LELAKI SENJA (Bagian Keempat) oleh Gary Gulaiman



Di waktu-waktu malam, di waktu-waktu kau sendirian bersandar pada dinding kamar atau duduk menghadap meja tempatmu merenung dan menulis, kau mencurahkan kegelisahan-kegelisahan yang merundung hatimu di lembar-lembar catatan harian kesayangan milikmu, mungkin sebagai topeng dan selubung untuk menutupi kesepianmu, atau mungkin hanya sekedar untuk mencurahkan agar tidak menjadi beban hati dan pikiranmu yang acapkali terdesak rasa bosan dan gundah, yang datang dan hadir kapan saja tanpa kau tahu.

Sementara itu, di waktu-waktu pagi dan sore hari, kau berusaha menyibukkan diri dengan menanam dan menyirami tanaman yang telah kau tanam. Kesibukan tambahan itu kau lakukan dan kau pilih sebagai penghiburan diri, mungkin juga untuk mengalihkan kesepian dan kebosananmu agar kau tak terlampau menyibukkan diri dengan membaca atau pun menulis.

Seringkali juga terpikir di saat-saat kau membaca dan menulis itu, bahwa mungkin saja orang-orang yang selama ini tidak membaca buku-buku filsafat dan kesusasteraan lebih merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka, yah orang-orang bersahaja seperti para petani yang menurutmu lebih terlihat tulus ketika mereka bekerja di sawah-sawah dan di ladang-ladang di pagihari, sianghari, atau sorehari.

Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang siang, dari sore hari hingga di ujung senja. Kau kadangkala memandangi mereka bekerja di waktu-waktu jedamu ketika kau sedang menulis atau membaca di gubuk yang memang tak jauh dari hamparan sawah-sawah itu. Sebagian adalah ibu-ibu dan beberapa di antara mereka adalah perempuan-perempuan yang masih terhitung muda dan belia.

Mereka, para petani itu, tentu saja tidak pernah menyibukkan dirinya dengan persoalan-persoalan epistemologis dan pertanyaan-pertanyaan axiomatik seperti halnya seorang pemikir atau pun penulis seperti dirimu. Jikalau pun mereka berpikir, tentu sebatas bagaimana memenuhi kebutuhan wajib keseharian mereka untuk menghidupi diri dan keluarganya, dan itu memang sama terhormatnya dengan para sarjana dan penulis yang mencari nafkah dan gengsi sosial dari pengetahuan dan keterampilan mereka.

Sebenarnya, saat itu, kau tengah dirundung dan digundahkan sejumlah pertanyaan, yang barangkali muncul dari kegelisahan dan kebosananmu. Pertanyaan-pertanyaannya itu, bagaimana pun, muncul silih berganti dalam benakmu ketika kau meragukan apa yang kau lakukan selama ini dengan menulis dan membaca. Kebuntuan yang tiba-tiba segera mengingatkanmu pada puisi Tukang Batu-nya Rabindranath Tagore:

“Kau kira aku anak kecil, Ibu, tapi kau keliru, sebab aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.

Tiap pagi kunaiki kereta dan pergi ke kota dan kususun batu demi batu dengan semen dan kapur dan kugambar dinding layaknya gambar menangkapku.
Kau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi kukatakan padamu aku membangun rumah sungguh-sungguh.

Ini bukanlah rumah-rumah kecil sebab kudirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.

Tetapi bila kau tanyakan padaku kenapa aku berhenti di sana dan kenapa aku tak meneruskan membangun tingkat demi tingkat hingga atapnya mencapai bintang-bintang, kuyakin aku tak dapat mengatakannya padamu dan kuherani diriku sendiri kenapa aku berhenti di mana saja pada segala.

Kunaiki perancah saatku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar ketimbang sekedar bermain-main. Kudengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang-pedagang dan para penjual barang logam dan buah-buahan; pada petang hari bocah-bocah lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarang mereka.

Kau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga.

Tetapi bila kau tanyakan padaku mengapa kutinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami meski kubisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya, kuyakin aku tiada dapat mengatakan padamu.”

Apa yang kau tulis dalam buku catatan harian kesayanganmu itu barangkali tak lebih ikhtiar penghiburan dirimu sendiri di sela-sela waktu menulis dan membaca, di mana kau dapat menemukan kenyamanan dalam kesendirianmu di waktu malam, pagi, dan sore hari. Kau akan menuliskan apa saja yang ingin kau tuliskan di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayanganmu itu kapan pun kau ingin menuliskannya.

Dengan menulis di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayanganmu itu, kau pun menemukan kebebasan yang paling menyenangkanmu. Kadang-kadang kau menuliskannya sembari mendengarkan musik-musik klasik dan jazz, dan kadang-kadang dalam keadaan senyap di antara suara kersik daun dan desiran angin yang samar-samar pada waktu tengah malam hingga subuh menjelang.


Ilustrasi: Lukisan Sea Bench karya Emmy Go (atas) dan Weaving karya Basuki Abdullah (bawah). 



LELAKI SENJA (Bagian Ketiga) oleh Gary Gulaiman

Sri….di dua matamu yang sendu itu, kukenang Juni kelabu. Di ujung Sabtu itu aku datang ke kotamu bersama gerimis biru yang mericik di hatiku…..” (Yahya Hasan).

Di sebuah keriuhan malam di kota itu kau pernah begitu akrab dengan cahaya lampu-lampu jalan, cahaya lampu-lampu yang telah kautinggalkan di antara pepohonan jalan dan trotoar. Kini kau hanya bisa menghadirkan kembali keberadaan mereka dalam benakmu dengan jalan mengembarakan pikiranmu ke tempat-tempat yang pernah kau kunjungi, kau lewati, dan kau diami bersamanya.

Bersama detik-detik dan menit-menit yang tak terasa ketika itu, kau dan ia tak peduli pada cuaca dingin yang menyusup ke sela-sela benang baju –ke pori-pori kulit tubuhmu. Sebab kau dan ia hanya tahu bahwa kalian sama-sama ingin bertemu untuk sebuah alasan yang anehnya kalian rahasiakan dalam diri kalian masing-masing. Sebuah pengkhianatan –di saat kau tak memiliki alasan yang meyakinkan untuk marah, hingga kau hanya bisa menerimanya dan memang tak menemukan alasan untuk membantahnya.

Saat itu kau dan dirinya memutuskan untuk berjalan kaki saja –karena menurut kalian dengan apa yang kalian putuskan itu kalian bisa saling mengenal kembali setelah selama satu tahun kalian tak bertemu –selepas pertemuan dan perkenalan pertama kau dan ia di kampusnya, yang begitu akrab dan tanpa beban, meski pertemuan dan perbincangan itu memang bersifat kebetulan saja di sela-sela acara diskusi yang diselenggarakan oleh kampusnya dan kampusmu.

Kau dan ia pun akhirnya bisa kembali untuk saling menerka dan memahami diri kalian masing-masing selama berjalan kaki bersama itu –sebab hubungan kalian sebelumnya hanya melalui pertukaran kata-kata yang saling kalian tuliskan di lembar-lembar kertas. Kadang-kadang kau dan ia saling bertukar puisi –meski hanya sekali dua kali. Dan menurut pengakuannya sendiri, ia pun sesekali menuliskan apa yang dirasakan dan dialaminya menjadi sebuah puisi.

Sebenarnya kau tak menyangka bahwa ia sangat menyukai puisi yang kau tulis dan kau kirim untuknya selama kalian hanya bisa berhubungan lewat pertukaran kata-kata di lembar-lembar kertas.

Kau dan ia berjalan kaki pelan saja dan memang kembali mendapatkan keakraban seperti saat pertama kali kalian berkenalan dan berbincang di salah satu sudut taman kampusnya. Entah atas alasan dan dorongan apa, kau dan ia bersepakat untuk berkunjung ke rumahnya –dan meneruskan perbincangan kalian di rumahnya hingga menjelang magrib. Bahkan kau sempat berkenalan dengan ibunya dan adik perempuannya.

Cuaca yang agak mendung dan menyembunyikan matahari di hari itu sangat mendukung apa yang kalian lakukan. Apalagi ia mengenakan kemeja dan kerudung biru yang tentu saja menambah keindahan suasana selama kau dan ia berjalan dan berbincang menuju jalan umum untuk menaiki angkutan umum yang akan membawa kau dan ia ke Dago –di mana kau dan ia telah bersepakat untuk menghabiskan waktu kalian demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kembali akrab di hari Minggu itu.

Ia memaksamu untuk turun bersamanya dari angkutan sebelum sampai di tempat yang hendak kalian tuju. Ketika kau tanya kenapa mesti turun di saat tempat yang akan kalian tuju masih jauh sekitar ratusan meter lagi, ia hanya menjawab bahwa ia merasa tak nyaman berada di dalam angkutan umum dan lebih baik berjalan kaki lagi saja agar bisa lebih santai dan bisa berbincang-bincang seperti pada saat kau dan ia berangkat dari rumahnya.

Ia menggandeng dan menggenggam tanganmu ketika kau dan ia akhirnya berjalan kaki lagi sesuai dengan keputusan dan kehendaknya. Dan memang kau sendiri merasa lebih nyaman dengan berjalan kaki lagi daripada merasakan kegerahan akibat cuaca mendung yang malah membuat tubuh kalian merasa panas karena keringat orang-orang yang duduk bersama di dalam angkutan yang berdesakan-desakan.

Selama kau dan ia berjalan kaki untuk yang kedua kalinya itu, lampu-lampu jalan kota mulai menyala. Sepanjang trotoar dan pepohonan itu kau rasa adalah pengalamanmu yang paling akrab dengan seorang perempuan yang usianya lebih muda satu tahun dari usiamu, hingga kau dan ia lebih merasa sebagai sepasang bocah berlainan jenis kelamin yang asik bercanda tanpa canggung dan merasakan kebebasan yang sebenarnya. 

Kejadian-kejadian yang telah berlalu bertahun-tahun itu tiba-tiba menemukan kembali detil-detilnya di dalam benak dan kepalamu saat kau tak menemukan tema dan isu lain untuk menulis. Kau dan ia sempat duduk berdua dan saling bertukar kata yang keluar dari mulut kalian di trotoar itu untuk beberapa menit sembari memandangi lalulalang dan laju lalulintas sebelum kau dan ia berjalan kaki lagi.

Kalian menyandarkan punggung kalian masing-masing di sebaris pagar taman –di bawah lampu-lampu yang menyala dengan terang. Kau dan ia melakukan itu karena menurutnya bioskop yang hendak kalian datangi baru akan dibuka sekitar satu jam lagi, yang karenanya kalian merasa tak perlu terburu-buru.

Kau masih ingat, kau dan ia akhirnya tak sempat menonton sebuah film yang kalian rencanakan itu. Kau dan ia malah lebih asik bercanda di sebuah cafe yang terletak agak ke sudut di pusat hiburan itu setelah kau dan ia berkeliling di antara rak-rak sebuah toko buku. Ia membeli sebuah novel Sampek Engtay, sementara kau sendiri membeli Aeneid-nya Publius Virgilius Maro terbitan Everyman Books.  

Di meja yang agak menyudut ke arah dinding itu ia terus saja berbicara dengan riang, sementara kau sendiri hanya bisa mendengarkan setiap kata yang meluncur dari mulut dan kedua bibirnya yang tipis dan indah.

Sebenarnya kau tak sepenuhnya hanya mendengarkan setiap kata yang diucapkannya –kau lebih terpesona dengan kelembutan sepasang matanya yang agak sendu. Seakan-akan kau tengah membaca larik-larik sebuah puisi yang memberikan kedamaian dan ketentraman bathin saat kau terus memandangi sepasangan matanya sambil berusaha menyimak apa yang dikatakannya dari satu tema ke tema lainnya saat itu.

Di sela-sela perkataannya –mungkin agar kau tak merasa diacuhkan, ia memintamu untuk membacakan sebuah puisi yang mungkin masih kau hapal, meski permintaannya kau tolak dengan halus dengan mengatakan padanya bahwa tak ada satu pun puisi yang kau hapal. Tapi ia malah menggodamu untuk membuat puisi seketika itu juga untuknya. Tentu saja kau hanya bisa mengatakan bahwa puisi yang ia maksud itu telah ada ada di depanmu –sebuah puisi yang tak lain sepasang matanya yang indah dan agak sendu, yang memberimu sebuah pandangan yang menenangkan dan memberimu rasa damai.

Ia hanya tersenyum dan sedikit tertawa gembira ketika mendengarkan apa yang kau ucapkan itu. Saat itu kau yakin ia merasa istimewa dengan apa yang kau katakan itu –sebab ia tampak sedikit tersipu akibat ulahmu itu, hingga ia mencubit lenganmu dengan lembut. Setelah itu ia kembali menyeruput minumannya melalui sedotan dan kembali bercerita tentang apa saja yang ia lakukan selama kalian tak bertemu. Dan lagi-lagi kau hanya bisa mendengarkannya saja –karena memang kau tak memiliki tema yang bisa kau ceritakan padanya, mungkin karena kau lelah, rasa lelah yang terobati karena kebahagiaan.

Rasa-rasanya momen-momen itu merupakan sebuah peristiwa paling riang dalam hidupnya sepanjang yang kau ketahui –momen paling ceria dibanding pertemuan-pertemuan kau dengan ia sebelumnya. Hingga rasa lelahmu akibat perjalanan dari Jakarta ke Bandung seakan-akan hilang begitu saja, berubah menjelma rasa senang yang ia hadirkan. Dan sepertinya ia tahu bagaimana agar kau bisa mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk mengobati keletihanmu demi bertemu kembali dengannya.

Di cafe itu kau dan ia menghabiskan waktu hampir dua jam sejak kalian berbincang selepas adzan magrib berkumandang. Ia pun mencegahmu ketika kau hendak membayar minuman yang kalian pesan, karena ia ingin mentraktirmu dari uang lomba karya ilmiah yang ia menangkan. Setelah itu kau dan ia pun beranjak meninggalkan meja tempat kalian bercengkerama dan bercanda selama dua jam itu, meninggalkannya dan berjalan keluar melewat pintu depan cafe.

Setelah kau dan ia menghabiskan waktu bersama di cafe itulah ia memintamu untuk duduk barang sejenak di lantai depan cafe demi mendengarkan apa yang ingin ia katakan kepadamu. Tanpa rasa curiga kau iyakan dan kau turuti permintaannya. Tapi saat itu setiap perkataannya tiba-tiba menjadi pelan dan tak lagi riang seperti ketika kalian berbincang di meja cafe sembari menikmati jajanan kesukaan kalian. Saat itulah timbul pertanyaan dan rasa penasaran dalam dirimu. Dan kecurigaanmu yang muncul seketika itu ternyata benar dan tak ia bantah, meski sebelum-sebelumnya kau tak menyangkanya sedikit pun. 


LELAKI SENJA (Bagian Kedua) oleh Gary Gulaiman (2012-2016)



Kau duduk sendirian di halte di senja yang lembab dan dingin itu, menunggu bis yang akan melintas, yang akan membawamu ke tempat di mana kau hendak pulang dalam keadaan lelah. Kau pandangi ricik gerimis yang menyirami kaca-kaca gedung-gedung bertingkat, mengguyur pohon-pohon di trotoar, hujan kecil yang sesekali turun deras kembali yang menyirami jalan, memandangi orang-orang yang berteduh, dan ke manapun matamu terarah saat kau merasakan cuaca lembab dingin yang merasuk benang-benang baju,celana, dan sepasang sepatumu yang basah itu.

Tanpa kau duga, beberapa saat, sekira dua puluh menit lebih di saat kau duduk sendirian di halte itu, seseorang dari masa silammu melangkah ke arah halte di mana kau berada. Ia duduk di sampingmu tanpa harus merasa perlu menyapamu. Untuk beberapa saat kau dan dia saling diam saja, seperti sepasang patung yang diletakkan di halte di salah satu trotoar jalan yang tak jauh dari perempatan kawasan Halte Busway Bank Indonesia.

Lalu terpikir olehmu untuk menyapanya dan mengajaknya berbincang sekedar untuk menghilangkan rasa sepi dan bosanmu di saat duduk dan menunggu sembari menahan cuaca dingin senja yang basah dan lembab. Saat itu kota Jakarta terasa beku dalam benak dan pikiranmu. Dan kau pun merasa terkejut dan seakan tak percaya bahwa perempuan yang kau ajak berbincang di halte itu adalah seseorang yang mestinya telah kau lupakan, yang tak kau duga malah hadir begitu saja.

Kau tampak kikuk dan malu karena ulahmu yang berusaha untuk sedikit menggodanya ketika kau menyangka bahwa perempuan yang hendak kau goda itu adalah seseorang yang belum pernah kau kenal sebelumnya. Tapi sebaliknya, ia justru merasa sedikit gembira dan segera menyapamu dengan intim, seakan ia mengulang pertemuan pertamanya denganmu. Kau tak bisa menghindari keramahannya, rasa akrabnya yang muncul tiba-tiba, meski kau berusaha mengelak.

Tapi akhirnya kau tetap saja tak mampu menolak ajakannya untuk singgah di sebuah cafe kecil di sudut kota Jakarta yang tengah dirundung cuaca lembab dan dingin itu. Kau memesan secangkir kopi hitam Nescafe kesukaanmu, dan ia memesan secangkir coklat panas kesukaannya. Tanpa kau sangka, kau dengannya kembali intim dan akrab seperti saat pertama kali kau dengannya berjumpa di kampusnya, bertahun-tahun sebelumnya, sebelum pertemuan tiba-tiba di halte tempatmu duduk dan menunggu itu.

Sebenarnya saat itu kau tahu bahwa ia tampak lebih cantik dengan baju seragam kerja dan rain coat yang dikenakannya. Rambut hitamnya yang rapi dan tertib kini lebih panjang, melewati punggungnya dan sepasang matanya masih tetap berbinar bercahaya seperti ketika kau pertama kali bertemu dengannya bertahun-tahun silam sebelumnya. Saat kau dan ia kembali berbincang akrab di cafe kecil itu, sesekali ia tersenyum sembari memperhatikan wajah dan matamu dengan seksama, sembari sesekali berusaha menyelidik, adakah dalam dirimu yang telah berubah atau masih tetap sama seperti saat ia pertama kali bertemu denganmu.

Kau masih saja tampak canggung dan kikuk sekedar untuk menjawab beberapa pertanyaannya, meski bagimu barangkali ia hanya bersikap basa-basi saja, atau sekedar mencari bahan dan mula perbincangan dan obrolan denganmu setelah kau dan ia tak bertemu sekira sepuluh tahun. Kau memang seorang lelaki bodoh yang berpura-pura bahwa ia masih tampak cantik dan kau enggan untuk mengakuinya, mungkin saat itu kau kehilangan keberanian sebagai seorang lelaki.

“Tak usah merasa malu dan canggung, Yahya!” ujarnya padamu sembari tersipu dan tersenyum seakan ia hendak meledek dan mencandaimu yang tampak kikuk dan canggung.

“Kita kan pernah saling menyukai,” lanjutnya, “dan karena itu apa salahnya kita sedikit mengenang keakraban kita, meski kita tak bertemu selama bertahun-tahun.”

“Aku hanya merasa tak percaya saja,” ucapmu demi mengimbangi perbincangan, “bahwa aku akan bertemu lagi dengan kamu dengan cara yang seperti ini.”

Dan lagi-lagi ia tersenyum mendengar ucapanmu.

“Yah anggap saja ini pertemuan kebetulan kita yang baik, Yahya! Tidak salah kan?”

“Tak ada yang salah.....hanya saja, statusku dan kondisi dirimu saat ini tak lagi sama,” katamu kepadanya, “apalagi kau telah bersuami dan punya anak satu.”

“Tapi kita kan masih bisa tetap berteman dan bersahabat?”

“Yah.....tentu saja!”

Ia hampir saja tertawa mendengar sikap pasrahmu yang kau ungkapkan dengan kata-katamu itu, dan lagi-lagi kau merasa tersudutkan dengan sikapnya dan reaksinya atas perkataan yang kau ucapkan kepadanya. Itu karena kau sendiri yang telah menempatkan diri sejak semula pertemuan itu dalam keadaan malu dan canggung, bodoh dan kikuk, hingga memancing sikapnya untuk meledek dan mencandaimu.

“Sudah lama di Jakarta?” tanyanya kepadamu.

“Baru tiga bulan!” jawabmu.

“Kau bekerja? Dan kerja apa?”

“Aku magang di sebuah media.”

“Di mana kantormu?”

“Di kawasan perkantoran MNC Group.”

“Oh….di Kebon Sirih….”

“Yah….”

“Kalau begitu kantormu dan kantorku tidak jauh….”


Pelan-pelan, seiring dengan proses pertemuan kebetulanmu dengannya di halte saat kau duduk kesepian dalam keadaan lelah dan bosan itu, dan seiring berjalannya perbincangan yang akhirnya jadi akrab dan intim itu, kau pun tak lagi merasa canggung dan kikuk. Memang ia yang lebih banyak bicara dan kau hanya mendengarkan saja, dan kau hanya akan menggerakkan lidahmu dan membuka mulutmu hanya jika kau merasa perlu menjawab sejumlah pertanyaan yang ia tanyakan kepadamu. Sementara, lampu-lampu di gedung-gedung bertingkat dan di trotoar-trotoar jalan mulai menyala. Kau dan ia bersepakat untuk melakukan pertemuan di setiap Sabtu sore, sebelum akhirnya kau dan ia menyudahi perbincangan di cafĂ© kecil itu. 


LELAKI SENJA (Bagian Pertama) oleh Gary Gulaiman (2012-2016)



Kau bayangkan ingatan, masa silam, dan kenangan seumpama sefoto lama berwarna sepia yang kau buka tanpa sengaja dari sealbum lusuh dan kusam ketika kau dilanda dan dirundung kebosanan dan kesepian dalam kesendirianmu. Dan kau hanya dapat mereka-reka serpihan-serpihan yang sudah tak lagi lengkap, berserakan, tapi kau berusaha mengembalikan serakan-serakan itu, meski tak pernah kembali menjadi utuh sebagaimana kau kehendaki seperti pada awalnya. 

Kau melakukan itu karena kau membutuhkan kesibukan bagi pikiran dan angan-anganmu untuk mengalihkan rasa bosan, bahkan amarah terselubung yang berusaha kau lawan dan kau pendam.

Kau harus yakin bahwa hidupmu mengalir berirama seperti sungai dalam bayang-bayang senja. Pada saat itu kau dapat membayangkan suara-suara burung di keheningan udara sebagai sebuah puisi cinta. Kau harus mendengar dengan hatimu yang ikhlas. Dari sana-lah kau akan menemukan bahasa dan perumpamaan. Dalam kesepianmu, kau pandangi angkasa malam setelah kau sibak gorden jendela, seakan kau menginginkan kesunyian galaksi nun jauh dari tatapan dua matamu yang basah. 

Bintang-bintang dan langit yang mirip sebuah kota yang terlelap yang kau pandangi itu kau bayangkan sebagai kesepianmu sendiri. 

Di tengah malam hingga subuh menjelang, kau duduk begitu sabar menanam kata dalam lembar-lembar catatan harian kesayanganmu di bawah seneon lampu kamar. Terkadang rasa bosan menghantam jiwamu yang kesepian, tetapi hatimu tetap bergembira berkat cinta. Kau kenang kisah asmara pertamamu dengan seorang perempuan bermata sendu yang derai rambutnya pernah begitu intim dan akrab bagimu, dan kau mengabadikannya jadi sejumlah sajak. 

Kau terus saja menghisap begitu dalam rokok kretek kesukaanmu sembari sesekali menyeruput secangkir kopimu yang mulai dingin, sementara pikiranmu dan angan-anganmu terus mengembara entah kemana pada saat mana jari-jari tanganmu mengapit pena demi membajak dan menggarap selembar kertas yang tampak bisu dan pasrah di mejamu yang lembab. 

Di luar, dari kamarmu di mana kau duduk sendirian dalam cuaca dingin itu, ada gaib hembus angin yang merapal malam, ada pasangan muda-mudi yang tengah bermesraan, seperti sepasang kekasih yang dimabuk oleh cinta pertama mereka, seperti yang pernah kau alami sendiri. 

Sementara kau memikirkan kata, kalimat, umpama, dan ‘mata’ makna untuk sajak yang kau tulis, kau sempat juga membayangkan bagaimana ia tersenyum dan tertawa saat ia bercanda riang denganmu di sudut cafĂ© itu. 

Bagaimana ia menggodamu saat ia memintamu untuk membacakan baris-baris puisi cinta, namun kau malah mengelak dengan berpura-pura tak satupun kau hapal puisi cinta yang ia minta kau bacakan padahal kau telah menuliskannya. 

Masih saja terus kau kenang ketika kau dan ia bergandengan tangan berjalan bersama di kota itu, berangkat bersama-sama dari rumahnya ketika kau sampai di depan pintu rumahnya, dan ia menyambutmu dengan rambut tergerai dan sepasang mata nyala berbinar bercahaya, berjalan sedikit cepat menghampirimu yang letih setelah melakukan perjalanan jauh hanya untuk menemuinya. 

Dalam tebaran lampu-lampu jalan dan trotoar, kau dan dia begitu akrab, seperti sepasang bocah berlainan jenis yang bercanda tanpa beban, bergembira dengan bebas. Tapi seperti kau tahu dan kau alami sendiri, setelah itu kau dilanda dan dirundung kekecewaan. Untungnya kau tidak jatuh dalam curam keputusasaan dan bisa menjalani hari-harimu yang lain dengan lebih bergairah, seperti ketika kau jalani jam-jam riangmu bersamanya. 

Kau tersenyum saat kau kenang bagaimana rambutnya yang panjang tergerai itu tergelar di pundakmu saat ia bersandar di tubuhmu. Itulah kenanganmu yang telah menganugerahi kelembutan dan kiasan ketika kau mulai menyukai menulis puisi dan roman. Sejak saat itu pula kau mulai memahami perbedaan cinta dan keikhlasan, bahwa berkat dirinya-lah kau bisa belajar mencintai secara ikhlas dengan tulus untuk merelakannya pergi. Kau sudah mendapatkan sebuah pelajaran untuk tetap mampu mencintai dengan ikhlas. 

Terkadang, sebagai perbandingan, kau jelajahkan pikiran dan angan-anganmu ke masa silam, untuk menjumpai kehidupan masa kanak-kanak dan remajamu, sebagai penghiburan dan pelajaran untuk rasa kecewa yang kau alami. Bahwa kau sudah akrab dengan rasa bosan sejak lama, dengan kesepian dan kesunyian yang hingga kini masih kau akrabi dengan tabah. 

Masa-masa ketika kau memang sudah akrab dengan kesepian dan kesunyian sebagai bocah yang kelak menjadi seorang lelaki, berkarib dengan rimbun bambu, dengan para itik dan angsa di telaga kecil di mana kau duduk di serimbun bambu tempatmu menjalankan tugas yang diperintahkan Ibumu untuk menunggui padi-padi yang telah menguning dari serbuan para burung, dengan matahari dan udara. 

Tentu kau masih ingat ketika kau bermain dengan seekor kelinci kesayanganmu yang berlarian di sela-sela pohon-pohon Rosella yang ditanam Ibumu. Sebagai seorang bocah, kau mengendap-ngendap untuk mengetahui di mana seekor kelinci kesayanganmu itu bersembunyi. Dialah sahabatmu dalam kesepian dan kesunyian dari siang hari sepulang sekolah hingga senja saat kau menjalankan tugas yang diperintahkan Ibumu. 

Tiba-tiba kau teringat adik perempuan tersayangmu yang meninggal di kala masih balita karena demam. Itulah kesedihan pertamamu sebagai seorang bocah yang kesepian, sebagai kanak-kanak yang membutuhkan teman bermain bersama. Kau kenang adik perempuanmu yang jelita sebagai satu-satunya temanmu bermain di masa kanak-kanakmu. Ingatan-ingatan dan kenangan-kenanganmu itu memang seakan kekal dalam benak dan pikiranmu. 

Setelah itu kau kembali teringat dengan kisah asmaramu lagi, setelah kau kenang adik perempuanmu yang jelita itu. Selepas azan asar itu kau dan ia berbincang akrab untuk yang kesekian kalinya, juga di sebuah cafĂ©, tapi kali ini di kota yang berbeda. Senyumnya yang menawan, tatapan matanya yang sendu, tingkahnya yang nakal, dan kata-katanya yang kau ibaratkan sebagai burung-burung yang terbang di senjakala, telah mengajarkanmu untuk menulis sejumlah puisi cinta. 

Tanpa kau sadari, jam dinding di ruanganmu telah menunjuk angka tiga dan enam, tapi lagu-lagu jazz yang kau dengarkan masih terus mendenting-dentingkan tuts-tuts pianonya. Kau masih setia tafakkur di mejamu, memungut dan mengumpulkan kembali ingatan dan kenangan-kenanganmu di masa silam untuk kau jadikan sebagai sejumlah sajak dan beberapa prosa, sejumlah roman. 


Mahasiswi oleh Sulaiman Djaya (2015)



Dari segi fisik, ia bukan perempuan yang dapat dibilang menawan dan jelita. Apalagi untuk dikatakan sangat menyihir dan mempesona pada pandangan pertama ketika bertemu dengannya dalam suatu momen kebetulan. Aku langsung mencandainya ketika pertama kali bertemu dengannya. Saat itu aku bilang padanya bahwa nama lengkapnya tak sesuai dengan panggilan dirinya yang digunakan teman-temannya sesama mahasiswi. Ia langsung mebelalakkan matanya, melotot, tapi sedikit tersenyum karena ulah dan sikapku padanya yang spontan.

Aku mencandainya di sela-sela rehat dalam suatu acara pelatihan menulis di mana aku menjadi salah satu narasumber atau pematerinya.

“Mestinya teman-temanmu memanggilmu dengan panggilan Icah,” kataku.

“Boleh juga, Om!” balasnya. “Bagus koq! Bebas koq! Terserah si Om saja deh!”

Aku hanya tertawa setelah mendengar reaksinya atas ledekanku itu.

“Ya sudah! Kalau begitu kau kupanggil Icah!”

Dan lagi-lagi ia agak tersipu sembari sedikit tersenyum pahit, mungkin sebenarnya hanya untuk menyembunyikan reaksi sinisnya, sembari menyipitkan dua matanya. Atau mungkin saja alasan yang sebenarnya adalah karena ia sungkan untuk menyatakan keberatannya atas sikap dan ledekanku dengan terus-terang mengingat teman-temannya memanggilku dengan panggilan ‘Akang’.

Tapi sejak pertemuan itu, kami cukup lama juga tidak bertemu lagi dengannya, hingga akhirnya aku dan dia bertemu lagi ketika aku menghadiri sebuah diskusi yang bertempat di room theatre yang cukup nyaman dan sejuk di sebuah perpustakaan. Aku dan dia duduk tak jauh, hanya berjarak beberapa meter, dan aku baru ingat kalau dia adalah perempuan yang kuledek saat kami pertama kali bertemu setelah aku mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikannya secara seksama. Maklum aku mudah lupa dengan orang yang baru pertama berjumpa.

“Sepertinya aku kenal kamu,” ucapku padanya saat diskusi itu usai.

“Aku juga sepertinya pernah melihatmu, Om!” jawabnya.

“Oh iya!” kataku dengan spontan, “kamu yah yang aku ledekin saat aku selesai berbicara sebagai narasumber di acara pelatihan menulis itu?”

“Gak salah koq, Om!” jawabnya dengan singkat, cepat, dan tak bertele-tele. “Om pelupa yah?” ia berpura-pura meledekku.

“Semester berapa kamu?” tanyaku.

“Baru semester empat, Om!” jawabnya.

“Kamu jurusan bahasa dan sastra?” aku kembali bertanya.

“Ya, Om! Memang kenapa, Om?” tanyanya.

“Kamu salah jurusan!” kataku, yang lagi-lagi hanya sekedar meledek dan mencandainya.

“Memang mestinya aku kuliah di jurusan apa, Om?” tanyanya sekedar untuk berpura-pura dan mengimbangi percakapan kami.

“Jurusan desain busana atau tata rias pengantin!” jawabku dengan dan maksud bercanda seperti sebelumnya.

“Ih….si Om ada-ada ajah! Gak lucu tau!” ujarnya sembari mengernyitkan dahi dan agak memelototkan dua matanya, yang karenanya ia mulai sedikit menyingkap watak dan karakternya sebagai seorang perempuan.

Sejak saat itu aku sadar bahwa ia ternyata galak juga, dan aku segera menyudahi obrolan singkat itu karena memang aku harus menuju tempat lain. Itulah pertemuan keduaku dengannya, lagi-lagi hanya sekedar sambil-lalu saja, sekedar menyapanya sembari sedikit mencandainya.

Namun, tanpa kuduga, aku malah akan sering berjumpa dengannya, sejumlah pertemuan yang sebenarnya tak terbersit di hati dan pikiranku untuk meniatkannya sebagai sebuah rencana bertemu dengannya. Barangkali itu semua yang kita namakan peristiwa-peristiwa kebetulan yang terjadi terus-menerus. Di sisi lain, aku bukan lelaki yang bisa menyukai perempuan di saat pertemuan pertama, kecuali jika perempuan yang kujumpai itu benar-benar sosok yang menawan dan mempesonaku sebagai seorang lelaki yang menyukai dan menggandrungi seni dan keindahan.

Nona A ini, seperti telah kukatakan, adalah perempuan biasa, apalagi dia masih seorang mahasiswi, sebelum aku mengetahui bahwa salah-satu daya tariknya bagiku adalah kecerdasan dan selera seninya yang lumayan bagus, tentu setelah aku mengetahui kecenderungan dan minatnya pada seni dan sastra, untuk ukuran seorang mahasiswi, yang artinya ia memiliki citarasa seni dan literer yang sangat berkelas, dan kecerdasannya sebenarnya sudah terpancar juga ketika aku berbincang dengannya.

“Kamu sudah pernah menulis puisi?” tanyaku.

“Baru beberapa, Om!” jawabnya, “dan gak bagus-bagus amat. Beda dengan puisi-puisimu, Om, yang romantis, lembut, dan mengalir.”

“Nanti aku ingin membaca puisi-puisi yang kamu tulis yah!” ujarku berusaha membujuk dan meyakinkannya agar ia berbagi denganku.

“Gak usah, Om!” kilahnya, sekedar basa-basi tentu saja.

“Kenapa?” tanyaku.

“Hmmmm….yah seperti kubilang, puisi-puisi yang kutulis kurang bagus.” Ia berusaha bersikap rendah-hati, yang lagi-lagi sebenarnya sekedar bersikap basa-basi saja.

“Biar aku yang memberi penilaian, bukan kamu!” ucapku.

“Sudah menulis prosa, cerpen contohnya?” tanyaku.

“Sudah, Om!” jawabnya.

“Nanti aku ingin baca juga prosamu!” ujarku demi memperpanjang durasi perbincanganku dengannya.

“Jangan-lah, Om!” ucapnya.

“Santai saja dan gak usah malu!” aku meyakinkannya.


Begitulah sepotong perbincangku dengannya saat aku dan dia bertemu untuk ketiga kalinya di acara pelatihan dan pembelajaran sastra dan menulis yang diadakan di sebuah sekolah menengah atas. Kebetulan ia salah seorang panitianya, sementara aku adalah salah seorang pemateri atau narasumbernya, yang diminta untuk memberikan semacam ceramah pengantar tentang sastra dan menulis. Dan sejak itu pula mulai timbul rasa hormat dan perasaan untuk menghargai dirinya. 


Dongeng Insomnia (Prolog Bagian Kedua) oleh Sulaiman Djaya (2015-2016)



Jauh sebelum ditemukan Bangsa Amarik, Negeri Telaga Kahana adalah negeri yang tak mengenal rasa cemas dan tak mengalami rasa khawatir akan datangnya ancaman yang mengusik hidup mereka sehari-hari. Tak mengenal kebuasan, pengkhianatan, kedengkian, atau belum terjerumus dalam sumber-sumber dan rahim-rahim amarah dan kebencian kepada sesama.

Dapat dikatakan, dan ini mendekati kebenaran meski tak akurat, kerakusan dan keserakahan yang datang dari luar negeri mereka-lah yang telah membuat para penduduk Negeri Telaga Kahana mengenal perang dan senjata, mengenal kekejaman dan kebrutalan. Dan pada batas-batas tertentu, mengenal kemarahan dan kebencian dalam hati dan jiwa mereka yang sebelumnya bersih dan murni bagai salju yang turun dari langit jernih negeri mereka. Juga dari rasa dendam yang sebelumnya tidak mereka kenal dan tak mereka rasakan.

Hal itu tak lain karena perang-lah yang telah memperkenalkan kepada mereka sekian pembunuhan dan kejahatan oleh manusia dengan teramat jelas di depan mata mereka.

Sebelum mengenal perang, para penduduk negeri itu hanya mengenal kematian sebagai sejumlah peristiwa kodrati yang alamiah, yaitu ketika mereka yang dijemput maut menjelma sebentuk asap sebelum kemudian menghilang ke udara. Akan tetapi, setelah mengenal perang dan pembunuhan, kebuasan dan kebrutalan, mereka yang mati tak lagi menjelma sebentuk asap dan menghilang ke keheningan dan kesejukan udara di negeri mereka yang menakjubkan itu, dan sejak itulah mereka mulai menguburkan jasad-jasad mereka yang tak lagi menjelma asap dan menghilang ke keheningan langit dan udara.

Begitulah, sejumlah keajaiban yang sebelumnya ada dan terjadi pada mereka pun menghilang setelah mereka mengenal perang dan kejahatan. Singkatnya, setelah mereka mengenal senjata dan kebrutalan serta kebuasaan dan kerakusan yang diperkenalkan ambisi dan keserakahan yang dibawa orang-orang dan bangsa yang berusaha menguasai dan menaklukkan mereka.

Konon, berdasarkan sejumlah dongeng dan hikayat yang dipercaya para penduduk negeri itu, nenek moyang Negeri Telaga Kahana berasal dari Negeri Sunda yang legendaris dan masyhur ke seantero jagat dunia, yang juga dipercaya sebagai asal muasal para penduduk atau Bangsa Farisa alias orang-orang Farsana.

Namun, benar atau tidaknya sejumlah dongeng dan hikayat tersebut, pada kenyataannya para penduduk Negeri Telaga Kahana berwujud seperti para peri dan sekaligus seperti manusia. Sedangkan orang-orang Farsana adalah orang-orang atau manusia-manusia yang mempercayai bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan yang Esa, yang di masa lalu mereka menyebutnya dengan nama Ahuramazda yang Maha Agung.

Hal itu tentu saja berbeda dengan para penduduk negeri Telaga Kahana yang menyebut Tuhan mereka dengan nama Sang Hyang, nama yang mereka warisi dari leluhur mereka di Negeri Sunda yang masyhur seperti yang telah disebutkan.

Sebagai penduduk negeri Telaga Kahana, Zipora adalah keturunan Pangeran Ramada (yang merupakan pemimpin kaumnya) dan Putri Artamis yang legendaris, sebelum akhirnya Pangeran Ramada menjelma sebentuk asap dan menghilang ke udara, yang disusul kemudian oleh kematian Putri Artamis karena dilanda kesedihan dan kesepian setelah ditinggalkan suaminya itu.

Setelah kematian Pangeran Ramada dan Putri Artamis itulah, para penduduk negeri Telaga Kahana mempercayakan tampuk kepemimpinan negeri mereka kepada suami Zipora, sebelum akhirnya juga gugur dalam perang pertama mereka dalam rangka mempertahakan diri dari serangan pasukan dan para prajurit Amarik yang brutal dan tak mengenal belas-kasihan.

Demikianlah, selanjutnya, kepemimpinan itu dipercayakan kepada Zipora sendiri sebagai yang paling berhak sebagai keturunan langsung Pangeran Ramada dan Putri Artamis yang jelita, karena mereka ragu menyerahkan kepemimpinan tersebut kepada anak laki-laki Zipora, Ilias, yang kala itu masih kanak-kanak.


Barangkali mereka tak ingin membebankan kepemimpinan tersebut kepada bocah tulus yang harus terlebih dahulu matang dan berkembang sebagai lelaki, yang kala itu masih sebagai penggembala binatang-binatang ternak mirip domba, tapi yang ukurannya hanya sebesar kelinci ketika dewasa. 


Dongeng Insomnia VII (Amarah Thanatos) oleh Sulaiman Djaya (2015-2016)



Mungkin para pembaca dapat menerka kisah selanjutnya setelah Anda semua membaca dan mengetahui kisah sebelumnya. Anda semua bisa membuat kisah versi Anda sendiri setelah membaca dan mengetahui kisah-kisah sebelumnya. Tapi, kisah ini tentu saja, sesuai dengan paparan sang naratornya. Dan marilah kita teruskan......Di kota Damas itu, sementara pasukan Siis tengah dalam perjalanan mereka menuju Negeri Suryan, Ilias dan Jenderal Reham mendapatkan informasi yang sangat berharga dari salah-seorang intelijen Negeri Suryan bahwa pasukan Siis pimpinan Rakab itu juga disokong oleh Dagoner dari Negeri Turik.

Berdasarkan laporan intelijen yang memberikan informasi kepada Ilias dan Jenderal Reham itu, Dagoner dari Negeri Turik mendukung pasukan Siis karena ‘disuap’ oleh Negeri Amarik dengan bayaran yang cukup besar dan menggiurkan, juga mendapatkan kompensasi dari Negeri Najdan yang dikuasai Pangeran Wilad Nibtalal, dan Negeri Asrail yang dipimpin Ziva Kamarin, sehingga markas pelatihan pasukan Siis cadangan telah disiapkan di Negeri Turik. Selain itu, Dagoner juga memiliki kepentingan untuk memerangi Bangsa Rudik ketika ia mendukung pasukan Siis pimpinan Rakab yang bengis dan keji itu. Sebab, Bangsa Rudik memang dikenal ‘bermusuhan’ secara politik dengan Bangsa Turik untuk waktu yang terbilang lama hingga saat ini.

Ketika mengetahui hal tersebut, Ilias pun mengirimkan utusan khusus untuk menyampaikan informasi penting itu ke Negeri Farisa, ke Jenderal Roshtam agar dikirim pasukan khusus tambahan sebagai tindakan preventif alias jaga-jaga demi sekali kemungkinan yang bisa saja terjadi tanpa terduga, setelah Ilias mendapatkan persetujuan dari semua yang hadir dalam rapat rahasia di kota Damas di Negeri Suryan itu.

Rapat rahasia dan terbatas di kota Damas itu pun berhasil memutuskan untuk mencegat dan memberi kejutan demi menyambut kedatangan pasukan Siis pimpinan Rakab, yang setiap pasukannya langsung dipimpin Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri. Sementara divisi-divisi yang lain, yang bukan merupakan dua pasukan utama yang mereka bentuk berdasarkan strategi yang mereka godok dalam rapat rahasia itu, dipimpin masing-masing oleh empat orang kepercayaan Jenderal Reham dan dua orang kepercayaan Jenderal Ilias.

Tanpa sepengetahuan Ilias, informasi yang ia kirim melalui seorang utusan ke Negeri Farisa itu disampaikan juga kepada dua adiknya, Hagar dan Sophia, ketika informasi itu telah sampai kepada Jenderal Roshtam. Tentu saja, setelah mengetahui informasi dari Jenderal Roshtam tersebut, mereka memutuskan untuk memberitahu Misyaila dengan kembali mengirim Burung Hudan kesayangan mereka agar menyampaikan pesan dari mereka.

Di kota Damas di Negeri Suryan itu, Jenderal Ilias dan Jenderal Reham menyepakati bahwa mereka terlebih dahulu mengirim empat batalion pasukan untuk mencegat secara tak terduga alias memberi kejutan yang akan menyakitkan pasukan Siis pimpinan Rakab. Empat batalion itu masing-masing dikirim di perbatasan kota Alepp dan Kota Hama, satu batalion yang lebih besar di kirim ke kota Ramad, satu batalion menengah di kirim ke kota Palma, dan satu batalion lagi di kirim ke kota Daraa, sebelum pada akhirnya serangan yang jauh lebih keras dan mematikan akan dilakukan oleh Ilias dan Jenderal Reham sendiri.

Salah-satu strategi pengiriman batalion itu dengan cara diam-diam, dan mereka telah dibekali untuk membuat sekian jebakan dan perangkap untuk menyambuat kedatangan pasukan Siis pimpinan Rakab yang kini mendapat dukungan juga dari Dagoner, seorang penguasa Negeri Turik yang terkenal bermusuhan dengan Bangsa Rudik itu. Sementara Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri masing-masing mengirim pasukan khusus rahasia untuk membuat kekacauan di kota Nakara di Negeri Turik dan di kota Rajna di Negeri Najdan. Sedangkan masing-masing mereka telah menyiapkan diri dengan pasukan khusus mereka dalam rangka menggempur pasukan Siis dari udara bila pasukan Siis itu telah sampai di beberapa kota di Negeri Suryan.

Sedangkan di tempat lain, di Negeri Farisa di kota Naheret, Hagar dan Sophia telah mengirim si Burung Hudan untuk kembali memberikan atau menyampaikan kabar kepada Misyaila tentang situasi dunia yang akan terjadi. Dengan patuh dan tanpa ragu, si Burung Hudan itu segera melesat cepat menuju ke sebuah negeri di mana Misyaila tinggal dan berada, ke negeri yang jalur dan arahnya kini telah ia hapal dengan sangat baik melalui perjalanan intuitif dan telepatik sebelumnya.

Di sisi lain, pasukan Siis yang kini jumlahnya lebih besar dan lebih banyak telah berhasil mendarat di Negeri Suryan tanpa perlawanan yang berarti sama-sekali, yang tentu saja hal itu di luar dugaan mereka yang mengira akan mendapatkan perlawanan dalam pendaratan mereka, yang memang hal itu ‘disengaja’ oleh Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri untuk melawan dan menghajar mereka di darat, karena mereka jauh lebih paham dan lebih mengenal negeri mereka sendiri ketimbang pasukan Siis, dan karena itu, melancarkan serangan di darat jauh lebih baik bagi mereka dan pasukan-pasukan mereka ketimbang melakukannya di laut, di mana peperangan di laut akan membutuhkan banyak kendaraan amfibi dan atau kapal-kapal laut, sementara Negeri Suryan sendiri dapat dibilang tidak memiliki peralatan lengkap yang dibutuhkan untuk melancarkan serangan di laut.

Dengan semangat yang gegap-gempita, menggebu, dan persenjataan lengkap, pasukan Siis itu turun dari kapal raksasa yang mengangkut mereka. Barisan pasukan Siis pimpinan Rakab itu tampak besar dan begitu banyak dengan pakaian khas mereka dan rambut mereka yang seperti mirip rambut gimbal, sebuah pasukan yang tak ragu lagi, akan dapat menguasai Negeri Suryan dengan mudah karena jumlah dan kekuatan mereka serta lengkapnya persenjataan mereka, bila tak ada perlawanan yang gigih dan sebanding dari pihak lawan-lawan mereka. 

Dan di Negeri Nun yang teramat jauh dan misterius itu, setelah Misyaila mendapatkan kabar dari si Burung Hudan yang datang kepadanya atas keinginan Hagar dan Sophia itu, Misyaila pun memutuskan untuk terlebih dahulu menuju ke Negeri Telaga Kahana, sebelum memenuhi permintaan Hagar dan Sophia.

Keputusan Misyaila itu tak lain dan tak bukan karena ia telah lama menahan kerinduan untuk bersua dengan Siswi Karina dan Zipora, terutama Zipora yang meski tak mengungkapkan kesedihannya, Misyaila tahu bahwa ada benih-benih duka dalam hati Zipora setelah ia berpisah dengan ketiga anak kesayangannya: Ilias, Hagar, dan Sophia. Untung saja, benih-benih luka itu sedikit terobati dengan kehadiran Siswi Karina, sehingga ia tak menjadi lapuk karena kesepian yang harus ia tanggung.

Dengan kereta kuda ajaib super cepat kesayangannya itu, Misyaila pun melesat menerbangkan kereta kudanya bersama-sama dengan terbangnya si Burung Hudan, meski mereka harus berpisah pada separuh jalan, karena si Burung Hudan harus memberi laporan kepada Hagar dan Sophia, setelah ia melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya.

Saat mereka berangkat bersama-sama itu, pagi baru saja terbangun, sementara benih-benih embun masih tampak melekat di milyaran daun-daun yang sunyi dan tampak masih tertunduk dengan santun. Tentu saja cuaca masih terasa dingin bagi si Burung Hudan, namun tak begitu dingin bagi Misyaila yang mengenakan pakaian bulu yang cukup tebal.

Dan di hari itu ada yang berbeda bagi si Burung Hudan, sebab kini ia telah memiliki sedikit tambahan kesaktian, setelah Misyaila menyentuhkan tangan ajaibnya ke tubuh si Burung Hudan, sehingga ia tak lagi akan merasakan kelelahan meski terbang dalam jarak yang sangat jauh, sejauh apa pun perjalanan yang ia tempuh sebagai si burung yang bekerja sebagai penyampai pesan dan berita.

Jauh sebelum siang menjadi genap, alias ketika hari berada di antara batas pagihari dan sianghari, mereka pun telah sampai ke tempat tujuan mereka masing-masing: Misyaila telah sampai di Negeri Telaga Kahana dan si Burung Hudan telah sampai di kota Naheret di Negeri Farisa.

Di Negeri Telaga Kahana itu, Zipora cukup merasa terkejut dengan kehadiran Misyaila.

“Aku tak menyangka kau akan datang tanpa kuduga,” ujar Zipora.

“Berterimakasih-lah kepada anak-anakmu, Zipora!” balas Misyaila. “Sebab kedatanganku ini sangat berkaitan dengan kabar yang disampaikan kedua putri kesayanganmu, Hagar dan Sophia, di negeri Farisa.”

“Berkaitan dengan apa itu?” Tanya Zipora.

“Putra kesayanganmu, Ilias, kini telah menjadi seorang jenderal, dan saat ini ia tengah mendapatkan tugas dari Negeri Farisa untuk membantu Negeri Suryan dari gempuran para penjajah yang berusaha menaklukkan negeri tersebut.”

Ada rasa bangga sekaligus rasa khawatir dalam hati Zipora ketika mendengar tentang kabar putra kesayangannya tersebut. Bagaimana pun bagi Zipora, Ilias adalah harapan terakhir yang akan menjadi pemimpin di keluarganya sekaligus meneruskan kepemimpinan almarhum suaminya di Negeri Telaga Kahana, sebagaimana juga yang diharapkan oleh warga alias para penduduk Negeri Telaga Kahana yang memiliki kekayaan Kristal yang diinginkan Bangsa Amarik itu.

“Ilias terlalu cepat dewasa,” kata Zipora.

“Tak usah kau khawatirkan Ilias, Zipora!” sergah Misyaila, “percayalah, setelah ia dididik cukup lama di Negeri Farisa, ia akan mampu menjaga dan mengurus dirinya sendiri, dan kelak ia akan dapat diandalkan untuk meneruskan tugas almarhum suami tercintamu!”.

“Kekhawatiranku cukup beralasan, Misyaila!” balas Zipora, “ia adalah satu-satunya putraku dan satu-satunya yang menjadi harapanku agar ia benar-benar mau pulang ke negerinya sendiri untuk meneruskan tugas almarhum suamiku!”.

“Sudahlah, jangan kau bebani dirimu dengan segala kekhawatiranmu, lebih baik kita berdoa saja bagi semua anak-anakmu!”

Pada saat itu pula, Misyaila menyempatkan untuk menyapa sahabatnya, Siswi Karina, setelah sekian lama mereka tak bersama.

“Bagaimana dengan keadaanmu, Siska?” Tanya Misyaila.

“Aku cukup bahagia di sini, dan mendapatkan banyak pelajaran berharga dari Zipora.”

Mendengar jawaban Siswi Karina itu, Zipora tampak sedikit tersipu, dan hal itu pun diketahui oleh Misyaila.

“Syukurlah jika demikian!” ujar Misyaila, “dan aku harap kalian telah menjadi sahabat satu sama lain setelah sekian lama hidup bersama.”

Di tempat lain, di kota Naheret di Negeri Farisa, si Burung Hudan menceritakan semua perihal tugas yang telah dilaksanakannya untuk memberi kabar kepada Misyaila seperti yang diperintahkan Hagar dan Sophia. Ia ceritakan dan sampaikan kepada Hagar dan Sophia bahwa Misyaila saat itu tengah berada di Negeri Telaga Kahana untuk menjenguk dan mengunjungi ibunda Hagar dan Sophia.


Tak ragu lagi, Hagar dan Sophia merasa sangat gembira dengan apa yang diceritakan si Burung Hudan. Betapa kangen dan rindunya mereka kepada ibunda mereka, rasa rindu yang selama ini mereka tanggung dengan sabar demi menuntut ilmu di Negeri Farisa. Karena rasa gembira itulah, mereka pun menghadiahi kalung Kristal yang memiliki daya magis dan kekuatan mantra ajaib kepada si Burung Hudan. Hadiah kalung Kristal tersebut tentu saja sangat bernilai istimewa, sebab kalung Kristal itu merupakan salah-satu warisan Zipora bagi Sophia dan Hagar.