Ketika Imam Hussain Disembelih dan Menjadi Kurban Agung



Sebuah Kajian Perjanjian Lama tentang Kurban di Tanah Utara

“Ketika itu Khawali bin Yazid al Ashbahi meloncat untuk membunuh Imam Hussain –namun ketika matanya beradu dengan mata Imam Hussain, dia melihat sorot mata Rasulullah, sehingga tangannya pun gemetar dan dia pun mundur kembali”

Imam Hussain mengumpulkan darah yang mengucur dari kepalanya, kemudian mengusapkan darah itu ke seluruh wajah dan janggutnya, sambil berkata: “Seperti inilah aku akan menemui kakekku Rasulullah, dengan wajah penuh darah inilah aku akan menemui ibuku Fathimah, ayahku Ali dan kakakku al-Hasan”. Ketika itu Khawali bin Yazid al Ashbahi meloncat untuk membunuh Imam Hussain –namun ketika matanya beradu dengan mata Imam Hussain dia melihat sorot mata Rasulullah, sehingga tangannya pun gemetar dan dia pun mundur kembali.


Beberapa orang lainnya juga mengalami hal yang sama. Tiba-tiba Syimir datang dan dengan congkaknya berkata: “Semoga ibu kalian menangisi sifat pengecut kalian”. Dia mengatakan itu sambil menendang dengan keras perut Imam Hussain. Kemudian manusia paling keji ini duduk di atas dada Imam Hussain. Dada Imam Hussain terasa sesak dan darah berkumpul di mulutnya.


Sambil tertawa keras Syimir berkata: “Apa yang akan engkau katakan sekarang wahai putra Abu Turab (maksudnya putra Imam Ali karramallahu wajhah)?” Imam Hussain berkata: “Maukah engkau perlihatkan wajahmu sebelum membunuhku?" Syimir berkata: “Kenapa? Apakah engkau akan merindukan aku setelah kematianmu?” Imam Hussain berkata: “Tidak! Aku ingin memastikan apa yang telah digambarkan oleh kakekku tentang wajah buruk pembunuhku.” Syimir melepas sandalnya dan menampar mulut Imam Hussain seraya berkata: “Celakalah engkau dan celakalah kakekmu!”

Dengan segera Syimir membalikkan tubuh Imam Hussain hingga tertelungkup. Dan mulailah pembunuhan paling sadis terjadi. Manusia terkutuk itu menarik kepala Imam Hussain ke belakang, meletakkan pedangnya ke leher Imam Hussain, lalu menggerakkan kepala Imam Hussain ke kanan dan ke kiri. Imam Hussain berteriak: “Duhai Muhammad, duhai Ali, duhai Fathimah, duhai Hamzah.” Kemudian Syimir berdiri, menginjak punggung Imam Hussain, menarik kepala suci Imam Hussain dan menggerakkan pedangnya, maka terpenggallah kepala putra Rasulullah.

Syimir si manusia neraka mengangkat kepala suci Imam Hussain tinggi-tinggi dan mempertontonkannya kepada keluarga Rasulullah dan pasukan Umar bin Sa'ad. Zainab menjerit, “Duhai Hussain,” dan kemudian pingsan. Adapun pasukan Umar bin Sa'ad bersorak-sorak memperebutkan kepala Imam Hussain yang dilemparkan oleh Syimir ke arah mereka. Kemudian mereka berhamburan ke arah tubuh Imam Hussain yang tergeletak tanpa kepala. Menginjak- injak tubuh itu, dan memperebutkan segala yang dikenakan oleh Imam Hussain.

Bahar bin Ka'ab mengambil celana Imam Hussain. Nashl bin Darim merampas pedangnya, al-Aswad mengambil sandalnya, sementara seorang dari kabilah yang lain sedang menarik-narik cincin yang dikenakan oleh Imam Hussain. Tetapi cincin itu tidak mau terlepas, maka dia mencabut pisaunya dan memotong jari manis Imam Hussain as. Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji’ûn. 

KENAPA IMAM HUSSAIN MELEMPARKAN DARAHNYA KE UDARA?
Dokumen sejarah mewartakan bahwa Imam Husain as melemparkan segenggam darahnya dan segenggam darah Ali Ashgar ke langit pada hari Asyura, pada 10 Muharram di Karbala. Terkait dengan falsafah dan hikmah perbuatan ini dapat dikatakan bahwa Imam Husain as ingin menyampaikan pesan perjuangan dan kebangkitannya kepada seluruh dunia. Untuk mewujudkan keinginan ini, Imam Hussain as memanfaatkan cara seperti ini bahwa tragedi Karbala identik dengan lumuran darah. Dengan kata lain, Imam Husain as melukis kanvas Karbala dengan darahnya sendiri dan darah para sahabatnya supaya lukisan berdarah ini akan senantiasa abadi dan lestari.

At-Thabari menuturkan, Hisyam sesuai nukilan dari Amr bin Syimr, dari Jabir Ja’fi meriwayatkan bahwa, “Akibat peperangan [yang tak seimbang], dahaga menyerang Imam Husain as dan rasa dahaga itu semakin kuat. Tatkala Imam Husain as hampir meminum air, Hushain bin Numair melontarkan anak panah dan menancap di mulut Imam Husain as. Lantas beliau mengambil darah dari mulutnya dan melemparkannya ke langit. Kemudian memuji dan memuja Allah Swt lalu menyatukan tangannya dan berkata, “Tuhanku! Binasakanlah mereka dan jangan sisakan satu pun dari mereka di muka bumi.”[1] Di samping itu, setelah kesyahidan Hadhrat Ali Ashgar as, Imam Hussain as juga melemparkan darah Ali Asghar ke langit. Sejarah pun mencatat, mereka yang turut andil dalam pembunuhan Imam Hussain mengalami ajalnya dalam keadaan hina dan mengenaskan, ada yang tubuhnya terbakar karena sengatan pelita yang menyambar tangannya, ada yang dimakan serigala dan lain sebagainya.

Catatan: [1]. Târikh Thabari, Abu Ja’far bin Harir al-Thabari, riset oleh Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, jil. 5, hal. 449, Beirut, Dar al-Turats, Cetakan Kedua, 1387 H/1967 M.

SYAHADAH IMAM HUSSAIN dalam PERJANJIAN LAMA  
Dalam Perjanjian Lama, Yeremia 46:6 dan 46:10 mencatat sebuah peristiwa di tanah utara, di dekat sungai Eufrat. Berikut kutipan Perjanjian Lama tentang peristiwa di tepi sungai Eufrat itu:

“Orang yang tangkas tidak dapat melarikan diri, pahlawan tidak dapat meluputkan diri, di utara, di tepi sungai Eufrat-lah mereka tersandung dan rebah. Hari itu ialah hari Tuhan ALLAH semesta alam, hari pembalasan untuk melakukan pembalasan kepada para lawan-Nya. Pedang akan makan sampai kenyang, dan akan puas minum darah mereka. Sebab Tuhan ALLAH semesta alam mengadakan korban penyembelihan di tanah utara, dekat sungai Eufrat”.

Orang yang tangkas tidak dapat melarikan diri (Imam Hussain yang dengan ketangkasannya mampu mengalahkan tiga ratusan prajurit bersenjata sendirian di Karbala). Pahlawan tidak dapat meluputkan diri (Imam Hussain sang pahlawan, sebagai pemimpin syuhada tidak dapat menghindar dari dukacita “karbun” dan “wa” musibah “bala” yang bakalan menimpanya). Di tepi sungai Eufrat-lah mereka tersandung dan rebah (mereka para lawan TUHAN, musuh TUHAN, tersandung dan rebah, itulah dukacita “KARBUN” dan musibah “WA BALA” buat musuh-musuh TUHAN). Pedang akan makan sampai kenyang, dan akan puas minum darah mereka (mereka, yakni lawan-Nya, menjadi santapan lezat PEDANG).

Pemerintahan Menurut Imam Ali dalam Nahjul Balaghah (Bagian Kedua)



Oleh Ayatullah Sayid Ali Khamenei (Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran). Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

URGENSI PEMERINTAHAN
Persoalan selanjutnya adalah urgensi pemerintahan. Di dalam Nahjul Balaghah, pembahasan ini diutarakan terkait dengan gelombang khusus yang muncul pada masa pemerintahan beliau (pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib as), dan gelombang seperti itu senantiasa ada pada setiap periode kehidupan manusia. Yakni gelombang adikuasa di tengah masyarakat. Selalu saja ada orang yang berambisi merebut kekuasaan dan keistimewaan untuk diri sendiri, dan tidak sudi menerima tata cara yang berlaku di tengah masyarakatnya.

Orang-orang seperti itu ingin menghindari keharusan-keharusan yang dibebankan oleh sebuah kehidupan bersama ke atas pundak setiap orang, mereka tidak peduli dengan kesepakatan-kesepakatan sosial dan bersama. Kelompok seperti itu selalu ada di masyarakat terdahulu, dan sekarang juga ada, dan pada masa yang akan datang pun akan ada selama akhlak insani yang sempurna belum terealisasi. Mereka ibarat sekelompok orang yang berada di kapal dan ingin melubangi bagian kapal yang mereka duduki. Ibarat di kereta yang sedang berjalan dan ingin melepaskan gerbong atau kamar yang mereka huni dari gerbong dan kamar yang lain dan berhenti sesuka hati mereka di tempat yang nyaman, bahkan bila perlu semua gerbong dan lokomotif kereta itu harus berhenti bersama mereka.

Mereka tidak sudi menerima keharusan-keharusan yang dibebankan oleh sebuah kehidupan bersama atas setiap orang berdasarkan tuntutan dari kehidupan sosial itu sendiri. Apabila gelombang adidaya dan adikuasa ini menemukan ruang bercokol di tengah masyarakat, maka akan terjadi hiruk pikuk dan kekecau-balauan. Sayidina Ali bin Abi Thalib as berkata tentang gelombang seperti ini, “lâbudda linnâsi min amîrin.”[3] ; harus ada pemimpin di antara sekelompok orang. Beliau menyampaikan sabdanya ini untuk menentang gelombang tertentu pada saat itu. Yaitu gelombang yang berusaha menolak urgensi pemerintahan, dan jika pada batinnya adalah kecenderungan adidaya dan adikuasa akan tetapi pada lahirnya telah disolek dengan gincu filsafat, dan inilah yang terjadi pada masa pemerintahan beliau alayhis-salam.

Memang Khawarij adalah kelompok yang jujur tapi keliru, tapi sudah barang tentu ada juga sekelompok yang besekongkol untuk berslogan, “lâ hukma illâ lillâh” [4] ; tiada hukum kecuali untuk Allah. Maksud mereka yang sebenarnya adalah di tengah masyarakat, kita sama sekali tidak butuh pada pemerintahan. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as menerangkan makna yang sesungguhnya dari kalimat “lâ hukma illâ lillâh” dan menerangkan pula titik kekeliruan mereka. Sudah jelas kita tidak bisa menerima kemungkinan bahwa Asy’ats bin Qais, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin kelompok Khawarij, salah memahami kalimat itu. Tidak mungkin kita menerima kemungkinan bahwa komplotan-komplotan politik anti Imam Ali bin Abi Thalib as tidak berperan dalam melahirkan gelombang yang sekilas tampak Ilahi ini.

Mereka mengatakan, “Pemerintahan hanya milik Tuhan.” Dan kami tidak menginginkan pemerintah. Tapi maksud mereka yang sesungguhnya adalah kami tidak menginginkan pemerintahan Ali bin Abi Thalib as. Seandainya beliau menyerah terhadap pemutarbalikan yang jelas ini, atau terhadap pergolakan sosial orang-orang yang dengan polosnya menerima ucapan batil itu, dan mengundurkan diri dari kancah politik, maka pada saat itu pula mereka yang tadinya mengatakan kami tidak butuh pada pemerintahan mengklaim diri sebagai orang yang berhak atas pemerintahan dan langsung merebutnya.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as mengatakan, “Tidak demikian, pemerintahan adalah sebuah keharusan dalam sebuah masyarakat.”; “kalimatu haqqin yurôdu bihâl bâthil.”[5] ; ini adalah tutur kata yang haq dan pernyataan Al-Qur’an, “inil hukmu illâ lillâh.” [6] ; hukum dan pemerintahan hanyalah untuk Allah, akan tetapi tutur kata dan keterangan ini bukan berarti masyarakat tidak membutuhkan pemimpin, “na‘m, innahû lâ hukma illâ lillâh wa lâkin hâ’ulâ’u yaqûlûna lâ imrota illâ lillâh.” [7] ; mereka ingin mengatakan bahwa pengaturan masyarakat juga harus ditanggung oleh Allah sendiri dan tidak ada satu pun selain Dia yang berhak menjadi pemimpin masyarakat, artinya masyarakat harus dibiarkan tanpa pemimpin. Beliau berkata, “wa innahû lâbudda linnâsi min amîrin barrin aw fâjir.” [8] ; ini adalah sebuah keniscayaan sosial, keniscayaan natural dan manusiawi bahwa masyarakat membutuhkan pengurus dan pemimpin, entah itu pemimpin yang baik atau pemimpin yang jahat.


Kehidupan kelompok manusia mengharuskan adanya pemimpin yang mengatur urusan mereka. “lâ hukma illâ lillâh” yang mereka katakan, tapi yang sebetulnya mereka inginkan adalah menolak pemerintahan Ali bin Abi Thalib as yang tidak memuaskan mereka. Padahal kalimat “lâ hukma illâ lillâh” maksudnya adalah menolak ‘andâdullôh’ atau sekutu-sekutu Allah, menolak pemerintahan yang sejajar dengan pemerintahan Allah dan menandinginya, sedangkan pemerintahan Ali bin Abi Thalib as tidak sejajar dengan pemerintahan Allah, sebaliknya hanyut dalam pemerintahan Allah dan segaris vertikal dengannya serta bersumber darinya. Beliau mengupas persoalan ini.

Di dalam sebuah masyarakat, apabila terdapat pemerintahan yang mempunyai ciri-ciri itu, yakni bersumber dari pemerintahan Allah, maka segala bentuk gerakan menyimpang yang memutarbalikkan makna “lâ hukma illâ lillâh” adalah gerakan anti Allah dan anti Ali. Ketika itu, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as menentang keras gerakan menyimpang itu dan menghajar kelompok khawarij yang tidak mau kembali ke jalan yang benar.

SUMBER PEMERINTAHAN
Persoalan yang berikutnya adalah sumber pemerintahan. Dalam peradaban manusia yang populer dari dulu sampai sekarang, sumber pemerintahan adalah kekuatan dan kekuasaan. Semua penaklukan dan serangan militer terjadi dalam rangka itu. Dinasti-dinasti yang menggantikan dinasti sebelumnya juga menempuh jalan ini. Iskandar yang menaklukkan Iran, Mongol yang menyerang berbagai kawasan dunia, semua itu dengan perhitungan yang sama. Logika mereka semua adalah karena kita mampu maka kita menyerbu, karena kita kuasa maka kita merampas dan membunuh.

Di sepanjang sejarah, semua gerakan yang membangun sejarah pemerintahan menunjukkan budaya semacam ini. Baik menurut pihak pemimpin maupun pihak yang dipimpin, tolok ukur pemerintahan dan sumbernya adalah kekuatan dan kekuasaan. Tentunya, raja yang hendak menduduki tampuk kepemimpinan atau sudah mendudukinya tidak menyatakan secara terus terang bahwa sumber dan landasan pemerintahannya adalah kekuatan. Bahkan Genghis Khan menyerang Iran dengan alasan yang sekilas menurut sahabat dan para pendukungnya adalah alasan yang masuk akal.

Dewasa ini, permainan para adidaya berarti pasrah di hadapan budaya hegemoni. Mereka yang menduduki negara-negara secara paksa, mereka yang memasuki rumah-rumah rakyat yang terletak ribuan kilometer dari tanah air mereka sendiri, mereka yang mencengkram nasib bangsa-bangsa tanpa kehendaknya, meskipun secara lisan mereka tidak menyatakan bahwa kekuatan dan kekuasaan adalah sumber kepemimpinan, akan tetapi dengan perilaku mereka menyatakan hal itu. Meskipun ini merupakan budaya yang dominan, namun ada juga pandangan lain. Plato menyebut ilmu dan keutamaan sebagai tolok ukur pemerintahan, dia meyakini pemerintahan orang-orang yang utama. Tapi pandangan ini tidak lebih dari lukisan di atas kertas dan pembahasan di ruang kelas.

Di dunia sekarang, demokrasi, yakni keinginan dan suara terbanyak rakyat adalah tolok ukur dan sumber pemerintahan. Tapi siapa sih yang tidak tahu bahwa puluhan cara curang yang digunakan untuk menggiring suara rakyat ke arah adidaya dan adikuasa. Kesimpulannya, di dalam peradaban manusia yang populer dari dahulu kala sampai sekarang, dan dari masa kini sampai kapan saja sebelum peradaban Alawi –yakni, peradaban yang diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib as– memerintah kehidupan umat manusia, sumber pemerintahan atau kepemimpinan adalah kekuatan dan kekuasaan serta tidak ada yang lain.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as di dalam Nahjul Balaghah tidak menyebutkan hal-hal itu sebagai sumber pemerintahan, bahkan lebih penting dari itu bahwa beliau sendiri telah memberikan contoh yang konkrit dalam kancah politik. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib as, sumber utama pemerintahan adalah serangkaian nilai-nilai spiritual. Hanya orang-orang yang punya ciri-ciri tertentu yang berhak memerintah rakyat dan mengemban tanggung jawab wilayah atas urusan mereka.

Cermatilah surat-surat Sayyidina Ali as kepada Muawiyah, Thalhah dan Zubair, begitu pula surat-surat beliau kepada petugas-petugasnya sendiri, kepada penduduk Kufah dan penduduk Mesir. Beliau memandang pemerintahan dan wilayah atas rakyat muncul dari nilai spiritual. Tapi nilai spiritual ini sendiri tidak cukup bagi seseorang untuk menjadi pemimpin dan wali yang nyata, melainkan rakyat dalam hal ini juga memiliki saham tersendiri yang terjewantahkan dalam bai’at. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as menyatakan pandangan-pandangannya di dua bidang tersebut, baik itu di surat beliau kepada pihak-pihak oposisi pemerintahnya yang telah kami singgung sebelumnya, maupun dalam keterangan-keterangan beliau tentang Ahlibait as. Beliau menyatakan bahwa nilai-nilai spiritual adalah tolok ukur pemerintahan.

Tapi sebagaimana kami sebutkan di atas, nilai-nilai itu dengan sendirinya tidak cukup menjadi modal untuk membangun sebuah pemeritahan, dan bai’at dari pihak rakyat adalah syarat pembangunan itu. “Innahu bâya‘anil qoumul ladzî bâya‘û Abâ Bakrin wa Umaro wa Utsmâna ‘alâ mâ bâya‘ûhum ‘alaihi, falam yakun lis syâhidi an yakhtâro wa la lil ghô’ibi an yarudda, wa innamâs syûrô lil muhâjirîna wal anshôri, fa’in ijtama‘û ‘alâ rojulin wa sammûhu imâman kâna dzâlika lillâhi ridho.” [9]

Beliau mengatakan, “Jika Muhajirin dan Anshar berkumpul dan menyepakati seseorang tertentu sebagai pemimpin mereka dan pasrah terhadap kepemimpinannya maka Allah rela akan itu.” Bai’at tangan lain yang menyambut tepuk tangan hak kekhalifahan. Nilai-nilai spiritual itu dapat mengantarkan seseorang kepada kekuasaan dan kedudukan wilayah amri secara nyata dan praktis ketika rakyat juga menerimanya.

PEMERINTAHAN, HAK ATAU TUGAS
Persoalan lain yang sangat penting di dalam Nahjul Balaghah adalah, apakah pemerintahan sebuah hak atau tugas? Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as di salah satu penjelasannya yang singkat dan padat menyatakan bahwa pemerintahan disamping hak juga merupakan tugas atau kewajiban. Bukan demikian caranya; setiap orang yang mendapatkan peluang dan kesempatan untuk memerintah dan dengan metode tertentu –seperti propaganda atau metode lain yang biasanya para pencari kekuasaan mengetahuinya dengan baik- mampu meraup suara rakyat maka dia berhak memerintah. Ketika pemerintahan adalah pemerintahan yang haq, maka hak itu hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, dan kekhususan itu bukan berarti ada kasta yang lebih istimewa daripada kasta yang lain. Karena, di dalam masyarakat Islam, semua orang berhak merias dirinya dengan gemerlap kehidupan. Semua orang berhak menciptakan peluang dan kesempatan itu. Meskipun periode pasca wafatnya Nabi Muhammad saw merupakan periode yang terkecuali, tapi Nahjul Balaghah mengungkapkan pernyataannya secara umum dan menyinggung hak pemerintahan itu secara berulang-ulang.

Imam Ali bin Abi Thalib as di dalam pidato (Khutbah) as-Syiqsyiqiyahnya yang terkenal mengatakan, “Wa innahû laya‘lamu anna mahallî minhâ mahallul quthbi minar rohâ, yanhadiru ‘annîs sailu wa lâ yarqô ilayyat thoir.” [10] ; posisi saya terhadap kekhalifahan seperti posisi poros terhadap penggilingan batu (kekhalifahan aslinya adalah milik Imam Ali sesuai wahyu yang disampaikan pada khutbah Haji Wada’ Rasulullah di Ghadir Khum, ed). Dan tentang hari ketika melalui dewan syura yang terdiri dari enam orang mereka berbaiat kepada Utsman bin Affan, beliau berkata, “laqod ‘alimtum annî ahqqun nâsi bihâ min ghoirî.” [11] ; hai manusia sekalian! Kalian sendiri tahu bahwa aku lebih berhak memerintah daripada siapa pun selainku. Ini adalah persoalan yang tampak jelas di dalam Nahjul Balaghah, tapi setelah itu beliau langsung menambahkan catatan, “Wa wallôhi la’aslamanna mâ salimat umûrul muslimîn wa lam yakun fîhâ jaurun illâ ‘alayya khossotan.” [12] ; selama diri saya sendiri yang teraniaya maka saya akan tetap sabar dan pasrah, selama urusan-urusan berkisar pada diri saya maka saya senantiasa memberikan pelayanan. Perkataan ini mirip dengan perkataan beliau pada masa awal kekhalifahan Abu Bakar, beliau mengatakan, “Fa’amsaktu yadî hattâ ro’aitu rôji‘atan nâsi qod roja‘at ‘anil islâm.” [13] ; mulanya aku mencuci tangan dari bai’at, aku pantang menyerah, aku tak sudi berbai’at, tapi kemudian aku menyaksikan berbagai fenomena akan terjadi yang mana akibatnya untuk Islam, muslimin, serta pribadi Ali bin Abi Thalib as jauh lebih sulit dan tak tertahankan daripada musibah kehilangan hak wilayah atau pemerintahan.

Dengan demikian, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as memandang wilayah dan pemerintahan sebagai hak. Dan ini bukan persoalan yang bisa diingkari. Sebaiknya semua orang muslim memandang persoalan ini dengan kaca mata terbuka dan realistis. Persoalan ini tidak ada urusannya dengan pembahasan yang terkadang menimbulkan perdebatan antara Syi’ah dan Sunni.

Kini, kami yakin bahwa di cakrawala dunia Islam, saudara-saudara Syi’ah dan Sunni harus hidup bersatu, untuk bersama dan mengakui persaudaraan Islami lebih penting daripada hal yang lain. Ini adalah sebuah hakikat yang sebenarnya. Sikap pengertian dua belah pihak dan cinta persatuan, pada masa kini merupakan tugas setiap orang muslim, dan selamanya juga merupakan tugas. Namun demikian, pembahasan ilmiah dan ideologis di dalam Nahjul Balaghah menunjukkan hakikat tersebut kepada kita, dan kita tidak bisa menutup mata begitu saja dari hakikat yang disampaikan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as secara terang-terangan.

Beliau memandang wilayah dan pemerintahan sebagai hak sebagaimana beliau memandangnya juga sebagai tugas. Ketika rakyat mengerumuni Ali bin Abi Thalib as sehingga, “Famâ rô‘anî illâ wan nâsu ka‘urfid dhob‘i ilayya, yantsâlûna ‘alayya min kulli jânibin hattâ laqod wuthi’al Hasanâni wa syuqqo ‘athfâya.” [14] ; banyak sekali orang yang mengerumuni saya sehingga putra-putra saya terinjak-injak dan selendang saya terkoyak. Semestinya kita sadar bahwa selama seribu tahun berlalu, kitab yang berharga ini tersingkirkan minimal selama sembilan ratus lima puluh tahun. Selain para ulama dan kalangan tertentu tidak ada yang tahu kitab itu kecuali sekedar nama.

Setelah diterjemahkan, alhamdulillah lambat laun kitab ini memasuki relung-relung kehidupan masyarakat. Mereka sebelumnya tidak tahu bahwa ada kitab berharga yang berjudul Nahjul Balaghah. Hanya kalimat-kalimat singkat yang mereka dengar darinya, itu pun lebih sering berkenaan dengan pelecehan dunia dan sedikit tentang akhlak, adapun sisanya belum tersentuh oleh mereka. Secara bertahap kitab ini berpindah dari tangan ke tangan yang lain. Ada beberapa yang menulis keterangan atas kitab itu dan ada pula yang menyebut kesimpulan-kesimpulannya sendiri sebagai keterangan. Semua jerih payah itu patut untuk dihargai. Akan tetapi, jika semua itu dibandingkan dengan keagungan Nahjul Balaghah dan hal-hal yang semestinya dilakukan terkait dengan kitab ini, maka masih belum terhitung apa-apa.


Pada masa kini kita harus kembali kepada Nahjul Balaghah. Para ulama seyogyanya melakukan tugas mereka dalam bidang ini, dan kalangan muda jangan menunggu guru, ulama dan ahli sastra mereka. Nahjul Balaghah seyogyanya diperhatikan secara seksama dari berbagai dimensinya yang berbeda-beda, untuk itu diperlukan pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi. Tentunya, lembaga Bunyode Nahjul Balaghah bisa menjadi poros dalam proyek besar ini. Semoga Allah swt menyukseskan kita semua dalam hal ini.

CATATAN:
Referensi: Bozgasyt Beh Nahjul Balaghoh; Bunyode Nahjul Balaghoh (Pidato Ayatullah Sayid Ali Khameneh’i di kongres milenium Nahjul Balaghah. Kongres pertama, di Teheran, Sekolah Tinggi Syahid Mutahari, Bulan Ordibehesyt, tahun 1360 Hs.- Bulan Rajab, tahun 1401 Hq.)


1. Buku kumpulan puisi Kumait bin Zaid Asadi yang berjudul “Al-Hâsyemîyyât”, hal. 26.
2. Nahj Al-Balâghoh, surat ke-53.
3. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-40.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. QS. Al-An‘âm: 57.
7. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-40.
8. Ibid.
9. Nahj Al-Balâghoh, surat ke-6.
10. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-3.
11. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-73.
12. Ibid.
13. Nahj Al-Balâghoh, surat ke-62.
14. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-3.
15. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-3.
16. Nahj Al-Balâghoh, pidato ke-91. 


Pemerintahan Menurut Imam Ali dalam Nahjul Balaghah (Bagian Pertama)



Oleh Ayatullah Sayid Ali Khamenei (Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran). Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

Tema pemerintahan di dalam Nahjul Balaghah, seperti puluhan tema penting lainnya di dalam kitab yang agung ini, diutarakan dengan cara yang berbeda dari cara yang biasa digunakan oleh para peneliti dan penulis. Tentunya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as tidak membuat pasal tersendiri yang secara khusus membahas tentang pemerintahan dengan cara menyusun beberapa premis kemudian menarik sebuah konklusi. Cara bertutur beliau dalam persoalan ini seperti dalam persoalan-persoalan lainnya, adalah cara yang bijak, yakni melintasi medium-medium dan memfokuskan renungan pada konklusi. Pola pandang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as terhadap tema pemerintahan adalah pola pandang seorang bijaksana terkemuka yang mempunyai hubungan dekat dengan sumber wahyu.

Poin berikut yang perlu dicermati di sini adalah tema pemerintahan di dalam Nahjul Balaghah tidak diutarakan dalam bentuk pembahasan yang terpisah dari kenyataan di lapangan. Sayidina Ali bin Abi Thalib as berkecimpung secara langsung dengan pemerintahan, dan beliau berbicara di sini dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan seorang yang mengatur jalannya negara Islam dengan segenap kendala dan malapetaka yang dia hadapi serta menangani langsung berbagai dimensi pemerintahan. Perhatian terhadap persoalan ini akan banyak memberi pelajaran kepada kita yang pada masa kini sedang mengalami situasi dan kondisi yang mirip dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh beliau.

Setelah membaca Nahjul Balaghah secara singkat, ada beberapa tema utama yang saya catat dan ingin saya sampaikan pada kesempatan (ceramah) kali ini. Tema-tema utama yang harus diperhatikan dalam persoalan ini adalah sebagai berikut:

MAKNA PEMERINTAHAN
Pertama-tama harus diperhatikan apakah pemerintahan menurut kaca mata Imam Ali bin Abi Thalib as berarti sama dengan makna pemerintahan yang dimengerti dalam kamus populer dunia kuno dan dunia modern? Yakni apakah pemerintahan berarti ketuanan, kesultanan, penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah dan terkadang penguasa memiliki hak-hak yang istimewa dalam kehidupan? Atau bukan, pemerintahan menurut kamus Nahjul Balaghah memiliki makna yang berbeda? Dalam hal ini, kita akan menggunakan beberapa kata dan istilah khusus Nahjul Balaghah seperti imam, wali, dan wali amr untuk pemimpin dan rakyat untuk masyarakat yang dipimpin.

URGENSI PEMERINTAHAN
Tema berikutnya adalah persoalan tentang urgensi pemerintahan. Ada pembahasan tersendiri apakah pemerintahan merupakan sesuatu yang urgen bagi umat manusia atau tidak? Kesimpulan dari pembahasan ini berarti komitmen terhadap konsekuensi-konsekuensi tertentu dalam kehidupan kolektif dan bukan sekedar menerima bahwa pemerintahan merupakan keharusan bagi sebuah masyarakat. Sebaliknya, kesimpulan dari pembahasan ini sangat melukiskan ciri dan garis tertentu dalam metode memimpin, metode dipimpin dan dalam kepengurusan masyarakat.

SUMBER PEMERINTAHAN
Apa sumber pemerintahan menurut Nahjul Balaghah? Apakah sesuatu yang natural, ras, keturunan, nasab, dan kekuasaan (yakni kekuasaan natural atau kekuasaan yang diperoleh)? Atau bukan, melainkan sumber pemerintahan dan yang memberikan pengesahan terhadap pemerintahan seseorang ataupun kelompok tertentu adalah perkara Ilahi atau perkara massa?

PEMERINTAHAN, HAK ATAU TUGAS?
Persoalan keempat adalah apakah perihal memerintah termasuk hak atau tugas? Apakah pimpinan berhak memerintah atau bertugas untuk memerintah? Siapakah orang yang boleh atau harus memerintah? Menurut Nahjul Balaghah, pemerintahan adalah hak dan sekaligus tugas. Pada kondisi tertentu, orang yang memenuhi syarat dan standar pemerintahan bertugas dan berkewajiban untuk memerintah, dan dia tidak boleh melepaskan tanggungjawab itu begitu saja.

PEMERINTAHAN, TUJUAN ATAU SARANA?
Persoalan kelima adalah, apakah perihal memerintah bagi seorang pemimpin atau dewan pimpinan merupakan tujuan atau hanya sebuah sarana? Dan jika itu merupakan sarana, maka sarana untuk tujuan apa? Tujuan apa yang ingin dicapai oleh pimpinan untuk masyarakat?

PEMIMPIN dan RAKYAT
Tema keenam adalah persoalan sensasional tentang hubungan antara pemimpin dan rakyat. Apa dasar dan asas yang membangun hubungan antara mereka? Apakah itu hak pemimpin yang sepihak terhadap rakyat? Atau hak dua belah pihak di antara mereka? Ini merupakan kajian yang paling asasi, berbobot dan berkonsekuensi tentang pemerintahan menurut Nahjul Balaghah.

RAKYAT dan PEMERINTAHAN
Tema ketujuh adalah persoalan tentang rakyat dalam sebuah pemerintahan. Patut kita perhatikan secara seksama di dalam Nahjul Balaghah, apa peran rakyat di hadapan pemerintahan? Apakah mereka memiliki peran yang menentukan? Apakah mereka yang memulai? Apakah mereka mempunyai kuasa pilih yang penuh? Ataukah mereka sama sekali tidak berperan aktif? Atau apa? Semua ini persoalan-persoalan yang sangat teliti dalam Nahjul Balaghah. Budaya-budaya yang dewasa ini mendominasi benak masyarakat dalam berbagai ranah politik sama sekali tidak ada yang sesuai dengan budaya Nahjul Balaghah.

POLA PERLAKUAN TERHADAP RAKYAT
Tema kedelapan adalah persoalan yang secara prinsipil tergolong sekunder, akan tetapi secara praktik sangat sensasional dan penting sekali, yaitu persoalan tentang pola perlakuan pemerintah terhadap rakyat. Bagaimanakah seharusnya pejabat dan anggota pemerintah memperlakukan rakyat? Apakah mereka penagih dari rakyat? Ataukah sebaliknya, mereka berhutang kepada rakyat? Apa etika pemerintah di hadapan rakyatnya?

PERILAKU PEMIMPIN TERHADAP DIRINYA
Tema kesembilan termasuk persoalan yang menarik sekali, yaitu tentang perilaku pemimpin terhadap dirinya sendiri. Apakah ada batasan untuk perilaku pemimpin terhadap dirinya? Apa cukup perilaku baik pemimpin terhadap rakyatnya? Ataukah tidak, ada hal lain di balik cara berhubungan pemimpin dengan rakyatnya, yaitu hubungan dia dengan dirinya sendiri? Bagaimanakah semestinya kehidupan pribadi pemimpin? Apa pandangan Nahjul Balaghah dalam persolan ini?

SYARAT-SYARAT PEMIMPIN
Tema yang kesepuluh berkenaan dengan syarat pemimpin. Manusia yang bagaimana menurut Nahjul Balaghah yang boleh memimpin umat manusia? Inilah tema-tema persoalan tentang pemerintahan dalam Nahjul Balaghah, dan kita bisa mengutarakan serta membahasnya.

MAKNA PEMERINTAHAN
Persoalan pertama berkenaan dengan makna pemerintahan. Menurut ungkapan yang populer di dalam bahasa Arab, pemimpin biasa disebut dengan sultan dan malik (raja). Kata sultan secara implisit mengandung makna penguasaan dalam diri pemimpin. Yakni pemimpin dipandang dari sisi penguasaannya; orang lain tidak berhak mencampuri urusan rakyat, sedangkan dia berhak. Adapun malik (raja), mengandung makna kepemilikan atas rakyat atau kepemilikan atas nasib mereka. 

Di dalam Nahjul Balaghah, pemimpin umat Islam tidak pernah disebut dengan malik atau sultan. Julukan pemimpin di dalam Nahjul Balaghah yang pertama adalah imam, artinya penghulu dan pembimbing. Berbeda antara penghulu dan petunjuk jalan, penghulu adalah orang yang apabila dia mengajak sekelompok orang atau umat terlebih dulu dia sendiri harus bergerak dan berada di barisan terdepan. Ada semacam makna gerakan, maju, dan posisi terdepan di garis perjalanan rakyat di dalam kata imam.


Sebutan lain bagi pemimpin adalah wali. Wali berasal dari kata wilayah atau walayah. Dan bertolak dari derivasi-derivasi kata itu kita bisa sampai pada tujuan yang dimaksud dari penggunaan kata wali untuk pemimpin. Wilayah pada dasarnya menurut bahasa berarti sambungan dua hal. Bahasa mengatakan wilayah yakni sambungan dua belah pihak antara dua hal yang sekiranya tidak ada jarak pemisah di antara mereka. Sambungan yang utuh dan sempurna adalah makna wilayah. Memang ada juga makna lain yang disebutkan, seperti wilayah berarti cinta, wilayah berarti tanggungjawab pengasuhan, wilayah berarti pembebasan budak, wilayah berarti budak atau majikan.


Sepertinya, bentuk-bentuk sambungan yang terdapat dalam makna-makna wilayah tersebut merupakan fakta dari sambungan erat tanpa jarak pemisah. Wali sebuah umat dan wali sebuah rakyat adalah orang yang bertanggungjawab atas perkara rakyat dan senantiasa bersambung dengan mereka. Makna wali ini sendiri menunjukkan sisi khas konsep pemerintahan menurut Nahjul Balaghah dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as; wali amr yakni pelaksana perkara. Tidak ada nilai keistimewaan yang terkandung dalam kata pelaksana perkara. Masyarakat Islam seumpama pabrik besar yang terdiri dari bagian-bagian, mesin-mesin, baut-baut, mur-mur, bagian-bagian kecil dan besar yang sebagiannya sangat berpengaruh dan sebagiannya lagi tidak terlalu berpengaruh. Salah satu bagiannya yang terdiri dari pengatur masyarakat juga seperti bagian-bagian yang lain. Dia sama dengan bagian dan elemen yang membentuk himpunan ini. Wali amr artinya pelaksana sebuah pekerjaan. Dan pelaksana sebuah pekerjaan sama sekali tidak menuntut keistimewaan tersendiri dan praktis tidak ada kelebihan bagi dia dari sisi fasilitas kehidupan material. Jika dia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik maka dia telah memperoleh keistimewaan spiritual sepantas keberhasilannya, dan tidak lebih dari itu. Inilah makna pemerintahan yang sebenarnya di dalam Nahjul Balaghah.

Oleh karena itu, pemerintahan di dalam Nahjul Balaghah sama sekali tidak berbau hegemoni. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menuntut keistimewaan yang lebih daripada yang lain. Di sisi lain, penduduk suatu kawasan yang dipimpin menurut ungkapan Nahjul Balaghah adalah rakyat. Rakyat berarti sekumpulan orang yang harus dijaga, diperhatikan dan dilindungi oleh wali amr atau pemimpin. Tentunya perlu dicatat bahwa adakalanya perhatian dan perlindungan dilakukan terhadap benda mati, dan hal itu memiliki makna tersendiri, adakalanya dilakukan terhadap binatang, dan itu juga memiliki makna tersendiri. Namun, adakalanya perhatian dan perlindungan dilakukan terhadap manusia, dengan segenap dimensi kepribadiannya, cinta kebebasan dan tuntutannya untuk menambah spiritualitas, kemungkinan ruhnya untuk membubung tinggi, dan dengan cita-cita serta tujuannya yang mulia, semua ini harus kalian perhatikan sebagai sebuah himpunan, dan manusia dengan segenap himpunan ini harus dijaga, diperhatikan dan dilindungi.

Inilah hal penting yang sepanjang masa dititikberatkan dalam peradaban Islam. Kumait Asadi mengatakan, “Dia memerintah tidak seperti orang yang memelihara manusia sama dengan binatang ternak.” [1] Artinya, manusia harus dipelihara lengkap dengan semua dimensi kemanusiaannya. Inilah arti rakyat dan ungkapan yang digunakan oleh Nahjul Balaghah untuk kelompok manusia yang dipimpin.

Singkat kata bahwa ketika kita mencari makna pemerintahan di dalam Nahjul Balaghah, dari satu sisi kita melihat di puncak pemerintahan adalah seorang wali, wali amr, penanggung jawab urusan rakyat, petugas yang memikul kewajiban besar, dan orang yang beban tanggung jawabnya lebih banyak dan lebih berat daripada yang lain. Di sisi lain kita melihat rakyat yang harus dipelihara dengan segenap norma-norma dan cita-citanya serta unsur-unsur yang membentuk kepribadiannya. Inilah makna pemerintahan, dan makna pemerintahan ini sama sekali bukan hegemoni, adidaya, atau keserakahan.

Di berbagai kesempatan dalam Nahjul Balaghah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as telah menyinggung kerangka pemerintahan. Bisa dikatakan ada puluhan kalimat beliau di dalam Nahjul Balaghah yang menentukan makna pemerintahan menurut pandangan beliau. Di antaranya adalah perintah beliau atas Malik Asytar: “Jibâyatu khorôjiha, wa jihâdu ‘aduwwihâ, wa istishlâhu ahlihâ wa ‘imârotu bilâdihâ.” [2] Inilah makna pemerintahan. Malik Asytar terpilih sebagai gubernur Mesir bukan untuk meraup kekuasaan atau memperoleh keistimewaan material, melainkan untuk menjalankan tugas-tugas sebagai berikut: menarik pajak dari rakyat untuk mengatur masalah keungan negara, bertempur melawan musuh-musuh rakyat dan menjamin keamanan mereka, mengajak mereka kepada perbaikan (perbaikan dengan dimensinya yang luas mencakup sisi material dan spiritual menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as dan logika Nahjul Balaghah), memakmurkan kawasan pemerintahan. Dengan kata lain, membina manusia, memakmurkan tanah air, meningkatkan akhlak dan nilai-nilai spiritual, dan menuntut tugas rakyat di hadapan tugas-tugas berat yang harus ditanggung oleh pemerintah. (Bersambung Ke Bagian Kedua


Justine Glinka, Zionisme, Rothschild, Israel dan Pendudukan Palestina



Oleh Pendeta Nathanael Kapner

Di tahun 1884, seorang wanita muda (Mademoiselle) Justine Glinka, putri seorang Jenderal Rusia, di Paris sibuk dalam mengumpulan informasi politik untuk pengadilan Kaisar Alexander III. Glinka mempekerjakan seorang agen Yahudi bernama Yusuf Schoerst, alias Shapiro, yang dirinya telah lulus sebagai seorang Freemason anggota Mizraim Lodge, ordo Masonik Yahudi dengan ritual dan tata-caranya sendiri. Solomon Rothschild, keturunan dinasti perbankan Yahudi, juga seorang anggota terkemuka Freemason Perancis. Schoerst menawarkan kepada Glinka sebuah dokumen dengan imbalan uang sebesar 2.500 franc, yang menurut Schoerst dokumen tersebut akan sangat menarik perhatian Glinka. Dokumen tersebut berisi tulisan-tulisan dikte yang belum pernah ada sebelumnya dan merupakan kumpulan dari berbagai pidato yang kemudian dimasukkan ke dalam kompilasi akhir dari Protokol Zion.

Glinka segera menyampaikan dokumen tersebut kepada Jenderal Orgeyevski, atasannya langsung di Paris, kemudian dokumen tersebut dikirimkan kepada Jenderal Cherevin, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, untuk dikirim langsung ke istana di St Petersburg. Setelah kematian Cherevin di tahun 1896, ia menghendaki agar salinan memoarnya yang berisi Protokol diberikan kepada Kaisar Nicholas II. Informasi Glinka akhirnya sampai ke tangan Sergei Nilus, seorang penganut kebatinan yang berpendidikan tinggi, yang ditugaskan pada pengadilan Tsar Nicholas II, ia juga menjabat sebagai seorang Minister of Foreign Religions.

Pada tahun 1902, Nilus menerbitkan buku dengan judul, ““The Rule of Satan on Earth – Notes of an Orthodox Believer,” (Peranan Setan di Bumi – Catatan Seorang Ortodoks) di mana ia mengutip kumpulan materi awal bahan-bahan yang dibeli oleh Madame Glinka. Penerbitan Protokol berikutnya dilakukan pada tahun 1903 ketika sebuah penerbit terkemuka bernama Pavel Krusheva mengutip tulisan dari Protokol pada koran harian, Znamya. Setelah dipublikasikan, sejak saat itu Krusheva menderita dalam hidupnya, ia terus-menerus dalam keadaan ketakutan dan harus membawa senjata untuk perlindungan dirinya sendiri. Ia juga memperkejakan seorang temannya seorang juru masak pribadi untuk mencegah diracuni.

Pada tahun 1905, Sergei Nilus menerbitkan edisi baru dengan judul “Rule of Satan” termasuk versi lengkap Protokol sebagai bab terakhir. Ini merupakan yang pertama kalinya kompilasi lengkap Protokol yang tersedia untuk masyarakat umum dalam bentuk buku. Pada tahun 1917, (tahun yang sama pada akhir Revolusi Rusia), Nilus menyiapkan edisi terakhir – sepenuhnya didokumentasikan – tetapi sebelum dia bisa mendistribusikannya, Kerensky, setengah-Yahudi, yang berkuasa setelah Revolusi, memusnahkan sebagian besar salinan buku Nilus. Siapapun yang tertangkap oleh Bolshevik kedapatan memiliki The Protocols, akan langsung ditembak di tempat.

Pada tahun 1918, Protokol muncul lagi di Moskow dalam sebuah majalah berkala, The Sentinel, yang dicap oleh pimpinan Yahudi Bolshevik sebagai koran kontra-revolusioner. Pada bulan Februari, 1919, Bolshevik memerintahkan surat kabar tersebut ditutup. Pada tahun 1924, Profesor Nilus ditangkap oleh Yahudi yang didominasi “Cheka,” dipenjarakan dan kemudian disiksa. Kepala pengadilan (seorang Yahudi) mengatakan kepada Nilus bahwa perlakuan tersebut dijatuhkan kepadanya karena “sangat merugikan mereka (Bolshevik Zionis Yahudi) dengan diterbitkannya buku Protokol tersebut.” TOKOH YANG MENDOMINASI gerakan Zionis yang semakin meningkat pada akhir tahun 1800-an adalah seorang Yahudi dengan nama Asyer Ginsberg, yang memakai nama samaran, “Achad Ha’am,” yang berarti “seorang rakyat.”

Anak seorang petugas pajak Yahudi, Ginsberg lahir di Kiev dan kemudian menetap di Odessa, pusat aktivis agitasi Yahudi. Di sini ia mendirikan kelompok Zionis “Sons of Moses.”pada tahun 1889. Dengan mendalami karya-karya Nietzsche, Ginsberg memberikan “protokol” kepada the Sons of Moses dalam rangka memusnahkan budaya Kristen dan menaikkan nasionalisme Yahudi berdasarkan visi kebangsaan Nietzsche untuk Jerman. Pertemuan perkumpulan rahasia ini diadakan di rumah Ginsberg. Di antara anggotanya yang paling awal adalah: Ben Avigdor, Zalman Epstein, Louis Epstein, dan Jacob Eisenstaat. Pada awal 1889, Ginsberg memisahkan diri dari kelompok Zionisme yang alirannya lebih konservatif dan pindah ke kelompok radikal, kemudian ia mengeluarkan pamflet “This Is Not The Way.”

Tujuan dari pamflet Ginsberg adalah untuk menentang pandangan “kebijakan politis” mantan mentornya, Leon Pinsker, seorang pemimpin gerakan Pecinta Sion –the Lovers of Zion. Ginsberg pertama-tama ingin membangun “kesadaran nasional” di kalangan Yahudi diaspora dan menghidupkan bahasa Ibrani sebelum menggunakan pengaruh politik, karena Pinsker mendukung pendirian sebuah negara Yahudi. Meskipun terdapat perbedaan dalam hal waktu, Pinsker tidak berbeda dari Ginsberg dalam penggunaan kekuasaan untuk mencapai tujuan bersama mereka, Zionis. Dalam bukunya, “Auto-Emancipation,” Pinsker menjelaskan metode-utama untuk melaksanakan “emansipasi sendiri” dan “mengembalikan bangsa Yahudi”. Leon Pinsker menyatakan: “Perjuangan untuk mencapai tujuan kita harus memasukkan semangat seperti itu untuk menahan tekanan politik internasional yang tidak dapat dihindari.”

Sebuah kesamaan yang menarik perhatian dalam program politik Pinsker ditemukan dalam Protokol No. 1 Dari Protokol: “Dalam politik hanya kekuatan dan kelicikan yang mengalahkan. Oleh karena itu kita tidak boleh berhenti melakukan penyuapan, penipuan, pengkhianatan dalam rangka untuk pencapaian tujuan akhir kita. Dalam politik seseorang harus tahu bagaimana untuk merebut kekuasaan orang lain, jika dengan cara itu kita mengamankan kepatuhan dan kedaulatan”. Mengikuti jejak mentornya, retorika kuat Ginsberg, namun dengan daya tarik yang aneh dan langsung ke fanatisme, juga menyerupai gaya Protokol ketika ia mengatakan dengan tegas, Asher Ginsberg menyatakan: “Yahudi harus terlebih dahulu sadar, penuh dengan inisiatif nasional.”

Ginsberg menyerukan sebuah nasionalisme Yahudi yang agresif jelas tercermin dalam Protokol No. 5. Dari Protokol: “Kita akan buat Goyim menderita sampai kehabisan tenaga sehingga mereka akan dipaksa untuk menawarkan kepada kita sebuah otoritas internasional, yang karena posisinya akan memungkinkan kita untuk menyerap semua kekuatan pemerintah di dunia, maka dengan demikian membentuk sebuah pemerintahan super.” Melalui orang-orang yang tinggal di Odessa saat itu informasi pun diperoleh, di mana pada waktu itu naskah “Protokol” dalam bahasa Ibrani telah beredar di kalangan orang Yahudi.

Kemudian, seorang Yahudi bernama Herman Bernstein, dari penerbit “Free Press”, Detroit, meskipun ia mengklaim bahwa Protokol adalah palsu, tapi mengakui di hadapan William Cameron, sekretaris Henry Ford, bahwa ia sendiri telah membaca Protokol tersebut dalam bahasa Ibrani yang diterbitkan di Odessa. Selama Revolusi Bolshevik yang dipimpin Yahudi, beberapa kota rusak-binasa seperti Odessa, di mana Ginsberg mengajarkan untuk menghancuran masyarakat Kristen, sebuah prinsip dasar Protokol. Di antara kebiadaban lainnya yang dilakukan, seperti memperkosa perempuan dan anak gadis Kristen, sebuah panti asuhan Kristen dihancurkan dan semua anak-anaknya ditembak mati. Rasisme dan ejekan yang melampaui batas terhadap kehidupan non-Yahudi sudah merupakan sebuah praktek mapan dunia Zionisme.

DOKUMEN-DOKUMEN RAHASIA INTELIJEN AMERIKA SERIKAT yang menyelidiki isu-isu keuangan internasional seputar Perang Dunia I disusun pada bulan Agustus 1919. Dokumen-dokumen yang sifatnya sensitif tersebut diklasifikasi sebagai RAHASIA sampai tahun 1973. Hard copy dokumen ini dapat diperoleh dari Arsip Nasional Amerika Serikat di Washington DC – nomornya adalah 245-1. Pada halaman 5 dari dokumen tersebut, tulisan-tulisan yang bersifat publik karya Theodore Herzl yang dipuji sebagai bapak politik Zionisme, disebut-sebut memiliki “ciri khas dalam pemikirannya, juga ditemukan dalam Protokol.” Dokumen ini yang sudah sejak lama dirahasiakan, akhirnya di-deklasifikasi, memperlihatkan kemiripan yang menarik antara tulisan Herzl yang diterbitkan pada tahun 1897 dengan judul ”The Jewish State – Negara Yahudi” dengan Protokol 1 dan 20. Theodore Herzl menyatakan: “Setiap hubungan antara bangsa-bangsa sebuah pertanyaan yang mungkin muncul adalah mengenai tujuan. Aku di sini tidak melepaskan setiap bagian hak kekuasaan kami ketika aku membuat pernyataan ini.

Dalam dunia seperti sekarang ini, dan mungkin akan tetap seperti ini, kekuatan mendahului kebenaran. Bagi kami untuk menjadi patriot setia tidak seperti Huguenot yang dipaksa berimigrasi dan melakukannya, karena hal tersebut untuk kami adalah sia-sia. Orang-orang Yahudi harus mendapatkan kekuatan ekonomi cukup besar untuk mengatasi prasangka terhadap mereka. Ketika kita tenggelam, kita menjadi proletar revolusioner, akan tetapi ketika kami naik, maka naik juga kekuatan mengerikan kekayaan keuangan kita”. Dari Protokol: “Menurut hukum alam, kekuatan adalah kebenaran. Hak kita terletak pada kekuatan. Melalui dominasi keuangan kita akan memanipulasi modal, membuat depresi, dan negara-negara kafir bangkrut”.

Di zaman kita, kekuatan terbesar berada di tangan kita adalah emas. Kita tidak akan gagal dengan kekayaan tersebut, untuk membuktikan bahwa semua kejahatan yang harus kita lakukan telah dipergunakan dalam rangka melaksanakan semua rencana yang sudah diatur. Kami akan berusaha untuk membuktikan bahwa kita dermawan yang telah dipulihkan ke bumi yang terkoyak-koyak sebagai orang baik nan sejati, tentu saja dengan syarat-syarat ketaatan yang ketat terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh kami.

YANG BERHUBUNGAN ERAT DENGAN THEODORE HERZL adalah Max Nordau, yang telah meyakinkan pemimpin Zionis untuk menyelenggarakan Kongres Zionis Pertama pada tahun 1897. Nordau lahir di Simcha Sudfeld, Budapest pada tahun 1849 dan kemudian mengganti namanya untuk mengubah penampilan publiknya sebagai seorang “Goyim”. Ia melakukannya pada Kongres Zionis Pertama yang diselenggarakan di Basel, Swiss, dalam konres Nordau terpilih untuk menjabat sebagai Wakil Ketua dan Ketuanya adalah Herzl.

Dalam Kongres Ke-enam Zionis pada tahun 1903, Nordau mengumumkan rencana Zionis sebagai sebuah fait accompli untuk dua dekade berikutnya. Max Nordau menyatakan: “Anak tangga kami mengarah ke atas ke tempat yang lebih tinggi, yaitu Kongres Zionis Pertama – Rencana Inggris Untuk Sebuah Negeri Yahudi – Perang Dunia Masa Depan – Konferensi Perdamaian Dimana Sebuah Negara Yahudi Palestina Akan Diwujudkan”. Di sini digambarkan “anak tangga” baik Zionis maupun Protokol, rencana yang sebelumnya sudah dibuat akan dilaksanakan sesuai tujuannya dengan mengatur keuntungan politik internasional. Sejarah tidak berbohong. Juga tidak kata-kata orang Yahudi yang meramalkan apa yang akan dilakukannya di masa-masa mendatang.

Dan kata-kata mutiara mereka telah dicatat secara akurat untuk kita dan mungkin merupakan dokumen paling mendominasi dan mematikan dalam sejarah, sekarang secara resmi dikenal sebagai: “The Protocols of the Learned Elders of Zion.” 

(9 Negara yang Bank Sentral-nya Tidak Dikendalikan Rothschild)

Ariel Sharon Sang Jagal Modern Atawa Tragedi Sabra dan Shatila



Sebagian besar orang di dunia tahu, dan tidak ada seorang pun yang tahu lebih baik daripada orang-orang Palestina dan Lebanon, bahwa ribuan dari mereka adalah korban dari penjahat perang berantai dan berdarah dingin ini: Ariel Sharon. Karir Sharon dibangun di atas pembantaian demi pembantaian—dari Qibya (Tepi Barat, Palestina) pada 1953, Sabra dan Shatila (Lebanon) pada 1982 , hingga Jenin (Tepi Barat, Palestina) pada 2002.

Sebagai seorang rasis anti-Arab yang ekstrim, Sharon memiliki sejarah panjang dan berdarah-darah. Dialah dalang banyak pembunuhan dan penindasan terhadap rakyat Palestina. Pada awal 1950, ia memerintahkan Unit 101, sebuah unit pasukan khusus, untuk melakukan pembantaian terhadap pengungsi Palestina di Gaza dan Yordania.

Meski telah mencaplok 78 persen wilayah Palestina dalam perang 1948, para pemimpin Israel tak pernah puas. Sebagaimana telah banyak didokumentasikan oleh sejarawan Israel dan Palestina, Israel berusaha memprovokasi “Ronde Kedua” pada awal 1950-an, demi mengambil alih Tepi Barat, Gaza, dan banyak lagi.

Salah satu taktik utama Israel disebut “pembalasan”. Taktik ini respon terhadap pengungsi Palestina yang datang di sepanjang perbatasan untuk kembali ke tanah air mereka dari Gaza dan Tepi Barat. Tentara Israel (IDF) melakukan serangan besar-besaran dan pembantaian.

Demi tujuan diplomatik dan pencitraan, adalah sangat penting bagi Israel untuk dipandang sebagai korban, dan bukan agresor. Hal ini tetap berlaku sampai sekarang. Maka, taktik “pembalasan” pada hakikatnya adalah provokasi. Tujuannya untuk memicu reaksi militer Yordania dan Mesir terhadap pembantaian. Reaksi itu kemudian dapat digunakan oleh Israel sebagai alasan untuk memulai perang penaklukan.

Pada 14 Oktober 1953 , Unit 101 yang dipimpin Sharon menyerang Qibya, sebuah desa kecil di Tepi Barat. Unit 101 membantai 69 orang. Sebagian besar dari mereka dibakar hidup-hidup di dalam rumah. Itulah kekejaman yang diperintahkan pejabat teras Israel dan dilakukan demi memenuhi tujuan-tujuan politik tertentu.

Pembantaian Qibya memicu kecaman dari seluruh dunia, dan Yordania yang jauh lebih lemah daripada Israel secara militer, tidak merespon sebagaimana yang diharapkan pemimpin Israel. Penaklukan Tepi Barat dan Gaza pun harus menunggu sampai tahun 1967.

SABRA dan SHATILA

Setelah Perang pendudukan 1967, Sharon menjadi gubernur militer di Gaza. Saat itu, dia terkenal sangat brutal dalam menjalankan kebijakan penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga Palestina yang melawan rezim pendudukan.

“Mahakarya” pembantaian Sharon adalah invasi 1982 terhadap Lebanon dan pembantaian terhadap warga Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Beirut. Sebagai Menteri Pertahanan Israel kala itu, Sharon merancang dan memimpin—tentu saja dengan dukungan penuh Amerika Serikat—serangan besar-besaran atas Lebanon. Selama tiga bulan di Musim Panas 1982, jet-jet pembom Israel tanpa henti membombardir Beirut dan kota-kota lainnya. Serangan ini menewaskan tak kurang 20.000 warga sipil Lebanon dan Palestina.

Tujuan yang dinyatakan secara terbuka dari invasi tersebut adalah mengusir Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari Lebanon. Di Lebanon, hidup lebih dari 400 ribu pengungsi—orang Palestina yang diusir dari tanah air mereka untuk melapangkan jalan bagi pendirian negara Israel pada 1948. Secara keseluruhan, lebih dari tujuh juta warga Palestina saat ini hidup dalam pengungsian dan tentu saja terus meningkat.

Setelah tiga bulan invasi, pemimpin pusat PLO akhirnya mengalah. PLO mengevakuasi para pejuang mereka dari Lebanon. Sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata yang mengharuskan mereka pergi itu, penduduk sipil Palestina yang tersisa harus ditempatkan di bawah perlindungan internasional.

Tapi Sharon belum puas. Dia menuding ada 2.000 “teroris” Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Beirut Barat. Padahal orang-orang Palestina yang tersisa di kamp hampir semuanya anak-anak, perempuan, dan laki-laki lanjut usia. Nyaris semua pemuda telah dievakuasi.

Dengan melanggar perjanjian gencatan senjata, tank-tank Israel mengepung kamp. Kemudian, pada 16 September 1982, dengan persetujuan penuh Sharon, pasukan penjajah Israel menguasai kamp. Milisi pro-Israel, Lebanon Phalangis, diizinkan untuk memasuki Sabra dan Shatila.


Milisi fasis Phalangis—kelompok pengagum Adolf Hitler—adalah sekutu dekat Israel di Lebanon saat itu. Milisi Phalangis disuplai seragam militer oleh Israel dan disediakan senjata. Selama tiga hari, mereka mengamuk di kamp Palestina: menyiksa, memperkosa, dan membunuh. Sebagian besar korban dimutilasi atau dipenggal kepalanya. Tak seorang pun tersisa. Di akhir episode pembantaian, lebih dari 1.900 Palestina, perempuan maupun laki-laki, ditemukan tewas.

Meskipun bukti menunjukkan bahwa Sharon dan para komandan Israel lainnya telah memasukkan milisi Phalangis ke dalam kamp, pada 1983 pengadilan Israel hanya memutuskan Sharon “bertanggung jawab secara tidak langsung” atas pembantaian tersebut. Orang mungkin berpikir bahwa terlibat secara “tidak langsung” sekalipun dalam pembantaian hampir dua ribu orang setidaknya akan mengakhiri karir politik Sharon.

Tapi hal seperti itu tidak akan terjadi di negara apartheid Israel. Sharon kemudian memang dipaksa mengundurkan diri dari kabinet. Tapi, dia terus menjadi aktor politik utama dan kembali sebagai menteri pada era 1990-an.

INTIFADA AL-AQSA

Pada 28 September 2000, Sharon mementaskan sebuah provokasi terkenal lainnya. Dia mengunjungi komplek Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, situs suci utama umat Islam. Sharon hendak medemonstrasikan “haknya” melakukan perjalanan di mana pun di Yerusalem. Namun ironisnya, Sharon, “si jagal dari Lebanon” itu, tidak berani keluar sendirian. Dia malah membawa serta 1.500 polisi Israel bersenjata. Tentu saja ratusan warga Palestina bereaksi. Mereka melawan. Inilah yang menandai dimulainya intifada Al-Aqsa yang akan berlanjut selama bertahun-tahun.

Lima bulan kemudian, pada Februari 2001, Sharon terpilih sebagai Perdana Menteri. Pada Maret 2002, militer Israel melakukan operasi besar-besaran di Tepi Barat dan Jalur Gaza, berusaha melemahkan intifada. Di antara serangan paling brutal adalah terhadap sebuah kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat bagian utara. Selama beberapa hari, dengan menggunakan buldoser militer dan senjata berat lainnya, militer Israel menghancurkan banyak kamp dan mengubur banyak orang Palestina hidup-hidup. Pada tahun yang sama, Sharon mulai membangun tembok apartheid di sepanjang Tepi Barat dan merampas sisa tanah milik rakyat Palestina.

KHAYALAN “PEMBAWA DAMAI”


Satu klaim palsu yang dibuat Sharon adalah bahwa dia sudah berubah menjadi “pembawa damai” ketika memutuskan untuk menarik pangkalan militer dan permukiman ilegal Israel di Gaza. Sementara warga Palestina di Gaza menyambut penarikan itu, Israel terus mengepung dan memblokade Gaza. Keputusan Sharon untuk menarik diri dari Gaza sebenarnya juga didasarkan pada strategi untuk mengamankan kendali lebih di Tepi Barat.

Dalam wawancara dengan Jerusalem Post pada Juli 2000, beberapa bulan sebelum menjadi perdana menteri, Sharon menyerukan Israel untuk “mempertahankan Yerusalem raya yang bersatu dan tak terbagi di bawah kedaulatan penuh Israel.” Ini mengacu kepada Kota Tua Palestina dan semua daerah di sekitarnya yang Israel kuasai secara ilegal setelah Perang pendudukan 1967.

Sharon juga menyerukan pendudukan ilegal sejumlah besar daerah di Tepi Barat. “Kota-kota Yahudi, desa dan masyarakat di Yudea, Samaria, dan Gaza, serta akses jalan menuju ke sana akan tetap berada di bawah pendudukan penuh Israel,” kata Sharon ketika itu. “Yudea dan Samaria” adalah sebutan pemukim ilegal Israel untuk Tepi Barat. “Israel tidak menerima syarat apa pun untuk hak kembali Palestina. Israel tidak bertanggung jawab secara moral atas keadaan para pengungsi.”

“Negara” Palestina yang diusulkan Sharon adalah salah satu negara yang sangat berbeda dengan negara lain di dunia. Palestina versi Sahron tidak boleh mengontrol sumber dayanya sendiri, termasuk akses kepada sumber air, atau wilayah udara, atau bahkan perbatasannya sendiri. Palestina versi Sharon adalah negara pincang yang tak berdaya menghadapi salah satu negara paling militeristik di dunia: Israel.

Sharon meninggal pada 11 Januari 2014, setelah mengalami koma selama 8 tahun. Sejarah akan mengingat dia bukan sebagai “pembawa damai” seperti yang dipropagandakan, melainkan sebagai pembunuh massal berantai –sang jagal dunia modern



Makna Ukhuwah Ruhani dan Solidaritas Duniawi Al-Ghadir



Oleh Ayatullah Ali Khamenei (Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran)

 “Menebar permusuhan kepada Sunni di dunia Syi’ah –dan menebar permusuhan terhadap Syi'ah di dunia Sunni dengan menulis buku, menuduh, dan menghina tidak akan membuat satu pun pengikut Syi’ah menjadi Sunni atau menjadikan satu pun pengikut Sunni menjadi Syi’ah”

“Mereka-mereka yang ingin menarik semua dunia Islam pada kecintaan Ahlul Bait dan wilayah Ahlul Bait harus tahu bahwa tidak akan ada orang yang bisa menjadi Syi’ah dan mengakui kepemimpinan atau wilayah Ahlul Bait lewat permusuhan, penghinaan dan kebencian”

Pertama-tama saya mengucapkan selamat Hari Raya Ghadir Khum kepada Anda semua yang hadir di sini, dan kepada seluruh bangsa kita yang mukmin, serta kepada dunia Islam. Ghadir Khum merupakan elemen utama identitas Syi’ah atau para pengikut para Imam Maksum as dan berkat Hari Raya ini, yang dengannya para pengikut Syi’ah merasakan jati dirinya dengan mengenang hari dan peristiwa besar itu selama beberapa abad. Dan kepada Anda sekalian saya ucapkan selamat datang, khususnya kepada saudara dan saudari yang datang dari daerah-daerah yang cukup jauh dari berbagai kota dan begitu pula kepada keluarga-keluarga syuhada yang terhormat.

Masalah al Ghadir adalah bagian dari masalah-masalah yang dengan memikirkannya akan sangat membantu masyarakat Islam terutama rakyat dan negara kita agar tidak kehilangan jalan yang benar. Saya akan mengemukakan dua tiga poin berkaitan masalah al Ghadir.

Poin pertama adalah peristiwa al Ghadir itu sendiri. Dunia Islam yang sejak zaman Nabi Muhammad saww sudah relatif meluas, telah menyaksikan sebuah peristiwa sangat penting yaitu pengumuman tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi. Peristiwa Ghadir sendiri tidak hanya diriwayatkan oleh kaum Syi’ah saja, tetapi juga para pakar hadis dan para pembesar Sunni telah menukil peristiwa sangat penting ini –tetapi pemahaman mereka tentang masalah ini berbeda. Hanya saja status kebenaran peristiwa ini di kalangan kaum muslimin merupakan bagian dari hal-hal yang sudah jelas dan pasti. Peristiwa pengukuhan pengganti Nabi di akhir-akhir hayat beliau –lebih kurang 70 hari sebelum beliau SAW wafat beliau- pada hakikatnya merupakan indikator penting masalah pemerintahan, politik dan wilayah amr atas kaum muslimin dalam pandangan Islam.

Imam Khomeini sendiri dan para fuqaha besar sebelum beliau sangat menekankan pentingnya masalah persatuan antara agama dan politik –serta pentingnya masalah pemerintahan dalam agama. Pandangan itu memiliki akar dalam ajaran Islam –dan merupakan salah satu pelajaran besar dari al Ghadir. Inilah yang menunjukkan pentingnya masalah pemerintahan. Semua kalangan yang memahami makna ini dari peristiwa al Ghadir –yaitu kita, kaum Syi’ah dan bahkan sebagian besar kalangan non Syi’ah yang merasakan makna ini atau memahaminya dari peristiwa al Ghadir- sudah selayaknya memerhatikan bahwa sepanjang sejarah Islam masalah pemerintahan dan kepemimpinan merupakan sebuah masalah mendasar, penting dan prioritas dalam Islam. Kita tidak bisa bersikap acuh dan tak peduli pada masalah pemerintahan dan kepemimpinan.

Pemerintahan Republik Islam –baik dalam Undang-Undang Dasar maupun dalam kebijakan lain Republik Islam- sangat menekankan masalah pengaturan negara Islam dikarenakan adanya akar yang sangat mendasar dalam Islam berkaitan dengan masalah ini. Ini satu poin yang tidak boleh dilupakan. Poin kedua selain poin pertama, adalah bahwa dalam peristiwa al Ghadir, Rasulullah saww telah memperkenalkan Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib as. Apa saja karakter khusus yang ada pada diri Amirul Mukminin Ali as di zaman itu, sehingga kehidupannya dikenal atas dasar itu? Karakter pertama Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah selalu mengharapkan keridhaan Ilahi dan selalu bergerak di jalan yang lurus –meskipun harus melewati banyak rintangan, harus berjihad dan berkorban sedemikian rupa. Ini adalah salah satu karakter terpenting Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah pribadi yang hanya berjalan di jalan Allah –dan tidak pernah mundur selangkah pun sejak zaman kanak-kanak sampai detik-detik syahadah. Beliau tidak pernah ragu dan selalu siap mempertaruhkan seluruh jiwa raganya di jalan Allah. Ketika beliau harus berdakwah, beliau pun berdakwah, ketika harus mengayunkan pedangnya, beliau mengayunkan pedang di dalam barisan pasukan Rasulullah SAW. Beliau tidak pernah takut mati sama sekali. Ketika harus bersabar, beliau pun bersabar. Ketika harus memimpin pemerintahan, beliau pun masuk dalam medan politik. Dan dalam semua era yang berbeda ini, pengorbanan apa saja yang sudah semestinya beliau lakukan dapat disaksikan dengan jelas. Rasulullah SAW telah menempatkan pribadi yang sedemikian rupa itu sebagai pemimpin untuk umat Islam. Ini adalah sebuah pelajaran –sebuah pelajaran bagi umat Islam bukan sekedar catatan sejarah dan kenangan dari beberapa abad yang telah berlalu.

Ini menunjukkan bahwa tolok ukur dalam memimpin masyarakat dan umat Islam adalah keimanan, jihad demi keridhaan Allah, pengorbanan dengan jiwa dan harta, pantang lari dari kesusahan dan kesulitan apa pun, jauh dari kecintaan kepada dunia. Puncak semua tolok ukur ini adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, indikatornya adalah wujud Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Inilah pelajaran besar dari al Ghadir.

Jika kita lihat dunia Islam –dan berbagai pemerintahan Islam serta berbagai sistem kenegaraan dan politik di dunia, maka akan terlihat betapa besar perbedaan antara apa yang telah disuguhkan oleh Islam kepada umat manusia dan apa yang merupakan realitas di dunia saat ini. Pukulan terbesar yang dirasakan manusia berasal dari titik ini. Islam menganggap penting manajemen seperti manajemen Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as demi keselamatan manusia. Tentu saja harus diingat bahwa dalam hal ini Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah murid dan pengikut Rasulullah SAW. Ketika berbicara tentang kezuhudannya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata: “Di mana letak kezuhudanku dibanding dengan kezuhudan Rasulullah?!”

Dalam masalah jihad, dalam kesabaran dan dalam berbagai hal lainnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah murid Rasulullah SAW yang paling menonjol dan paling unggul. Beginilah pribadi yang layak. Kita harus menjadikan hal ini sebagai panutan; bukan hanya untuk negara kita saja –tetapi juga bagi dunia Islam. Inilah klaim dan harapan kita. Sosok figur manusia mulia yang tidak mementingkan dunia dengan segala perhiasannya, dan siap berkorban di jalan kebenaran inilah yang dapat menyelamatkan manusia. Pemimpin seperti ini tidak menuruti bisikan hawa nafsunya dan tidak ditundukkan oleh berbagai peristiwa besar kehidupan hanya karena kepentingan rendah pribadi. Maksud kami ketika berulang kali menyampaikan bahwa pesan Islam dan pesan Republik Islam untuk dunia adalah pesan baru, maksudnya adalah ini, dan ini adalah salah satu contoh pentingnya.

Hari ini Anda bisa menyaksikan tingkat kehidupan manusia di dunia, para pemimpin negara, para petinggi politik berbagai negara. Coba Anda lihat siapakah di antara mereka yang bersedia mengorbankan kepentingan pribadi dan kesenangan pribadinya? Siapakah yang siap mengorbankan keuntungan pribadi yang ada dalam genggaman demi maslahat dan kepentingan rakyat dan negaranya? Siapakah di antara mereka yang bersedia bersikap tegas tanpa menimbang kepentingan ini dan itu?

Saat ini, salah satu kevakuman yang dirasakan oleh umat manusia adalah ketiadaan pribadi-pribadi mulia yang contoh sempurnanya telah ditunjukkan oleh Islam. Tentu saja mencapai puncak tolok ukur tadi bukanlah pekerjaan semua manusia biasa. Tidak ada manusia yang bisa hidup dan bertindak seperti Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as; menjadi seperti Amirul Mukminin adalah sebuah impian yang mustahil. Tetapi puncak telah menunjukkan arah kepada kita. Kita harus bergerak menuju puncak, harus berusaha mirip dengannya dan dekat dengannya. Inilah kevakuman yang dirasakan umat manusia saat ini. Inilah satu poin yang ada dalam peristiwa al Ghadir. Satu masalah yang harus diperhatikan, bahwa pesan Ghadir kepada dunia adalah pesan tentang model ideal pemerintahan Islami.

Pribadi yang sangat keras saat berhadapan dengan musuh Allah –dan tegas menghadapi kerakusan, tetapi ketika berhadapan dengan manusia-manusia mazlum dan lemah ia nampak begitu rendah hati dan sangat penyabar sampai-sampai orang tidak percaya bahwa pribadi ini adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Detik-detik pertama ketika Amirul Mukminin as tiba di Kufah dan rakyat di sana belum mengenal beliau, perilaku, pakaian dan tindak tanduk beliau sedemikian rupa –sehingga tidak seorang pun orang di jalanan dan di lorong-lorong pasar yang mengetahui bahwa orang yang sedang berjalan ini adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, sang khalifah yang mulia. Beliau sangat tawadhu di hadapan rakyat biasa dan begitu sabar, tetapi sangat tegas dan ksatria dalam menghadapi musuh-musuh Islam dan orang-orang yang zalim. Inilah teladan.

Ada satu poin lagi yang akan kami sampaikan berkaitan masalahal Ghadir. Bagi kita kaum Syi’ah, masalah al Ghadir adalah pilar akidah. Kita yakin bahwa setelah Nabi Muhammad saww, imam dan pemimpin yang haq bagi umat Islam adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Ini adalah pilar dan landasan utama akidah Syi’ah. Tentu saja saudara-saudara kita yang Sunni tidak meyakini hal ini karena mereka berpendapat dan berpandangan lain. Indikasi ini memang ada. Tetapi dalam peristiwa al Ghadir sebenarnya ada satu poin yang dapat menjadi sarana persatuan umat Islam, yaitu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as sendiri (–yang dicintai Syi’ah dan Sunni). Tidak ada pertentangan tentang pribadi mulia ini di kalangan muslimin. Semua melihat dan menyaksikan Amirul Mukminin berada di titik tertinggi dimana Amirul Mukminin Ali as harus dilihat dari titik itu –dari sisi ilmu, takwa dan keberanian-. Maksudnya, Amirul Mukminin Ali bin Thalib as adalah titik pertemuan akidah semua umat Islam.

Apa yang harus kita perhatikan hari ini adalah bahwa Syi’ah telah menjaga akidah ini layaknya jiwa orang terkasih berabad-abad lamanya –meskipun selalu ada permusuhan yang sedikit banyaknya diketahui semua orang. Betapa mereka (para penguasa yang membenci Ahlul Bait as) menzalimi, menekan dan menciptakan suasana yang begitu mencekam, namun Syi’ah selalu menjaga akidah ini. Fiqih Syi’ah, Kalam Syi’ah, Filsafat Syi’ah, berbagai disiplin keilmuan Syi’ah, peradaban Syi’ah, pemikiran-pemikiran tinggi kaum Syi’ah dan pembesar serta tokoh Syi’ah selalu bersinar terang sepanjang sejarah Islam. Jadi inilah akidah yang dijaga oleh Syi’ah. Akan tetapi Anda harus perhatikan bahwa akidah ini jangan sampai menjadi sumber pertentangan dan permusuhan. Selama bertahun-tahun kami selalu mengetengahkan hal ini, dan hari ini juga kami ulang kembali. Kita telah melihat niat musuh, betapa mereka memiliki maksud-maksud buruk dalam menciptakan permusuhan di tengah umat Islam melalui berbagai cara –misalnya dengan mengetengahkan isu Syi’ah dan Sunni.

Musuh itu adalah musuh Islam, musuh Qur’an, musuh tauhid, bukan hanya musuh satu kelompok tertentu dari Islam. Musuh berusaha menciptakan permusuhan di antara umat Islam. Mereka mengetahui bahwa persatuan umat Islam akan sangat membahayakan dirinya. Musuh melihat bahwa ketika Revolusi Islam di Iran menang, betapa kebesaran dan pancaran revolusi ini telah berhasil menarik hati dunia Islam dan negara-negara Islam, padahal mereka bukan Syi’ah. Jutaan saudara Muslim Sunni kita di negara-negara Arab, di negara-negara Afrika, di negara-negara Asia tertarik kepada Revolusi Islam. Di sisi inilah musuh terpukul, musuh terpukul karena persatuan Islam dan perhatian berbagai bangsa Muslim kepada Republik Islam. Musuh ingin menghilangkan ketertarikan ini, bagaimana caranya? Dengan menciptakan permusuhan antara Syi’ah dan Sunni.

Saat ini, salah satu elemen utama politik penjajah di kawasan kita –selain menebar permusuhan lainnya- adalah berusaha membuat para penguasa negara-negara Arab berhadapan dengan negara Iran, dalam banyak hal, dalam masalah energi nuklir atau selainnya, dalam berbagai masalah berbeda. Mereka membuat pertemuan, berunding, bermu’amalah dan menciptakan skenario. Kepada sebagian negara-negara Islam, Amerika menuntut, peran apa yang siap Anda lakukan dalam menghadapi Iran? Musuh berusaha menciptakan permusuhan. Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh musuh di arena politik adalah memaksa para pemimpin berbagai negara untuk berhadap-hadapan dengan Republik Islam, mereka tidak bisa berbuat lebih dari ini. Musuh tidak bisa mengalihkan hati rakyat negara-negara Arab, hati rakyat negara-negara Islam, hati rakyat Palestina, hati rakyat Irak dari kecintaan kepada Republik Islam Iran.

Mereka tidak bisa mempengaruhi hati. Maksimal mereka hanya bisa membuat rezim-rezim di negara-negara itu berhadapan dengan Republik Islam. Tentu saja negara-negara itu juga waspada dan tidak begitu saja mau menyerahkan diri kepada tangan Zionis dan penjajah dalam hal ini. Tapi musuh bisa mempengaruhi hati rakyat. Apa yang bisa mempengaruhi hati rakyat? Apa yang bisa memisahkan hati dunia Islam dari Republik Islam dan rakyat Iran? Pertentangan dan fanatisme mazhab. Inilah yang bisa memisahkan hati umat dari yang lain. Inilah yang harus diwaspadai, inilah yang harus ditakuti. Semua bertanggung jawab untuk waspada. Menebar permusuhan kepada Sunni di dunia Syi’ah dan menebar permusuhan terhadap Sy’iah di dunia Sunni dengan menulis buku, menuduh, dan menghina tidak akan membuat satu pun pengikut Syi’ah menjadi Sunni atau menjadikan satu pun pengikut Sunni menjadi Syi’ah.

Mereka-mereka yang ingin menarik semua dunia Islam pada kecintaan Ahlul Bait dan wilayah Ahlul Bait harus tahu bahwa tidak akan ada orang yang bisa menjadi Syi’ah dan mengakui kepemimpinan atau wilayah Ahlul Bait lewat permusuhan, penghinaan dan kebencian. Menciptakan pertentangan hanya akan menimbulkan kebencian, perpecahan dan permusuhan. Kebencian, permusuhan dan perpecahan inilah yang diinginkan Amerika dan Zionis dan memang inilah yang sedang mereka usahakan –saat ini. Di sebuah negara Eropa non Muslim (–maksudnya Inggris) yang merupakan musuh bersejarah bangsa kita dan musuh bagi negara-negara Islam, Anda bisa menyaksikan adanya program televisi yang mengangkat isu Syi’ah dan Sunni. Mereka mengundang satu orang Syi’ah dan satu orang yang mewakili Sunni untuk berdebat dalam acara televisi. Apa maksud mereka sebenarnya?

Dengan maksud apa sebuah negara penjajah –dan imperialis, dengan rapor kinerja yang sangat buruk menyelenggarakan debat Syi’ah dan Sunni? Apakah ingin mengungkapkan kebenaran? Apakah mereka ingin agar para pemirsa dan audiens mengetahui hakikat kebenaran lewat pembahasan –dan debat ini? Yang mereka ingin tak lain adalah memperbesar api perpecahan lewat debat ini dan lewat apa-apa yang yang mungkin saja terucap dalam dialog ini. Mereka ingin menyiram minyak ke dalam api ini. Hal ini harus membuat kita mawas diri. Kita harus waspada. Syi’ah memiliki logika yang kuat, argumentasi teologi dan kalam Syi’ah dan ulama Syi’ah tentang pembahasan ke-Syi’ahan adalah argumentasi yang kokoh. Tapi ini tidak ada hubungannya dengan sikap orang yang berbicara di tengah masyarakat Syi’ah dengan kata-kata dan hinaan terhadap Sunni serta menciptakan permusuhan dengan orang yang tak sependapat dengan mereka.

Kami punya informasi, dan tahu persis bahkan sejak dahulu informasi ini saya dapatkan, bahwa ada aliran dana yang dikucurkan agar yang menulis buku hinaan dan tuduhan menentang yang ini atau yang itu, dan yang itu menulis buku hinaan dan tuduhan menentang yang ini. Yang memberikan dana adalah kantor yang sama. Dana dua buku dan biaya penerbitan kedua buku berasal dari satu saku. Apakah ini bukan sebuah peringatan? Semua pihak harus memperhatikan masalah ini.

Dengan berkah wilayah kepemimpinan Amirul Mukminin Ali as, dengan nama mulia beliau dan dengan mengharapkan bantuan dari ruh mulia Amirul Mukminin, hari ini saya katakan agar menjadi sebuah penegasan atas apa yang telah ditegaskan Imam Khomeini selama ini, juga apa yang telah saya sampaikan, bahwa semua harus tahu bahwa jangan sampai ada orang di satu tempat beranggapan bahwa dia sedang membela Syi’ah dengan cara menyulut permusuhan dengan pihak lain. Ini bukan membela Syi’ah, bukan membela wilayah. Jika Anda ingin tahu fakta yang sebenarnya, tindakan itu hanya membantu kepentingan Amerika, membela Zionis. Berargumentasi yang logis tidak ada masalah. Mereka bisa menulis buku dan mengajukan dalil. Para ulama kita telah menulis buku sedemikian rupa, hari ini juga menulis dan tetap akan menulis. Dalam bidang furu’, ushul dan berbagai masalah lainnya kita memiliki pendapat Syi’ah yang independen –siapa saja bisa mengemukakannya. Hal-hal yang tidak sama dengan pendapat kita bisa ditolak dengan argumentasi yang logis. Langkah seperti itu tidak sama dengan menghujat, mencaci dan menciptakan permusuhan. Kita harus memperhatikan hal ini.


“Ya Allah! Demi Muhammad dan keluarganya –sadarkanlah hati-hati kami, jangan pisahkan kami dari Amirul Mukminin. Karuniakan kesabaran, mujahadah dan keikhlasan beliau di tengah umat Islam dan di tengah-tengah kami. Ya Allah! Hidupkanlah kami dengan wilayah Amirul Mukminin dan wafatkanlah kami dengan wilayah Amirul Mukminin –Ali bin Abi Thalib as. Jadikanlah hati Imam Zaman ridha dan senang kepada kami. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”.