DKB, Dilanjutkan atau Dibubarkan?


Berjalan baik atau tidaknya sebuah institusi atau lembaga, biasanya ditentukan oleh beberapa hal:

Ketersediaan sistem dan perangkat lembaga bersangkutan yang memungkinkan orang-orang yang mengelola dan menjalankannya akan berlaku dan bertindak terawasi dan terkontrol, sehingga tidak memberi kesempatan bagi upaya penyimpangan atau misalnya, penggelapan.

Dan jika yang pertama belum memungkinkan, maka kinerja dan berjalan baiknya lembaga akan ditentukan oleh integritas figur atau orang-orang yang mengelola dan menjalankannya.

Jika kita menggunakan dua standar di atas, maka sayangnya Dewan Kesenian Banten (DKB) belum memenuhi standar yang pertama, namun celakanya, juga mengalami ketergelinciran secara organisasi dan kelembagaan, seperti: tidak dijalankannya transparansi dan evalusasi di internal pengurus Dewan Kesenian Banten (DKB), karena transparansi dan evaluasi di internal pengurus Dewan Kesenian Banten (DKB) tidak sejalan dengan laku dan pandangan Ketua Dewan Kesenian Banten (DKB), yaitu saudara Chavchay Syaifullah.

Barangkali pendirian Dewan Kesenian Banten itu sendiri, yang kepengurusannya dilantik pada 30 Oktober 2015 di depan Museum Negeri Banten berdasarkan SK dan oleh Gubernur Banten Rano Karno, adalah tindakan yang terburu-buru, di saat tidak disiapkannya infrastruktur dan suprastruktur kelembagaan dan regulasinya. Hal demikian diperparah dengan kurangnya kejujuran dan integritas Ketua DKB yang dipilih oleh sebagian Tim Pansel yang terdiri dari: Wowok Hesti Prabowo, Gebar Sasmita, Indra Kusuma, Usman C. Noer, dan Trip Ummiuki.

Dari segi kepemimpinan dan keorganisasian, Dewan Kesenian Banten periode ini bisa dibilang sangat buruk dengan tidak jelasnya job description serta pelaporan-pelaporan kegiatan berkala yang seharusnya diberikan dan dilaporkan kepada para pengurus, minimal kepada ketua-ketua komite yang tidak dilakukan, bahkan uang dan dana lembaga pun dipegang dan dikelola Ketua DKB, sehingga kerja dan fungsi beberapa pengurus tidak terberdayakan dan berakibat pada tidak terkontrolnya lalu-lintas pengeluaran dan pemasukan keuangan.

Saya sendiri yang pengurus bukan berdasarkan SK Gubernur dan menggantikan Ketua Komite Sastra yang terpilih berdasarkan SK, lewat pilihan yang dilakukan oleh Tim Pansel, yang mundur di awal perjalanan kepengurusan, bersedia masuk dalam struktur karena alasan dan pertimbangan yang tentu saja tidak dapat saya sampaikan melalui catatan ini.

Jika lembaga kesenian yang bernama Dewan Kesenian Banten ini ingin dilanjutkan, maka alangkah baiknya terebih dahulu dilakukan pembenahan dan upaya serius untuk melengkapi perangkat-perangkat yang belum ada, baik secara infrastruktur maupun suprastruktur penunjangnya, semisal kepastian regulasi yang sifatnya tetap dan mengikat, sehingga ke depan, siapa pun yang menjadi pengurus lembaga ini sudah mendapatkan jaminan penganggaran. Mungkin juga mekanisme pemilihannya perlu ditinjau ulang, seperti contohnya melalui Akademi, bukan lagi melalui Tim Pansel.

Dengan kondisi infrastruktur dan suprastruktur yang sekarang ini, jika tidak dibenahi dan dilengkapi kekurangannya, DKB belum siap untuk menjalankan fungsinya sebagai dewan kesenian yang partisipatif dan berwibawa, meski beberapa orang tampaknya ingin menjadi Ketua DKB, karena motif yang sifatnya politis atau pun kultural, termasuk beberapa ketua komite yang mengundurkan diri dengan ragam alasan, namun tidak mengungkapkan alasan yang sebenarnya dan yang eksplisit itu.

Tidak berjalannya secara ideal Dewan Kesenian Banten yang mestinya berlaku sebagai lembaga kesenian yang humanis dan berbudaya itu, misalnya, ketika Bendahara Umum tidak mengelola keuangan dan diambil-alih oleh Ketua DKB, Sekjend yang hanya diberi tugas menjadi pengambil uang di bank dan lalu uang itu dipegang Ketua DKB, yang bahkan lucunya Ketua DKB sendirilah yang sampai menghandle penyediaan barang-barang kebutuhan program dan event DKB, mungkin karena kebetulan ia sendiri yang mengelola uang.

Namun, jika dibaca sebagai kekeliruan, anggaplah hal itu sebagai kekeliruan kelembagaan dan atau kekeliruan institusional, karena yang semestinya menghandle bidangnya masing-masing pun tidak melakukan protest ketika job descriptionnya diambil-alih oleh Ketua DKB, dan karena itu adalah hal yang tak bisa ditawar lagi bahwa jika Dewan Kesenian Banten ingin dilanjutkan, maka harus ada Bagian Kesekretariatan yang terdiri dari orang-orang dinas yang bertugas untuk menghandle dan mengurusi masalah keuangan dan pelaporan.

Sebab, selama berjalannya Kepengurusan Dewan Kesenian Banten 2015-2018, tidak sekali pun dilakukan pelaporan dan evaluasi kegiatan dan program, sehingga tidak ada yang namanya akuntabilitas dan transparansi di internal pengurus sendiri. Hanya saja, berkat kerja Bendahara Harian, yang itu pun masih mengalami kekurangan dari segi administrasi, catatan riil keuangan Dewan Kesenian Banten tetapi masih ada, bisa dipantau dan dilihat, entah jika mengalami penyimpangan (yang contohnya penggunaan uang lembaga secara pribadi oleh Ketua DKB tanpa sepengetahuan para pengurus seperti untuk biaya menginap istri-istrinya di hotel), yang saya pun baru tahu jelang akhir kepengurusan ketika saya memaksa tahu dari Bendahara Harian.

Contoh lainnya, sekedar menyebut salah-satu event dan program, adalah kejanggalan data pemasukan dan pengeluaran keuangan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), yang kebetulan saya menjadi Ketua SC di program event tersebut, di mana surplus dana pemasukan PPN X Banten 2017 yang nominal surplusnya puluhan juta itu hnya Ketua DKB yang tahu keberadaannya karena uang tersebut, seperti saya bilang, tidak dipegang oleh Bendahara. Selain saya sendiri tidak sejalan dengan Ketua DKB dan sempat mau mengundurkan diri sebagai Ketua SC karena job description saya tidak diberikan kepada saya, jika tak ditahan oleh sejumlah ketua komite ketika karena mereka khawatir pilihan saya tersebut akan menciptakan konflik yang merembet ke pengurus lain.

Saya juga merasa prihatin dengan ketersediaan dana Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X yang berlimpah itu, sejumlah talent dibayar dengan tidak selayaknya.

Masalah dan contoh-contoh yang saya sebutkan di atas tidak boleh dianggap remeh atau terulang lagi, dan karena itulah perlu adanya Bagian Kesekretariatan dalam Struktur Kepengurusan DKB selanjutnya yang bertugas untuk menghandle dan mengurusi masalah keuangan dan pelaporan, sehingga para pengurus hanya tahu merencanakan program dan mengerjakan program jika Dewan Kesenian Banten (DKB) ingin dilanjutkan, kecuali jika DKB yang telah ada ini tidak mau dilanjutkan atau lebih baik dibubarkan jika tidak ada pembenahan, perbaikan, dan upaya untuk melengkapi yang kurang tapi sangat perlu dan dibutuhkan demi menjadikan lembaga kesenian berwibawa dan sehat.

Jika misalnya, ini hanya misalnya saja, sejumlah ketua-ketua komite dan anggota-anggota komite Dewan Kesenian Banten (DKB) memiliki dugaan perihal adanya penggunaan dana DKB untuk kepentingan pribadi Chavchay Syaifullah, yang nominalnya bisa dikatakan cukup besar, memang ada data catatan riil keuangan yang dikerjakan oleh Bendahara Harian yang mengindikasikan hal demikian. Bila benar hal itu, maka tak lain karena tidak adanya transparansi di internal pengurus Dewan Kesenian Banten (DKB), bahkan tidak ada evaluasi dan pelaporan paska setiap program, kegiatan, atau event, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Sehingga, sejumlah ketua-ketua komite dan anggota-anggota komite itu kemudian memilih untuk mengambil keputusan dan sikap mengundurkan diri, meski dengan alasan yang beragam, tetapi sesungguhnya merupakan bentuk ketidakpercayaan kepada saudara Chavchay Syaifullah, yang dipilih sebagai Ketua DKB pada 2015 di sebuah ruang di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (sebelum Kebudayaan menjadi dinas tersendiri) Provinsi Banten oleh sebagian Tim Pansel, yang terdiri dari: Wowok Hesti Prabowo, Indra Kusuma, Usman C. Noer, Gebar Sasmita, dan Trip Ummiuki.

Di sisi lain, memang haruslah diakui pula sejumlah pemasukan dana tidak diberitahukan kepada Bendahara Harian, semisal pemasukan dari Kantor Penghubung untu event dan acara HUT Banten 2017 di TMII yang diketahui Ketua Komite Tari dan Ketua DKB, pemasukan dari Kemendikbud untuk Program Banten Biennale yang juga telah didanai oleh Dana Hibah karena program tersebut merupakan salah-satu item program yang dimasukan dalam ajuan Dana Hibah yang kemudian disetujui, yang diketahui Bendahara Umum, Ketua DKB, dan anggota Komite Seni Rupa berinisial A.H. Atau juga misalnya anggaran dari Kemendikbud untuk Pagelaran Wayang Tavip yang hanya diketahui oleh Ketua DKB. Sungguh kesemrawutan seperti inilah yang sesungguhnya telah menciptakan rasa saling tidak percaya di antara para pengurus, yang intinya karena tidak adanya transparansi karena transparansi dan evaluasi, seperti telah dikatakan sebelumnya, di DKB tidak diinginkan oleh saudara Chavchay Syaifullah.

Adapun masalah pelaporan kepada inspektorat, tentu bisa direkayasa, yang penting sesuai dengan juknis dan mekanisme yang diberikan oleh pihak Kementrian terkait dan pihak Inspektorat sendiri, yang bahkan dalam pengerjaan laporan untuk inspektorat ini sampai melibatkan salah satu istri Chavchay Syaifullah yang biasa dipanggi Lisa, dan jika sesuai dengan juknis serta mekanisme yang demikian, laporan tersebut akan dianggap tak memiliki masalah, meski pada kenyataannya, misalnya, tetap ada penggelapan atau penyimpangan di internal lembaga. Kecuali ditemukan temuan dalam uji petik, barulah semua pelaporan akan diteliti dan diperiksa.

Apa yang saya paparkan itu tak lain sebagai otokritik, bahwa jika Dewan Kesenian Banten (DKB) ingin diteruskan, maka hal-hal yang telah disebutkan itu tidak boleh terulang lagi atau adalah hal yang memalukan jika mengulang kesalahan dan kekeliruan yang sama. Karena itu, lagi-lagi haruslah dikatakan, bahwa Dewan Kesenian Banten perlu pembenahan terlebih dulu jika ingin dilanjutkan, jika tidak dilakukan, maka lebih baik dibubarkan saja. Sebab, apalah martabatnya mengulangi kesalahan dan apalah artinya sebuah Dewan Kesenian Provinsi harus mendanai lembaga-nya dengan mengemis proposal, bukannya diberi regulasi penganggaran.

Setelah mengulas secara sekilas aspek-aspek kekeliruan (buruknya) menajemen dan kurangnya integritas kepemimpinan di Dewan Kesenian Banten Periode Kepengurusan 2015-2018, alangkah baiknya kita sedikit berbicara soal seperti apakah ideal sebuah Dewan Kesenian dalam posisi dan fungsinya sebagai lembaga kebudayaan?

Begini. Dan ini sekedar contoh awal saja. Ada bunyi di SK Gubernur Banten yang ditantadangani Rano Karno pada saat pelantikan Pengurus Dewan Kesenian Banten Periode Kepengurusan 2015-2018 itu, yaitu bahwa Dewan Kesenian Banten adalah mitra pemerintah (Banten) dalam memajukan kebudayaan.

Kata ‘mitra’ di situ sebenarnya bisa ditafsir secara bebas. Ia bisa jadi pelaksana kerja dan program pemerintah (Banten) dalam bidang kebudayaan melalui lembaga (dinas) terkait, yang fungsinya pelaksana kerja dan program kebudayaan. Jika demikian, maka Dewan Kesenian Banten berhak mendapatkan alokasi anggaran dari dinas yang terkait kebudayaan, atau melalui ajuan regulasi anggaran tersendiri.

Yang kedua, mitra di sana juga bisa dipahami bahwa bisa saja Dewan Kesenian Banten merupakan lembaga tersendiri yang terpisah dari dinas yang terkait dengan kebudayaan, yang kemudian ditetapkan pula regulasi penganggarannya. Pilihan yang terakhir ini tentu saja memerlukan upaya politis agar dapat diwujudkan.

Sebab, dalam kenyataannya, selama perjalanan tiga tahun Dewan Kesenian Banten, kata ‘mitra’ itu tak punya makna dan kosong arti belaka, di mana sampai sekelas Dewan Kesenian Provinsi harus membuat dan mengajukan proposal ke lembaga non-pemerintah Banten untuk memiliki program, dan tentu saja, resikonya, sekelas Dewan Kesenian Provinsi pun, mau tak mau ‘menjadi’ mirip lembaga event organizer ketimbang sebagai lembaga penelor kebijakan kebudayaan dan program-program yang sifatnya berkesinambungan dan terarah.

Diakui atau pun tidak, selama 3 tahun tersebut, Dewan Kesenian Banten seperti ‘anak jadah’ yang tak diakui oleh ‘pemerintah’ yang melahirkannya, dan dinas yang terkait kebudayaan pun ‘seperti’ melihat DKB lebih sebagai kompetitor, bukannya sebagai ‘mitra’.

Barangkali karena yang melahirkannya saat itu, dalam arti yang memfasilitasi pembentukan kelembagaan dan pemilihan struktur kepengurusannya, yang melaui Tim Pansel itu, adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sebab saat itu kebudayaan belum digabung ke Dinas Pendidikan seperti sekarang ini. Itu saya rasakan sendiri ketika saya menjalankan program yang tak punya anggaran, yaitu Program Bengkel Seni Budaya (BSB).

Dari sisi anggaran, ada dua sumber utama pendanaan Dewan Kesenian Banten 2015-2018: Dana Hibah Pemerintah Provinsi Banten (awal 2017) senilai 800.000.000 rupiah yang diterima DKB melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan dari Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) yang diterima DKB pada peresmian Kantor Wilayah Banten Bank Indonesia senilai 750.000.000 rupiah yang kemudian diterjemahkan menjadi Program Gerakan Seni Tradisional untuk 50 pentas Seni Tradisional, yang berarti satu pentas senilai 15.000.000 rupiah. Sejumlah program dan event yang menggunakan Dana Hibah adalah: Jambore Seniman Banten, Banten Biennale, Banten Gawe Art #2, BSB 2017, dan Anugerah Seni DKB #2.

Bila dilihat dari program dan event yang dilaksanakan, kegiatan dan program Dewan Kesenian Banten 2015-2018 memang didominasi event dan program yang sifatnya seremonial dan pemanggungan, sehingga belum meng-cover, misalnya, program-program seperti penerbitan, sayembara bertaraf Banten dan Nasional yang seyogyanya diprogramkan masing-masing komite, karena pada kenyataannya haruslah diakui, program per-komite belum ada di DKB periode ini.

Sementara itu, anggaran dan dana dari Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) untuk membiayai 50 pentas Gerakan Seni Tradisional, langsung dipegang dan dikelola oleh Ketua DKB, saudara Chavchay Syaifullah, di mana banyak talent atau grup dan atau komunitas yang hanya diberi 1.500.000 rupiah, 2.000.000 rupiah, 2.500.000 rupiah, 3.000.000 rupiah, dan yang lain ada yang mendapat 5.000.000 rupiah, 8.000.000 rupiah, serta satu komunitas yang mendapat 10.000.000 rupiah.

Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) yang diterjemahkan di lapangan menjadi Program Gerakan Seni Tradisional (GESIT) sempat dihentikan (dipending pencairan dananya) selama satu bulan atas permintaan saudara Sulaiman Djaya (Ketua Komite Sastra saat itu) mengingat perkembangan negatif di internal DKB, sebelum akhirnya jelang akhir Februari 2018, saudara Sulaiman Djaya yang sempat mengurus ajuan proposal ke Bank Indonesia, proses pembicaraan mekanisme pencairan, hingga taraf persetujuaan dan penandatanganan oleh pihak DKB dan BI, memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai pengurus DKB, setelah usulan saudara Sulaiman Djaya yaitu bahwa Bank Indonesia harus meminta kepada DKB untuk menetapkan batas paling kecil bantuan dana untuk satu pentas GESIT minimal adalah 5.000.000 rupiah disetujui Bank Indonesia Kantor Wilayah Banten.

Usulan tersebut diperjuangkan dan dilakukan agar saudara Chavchay Syaifullah tidak mengulang lagi perilakunya yang memberikan dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) kepada talent seperti hanya 1.500.000 atau 2.000.000 rupiah, seperti yang telah disebutkan, sampai-sampai ada talent yang melayangkan surat protest resmi ke Bank Indonesia Kantor Wilayah Banten karena hanya diberi anggaran sebesar 1.500.000 rupiah untuk satu pentas.

Berikut sejumlah catatan kritis keorganisasian dan atau kelembagaan Dewan Kesenian Banten Periode 2015-2018:

[1] Tidak difungsikannya Bendahara untuk mengelola keuangan dan atau keuangan Dewan Kesenian Banten dipegang dan dikelola langsung oleh Ketua DKB, yaitu saudara Chavchay Syaifullah, sehingga bendahara hanya berfungsi tak ubahnya kasir semata,

[2] Hal itu berlaku pada setiap dilaksanakannya seluruh event dan atau program DKB, di mana setiap penanggungjawab event dan atau program DKB tidak diberi kewenangan untuk mengelola keuangan event dan atau program DKB,

[3] Tidak adanya evaluasi dan pelaporan keuangan paska dilaksanakannya seluruh kegiatan dan atau pelaksanaan program kepada jajaran pengurus DKB,

[4] Pengadaan barang tiap kegiatan dan event dan atau pelaksanaan program DKB langsung ditangani oleh Ketua DKB, yaitu saudara Chavchay Syaifullah, dan hanya beberapa saja yang ditangani oleh pengurus lainnya,

[5] Tanpa dibarengi dengan pelaporan belanja dan pengadaan barang-barang tersebut kepada para pengurus harian DKB,

[6] Tidak manusiawinya honor bagi para talent yang terlibat di kegiatan dan atau program DKB,

[7] Begitu juga hal yang sama berlaku bagi kepanitiaan tiap kegiatan dan program yang ‘dihonor’ senantiasa minimal,

[8] Yang berarti saudara Chavchay Syaifullah ‘tidak menjalankan’ apa yang tertulis di proposal, dalam arti melakukan pemotongan pada tiap item yang menurutnya bisa ditekan dan dipotong, termasuk honorarium ketua-ketua komite,

[9] Dengan alasan uang dari pemotongan tersebut untuk membiayai program tambahan, namun program yang dimaksud pun ternyata tidak direalisasi,

[10] Item catatan lainnya, jika ada, akan diinformasikan menyusul.

Yang dengan demikian, Dewan Kesenian Banten dibawah komando suadara Chavchay Syaifullah tidak melaksanakan manajemen yang bersih dan dapat dipertanggungjawabkan, karena tidak adanya akuntablitas dan transparasi,


Sehingga dapat dikatakan bahwa kelembagaan dan keorganisasian Dewan Kesenian Banten dilaksanakan dengan cara dan metode one man show, dan saudara Chavchay Syaifullah selalu menolak untuk melakukan transparansi ketika diminta oleh sejumlah ketua-ketua komite, dan malah melancarkan sikap intimidatif ketika sejumlah pengurus, seperti ketua-ketua komite meminta transparansi secara baik-baik, yang berakibat pada lahirnya dinamika negatif di tubuh Dewan Kesenian Banten (DKB), bahkan melahirkan rasa tidak percaya bagi sejumlah pengurus harian terhadap dirinya.