedua bulan kelima). Oleh karena itu, dokumen-dokumen ini tidak ada kaitannya dengan periode Xerxes naik takhta setelah kematian ayahnya tetapi menunjukkan tahun naik takhta sebagai rekan penguasa bersama Darius. Jika tahun naik takhta itu adalah tahun 496 SM, ketika istana di Babilon untuk Xerxes telah rampung, tahun pertamanya sebagai rekan penguasa tentu dimulai pada bulan Nisan berikutnya, pada tahun 495 SM, dan tahun ke-21 serta tahun terakhirnya tentu dimulai pada tahun 475 SM. Kalau begitu, pemerintahan Xerxes mencakup 10 tahun bersama Darius (dari 496 sampai 486 SM) dan 11 tahun sebagai raja tunggal (dari 486 sampai 475 SM).

Sebaliknya, para sejarawan tidak sependapat bahwa tahun pertama pemerintahan Darius II dimulai pada musim semi tahun 423 SM. Sebuah lempeng Babilonia menunjukkan bahwa pada tahun ia naik takhta, Darius II sudah bertakhta pada hari ke-4 bulan ke-11, yaitu 13 Februari 423 SM. (Babylonian Chronology, 626B.C.–A.D. 75, karya R. Parker dan W. H. Dubberstein, 1971, hlm. 18) Akan tetapi, ada dua lempeng yang menunjukkan bahwa Artahsasta tetap memerintah setelah bulan ke-11, hari ke-4, dari tahun ke-41 pemerintahannya. Yang satu memuat tanggal bulan ke-11, hari ke-17, tahun ke-41 pemerintahannya. (hlm. 18) Yang kedua memuat tanggal bulan ke-12, tahun ke-41 pemerintahannya. (Old Testamentand Semitic Studies, diedit oleh Harper, Brown, dan Moore, 1908, Jil. 1, hlm. 304, lempeng No. 12, disebut CBM, 5505) Oleh karena itu, Artahsasta tidak digantikan pada tahun ke-41 pemerintahannya tetapi memerintah sampai tahun ke-41 itu berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa Artahsasta pasti telah memerintah selama lebih dari 41 tahun dan dengan demikian, tahun pertama pemerintahannya hendaknya tidak dihitung dari tahun 464 SM.

Bukti bahwa Artahsasta Longimanus masih tetap memerintah setelah tahun ke-41 ditemukan dalam sebuah dokumen bisnis dari Borsippa yang berasal dari tahun ke-50 pemerintahan Artahsasta. (Catalogue of the Babylonian Tablets in the BritishMuseum, Jil. VII: Tablets From Sippar 2, karya E. Leichty dan A. K. Grayson, 1987, hlm. 153; lempeng disebut B. M. 65494) Salah satu lempeng yang menghubungkan akhir pemerintahan Artahsasta dan awal pemerintahan Darius II memuat tanggal berikut ini, ”Tahun ke-51, tahun naik takhta, bulan ke-12, hari ke-20, Darius, raja negeri-negeri.” (The Babylonian Expedition of the University of Pennsylvania,Series A: Cuneiform Texts, Jil. VIII, Bagian I, karya Albert T. Clay, 1908, hlm. 34, 83, dan Gambar 57, Lempeng No. 127, disebut CBM 12803) Karena tahun pertama pemerintahan Darius II adalah 423 SM, tahun ke-51 pemerintahan Artahsasta adalah 424 SM dan tahun pertama pemerintahannya adalah 474 SM.

Jadi, bukti-bukti dari Yunani, Persia, dan Babilonia sama-sama menunjukkan bahwa Artahsasta naik takhta pada tahun 475 SM dan tahun pertama pemerintahannya ialah 474 SM. Dengan demikian, tahun ke-20 pemerintahan Artahsasta, saat dimulainya ke-70 minggu dalam Daniel 9:24, jatuh pada tahun 455 SM. Jika berdasarkan Daniel 9:25 kita menghitung 69 minggu tahun (483 tahun) dari tahun 455 SM, kita sampai pada tahun yang signifikan, yaitu tahun kedatangan Mesias, sang Pemimpin.

Tahun 455 SM sampai tahun 1 M lamanya 455 tahun penuh. Dengan menambahkan 28 tahun yang tersisa (untuk menjadi 483 tahun), kita sampai pada tahun 29 M, tepat ketika Yesus dari Nazaret dibaptis dalam air, diurapi dengan roh kudus, dan memulai pelayanannya kepada umum sebagai Mesias, atau Kristus.—Luk 3:1, 2, 21, 22.

Sejarah hingga Kejatuhan dan Terbaginya Imperium Ini. Mengenai para pengganti Artahsasta Longimanus sebagai raja Persia, Diodorus Sikulus memberikan keterangan berikut, ”Di Asia Raja Xerxes mati setelah memerintah selama satu tahun, atau seperti yang dicatat beberapa orang, dua bulan; dan saudaranya, Sogdianus, menjadi penerus takhta dan berkuasa selama tujuh bulan. Ia dibunuh oleh Darius, yang memerintah selama sembilan belas tahun.” (Diodorusof Sicily, XII, 71, 1) Nama asli Darius yang ini (yang dikenal sebagai Darius II) adalah Okhus, tetapi ia menggunakan nama Darius ketika menjadi raja. Ia tampaknya adalah ”Darius” yang disebutkan di Nehemia 12:22.

Penerus Darius II adalah Artahsasta II (yang disebut Mnemon); pada masa pemerintahannya, Mesir memberontak dan hubungan dengan Yunani memburuk. Pemerintahannya (yang dimulai pada tahun 404 hingga tahun 359 SM) dilanjutkan oleh pemerintahan putranya, Artahsasta III (yang juga disebut Okhus), yang disebutkan berkuasa selama kira-kira 21 tahun (358-338 SM) dan konon adalah penguasa Persia yang paling haus darah. Prestasi utamanya ialah penaklukan kembali Mesir. Kemudian, menurut sejarah sekuler, Arses memerintah selama dua tahun dan Darius III (Kodomanus) selama lima tahun; pada masa pemerintahan Darius III inilah Filipus dari Makedonia dibunuh (336 SM) dan digantikan oleh putranya, Aleksander. Pada tahun 334 SM, Aleksander mulai menyerang Imperium Persia, mengalahkan pasukan Persia mula-mula di Granikus di sudut barat laut Asia Kecil dan sekali lagi di Isus di sudut yang berlawanan di Asia Kecil (333 SM). Akhirnya, setelah Yunani menaklukkan Fenisia dan Mesir, pertahanan terakhir Persia di Gaugamela dihancurkan pada tahun 331 SM, dan berakhirlah Imperium Persia.

Setelah kematian Aleksander dan terbaginya imperium itu, Seleukus Nikator menguasai bagian terbesar wilayah-wilayah di Asia dengan Persia di bagian tengah. Dengan demikian, dimulailah dinasti Seleukus yang berlanjut sampai tahun 64 SM. Seleukus Nikator tampaknya adalah orang pertama yang memenuhi peran sebagai ”raja utara” dalam nubuat Daniel, yang berseteru dengan raja-raja dari dinasti Ptolemeus di Mesir, yang mula-mula tampaknya memenuhi peran sebagai ”raja selatan” simbolis.—Dan 11:4-6.

Raja-raja dinasti Seleukus dibatasi di bagian barat wilayah kekuasaan mereka oleh serbuan-serbuan orang Partia, yang menaklukkan wilayah Persia pada abad ketiga dan kedua SM. Mereka dikalahkan oleh orang Sasan pada abad ketiga SM, dan pemerintahan Sasan terus berlangsung hingga ditaklukkan oleh orang Arab pada abad ketujuh.


Nubuat Yehezkiel (27:10) mencantumkan orang Persia di antara para prajurit yang melayani dalam pasukan militer Tirus yang kaya, dan yang turut membuatnya semarak. Persia juga disebutkan di antara bangsa-bangsa yang menjadi bagian dari gerombolan yang diarahkan oleh ”Gog dari tanah Magog” simbolis untuk menentang umat perjanjian Yehuwa.—Yeh 38:2, 4, 5, 8, 9