Kolaborasi Israel dan Amerika Untuk Menghancurkan Hizbullah



Musa Ahmad Qashir (MAQ) adalah sahabat Syahid Ahmad Qashir –ia berasal dari desa Dir Qanun an Nahr bagian dari kota Shur di Lebanon Selatan. Ia termasuk salah satu anggota senior sayap militer Hizbullah. Dan berikut ini adalah wawancara eksclusif jurnalis Fars dengannya seputar kerjasama Israel dan Amerika untuk “menghancurkan” Hizbullah dalam perang 33 hari antara Israel dan Hizbullah, yang akhirnya dimenangkan Hizbullah.

FARS: Sudikah Anda menjelaskan perjuangan Hizbullah selama 33 hari. Tentunya, kami akan sangat senang sekali bila Anda bersedia mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang belum dibocorkan media?

MAQ: Sebelum menjelaskan masalah ini, ada satu hal penting yang perlu saya tekankan di sini. Hizbullah bukan penyebab perang 33 hari. Sesuai dengan janji Hizbullah yang disampaikan oleh Sayyid Hasan Nasrallah kepada rakyat Lebanon bahwa Hizbullah akan membebaskan sanak keluarga mereka yang ditahan di penjara-penjara Israel.

Setelah peristiwa pembebasan tanah Lebanon oleh Hizbullah dan mundurnya Israel dari Selatan Lebanon, ada kesepakatan antara Amerika dan Israel untuk menghancurkan Hizbullah. Kesepakatan itu dilaksanakan pada bulan Juli bertepatan dengan bulan Ramadhan. Modulnya adalah bertepatan dengan pidato Sayyid Hasan Nasrallah di hari Quds –dimana pesawat-pesawat tempur Israel akan menyerang dan membom tempat pertemuan tersebut. Pemboman besar-besaran itu akan menewaskan Sayyid Hasan Nasrallah dan pejabat-pejabat penting Hizbullah sekaligus masyarakat pendukung Hizbullah.

Itu adalah langkah awal. Setelah pemboman tersebut, Israel akan melakukan serangan besar-besaran untuk menghancurkan kekuatan militer Hizbullah.

Sedianya, rencana Amerika dan Israel demikian. Namun, penyanderaan dua prajurit Israel lebih cepat dua bulan dari rencana sebelumnya. Ini membuat rencana mereka dimajukan lebih cepat dua bulan dari rencana yang telah ditetapkan. Bush dan Olmert tidak mengerti strategi perang karena bukan prajurit sebelumnya. Berbeda dengan Sharon yang memiliki kecakapan strategi perang. Sharon mengerti kekuatan militer Hizbullah. Pada akhirnya, Bush dan Olmert mendesak agar strategi yang telah disiapkan untuk dimajukan.

Di saat yang sama, komandan pasukan gabungan Israel mengajukan keberatan karena tidak siap untuk melakukan serangan. Namun, perintah telah dikeluarkan dan perang dimulai.

Strategi mereka pada Minggu pertama adalah melakukan pemboman besar-besaran sehingga sebagian besar kekuatan Hizbullah dapat dilumpuhkan. Setelah melakukan serangan dari udara, dimulailah serangan melalui jalur darat. Pada saat yang bersamaan, angkatan udara Israel menyerbu Suriah dan angkatan udara Amerika menyerang Iran.

Amerika tidak punya keinginan untuk berperang dengan Iran. Tapi pada waktu itu mereka ingin memberikan pelajaran kepada Iran dengan serangan itu agar Iran mengalami kerugian besar.

Dengan serangan itu, Amerika berharap Iran mau mengikuti syarat-syarat yang ditetapkannya. Rencana ini dilakukan di Lebanon dengan membom titik-titik kekuatan Hizbullah. Harapan mereka lebih dari seribu pos-pos kekuatan Hizbullah bakal hancur.

Ternyata setelah seminggu pemboman Sayyid Hasan Nasrullah muncul di televisi dan mengumumkan bahwa dalam serangan itu tidak seorang pun dari pasukan Hizbullah yang syahid.

Salah satu sebab mengapa tidak ada satu pun dari pejuang Hizbullah yang syahid adalah kesigapan Hizbullah menghadapi kondisi darurat. Setelah menyandera dua prajurit Israel, semua pos-pos Hizbullah telah dikosongkan. Masyarakat juga diperintahkan untuk keluar dari kawasan yang berbatasan dengan Israel. Dengan cara ini, pasukan Israel tidak berhasil mencapai target Minggu pertama serangan mereka.

Pada hari kelima, Mahmoud Ahmadinejad mengumumkan bahwa kapal-kapal perang Amerika di Teluk Parsi akan disandera oleh Iran. Bush tidak mengerti sindiran itu dan dengan mudahnya Hizbullah menghantam dan menenggelamkan kapal perang modern Israel. Setelah serangan itu, Bush menyadari bahwa Iran dalam 15 hingga 20 detik seluruh kapal perang Amerika di Teluk Parsi dapat dihancurkan oleh Iran sekalipun dengan gambaran bahwa Amerika berhasil menyerang Teheran dan Isfahan.

FARS: Bagaimana reaksi Israel setelah serangan Minggu pertama, apakah rencana mereka berhasil?

MAQ: Komandan pasukan gabungan Israel setelah Minggu pertama mengumumkan bahwa setiap titik yang diduga ada pasukan Hizbullah telah kami bombardir dan hancurkan. Apa yang kami mampu hanya ini. Sekarang kondisikan agar dapat dilakukan gencatan senjata dan perundingan. Di sini, Bush kemudian mengambil alih kepemimpinan. Bush tidak menginginkan gencatan senjata. Perang harus dilanjutkan.

Campur tangan Bush ini dimanfaatkan dengan baik oleh Israel dengan menyiapkan list senjata dan amunisi yang selama ini terbatas dimiliki oleh Amerika untuk menguatkan persenjataan mereka. Bom-bom curah (cluster) generasi baru, bom-bom berpandu laser dan banyak lagi senjata modern yang sebelumnya hanya dipakai oleh pasukan Amerika ada pada list tersebut.

Ketika pasukan Israel telah dilengkapi dengan senjata-senjata paling modern, dimulailah serangan darat. Dalam serangan darat itu Israel menurunkan tank Merkava generasi ke-empat, generasi paling canggih. Tank ini mampu menghancurkan sasaran hingga radius 6 kilo meter.

Pasukan Hizbullah memberikan kesempatan kepada pasukan angkatan darat Israel selama tiga hari memasuki kawasan Khiyam dan Aita Syi’b. Sekitar 35 tank Merkava menyerang kota Khiyam. Bila dibandingkan, dengan luasnya kota Khiyam, 35 buah tank jelas terlalu banyak.

Perlawanan gigih yang ditunjukkan oleh pasukan Hizbullah berhasil menghancurkan 23 tank Merkava. Orang-orang Israel berkata bahwa kami tidak mengerti bagaimana caranya tank-tank dapat hancur! Hasil dari kekalahan Israel dalam serangan darat adalah negara-negara seperti Turki atau Amerika yang telah memesan sebanyak 400 buah tank Merkava membatalkan rencana pembelian itu. Pemerintah Israel sendiri mengumumkan untuk tidak lagi memproduksi tank Merkava. Pemerintah Israel meyakini bahwa kerugian industri persenjataannya lebih dari kerugian akibat peperangan itu sendiri.

Israel tidak mampu mengirimkan pasukan angkatan daratnya di kota Aita Syi’b. Melihat itu, mereka menurunkan pasukan penerjun lewat helikopter dan mengobrak-abrik sebuah sekolah. Mereka mendapat informasi bahwa pasukan Hizbullah berada di sana. Sekitar 40 pasukan Israel diterjunkan untuk menghabisi pasukan Hizbullah. Tepat ketika helikopter mengudara, sekolahan tadi meledak dengan hebatnya. Ternyata pasukan Hizbullah sigap akan serangan itu dan sebelum pasukan Israel tiba mereka telah pergi dan meletakkan bom di sana.

Ini dua contoh kegagalan Israel melakukan serangan lewat darat. Memahami kondisi yang sulit tersebut, pasukan Israel merasa cukup sampai di Bintul Jubayl. Tempat di mana pada tahun 2000 Sayyid Hasan Nasrallah menyampaikan pidatonya yang terkenal “Israel lebih lemah dari sarang labah-labah”.

Pasukan Israel mencoba menguasai kawasan ini untuk mendapatkan poin setelah keluar dari sana enam tahun yang lalu. Mereka berusaha keras dan banyak yang tewas. Beberapa helikopter, sebuah pesawat tempur dan kapal perang mereka hancur. Hasilnya juga nihil karena mereka tidak mampu menguasai kota ini. Israel sendiri mengakui sekitar 124 tank merkava, tank terkuat di dunia, hancur.

Israel memiliki pasukan komando khusus. Namun, setiap kali diterjunkan untuk menghadapi pasukan Hizbullah, mereka harus menelan pil pahit kekalahan. Akhirnya, karena tidak punya pilihan lain mereka mengirimkan pasukan elitnya yang pernah ditugaskan untuk menyandera beberapa orang Palestina di Ethiopia, mereka mengobrak-abrik lapangan udara dan akhirnya berhasil membebaskan bebrapa sandera Israel. Pasukan elit Israel ini ketika berhadap-hadapan dengan pasukan Hizbullah di daerah Anshariah, 13 orang anggotanya tewas. Betapa pentingnya pasukan ini sehingga Israel siap untuk menukar jasad mereka dengan seluruh tawanan Lebanon.

FARS: Bagaimana kondisi rakyat Lebanon yang tinggal di sekitar Lebanon Selatan selama peperangan terjadi?

MAQ: Yang lebih penting dari peperangan adalah usaha melindungi masyarakat. Hizbullah pada perang 33 hari tidak hanya mengurusi perang dengan Israel. Ada sekitar satu juta setengah masyarakat yang hidup di kawasan terjadinya peperangan. Hizbullah bukan sebuah negara, di samping itu pemerintah Lebanon sendiri tidak membantu masyarakat Lebanon Selatan. Terlebih-lebih lagi karena kawasan ini lebih didominasi oleh orang-orang Islam Syi’ah yang terkenal gigih melawan kezaliman kekuasaan-kekuasaan arogan dunia. Pemerintah tidak memperhatikan masyarakat. Hizbullah melakukan tugasnya di sela-sela perang menghadapi Israel untuk membantu masyarakat, dimulai dari kebutuhan bahan pokok hingga masalah tmpat tinggal.

Ketika perang terjadi, pemerintah Lebanon berperan sebagai boneka Israel. Pemerintah memberikan dukungan kepada Israel. Seluruh sistem komunikasi Lebanon dibiarkan terbuka sehingga Israel dapat melakukan penetrasi ke sana. Oleh karenanya, Hizbullah tidak mungkin untuk mempergunakan telepon rumah, telepon genggam bahkan walkie talkie.

Sebagian besar analis perang terheran-heran, bagaimana caranya selama 33 hari anggota Hizbullah saling berkomunikasi. Israel sendiri menegaskan bahwa pasukan Hizbullah telah terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok terpisah. Antara setiap kelompok dengan lainnya tidak bisa melakukan komunikasi, tercerai-berai. Sebagai jawaban, Sayyid Hasan Nasrallah muncul di televisi dan secara langsung memerintahkan pasukannya untuk menghantam kapal perang Israel dengan rudal-rudal yang telah disiapkan.

Kepada pemirsa Sayyid Hasan Nasrallah meminta agar melihat kapal perang Israel. Ini untuk pertama-kalinya di sebuah perang ada perintah serangan yang disiarkan secara langsung lewat televisi. Ketelitian dan kerjasama yang kompak dari pasukan Hizbullah sulit dimengerti oleh pasukan Israel dan para analis perang.

Adapun masalah bantuan Hizbullah kepada rakyat sipil, tepat di saat Hizbullah menghadapi perang sengit dengan Israel yang menyerang dari laut, udara dan darat –dengan dibantu oleh Amerika dan sebagian negara-negara Eropa, Sayyid Hasan Nasrallah tidak melupakan perhatiannya terhadap rakyat. Ketika terjadi perang dan sedang sengit-sengitnya, Hizbullah menggiring masyarakat ke tempat-tempat aman. Tidak itu saja, masalah kebutuhan bahan pokok, tempat tinggal bahkan masalah kesehatan juga diperhatikan oleh Hizbullah. Hal yang perlu diingat, selama perang 33 hari, sekitar 1330 terjadi kelahiran yang ditangani dengan baik oleh Hizbullah. Jumlah yang lahir berkali-kali lipat dari data korban yang meninggal di perang 33 hari.

Sayyid Hasan Nasrallah senantiasa mengingatkan kader-kader Hizbullah untuk senantiasa menghormati rakyat. Kehormatan dan kemuliaan rakyat harus dijaga. Buat Sayyid Hasan Nasrallah ini masalah penting. Beliau mengerti bagaimana pemerintah secara sengaja dan terang-terangan menghina rakyat. Mereka menginginkan agar rakyat tidak lagi memberi dukungan kepada Hizbullah. Hizbullah, menurut pemerintah, adalah penyebab semua kesulitan ini. Namun, dengan taufik Allah, Alhamdulillah mereka tidak mampu menghina rakyat.

FARS: Kondisi dalam negeri Lebanon sendiri bagaimana? Khususnya penentangan kelompok 14 Maret terhadap Hizbullah. Khususnya, dengan melihat sikap Hizbullah yang ingin menurunkan pemerintah yang ada dan rencana apa yang ada untuk kedepan?

MAQ: Pimpinan redaksi koran Ad Diyar, seorang Kristen Maronit, memberikan julukan yang bagus untuk kelompok 14 Maret ini. Ia mengatakan kita jangan menyebut mereka kelompok 14 Maret, lebih tepat bila kita katakan “Yahudi Dalam”. Maksudnya ada sekelompok Yahudi Zionis di Israel dan ada sekelompok lainnya di Lebanon. Menurut saya ungkapan itu sangat tepat, karena mereka membantu Israel lebih dari orang-orang Yahudi Israel sendiri.

Sebelum terjadinya perang 33 hari, mereka sangat agresif menyerang Hizbullah dan memprovokasi negara Lebanon untuk melucuti senjata Hizbullah. Menyikapi mereka, Sayyid Hasan Nasrallah mengajak kelompok-kelompok Lebanon untuk melakukan perundingan. Menanggapi ajakan Sayyid Hasan Nasrallah telah diadakan sekitar 8 kali perundingan dan Hizbullah sebagai pihak yang berpengaruh pada waktu itu.

Kesimpulannya, dalam sistem pertahanan Lebanon, Hizbullah diikutkan sebagai sebuah kekuatan dan itu disepakati. Kelompok-kelompok pro Israel menyampaikan pesannya kepada Israel bahwa dalam perundingan mereka kalah. Setelah ini, kalian sendirilah yang harus menyelesaikan masalah ini. Amerika tidak akan melakukan serangan secara langsung dan berhadap-hadapan dengan Hizbullah. Karena bila mereka kalah, maka sebagai negara super power akan sangat memalukan sekali. Bila selama 4 tahun bercokol di Irak sekitar 4 ribu tentara Amerika yang tewas, maka dalam waktu sebulan tentara mereka akan tewas dalam jumlah yang sama. Tugas ini lalu dilimpahkan ke pundak Israel untuk melucuti Hizbullah dan menghancurkannya.

Selama masa perang 33 hari, kelompok “Yahudi Dalam” melakukan kerja sama dengan Israel. Mereka meyakini komentar Rise, menteri luar negeri Amerika, bahwa Hizbullah akan kalah. Rise memberikan kepada mereka agar melakukan tugas-tugas dan bila keesokan harinya kalian masih melihat Sayyid Hasan Nasrallah masih hidup, maka akan dapat kalian lihat dia di Guantanamo.

Kelompok “Yahudi Dalam” sebelum perang terjadi melakukan aksinya secara diam-diam. Dengan janji Rise, mereka menampakkan wajah aslinya. Bahkan Saad Hariri secara terang-terangan mengatakan bahwa setelah perang berakhir, Sayyid Hasan Nasrallah akan diadili. Junbalat dan kroni-kroninya berkata bahwa perang tidak akan berakhir sampai Hizbullah berhasil dilucuti senjatanya. Tidak itu saja, menteri dalam negeri Lebanon pun ikut mencatut dirinya sebagai boneka Israel dengan statementnya bahwa perang akan berakhir bila Hizbullah telah dilucuti senjatanya.

Perang selesai. Kelompok-kelompok ini mulai bersikap defensif dan berusaha sebisa mungkin untuk tetap menjaga posisinya. Sayyid Hasan Nasrallah dengan akhlaknya yang khas berbicara kepada seluruh rakyat Lebanon bahwa Hizbullah adalah pemenang perang 33 hari. Dan kepada musuh-musuh dalam selimut ia menjamin bahwa Hizbullah tidak akan membalas dendam. Oleh karenanya sekarang mereka berusaha lewat undang-undang untuk melucuti senjata Hizbullah. Setelah gencatan senjata dan pasukan perdamaian PBB telah diturunkan di kawasan Lebanon Selatan, mereka akan melucuti senjata Hizbullah. Dan sesuai dengan pasal 7 dari draf resolusi PBB, pasukan perdamaian PBB berhak untuk menyerang Hizbullah.

Hizbullah tidak menyetujui pasal ini dan Hizbullah juga punya hak untuk menyerang pasukan perdamaian PBB. Hizbullah bersikeras landasan hukum pasukan keamanan PBB dengan pasal 6 baru resolusi itu diterima. Amerika akhirnya menerima usulan Hizbullah. Sesuai dengan pasal 6 pasukan PBB tidak punya hak untuk ikut campur dan hanya berhak untuk mencegah.

Dengan dasar ini, 15 ribu pasukan perdamaian PBB memasuki Lebanon Selatan disertai dengan 15 ribu pasukan Lebanon. Kelompok “Yahudi Dalam” membayangkan bahwa 30 ribu pasukan dapat melucuti senjata Hizbullah bila presiden panglima angkatan bersenjata diganti.

Melihat rencana ini, Hizbullah cepat-cepat melakukan manuver untuk mencegah terjadinya perang dalam negeri yang lebih dahsyat. Untuk itu diumumkan bahwa harus terjadi perombakan kabinet. Hizbullah dan kelompok-kelompok yang pro dengan mereka harus memegang sekurang-kurangnya sepertiga dan ditambah satu kursi salah satu dari menteri di parlemen. Dengan ini diharapkan secara langsung undang-undang kabinet tidak dapat memutuskan untuk melucuti senjata Hizbullah.

Kelompok-kelompok “Yahudi Dalam” saat ini tidak setuju dengan usulan Hizbullah. Mereka tidak mau dibentuknya sebuah kabinet persatuan. Hizbullah melancarkan rencana keduanya dengan mengajak rakyat turun ke jalan dan meminta pemerintah turun. Dan ini berhasil –karena Hizbullah adalah rakyat Libanon itu sendiri, baik yang muslim maupun yang non-muslim bersama-sama mengidentikkan dirinya sebagai bagian dari Hizbullah. 



Perempuan-Perempuan Perkasa dari Kobani

Ketika perempuan-perempuan Kurdi-Kobani berjuang melawan ISIS Ciptaan MOSSAD-Israel, Inggris, dan CIA-Amerika, ISIS yang didukung secara patungan oleh Amerika, Israel, Rezim Saud, Turki dkk. 
(Qassem Soleimani, Sang Nemesis dari Iran)

Posisi dan Dilema Pers


Radar Banten, 27 November 2014

“Jurnalisme hadir untuk membangun masyarakat. Jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga Negara” (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel). “Kebebasan pers bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk menciptakan masyarakat yang bebas. Cakupan dan hakikat jaminan konstitusional terhadap kebebasan pers harus dipahami dalam kerangka tersebut” (Felix Frankfurter).

Untuk memulai tulisan ini, kita pertama-tama cukup tepat untuk mengajukan pertanyaan: kepada siapakah pers dan para jurnalis mengabdi? Jawabnya, sebagaimana telah kita maphumi bersama, tentu saja adalah kepada publik –atau katakanlah kepada masyarakat para pembacanya. Dalam hal ini, pers pada dasarnya adalah institusi yang menjadi “jembatan” ragam minat dan kepentingan, dan karenanya kerja tinta pers memang didasarkan pada “objektivitas” dan “kebenaran” yang akan turut membentuk sehat dan tidaknya, maju atau mundurnya sebuah masyarakat. Di sini, pers sebenarnya memiliki fungsi dan posisi sebagai “penyuluh” dan “agen pencerahan” masyarakat, persis seperti yang pernah dikatakan Bill Kovach, sang bapak jurnalisme dunia itu, bahwa “semakin bermutu dan berkualitas jurnalisme di dalam suatu masyarakat, maka semakin bermutu dan berkualitas pula informasi yang didapat masyarakat”.

Meskipun demikian, yang juga tak teringkari, di tengah hiruk-pikuk dunia pasar dan kapitalisme saat ini yang tak imun dari ragam interest atau kepentingan, fungsi dan posisi pers atau kaum jurnalis tak selamanya se-ideal yang dikatakan Bill Kovach tersebut. Acapkali sejumlah media dan institusi pers di jaman ini tak sanggup mengelak dari “keinginan” pihak-pihak tertentu yang memiliki “kepentingan subjektif”. Juga, tak bisa diingkari, di jaman ini, ada banyak media dan institusi pers yang memang milik pribadi, kelompok, komunitas tertentu, partai politik, perusahaan dan lain sebagainya, yang lebih merupakan “corong” untuk menyuarakan kepentingan mereka masing-masing.

Namun, tepat di sini-lah, kehadiran institusi-institusi pers dan media yang “mengabdikan” dirinya bagi bangsa dan masyarakat pembacanya tersebut akan memiliki posisi dan fungsi yang seksi dan elegan, singkatnya fungsi yang mulia dan menjadi jembatan bagi hadirnya pencerahan, objektivitas, dan akhirnya memberikan kontribusi bagi kesehatan sebuah masyarakat karena netralitas-nya tersebut. Pada konteks ini, pers dan kaum jurnalis sebenarnya juga menempati posisi sebagai “pengayom” dan “pendidik” masyarakat pembacanya, “menyuguhkan” informasi-informasi serta ulasan-ulasan atau pun opini-opini yang sehat dan bahkan mencerahkan.

Posisi dan fungsi strategis media dan atau pers dan atau kaum jurnalis ini tak lain karena “kerja tinta” mereka acapkali menjadi acuan bagi lahirnya suatu pandangan di dalam masyarakat dan bahkan akan menentukan dan menggiring kebijakan atau keputusan politis seperti apa di kalangan para pemimpin dan para birokrat. Dan posisi serta fungsi ini tentu saja bukan posisi dan fungsi remeh yang harus dianggap sepele begitu saja. Sementara itu, meski juga mengalami dilema yang tak jauh berbeda, sebagaimana dikemukakan Bagir Manan (2012), kaum jurnalis sudah selayaknya mematuhi kode etik yang mengikat wartawan atau jurnalis, semisal: bahwa seorang jurnalis sudah semestinya menulis dan memberikan suatu berita atau informasi yang faktual dan dapat dibuktikan, alias berdasarkan fakta dan bukan fiksi belaka, dan juga wajib menjunjung tinggi independensi, sehingga tidak menimbulkan “penyesatan” atau dis-informasi di kalangan masyarakat pembacanya.

Dan persis inilah yang disebut oleh Bagir Manan sebagai jurnalis yang merdeka, dalam arti jurnalis yang bertanggungjawab, sebab banyak yang keliru memahami kebebasan ketika sejumlah oknum mengabaikan responsibility (tanggungjawab) ini, hingga banyak yang merasa bebas melakukan apa saja atau menulis apa saja, tetapi tidak merdeka dan tidak memiliki spirit orang yang merdeka atau orang yang bertanggungjawab, sehingga banyak yang terjerembab dalam apa yang lazim kita sebut sebagai fenomena “kebablasan”.

Rasanya, dengan tulisan ini, sekedar sebagai pengingat kembali, tak salah jika kita merenungkan lagi sembilan elemen jurnalisme sebagaimana yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yaitu: Pertama, kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran. Kedua, loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara. Ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Keempat, jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya. Kelima, jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Keenam, jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi. Ketujuh, jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan. Kedelapan, jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional. Dan akhirnya, kesembilan, jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya (atau suara kejujuran batinnya).

Tak ragu lagi, seperti dapat kita baca dan kita cermati bersama, sembilan elemen jurnalisme yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tersebut sesungguhnya telah merangkum sekaligus menjabarkan posisi dan fungsi institusi pers dan kaum jurnalis, dan juga menerangkan bagaimana kerja dan metode jurnalisme itu sendiri seyogyanya dilaksanakan dan diselenggarakan oleh pers atau media dan jurnalis untuk mencapai kebajikan dan kebaikan bersama, yaitu kebaikan dan kebajikan bagi seluruh unsur dan elemen masyarakat itu sendiri, yakni insitusi pers atau media dan kaum jurnalis dan publik pembacanya. Sungguh ini sebuah fungsi dan posisi yang sebenarnya mendekati “maqan profetik”, fungsi dan posisi yang begitu mulia.

Dan sebelum mengakhiri tulisan ini, barangkali kita perlu merenungkan apa yang pernah dikemukakan Eugene Meyer, ketika ia menggambarkan komitmen dan dedikasi dirinya sebagai jurnalis pada institusi pers atau media tempat ia bekerja dan mengabdi, saat ia dengan lantang menyatakan keberpihakannya kepada publik pembacanya itu: “Dalam mengejar kebenaran, surat kabar ini siap berjuang demi kemaslahatan publik”.

Sulaiman Djaya 


Indonesian Soldiers. 
Iran Airforce. 
Iran Marines. 

Ketika Do’a Muslim Syi’ah Iran Senantiasa Mustajab


Ali Kadhim yang merupakan perajurit Iraq yang ketika perang Iran-Irak membunuh lebih dari 500 pasukan Iran menceritakan tentang kejadian yang dialaminya dalam peperangan. Dia berkata: "Para syuhada Iran adalah orang-orang yang doa-doanya terkabulkan. Di akhir-akhir perang aku tertembak dan darah telah banyak keluar dari tubuhku. Pasukan Iran menyisir daerah yang aku tempati, aku melihat ada seorang prajurit Iran menuju kepadaku, aku pun menahan nafas agar dia tidak mengira bahwa aku masih hidup. Akan tetapi ketika dia membalikku tiba-tiba nafasku terbuka dan dia mengetahui bahwa aku masih hidup. Kemudian dia duduk di hadapanku, aku pun dengan cepat menunjukkan pakaianku kepadanya tanda bahwa aku adalah seorang tawanan. Ternyata dia bisa berbahasa Arab, dia dari daerah Khuzestan. Dia bertanya: "Namamu siapa?" Aku menjawab: "Ali, Ali Kadhim". Dia berkata: "Namamu Ali, akan tetapi kamu memerangi kami?" "Apakah kamu Syi’ah?" Aku menjawab: "Iya aku Syi’ah". Dia bertanya: "Rumah mu dimana?". "Najaf", jawabku.

Begitu aku menjawab Najaf dia semakin tersentak dan menangis kemudian bertanya: "Di bagian mana Najaf?" Aku menjawabnya: "Di gang yang ujungnya berhadapan dengan makam Imam ali as." Aku melihat dia semakin larut dalam menangis kemudian dia berkata: "Namamu Ali, kamu Syi’ah, dan tinggal bersebelahan dengan makam Imam Ali as yang merupakan kecintaan kami, masyarakat dan bangsa Iran, kemudian kamu memerangi kami??!" Aku pun menundukkan kepalaku, tetapi pada waktu itu aku tetap tidak bertobat, kemudian dia berkata: "Kamu tahu keinginanku apa?" Aku jawab :"Tidak". Dia berkata: "Aku ingin syahid, dan seperti budaya kalian, jasadku dikelilingkan di Makam Imam Ali as, kemudian aku dimakamkan di depan makam beliau as."

Kemudian bajuku yang ada di tanganku diambilnya dan dipakainya. Kemudian sambil menangis dia berkata: "Pergilah, kamu bebas", aku bertanya: "Kenapa?" Dia menjawab: "Karena kamu Syi'ah dan namamu Ali, pergilah". Aku pun berdiri dan pergi menjauhinya, sambil berlari aku melihatnya tetap menangis. Kemudian aku terjatuh tak sadarkan diri. Ketika aku membuka mataku aku sudah berada di rumah sakit dan semua keluarga telah berkumpul mengelilingiku. Ayahku berkata: "Ali, kamu masih hidup?" Aku jawab: "Iya", dengan heran aku bertanya: "Kenapa?" Ayahku berkata: "Kami telah memakamkanmu." Dia lebih lanjut menjelaskan: "Kemarin ada satu jenazah yang wajahnya tidak dapat dikenali akan tetapi memakai pakaianmu dan di dalam sakunya ada inisial namamu, maka kami pun sesuai adat membawanya ke makam Imam Ali as dan mengelilingkannya di makam Imam Ali as dan kami makamkan di pekuburan yang tepat menghadap makam Imam Ali as." Aku pun menangis dengan keras, kemudian aku turun dari tempat tidurku dan sujud sambil berkata: "Ya Allah siapa sebenarnya mereka yang aku bunuh? Apakah aku pantas mendapat laknatMu, ya Allah apakah taubatku masih Engkau terima?” 


 
 

Hikmah Abadi Syahadah Imam Husain


Halaman-halaman berikut adalah catatan dari pidato yang saya sampaikan di London pada Majlis Ashura pada hari Kamis 28 Mei, 1931 (Muharram 1350 H), di Hotel Waldorf. Catatan tersebut telah dikoreksi seperlunya dan sedikit diperluas. Majlis tersebut merupakan peringatan besar, yang dihadiri atas undangan dari Mr A.S M. Anik. Nawab Sir Umar Hayat Khan, Tiwana, para ketua dan anggota semua kelompok mazhab Islam, juga yang bukan Muslim, datang dengan penuh antusias dalam rangka menghormati peringatan Syuhada Agung Islam. Dengan menerbitkan dalam seri edaran Progressive Islam, diharapkan catatan ini bisa menjangkau publik yang lebih luas, tidak hanya para hadirin. Diharapkan juga, ini akan membantu memperkuat ikatan persaudaraan yang mempersatukan semua yang menginginkan persaudaraan sejati yang dianjurkan oleh Nabi pada khutbah terakhir beliau.

Oleh Abdullah Yusuf Ali

Kesedihan Sebagai Ikatan Persatuan

Saya akan berbicara pada siang hari ini tentang topik yang sangat serius, kesyahidan Imam Husain di Karbala, yang sedang kita peringati sekarang ini. Sebagaimana ketua majlis telah ungkapkan dengan tepat, peristiwa itu merupakan salah satu saat yang menakjubkan dalam sejarah agama kita, yang disepakati semua mazhab. Lebih dari itu, di ruangan ini saya mendapatkan kehormatan untuk berbicara kepada beberapa orang dari agama yang berbeda, tetapi saya memberanikan diri untuk berfikir bahwa pandangan yang akan saya kedepankan hari ini mungkin akan membuat mereka tertarik dari kepentingan aspek sejarah, moral dan spiritual. Sungguh, ketika kita melihat latar belakang dari tragedi besar tersebut dan semua yang terjadi pada 1289 tahun komariah yang lewat, kita tidak bisa memungkiri bahwa beberapa peristiwa menyedihkan dan kematian adalah hal-hal yang bisa membawa, atau mengarahkan kita kepada persatuan kemanusiaan.

Bagaimana Kesyahidan Menyembuhkan Perpecahan

Ketika kita mengundang orang tak dikenal atau tamu dan menerima mereka sebagai bagian dari keluarga, itu berarti menunjukkan besarnya keramahan kita kepada mereka. Peristiwa yang akan saya jelaskan merujuk kepada beberapa peristiwa yang menyentuh perasaan dalam aspek spiritual dari sejarah kita . Kita meminta saudara kita dari agama lain untuk hadir dan berbagi pemikiran yang terungkap dari peristiwa tersebut. Sesungguhnya, semua pemerhati sejarah mengakui bahwa horor yang terjadi pada peristiwa besar Karbala bahkan lebih bisa, dibanding cara lain, mempersatukan bermacam faksi yang bertikai pada periode awal sejarah Islam itu. Ada ungkapan lama Persia untuk menghormati Nabi:

“Tu barae wasl kardan amadi; Ni barae fasl kardan amadi” (Engkau datang untuk mempersatukan dunia, bukan memecahbelah).

Pernyataan ini telah diteladankan dengan indah oleh kesedihan, penderitaan dan akhirnya kesyahidan Imam Husain.

Peringatan Kemuliaan

Ada kecenderungan dalam sejarah kita untuk merayakan peristiwa dengan menangis dan meratap atau kadang dengan simbol seperti Tazia di India – beberapa orang menyebutnya Taboot (peringatan kesedihan dengan menyakiti badan). Simbolisme atau lambang yang nyata kadang berguna pada situasi tertentu untuk pengkristalan ide. Tapi saya pikir Muslim di India sekarang ini lebih siap untuk mengadopsi bentuk perayaan kesyahidan yang lebih efektip dengan merenungkan kemuliaan dari para syuhada, mencoba mengerti intisari dari peristiwa yang terjadi, dan mengambil pelajaran moral dan spiritual yang didapat untuk kehidupannya sendiri. Dari titik pandang itu saya pikir anda sepakat bahwa adalah bagus kita bisa duduk bersama, bahkan dari agama yang beda, dan mempelajari peristiwa besar sejarah dimana diteladankan kemuliaan yang menggetarkan jiwa seperti mereka yang teguh iman, yang keberaniannya bergeming, yang berfikir untuk kepentingan orang lain, yang rela mengorbankan diri, yang penuh ketabahan dalam kebenaran dan yang tidak gentar memerangi kebatilan. Islam punya catatan sejarah yang memperlihatkan keintiman yang indah, dengan penderitaan, dengan perjuangan spiritual yang tak ada bandingannya. Catatan sejarah yang sangat berharga tersebut, saya sesalkan, sering terlupakan. Sangatlah penting sekali untuk memberi perhatian kepada catatan sejarah itu, perhatian yang terus menerus, perhatian dari orang-orang kita sendiri, juga perhatian dari mereka yang tertarik dengan kebenaran sejarah dan agama. Jika ada yang bernilai dalam sejarah Islam itu bukanlah perang, atau politik, atau ekspansi yang brilian, atau penaklukan yang agung atau bahkan intelektualitas yang dicapai orang dahulu dan diturunkan kepada kita. Dalam segi ini, sejarah kita, seperti sejarah yang lain, punya kecemerlangan dan kegelapan. Apa yang perlu ditekankan adalah semangat persatuan dalam persaudaraan dari keberanian yang bergeming dalam kehidupan moral dan spiritual.

Rencana Pembahasan

Saya mengusulkan pertama-tama membahas latar belakang geografis dan sejarah. Kemudian secara singkat peristiwa aktual yang terjadi pada bulan Muharam dan akhirnya memberikan perhatian pada pelajaran agung yang bisa kita pelajari dari peristiwa itu.

Gambaran Geografis

Dalam rangka menjelaskan gambaran geografis diseputar tempat dimana tragedi besar ini terjadi, saya merasa beruntung punya ingatan pribadi tentang hal itu. Mereka membuat gambaran yang jelas di benak saya dan mungkin bisa membantu anda memahami. Ketika saya mengunjungi tempat-tempat itu pada tahun 1928, saya ingat saya datang dari Baghdad ke seluruh tempat yang dilewati oleh sungai Euphrat. Saat saya menyeberang sungai dengan perahu di Al-Musaiyib pada pagi yang cerah di bulan April, benak saya meloncat ke abad-abad yang lewat. Di sisi kiri aliran sungai anda mendapatkan tanah kuno klasik dari sejarah Babilonia, stasiun kereta Hilla, reruntuhan kota Babilon, menyaksikan salah satu peradaban kuno yang besar. Gambaran yang dikaburkan debu bahwa hanya pada tahun-tahun terakhir kita mulai menyadari kebesaran dan keagungannya. Lalu anda mendapatkan sistem aliran sungai besar Eufrat, dinamai Furat, sebuah sungai yang tiada bandingnya. Sumber air yang berhulu dari berbagai tempat di pegunungan Armenia Timur, mengalir kebawah meliuk-liuk melewati daerah perbukitan, dan akhirnya melingkari sisi gurun pasir, seperti yang kita ketahui sekarang. Disetiap tempat sungai bercabang atau terhubung dengan kanal, sungai itu merubah gurun menjadi daerah perkebunan buah-buahan, yang dalam ungkapan lukisan, telah membuat gurun mekar seperti mawar. Aliran ini melingkari sisi Timur gurun Suriah dan mengalir ke daerah rawa. Di bagian yang tidak jauh dari Karbala sendiri terdapat danau-danau yang menampung airnya dan menjadi sumber-air untuk keperluan hidup. Kebawah lagi sungai ini bersatu dengan sungai lainnya, yaitu Tigris, dan gabungan aliran sungai ini dikenal sebagai Shatt-al-Arab yang mengalir ke Teluk Persia.

Air Melimpah Dan Tragedi Kehausan

Dari jaman dahulu bagian bawah Eufrat ini adalan perkebunan. Bayi dari peradaban awal, tempat pertemuan antara orang Sumeria dan Arab, dan kemudian antara orang Persia dan Arab. Tempat yang subur, pengairan yang bagus dengan pohon-pohon korma dan delima. Perkebunan penuh buah-buahan yang hasilnya dikirim ke kota-kota padat penduduk dan kegenitannya menarik Arab nomaden dari gurun dengan ternak gembalaannya. Sangatlah tragis bahwa di bagian batas dari tempat air melimpah, telah terjadi tragedi terhadap orang orang mulia yang kehausan dan dibantai karena menolak tunduk kepada kekuatan batil. Kata-kata penyair Inggris: ”Air, Air dimana-mana tapi tiada setetes minuman.” membantu gambaran anda tentang daerah perbatasan antara air melimpah dan tanah yang tandus ini.

Karbala dan Kubahnya Yang Besar

Saya masih ingat suasananya ketika saya mendekati Karbala dari arah Timur. Sinar mentari pagi menyinari Gumbaz-i-Faiz, kubah besar yang memahkotai bangunan tempat makam Imam Husain. Karbala sebenarnya terletak pada salah satu rute kafilah besar yang melintasi gurun. Kota sungai Kufa sekarang, yang dahulu pernah jadi ibukota kekhalifahan, hanyalah sebuah dusun kecil dan kota Najaf terkenal dengan makam Imam Ali, tapi kecil nilai komersilnya. Karbala, terletak di batas gurun, adalah sebuah pasar dan tempat pertemuan juga tempat ziarah suci. Tempat ini merupakan pelabuhan di gurun, mirip seperti Basra, yang terletak ke bawah lagi, yang merupakan pelabuhan di Teluk Persia. Jalan ke petirahan (mausoleum) terawat dengan indah, dan dilewati peziarah sepanjang tahun dari seluruh dunia. Lantai yang tersusun penuh warna menghiasi bangunan. Ke bagian dalam, di langit-langit dan bagian atas dinding, dipenuhi mosaik kaca. Kaca yang menangkap dan memantulkan cahaya. Pantulan cahaya yang menyorot dikombinasikan dengan ketenangan bangunan tertutup. Makamnya sendiri seperti pagar bergaris-garis, dan dibawah permukaannya ada bentuk gua, tempat dimana Syuhada menemui kesyahidan. Kota Najaf terletak sekitar 40 mil ke arah Selatan, dengan makam Imam Ali di lantai yang tinggi. Anda bisa melihat kubah emas dari jarak bermil-mil. Hanya empat mil dari Najaf dan terhubung dengan jalur trem, adalah reruntuhan kota Kufah. Mesjidnya besar tapi jarang dipergunakan. Kubah biru dan Mihrab dengan lantai keramik menjadi saksi kebesaran tempat ini pada jaman dahulu.

Kota-Kota Dan Kebudayaannya

Bangunan-bangunan di Kufa dan Basra, dua tempat dari Kerajaan Islam pada tahun ke 16 Hijriah, adalah simbol nyata bagaimana Islam memperlihatkan kekuasaannya dan membangun peradaban, tidak hanya dari aspek militer, tapi bidang moral dan sosial dan bidang ilmu pengetahuan dan seni. Kota-kota kuno yang merosot tidak mengisi sistem nilainya, kecuali dengan kekunoan dan kemerosotan yang tergantikan. Tidak juga diisi oleh sistem nilai pada awal kota terbentuk. Sistem nilai itu akan selalu dinilai, diuji, dibuang dan diperbaharui oleh karya tangannya sendiri. Selalu ada pihak yang bertahan dengan sistem nilai kuno, seperti kota Damaskus misalnya, yang mencintai kemudahan hidup dan jalan yang sedikit tantangan. Tetapi jiwa-jiwa yang besar berkembang mencapai gagasan-gagasan baru, juga tempat-tempat baru. Mereka merasakan bahwa sistem nilai lama penuh dengan kebusukan yang membahayakan untuk meraih nilai kehidupan yang lebih tinggi. Bentrokan diantara sistem nilai ini adalah bagian dari tragedi Karbala. Di balik bangunan kota-kota baru ini sering lahir pengembangan gagasan-gagasan baru. Mari kita perhatikan permasalahannya lebih rinci lagi. Akan terungkap dan mengalir keluar bagian menarik dari sejarah yang tersembunyi.

Perkembangan Kota Mekah dan Madinah

Kota-kota besar Islam pada kelahirannya adalah Mekah dan Madinah. Kota Mekah, pusat ziarah Arab kuno tempat lahir Nabi, menolak ajaran Nabi dan mengusirnya keluar. Sistem pemujaannya sudah merosot, sistem kesukuan yang eksklusif sudah merosot, kegarangannya terhadap Guru dari Cahaya Baru sudah merosot. Nabu mengibas debu di kakinya dan pergi ke Madinah. Kota itu adalah Yastrib, dengan air melimpah dan dengan populasi Yahudi yang cukup besar. Kota itu menerima Nabi dengan antusiasme terhadap ajaran Nabi, dan memberikan perlindungan kepadanya dan sahabatnya (Muhajirin) dan penolongnya (Anshar). Nabi mereformasi dan menamakannya Kota Cahaya baru. Mekah, dengan pemujaan kuno dan kepercayaan kuno, mencoba menaklukan Cahaya baru ini dan menghancurkannya. Jumlah orang Mekah lebih banyak. Tetapi rencana Tuhan memenangkan Cahaya dan menaklukkan Mekah kuno. Nabi membangun sambil menghancurkan bentuk pemujaan kuno, dan menyalakan mercusuar baru di Mekah – mercusuar dari persatuan Arab dan persaudaraan manusia. Saat Nabi wafat, semangatnya tetap tinggal. Semangat yang menginspirasikan masyarakatnya dan membuat kemenangan demi kemenangan. Ketika kemenangan moral atau spiritual dan materi jalan bersamaan, semangat kemanusiaan ikut berkembang. Tetapi kadang ada kemenangan materi dengan kejatuhan spiritual, dan kadang ada kemenangan spiritual dengan kejatuhan materi, dan kemudian terjadilah tragedi.

Semangat Damaskus

Perkembangan Islam pertama adalah ke arah Suriah, dimana kekuasaan terpusat di kota Damaskus. Diantara kota yang ada, mungkin kota ini tertua di dunia. Pasarnya ditumpahi oleh orang-orang dari seluruh bangsa dan kemewahan dari segala bangsa ada disini. Jika anda datang ke arah Barat dari gurun Suriah, seperti yang saya lakukan, akan merasakan perbedaan yang jelas, perbedaan negara dan orang-orangnya. Dari pasir gurun kering anda datang ke mata air, kebun-kebun anggur, anggrek dan bising kota. Dari Arab yang sederhana, kekar, merdeka dan jujur anda datang ke Suriah yang lembut, mewah dan rumit. Perbedaan ini dipaksakan kepada kaum muslim ketika Damaskus menjadi kota Islam. Mereka ada dalam atmosfir yang beda. Beberapa larut dalam pengaruh lembut dari ambisi, kemewahan, kebanggaan ras, cinta kemudahan dan sebagainya. Islam selalu berdiri sebagai juara kemuliaan moral yang tegas. Dia tidak berkompromi dengan kejahatan dalam berbagai bentuk, dengan kemewahan, dengan kemalasan, dengan kegenitan duniawi. Dia menolak diri dari hal-hal tersebut. Walaupun begitu orang yang seharusnya berbuat begitu, menjadi lembek di Damaskus. Mereka meniru pangeran dunia yang merosot dibanding bertahan menjadi pemimpin pemikiran spiritual. Disiplin dikendurkan dan gubernur berambisi menjadi lebih besar daripada Khalifah. Hal ini melahirkan buah pahit di kemudian hari.

Tipuan-Tipuan Kekayaan

Sementara itu Persia masuk ke dalam kekuasaan Muslim. Ketika Medain dikuasai di tahun 16 Hijriah, pertempuran Jalula menghancurkan pertahanan Persia, pampasan perang dibawa ke Madinah- permata, mutiara, rubi, berlian, pedang emas dan perak. Perayaan besar diadakan untuk menghormati kemenangan besar dan pahlawan-pahlawan tentara Arab. Di tengah perayaan mereka menemukan Khalifah sedang menangis. Seseorang bertanya kepadanya, ”Apa! Waktu bergembira dan engkau menangis?” ”Ya.”, ujarnya ”Aku meramalkan kekayaan akan menjadi tipuan, sumber keduniawian dan dengki, dan akhirnya malapetaka pada rakyatku.” Karena Arab menghargai, diatas segalanya, kesederhanaan hidup, keterbukaan, dan keberanian di depan bahaya. Wanitanya bertempur bersama mereka dan berbagi bahaya. Mereka bukan makhluk yang terpenjara oleh kesenangan indrawi. Mereka menunjukkan kegagahan pada ronde awal pertempuran di daerah kepala Teluk Persia. Ketika tertekan, wanita mereka membalikkan keadaan. Mereka membuat kerudung menjadi bendera dan ikut berbaris dalam barisan tempur. Lawan salah menafsirkan dan menganggapnya sebagai bantuan pasukan baru dan meninggalkan pertempuran. Kemudian kekalahan yang menghampiri berbalik menjadi kemenangan.

Basra dan Kufah: Perencanaan Kota

Di Mesopotamia muslimin tidak membuat basis kekuasaannya pada kota-kota Persia kuno dan merosot, tetapi membangun tempat baru untuk mereka. Pertama kali dibangun adalah Basra di daerah kepala Teluk Persia, di tahun 17 Hijriah. Dan menjadi Kota Besar! Bukan kebesaran dalam perang dan penaklukan, bukan pula dalam perdagangan dan jual beli, tetapi dalam pengetahuan dan kebudayaan pada puncaknya; tapi sayangnya ! Juga kebesaran dalam semangat perpecahan dan kemerosotan pada hari-hari buruknya ! Tetapi juga situasi dan iklimnya tidak cocok sama sekali untuk karakter Arab. Kota ini rendah, lembab dan melelahkan. Di tahun yang sama orang Arab membangun kota lain dekat Teluk dan berfungsi sebagai pelabuhan di gurun, sama seperti Karbala di kemudian hari. Kota ini adalah Kufah, dibangun pada tahun yang sama seperti Basra, tapi dengan iklim yang lebih segar. Kota ini merupakan kota ekperimen pertama kali yang dibangun dengan perencanaan dalam pemerintahan Islam. Di pusat kota ada kompleks untuk mesjid besar. Kompleks ini dikitari dengan jalan-jalan yang sejuk karena ditutupi bayangan. Kompleks lain dibuat terpisah khusus untuk lalu lintas perdagangan. Jalan-jalan lurus saling bersimpangan dan lebar jalan dibuat sama. Jalan umum utama untuk lalu lintas (jangan bayangkan seperti lalu lintas di Charing Cross, Inggris) dibuat dengan lebar 60 kaki, jalan yang lebih kecil lebarnya 30 kaki, dan bahkan ada jalur kecil untuk pejalan kaki yang diatur sebesar 10.5 kaki. Kufa merupakan pusat pencerahan dan belajar. Imam Ali tinggal dan wafat disana.

Saingan dan Racun Damaskus

Tetapi saingannya, kota Damaskus, ditambunkan oleh kemewahan dan kebesaran Byzantium. Kejayaan yang keropos menggantikan dasar-dasar kesetiaan dan kemuliaan militer. Racun itu menyebar ke seluruh dunia Islam. Gubernur ingin menjadi raja. Kemegahan dan cinta diri, kemudahan dan kemalasan dan foya foya tumbuh sebagai kanker; anggur dan minuman keras, skeptisisme, sinisme dan penyakit sosial menjadi ganas sampai-sampai manusia-manusia Tuhan ditenggelamkan oleh pelecehan. Mekah, yang menjadi simbol pusat spiritual, diabaikan dan dilecehkan. Damaskus dan Suriah menjadi pusat keduniawian dan kesombongan yang memotong akar-akar Islam.

Husain Yang Benar Menolak Tunduk Kepada Keduniawian Dan Kekuasaan

Kita telah memasuki cerita pada tahun 60 Hijriah. Yazid memegang kekuasaan di Damaskus. Dia tidak peduli kepada kesucian manusia. Dia bahkan tidak tertarik pada masalah sehari-hari pemerintahan. Kesukaannya adalah berburu dan dia haus kuasa untuk kebanggaan diri. Disiplin dan penjagaan diri, keteguhan iman dan perjuangan, kemerdekaan dan persamaan sosial yang menjadi motif dasar kekuatan Islam telah dipisahkan dari kekuasaan. Mahkota Damaskus menjadi mahkota keduniawian yang didasarkan kepentingan diri pribadi dan kebesaran keluarga, menggantikan pemerintahan spiritual dengan rasa tanggungjawab ilahiah. Ada satu orang yang bisa melawan arus. Dia adalah Imam Husain. Cucu Nabi ini, berbicara tanpa takut, karena takut adalah hal asing baginya. Tetapi hidup yang bersih dan tak ternoda ini dengan kesuciannya menjadi kehinaan bagi yang punya standar lain. Mereka berupaya membuatnya tutup mulut, tapi dia tidak tutup mulut. Mereka berusaha menyuapnya, tapi dia tidak bisa disuap. Mereka berupaya memperdaya dengan menawarkan kekuasaan. Lebih jauh lagi, mereka menginginkannya mengakui kekuasaan tiran dan mendukungnya. Karena mereka tahu bahwa nurani orang bisa bangkit suatu saat dan menyapu mereka, kecuali jika orang suci ini mendukung cara mereka. Orang suci ini lebih bersiap untuk mati daripada menyerahkan prinsip yang dibelanya.

Bergerak Dari Kota Ke Kota

Madinah merupakan pusat tempat Husain mengajar. Mereka membuat dia tidak dapat tinggal di Madinah. Dia meninggalkan Madinah dan pergi ke Mekah, berharap supaya tidak diganggu. Tetapi dia tetap diganggu. Kekuasaan Suriah menginvasi Mekah. Invasi ini ditentang, bukan oleh Husain, tapi oleh orang lain. Karena Husain, orang paling berani diantara yang berani, tidak punya tentara dan persenjataan. Keberadaannya sendiri sudah menjadi gangguan dimata lawannya. Hidupnya dalam bahaya, dan juga hidup orang-orang dekat dan kerabatnya. Dia punya banyak teman, tapi takut untuk bicara. Mereka tidak seberani Husain. Tapi jauh di Kufah, sekelompok orang berkata:”Kita merasa risih dengan keadaan ini, kita harus mengajak Imam Husain berlindung di tempat kita.” Jadi mereka mengirim orang dan mengundang Imam untuk meninggalkan Mekah, untuk datang ke mereka, tinggal di antara mereka, dan mendapatkan kehormatan untuk menjadi pengajar dan pembimbing. Ingatan kepada ayahnya masih lekat di Kufah. Gubernur Kufah bersikap bersahabat dan penuh hasrat untuk menerimanya. Kufah, 40 mil dari Karbala, adalah alasan dari Tragedi Karbala. Sementara Kufah sekarang memudar, Karbala tetap ada sebagai simbol kenangan abadi dari kesyahidan.

Undangan dari Kufah

Ketika undangan Kufah sampai ke Imam, beliau merenungkannya, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan, dan berkonsultasi dengan sahabat-sahabatnya. Dia mengirim sepupunya Muslim untuk mempelajari situasi langsung di tempatnya dan melaporkan kepadanya. Laporan hasil pengamatannya bagus, dan dia memutuskan untuk pergi. Dia tetap mencium adanya bahaya. Banyak sahabatnya di Mekah menganjurkan untuk membatalkannya. Tapi bisakah dia menggagalkan misinya ketika Kufah memanggilnya? Apakah dia seorang yang bisa dicegah, karena musuhnya telah berkomplot kepadanya, di Damaskus dan di Kufah? Setidaknya, dia disarankan untuk tidak mengajak keluarganya. Tetapi keluarga dan kerabat dekatnya tidak mau mendengar. Mereka adalah keluarga yang solid, terkenal karena kebersihan dari hidup mereka, kebaikan dan kasih sayang mereka. Jika kepala keluarga dalam bahaya, mereka akan membelanya. Imam tidak pergi hanya untuk acara kunjungan. Ada tanggungjawab yang diemban, dan mereka harus bersamanya untuk mendukungnya, tak perduli dengan resiko dan konsekwensi yang dihadapi. Kritik rendahan menganggap ada ambisi politik dari Imam. Tetapi apakah seorang dengan ambisi politik datang tanpa pasukan, melawan sesuatu yang disebut musuh negara, yang telah berniat jahat untuk menaklukannya dengan menggunakan seluruh kemampuannya dalam bidang politik, militer, politik dan finansial terhadapnya?

Perjalanan Melewati Gurun Pasir

Imam Husain meninggalkan Mekah ke Kufah dengan seluruh keluarganya termasuk anak-anaknya. Berita yang datang kemudian membingungkan. Gubernur, yang lebih ramah, telah digantikan dengan yang baru yang lebih kejam dan siap untuk melaksanakan rencana Yazid. Jika Husain jadi pergi, dia harus pergi dengan cepat atau teman-temannya dalam bahaya. Di pihak lain, Mekah sendiri tidak lebih aman untuk dia dan keluarganya. Saat itu bulan September dan tidak ada orang yang bepergian melewati gurun dengan panas seperti itu. Dalam tahun komariah, saat itu adalah bulan haji di Mekah. Tetapi dia tidak berhenti untuk berhaji. Dia jalan terus, dengan keluarga dan kerabatnya, dengan jumlah sekitar 90 sampai 100 orang, terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mereka menempuh 900 mil melewati gurun pasir dalam waktu 3 minggu lebih. Ketika hampir sampai ke Kufah, di batas gurun, mereka bertemu dengan orang Kufah. Saat itulah terdengar berita pembunuhan Muslim, sepupu Husain, yang telah dikirim lebih dahulu. Seorang penyair melukiskan keadaan itu sebagai ”Kota yang hatinya bersamamu tapi pedangnya bersama lawanmu dan permasalahannya ada di tangan Tuhan” Apa yang harus dilakukannya? Mereka sudah melewati tiga minggu perjalanan meninggalkan Mekah. Di kota tujuan, utusan mereka telah dibunuh termasuk anaknya. Mereka tidak tahu situasi kota Kufah. Tetapi mereka memutuskan untuk tidak mengecewakan teman-temannya di Kufah.

Memilih Menyerah Atau Mati

Utusan dari Kufah datang, dan Imam diminta untuk menyerah. Imam Husain menawarkan tiga pilihan. Dia tidak menginginkan kekuasaan atau balas dendam. Dia berkata: ”Aku datang untuk membela orang-orangku. Jika aku terlambat, berikan aku tiga pilihan: Kembali ke Mekah atau menghadapi Yazid sendiri di Damaskus atau jika kehadiranku tidak kau atau dia sukai, aku tidak berniat menyebabkan perpecahan diantara kaum muslimin. Biarkan aku pergi ke tapal batas yang terjauh, jika pertempuran tak terelakkan, aku akan bertempur melawan musuh Islam.” Semua pilihan ini ditolak. Mereka hanya menginginkan untuk menghancurkan hidupnya, atau yang lebih baik, membuatnya menyerah, menyerah kepada kekuatan yang ditentangnya, untuk menyatakan ketaatan kepada mereka yang telah melanggar hukum Tuhan dan manusia, dan untuk mentoleransi semua penyalahgunaan yang merendahkan Islam. Sudah pasti dia tidak akan menyerah. Tapi apa yang harus dilakukannya ? Dia tidak punya pasukan. Dia punya alasan untuk percaya bahwa banyak kawannya dari tempat-tempat jauh akan mendatanginya, datang dan membelanya dengan pedang dan tubuhnya. Tapi waktu sangat penting, dan dia tidak akan mendapatkannya dengan berpura-pura tunduk. Dia berputar ke kiri sedikit, ke arah yang akan mengantarkannya ke Damaskus, tempat Yazid sendiri. Dia berkemah di dataran Karbala.

Pemutusan Sumber Air –Keinginan Teguh, Pengabdian dan Kekesatriaan

Selama sepuluh hari pesan-pesan dikirim bolak-balik antara Karbala dan Kufah. Kufah menginginkannya menyerah dan tunduk. Hal yang tidak bisa dikabulkan Imam. Setiap pilihan lainnya ditolak oleh Kufah, dibawah perintah Damaskus. Sepuluh hari itu adalah sepuluh hari pertama di bulan Muharam, tahun 61 Hijriah. Krisis terakhir terjadi pada hari ke sepuluh, Asyura, yang kita peringati sekarang. Selama tujuh hari pertama berbagai tekanan dialami Imam, tapi keinginannya tetap teguh. Ini bukanlah tentang pertempuran, karena cuma ada 70 laki-laki melawan 4000. Kelompok kecil ini dikelilingi dan dihina, tapi mereka tetap solid sehingga tidak bisa diganggu. Hari ke delapan sumber air di putus. Sungai Eufrat yang melimpah ada dalam jangkauan mata tapi dihalangi untuk mendapatkannya. Kepahlawanan pemuda ditunjukkan untuk memperoleh air. Tantangan bertempur satu lawan satu, sesuai tradisi Arab, ditawarkan. Lawan menjadi ciut, ketika orang-orangnya Imam berkelahi berani mati dan bisa merobohkan mereka. Pada malam hari ke sembilan, anak Imam yang masih kecil sakit. Dia menderita demam dan sangat kehausan. Mereka mencoba mendapatkan setetes air. Tapi ditolak mentah mentah dan kemudian memutuskan, daripada menyerah, bertarung sampai mati. Imam Husain menawarkan orang-orangnya untuk pergi. Dia berkata: ”Mereka mengincarku, keluargaku dan orang-orangku bisa kembali ke Mekah”. Tapi semua orang menolak untuk pergi. Mereka akan bertahan sampai akhir dan memang terjadi. Mereka bukan pengecut, mereka dilahirkan dan dibesarkan untuk bertempur, dan mereka bertempur seperti pahlawan, dengan pengabdian dan kekesatriaan.

Penderitaan Terakhir –Wajah Tenang Manusia Tuhan

Pada hari Asyura, hari kesepuluh, Imam Husain sendiriam dikelilingi musuhnya. Dengan penuh keberanian hingga saat akhir. Dia dengan kejam dibantai. Kepalanya yang suci dipenggal ketika shalat. Pesta kemenangan yang sangat biadab dirayakan di atas mayatnya. Pada saat kritis ini kita tahu rincian kejadian setiap jam. Dia menderita 45 luka dari pedang dan tombak musuh, dan 35 tusukan anak panah. Tangan kirinya dipotong, dan tombak menghujam dadanya. Setelah semua penderitaan ini, kepalanya dipancangkan di tombak, wajahnya penuh ketenangan sebagai manusia Tuhan. Semua laki-laki gagah dari kelompoknya dibunuh dan mayatnya terinjak-injak kaki kuda. Hanya satu laki-laki yang tersisa, Ali anak Husain, dengan panggilan Zainul Abidin – ”Perhiasan Ketaatan”. Dia tinggal dalam keterasingan, belajar, menafsirkan dan mengajarkan prinsip-prinsip ketinggian spiritual yang diperoleh dari ayahnya sepanjang hidupnya.

Kepahlawanan Wanita

Ada contoh keteladanan dari wanita. Dari Zainab saudara dari Imam, Sakina anak perempuan kecilnya dan Sharibanu, istrinya di Karbala. Bertumpuk literatur sastra Islam dipersembahkan, mengabadikan kejadian yang menyentuh hati ini. Bahkan dalam airmata dan dukacita mereka ada kepahlawanan. Mereka meratapkan tragedi itu dalam kesederhanaan, cinta kasih, dan sangat manusiawi. Tetapi mereka juga menyadari kemuliaan dari pengalaman yang dialami sendiri, tentang hidup dalam kebenaran mencapai puncaknya dengan mahkota kesyahidan. Salahsatu penyair terkenal yang mengungkap kejadian ini adalah penyair Urdu, yang tinggal di Lucknow, dan wafat di tahun 1874.

Pelajaran dari Tragedi

Telah dituturkan ceritanya dengan singkat. Apa yang dapat diambil sebagai pelajaran? Tentunya ada penderitaan fisik dalam kesyahidan, dan semua kesedihan dan penderitaan mendapatkan simpati kita, - simpati yang paling dalam, murni dan besar yang kita bisa berikan. Tetapi ada penderitaan yang lebih besar daripada penderitaan fisik. Itu adalah ketika jiwa yang penuh kegagahan bangun melawan dunia; ketika niat yang mulia dilecehkan dan diolok, ketika kebenaran menemui kebuntuan. Bahkan jika sepatah kata penyerahan, sedikit melonggarkan perlawanan, banyak penderitaan dan kesedihan bisa dielakkan; dan tetap kalimat yang hangat tetap dibisikkan: ”Pada akhirnya kebenaran tidak akan bisa musnah”. Ini sangatlah benar. Kebenaran abstrak tidak punah. Itu diluar nalar manusia. Tapi keseluruhan pertempuran dipersembahkan untuk manusia yang berpegang pada kebenaran. Dan hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan keteladanan tinggi- perjuangan spiritual dan bertahan dalam penderitaan untuk keteguhan iman dan tujuan, kesabaran dan keberanian dimana orang biasa akan menyerah atau takluk, pengorbanan kepada tujuan kebenaran dengan mengabaikan konsekwensi yang ada. Para syahid menjadi saksi, dan berhasil, yang pada saat lain disebut kegagalan. Ini terjadi pada Husain. Karena semua orang menjadi tersentuh dengan kasyahidan Husain, dan itu menjadikan kematian politik kepada Damaskus dan semua prinsip-prinsip yang dianutnya. Muharam masih memberikan kekuatan untuk bersatu kepada semua mazhab Islam, dan juga memberikan pesona kekuatan kepada non-muslim.

Pencari Spiritual

Itulah, menurut saya, yang jadi nilai penting utama dari kesyahidan. Semua sejarah manusia menunjukkan semangat kemanusiaan bertahan dalam berbagai bentuk, mendapatkan kekuatan dan ketahanan dari banyak sumber. Tubuh kita, kekuatan fisik kita, telah berkembang dan berevolusi dari bentuk awal, setelah berbagai perjuangan dan kekalahan. Dunia intelektual kita punya cerita kesyahidan sendiri dan para pencari agung intelektual sering pergi dengan semangat kesyahidan. Semua penghormatan untuk mereka. Tetapi kehormatan tertinggi harus dialamatkan kepada para pencari agung dalam spiritualitas, mereka yang menghadapi hal yang menakutkan dan menolak takluk kepada kejahatan. Daripada membiarkan kehinaan dikaitkan dengan kesucian, mereka membayar dengan hidupnya sebagai akibat dari perlawanan. Bentuk pertama perlawanan yang dilakukan Imam adalah ketika dia berjalan dari kota ke kota, diburu dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi tetap tidak berkompromi dengan kejahatan. Kemudian datang pilihan efektif tetapi berbahaya, untuk membersihkan rumah Tuhan, atau hidup penuh kemudahan untuk diri sendiri yang secara tidak langsung akan mengorbankan kawan-kawan seperjuangannya. Dia memilih jalan yang berbahaya dengan pengabdian dan kehormatan, dan tidak goyah menyerahkan nyawanya dan dengan penuh keberanian. Kisahnya memurnikan perasaan kita. Kita memberikan penghormatan terbaik kepadanya dengan menerima pelajaran keberanian dan keteguhan.