Raja Daud Menyebutnya "Tuanku", Muhammad dalam Perjanjian Lama



oleh Profesor David Benjamin Keldani, B.B. (Wafat 1940) Uskup Katholik Roma di Uramiah, Kaldea. (Penerjemah: H.W. Pienandoro SH)

"Ceritera tentang Daud melakukan perzinaan dan dua malaikat yang telah datang kepadanya untuk mengingatkannya akan dosanya adalah suatu kepalsuan yang gila"

"Perjanjian (Covenant) antara Tuhan dan Nabi Ibrahim telah dibuat untuk Ismail, dan bahwa orang "yang paling mulia atau terpuji" adalah keturunan Nabi Ismail dan bukan Nabi Ishaq melalui Nabi Daud"

Kristus sendiri yang menjawab, yaitu: Ruh Daud menuliskan ini, Dia melihat Adon Muhammad seperti Daniel telah melihatnya (Daniel vii), dan (seperti) Paul telah melihatnya (2 Corinthian xii)

Riwayat Raja Daud, pengalamannya dan tulisan kenabiannya, dijumpai dalam dua buku dalam Perjanjian Lama, Samuel dan Psalms (Zabur). Beliau adalah anak bungsu dari Yishai (Jessie) dari suku Yehuda (Judah). Ketika masih sebagai penggembala muda, beliau telah membunuh seekor beruang dan mencabik seekor singa menjadi dua. Anak muda pemberani itu menyambitkan batu kecil tepat di tengah dahi Goliath, pahlawan Filistin yang bersenjata dan menyelamatkan tentara orang-orang Israel. Hadiah tertinggi bagi hasil yang gemilang yang menunjukkan keberanian adalah tangan Michal, anak perempuan Raja Saul.

Daud memainkan harpa dan seruling, dan seorang penyanyi yang baik. Pelariannya dari ayah mertuanya yang iri hati, petualangan-petualangannya dan pengalamannya yang berkaitan sebagai bandit sangatlah dikenal dalam Injil.

Pada saat kematian Saul, Daud diundang orang-orangnya untuk meneruskan pemerintahan kerajaan, untuk mana beliau sudah lama diurapi sebelumnya oleh Nabi Samuel. Beliau memerintah selama kira-kira tujuh tahun di Hebron. Beliau merebut Jerusalem dari kaum Jebusit dan menjadikannya sebagai ibu kota kerajaannya. Dua gunung atau bukitnya dinamakan "Moriah" dan "Sion". Kedua kata itu memiliki kesamaan arti dengan dan merupakan import sebagai bukit "Marwa" dan "Sapha" di Mekkah, yang arti katanya masing-masing ialah "tempat visi Tuhan" dan "batu karang" atau "batu".

Peperangan yang dilakukan Daud, kesulitan keluarganya yang sangat menyedihkan, dosanya terhadap prajuritnya yang setia, Uriah, dan isterinya, Bathsheba, tidak dibiarkan sebagai priviliege. Beliau memerintah selama empat puluh tahun; hidupnya ditandai dengan perang dan kesedihan keluarga. Dalam Injil ada beberapa ceritera yang saling bertentangan mengenai beliau yang terbukti harus dirujuk kedua sumber yang bertentangan.

Kejahatan yang dituduhkan kepada Daud seperti diklaim dalam Injil berhubungan dengan Uriah dan isterinya (2 Samuel xi.) bahkan tidak disinggung dalam Al-Qur’an, malahan Al-Qur’an merujuk kepada karakter saleh yang bagus sekali dan bahwa beliau bukan satu di antara Utusan-Utusan kelas tinggi. Itu adalah salah satu dari superioritas Al-Qur’an yang Suci bahwa Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa semua Nabi dilahirkan tanpa dosa dan wafat tanpa dosa.

Tidak seperti Injil, Al-Qur’an tidak melekatkan kepada para Nabi itu kejahatan dan dosa, umpamanya kejahatan ganda Daud yang tersebut dalam Injil yang menurut Hukum Musa dapat dihukum mati – yang jangankan Nabi yang merupakan pemuja Tuhan Yang Maha Kuasa yang terpilih, kepada nama orang biasa saja tak terpikirkan oleh kita untuk mengkaitkannya.

Ceritera tentang Daud melakukan perzinaan dan dua malaikat yang telah datang kepadanya untuk mengingatkannya akan dosanya adalah suatu kepalsuan yang gila – di manapun hal itu dapat dijumpai. Ceritera itu telah dibantah oleh pendapat terbaik orang Islam. Razi berkata: "Kebanyakan para terpelajar menyatakan tuduhan itu palsu dan mencercanya sebagai kebohongan dan ceritera yang jahat. Kalimat istaghfora dan ghafarna yang terdapat dalam Al-Qur’an ayat 24 surah 38 tidaklah menunjukkan dengan cara apapun bahwa Daud telah melakukan suatu dosa, karena istighfar sesungguhnya berarti mencari perlindungan; dan Daud mencari perlindung Yang Maha Suci ketika beliau melihat musuhnya telah menjadi begitu berani terhadap beliau; dan dengan ghafarana dimaksudkan perbaikan atau koreksi masalahnya; karena Daud yang adalah penguasa yang agung, tidak dapat berhasil menahan musuhnya tetap dalam kendalinya sepenuhnya.

Perjanjian Lama tidak menyebutkan waktu kapan kemampuan meramal itu diberikan kepada Daud. Kita baca di sini bahwa sesudah Daud melakukan dua dosa itu, Nabi Nathan dikirimkan oleh Tuhan untuk memperingatkan Daud. Benar bahwa hingga akhir dari hidupnya kita dapati beliau selalu mencari bantuan dari para nabi lain. Menurut ceritera Injil, karena itu tampaknya bahwa kemampuan meramal itu datang kepadanya sesudah beliau bertobat dengan sebenar-benarnya.

Dalam salah satu artikel saya telah mencatat bahwa sesudah pecahnya kerajaan itu menjadi dua negara merdeka yang sering berperang satu dengan lainnya, sepuluh suku bangsa yang membentuk kerajaan Israel itu selalu bersikap bermusuhan dengan dinasti Daud dan tidak pernah menerima bagian lain dari Perjanjian Lama kecuali Taurat atau Hukum Musa seperti termuat dalam Pentateuch. Ini terbukti dalam lima kitab pertama dari Perjanjian Lama versi Samaritan . Kita tidak bertemu dengan satu katapun atau satu ramalanpun tentang keturunan Daud dalam memoir dari nabi besar seperti Eliyah, Elisha dan lain-lainnya yang berkembang di Samaria selama pemerintahan raja-raja Israel yang rusak. Hanya sesudah jatuhnya kerajaan Israel dan pemindahan sepuluh suku bangsa Israel ke Asiria bahwa Nabi dari Judea mulai meramal kebangkitan beberapa Pangeran dari Rumah Daud yang segera akan memulihkan seluruh negeri dan bangsa dan menundukkan musuh-musuhnya.

Ada beberapa perkataan yang tidak jelas dan bermakna ganda dalam tulisan atau memoirs dari nabi-nabi yang kemudian itu yang telah memberikan kegembiraan yang menggairahkan dan luar biasa kepada Romo-Romo dari Gereja; namun dalam kenyataannya mereka itu tidak ada sangkut pautnya dengan Jesus Kristus. Dengan singkat saya akan mengutip dua ramalan.

Yang pertama ialah dalam Yesaya (Pasal vii. ayat 14), di mana Nabi meramalkan bahwa "Sesungguhnya seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan kamu akan menamakannya Emmanuel." Kata a’lmah dalam bahasa Ibrani tidak berari "perawan" seperti biasa diterjemahkan oleh teolog Kristen dan karena itu diterapkan pada Perawan Maryam, tetapi kata itu berarti "marriageable woman, maiden, damsel" atau wanita muda yang sudah mencapai umur pantas menikah. Perawan dalam bahasa Ibrani ialah "bthulah". Lalu nama anak itu Emmanuel, yang berarti "God-is-with-us" atau "Tuhan bersama kita".

Ada ratusan nama dalam bahasa Ibrani yang terdiri dari "el" dan kata benda lain yang membentuk suku kata atau yang pertama atau yang terakhir dari nama benda majemuk itu. Tidak Yesaya, tidak Raja Ahaz, tidak pula seorang Yahudi yang manapun yang pernah berfikir bahwa anak yang baru lahir itu menjadi dirinya sendiri "Tuhan bersama kita". Mereka tidak pernah berfikir apapun lainnya kecuali bahwa namanya akan menjadi sebegitu rupa. Namun teks itu mengatakan bahwa adalah Ahaz (yang tampaknya sudah mengenal perempuan muda dengan anak itu) yang telah memberi nama pada anak laki-laki itu. Ahaz ada dalam bahaya, musuhnya mendesak maju ke Jerusalem, dan janji ini dibuat baginya dengan menunjukkan kepadanya sebuah tanda , yaitu seorang wanita muda yang mengandung, dan bukan Perawan Maryam, yang akan datang ke dunia lebih dari tujuh ratus tahun kemudian!

Ramalan sederhana tentang anak ini yang akan dilahirkan selama pemerintahan Ahaz telah sama disalah-artikan oleh penulis Injil Matius (Matius i. 23). Nama "Jesus" itu diberikan oleh malaikat Jibril (Matius i. 21), dan beliau tidak pernah disebut "Emmanuel". Tidakkah ini suatu skandal mengambil nama ini sebagai argumen dan bukti tentang doktrin Kristen "inkarnasi"?

Intepretasi lain yang aneh mengenai ramalan kenabian ialah dari Zakaria (ix. 9), yang salah dikutip dan disalah-artikan seluruhnya oleh penulis Injil yang pertama (xxi. 5). Nabi Zakaria berkata: " Banyaklah bergembira, wahai puteri Sion; berteriaklah, wahai puteri Jerusalem: perhatikanlah, Rajamu datang kepadamu; lurus dan dengan penyelamatan, lemah lembut dan mengendarai seekor keledai; dan di atas anak keledai jantan anak keledai betina itu."

Dalam kalimat puitis penyair itu hanya menginginkan untuk melukiskan keledai jantan di atas mana Raja itu duduk - dengan mengatakan bahwa itu ialah keledai muda, dan itu anak keledai jantan juga, digambarkan sebagai anak keledai betina. Itu hanya seekor anak keledai jantan atau keledai muda. Kini Matius mengutipnya dengan cara berikut:

"Katakan kepada puteri Sion,
Lihat, Rajamu datang kepadamu,
Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai
Seekor keledai beban yang muda"

Apakah orang yang menulis ayat di atas itu percaya atau tidak percaya bahwa Jesus ketika berhasil memasuki kota Jerusalem dengan gemilang dengan mengendarai atau duduk pada saat yang bersamaan baik di atas keledai induk maupun keledai anak, merupakan keajaiban bukanlah masalahnya; bagaimanapun benar untuk berkata bahwa sebagian besar Pendeta-Pendeta Gereja memang mempercayainya begitu; dan tak pernah terpikir oleh mereka bahwa penampilan semacam itu akan tampak lebih sebagai lelucon daripada upacara kerajaan yang megah. Namun Lukas berhati-hati, dan tidak membuat kesalahan seperti kesalahan Matius. Apakah kedua penulis ini diilhami oleh Ruh yang sama?

Zakaria meramal di Jerusalem sesudah kepulangan kembali orang-orang Yahudi dari tangkapan, tentang akan datangnya seorang raja. Meskipun lemah lembut dan sederhana, menaiki seekor anak keledai jantan dari seekor keledai betina, masih juga dia datang dengan penyelamatan dan akan membangun kembali rumah Tuhan. Zakaria meramalkan hal ini pada saat ketika orang-orang Yahudi sedang berusaha untuk membangun kembali Kuil dan kota yang sudah runtuh; orang-orang dari daerah sekeliling mereka itu menentang mereka; pekerjaan membangun itu terhenti sehingga Darius, raja Persia, mengeluarkan perintah untuk pembangunan kuil itu.

Meskipun tidak pernah muncul raja Yahudi semenjak abad ke-6 sebelum Kristus, bagaimanapun mereka memiliki pemerintahan yang otonom di bawah kekuasaan asing. Penyelamatan yang dijanjikan di sini, agar dicatat, adalah fisikal dan segera, dan bukan penyelamatan yang akan datang lima ratus dua puluh tahun kemudian, sesudah Jesus dari Nazareth mengendarai dua ekor keledai sekaligus pada saat yang sama dan memasuki Jerusalem, yang sudah menjadi kota besar dan kaya dengan kuil yang indah, hanya untuk ditangkap dan disalib oleh orang-orang Yahudi sendiri dan oleh orang Romawi tuan mereka, sebagaimana diceriterakan oleh Injil sekarang ini kepada kita! Hal ini tidak akan menjadi hiburan sama sekali bagi orang Yahudi miskin yang dikelilingi oleh musuh dalam kota yang sudah hancur. Dengan sendirinya, dengan kata "raja" kita bisa mengerti adalah salah satu dari pemimpin utama mereka – Zerobabel, Ezra atau Nehemiah.

Dua contoh ini dimaksudkan untuk terutama menunjukkan kepada pembaca Muslim – yang mungkin tidak begitu mengenal Kitab-Kitab Suci Yahudi – bagaimana ummat Kristen telah diselewengkan oleh pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka (priests and monks) dengan memberikan penafsiran dan pengetian yang bodoh terhadap ramalan-ramalan yang termuat di dalamnya.

Kini aku datang kepada ramalan Daud; -
YahwaH berkata kepada ADON-ku,
Duduklah di sebelah kananku hingga aku menempatkan
Musuh-musuhmu di bawah kakimu"

Ayat Daud ini ditulis dalam Psalm cxi, dan dikutip oleh Matius (xxii. 44), Markus (xii. 36) dan Lukas (xx. 42). Kedua nama yang terdapat dalam baris kedua itu diterjemahkan dalam semua bahasa sebagai: "The Lord said unto my Lord" atau "Tuhan berfirman kepada Tuhanku". Tentu saja jika Lord yang pertama itu Tuhan, maka Lord yang kedua juga Tuhan; bagi para pendeta atau pastor agama Kristen tidak ada hal lain yang lebih menyenangkan dan sesuai sebagai argumen daripada hal berikut, yaitu pembicara itu Tuhan, dan orang kedua lawan bicara juga Tuhan; karenanya Daud mengenal dua Tuhan! Tidak ada hal yang lebih logis daripada alasan ini. Yang mana dari dua Domini itu yang Tuhannya Daud? Seandainya Daud telah menulis; "Dominus meus dixit Domino meo," maka Daud telah menjadikan dirinya tidak masuk akal dengan tulisannya itu, karena beliau akan telah mengakui dirinya sebagai seorang budak atau pemuja dua Tuhan, bahkan tanpa menyebut nama sebutan mereka.

Pengakuan itu akan berlanjut lebih jauh daripada eksistensi dua Tuhan itu; hal itu akan berarti bahwaTuhan kedua Daud itu telah melindungkan diri di bawah Tuhan yang pertama, yang memerintahkannya untuk duduk di sebelah kanannya hingga Tuhan yang pertama menempatkan musuhnya di bawah kakinya. Pertimbangan itu telah menyebabkan kita mengakui bahwa, agar dapat mengerti dengan baik agama Anda, maka Anda wajib mengetahui Injil atau Al-Qur’an dalam bahasa aslinya dengan mana kitab itu ditulis, dan tidak tergantung dan menyandarkan diri pada terjemahan.

Dengan sengaja saya telah menuliskan kata-kata dalam bahasa Ibrani "YaHWaH” dan “Adon" untuk menghindarkan kegandaan arti (ambiguity) dan salah faham dalam logika yang disampaikan dalam kata-kata itu. Nama yang Suci semacam itu yang ditulis dalam Kitab Suci agama harus dibiarkan sebagaimana adanya, kecuali jika Anda dapat menemukan kata padanan yang tepat untuk dua kata itu dalam bahasa ke dalam mana Anda ingin menterjemahkannya.

Tetagram Yhwh biasanya diucapkan Yehovah (Jehovah), namun kini pada umumnya diucapkan Yahwah. Itu adalah nama sebutan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan nama itu dianggap begitu suci oleh orang Yahudi bahwa ketika membaca Kitab Suci mereka, mereka tidak pernah mengucapkannya, dan sebagai gantinya mereka baca "Adon". Nama lain, ‘Elohim" selalu diucapkan, tetapi Yahwah tidak pernah.

Mengapa orang Yahudi membedakan dua nama dari Tuhan yang sama adalah suatu persoalan tersendiri, sekaligus di luar ruang lingkup subyek kita ini. Namun mungkin, sambil lewat, disebut bahwa Yahwah tidak seperti Elohim, tidak pernah dipergunakan dengan akhiran pronominal, dan tampaknya menjadi sebuah nama istimewa dalam bahasa Ibrani untuk Ketuhanan sebagai Tuhan nasional untuk orang Israel.

Sebenarnya "Elohim" ialah nama yang tertua yang dikenal oleh semua orang Semit; dan agar memberikan sebuah karakter khusus dalam konsep tentang Tuhan yang sejati, tetagram ini seringkali bersama dengan Elohim dipakai terhadap Tuhan. Bahasa Arab "Rabb Allah" artinya sama dengan “Yahwah Elohim”.

Kata yang lain itu, yaitu "Adon" berarti "Commander, Lord, Master" atau sama dalam bahasa Arab dan Turki "Amir, Sayyid dan Agha”. Adon adalah lawan kata dari "prajurit, budak, dan hak milik". Dengan demikian maka bagian pertama atau baris kedua itu harus diterjemahkan sebagai: "God said to my Lord" atau "Tuhan berfirman kepada Tuanku". Dalam kapasitasnya sebagai raja, Daud adalah Sayyid dan Amir bagi setiap orang Israel dan Tuan dan Kerajaan itu. Kalau begitu Daud itu "pelayan" siapa? Sebagai orang yang berdaulat penuh, Daud tidak mungkin dalam kenyataannya sebagai seorang budak atau pemuja manusia lainnya siapapun. Begitupun tidak terbayangkan bahwa Daud akan menyebutkan "Tuanku" terhadap Nabi atau orang suci yang sudah meninggal yang manapun, seperti Ibrahim dan Yakub, yang kata panggilan yang biasa bagi mereka ialah "Bapak".

Hal sama dapat dipikirkan bahwa Daud tidak akan mempergunakan sebutan "Tuanku" terhadap siapapun anak keturunannya, yang biasan disebut "anak". Maka di samping Tuhan, tiada lagi manusia lain yang tersisa yang mungkin jadi Tuan dari Daud kecuali manusia yang paling mulia dan paling tinggi di antara seluruh manusia. Sangat cerdas untuk berfikir bahwa dalam pandangan dan pilihan Tuhan pasti ada orang yang paling mulia, paling terpuji, dan paling disenangi oleh seluruh manusia. Pastilah oleh mereka yang bisa melihat ke depan (clair voyant) dan para Nabi mengetahui pribadi yang suci ini, dan seperti Daud memanggilnya "Tuanku".

Tentu saja para Rabbi Yahudi dan komentator Perjanjian Lama mengerti akan ungkapan Al-Masih yang akan turun dari Daud sendiri, dan dengan begitu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Jesus Kristus kepada mereka seperti dikutip dari Matius (xxii. ) dan Sinoptik lainnya. Jesus dengan datar membantah orang-orang Yahudi ketika beliau menanyakan pertanyaan kedua: "Bagaimana mungkin Daud memanggilnya "Tuanku" kalau dia itu anaknya?" Persoalan tentang Master atau Agha ini menyebabkan para pendengarnya terdiam, karena mereka tidak dapat menemukan jawaban pertanyaan itu.

Para penginjil (evangelist) dengan cepat memotong subyek pembicaraan yang penting ini. Berhenti di situ tanpa penjelasan lebih lanjut tidaklah berguna baik bagi Agha atau para reporternya. Karena, dengan mengesampingkan masalah god-head-nya Jesus, dan karakter kenabiannya, Jesus sebagai guru harus memecahkan masalah yang diajukan olehnya sendiri ketika beliau melihat bahwa para pengikutnya dan para pendengarnya tidak dapat mengetahui siapa gerangan "Tuan" itu.

Dengan ungkapan beliau bahwa "Tuan" atau "Adon" tidak mungkin anak Daud, Jesus dengan demikian menyatakan dirinya tidak berhak atas gelar itu. Pengakuan ini adalah menentukan dan seharusnya membangunkan para guru agama Kristen untuk membawa Kristus pada kedudukan yang selayaknya seorang pemuja tinggi dan suci Tuhan, dan menyanggah karakter suci yang berlebihan yang dilekatkan pada beliau yang sesungguhnya sangat memuakkan dan tidak menyenangkan bagi beliau.

Saya tidak bisa membayangkan seorang guru yang melihat anak didiknya tidak bisa menjawab pertanyaannya, lalu harus diam saja, kecuali dia sendiri juga bodoh seperti muridnya dan tidak dapat memberikan jawaban atas masalah itu. Namun Jesus bukan seorang guru yang bodoh atau berhati dengki. Beliau adalah seorang Nabi dengan cinta yang membara terhadap Tuhan dan ummat manusia.

Beliau (Jesus Kristus) tidak meninggalkan masalah itu tidak terpecahkan atau pertanyaan itu tanpa jawaban. Injil dari gereja-gereja tidak menyebutkan jawaban Jesus atas pertanyaan: "Siapa Tuhan Daud itu? Namun Injil Barnabas menjawabnya. Injil ini telah ditolak oleh gereja-gereja karena bahasanya lebih banyak bersesuaian dengan Kitab Suci yang diwahyukan dan karena Injil Barnabas sangat ekspresif dan eksplisit tentang sifat dari misi Nabi Jesus Kristus, dan di atas segalanya karena Injil Barnabas menuliskan kalimat yang tepat diucapkan oleh Nabi Jesus mengenai Nabi Muhammad saw.

Copy dari Injil ini dapat dengan mudah dibeli. Di situ Anda akan menjumpai jawaban Jesus sendiri, yang mengatakan bahwa Perjanjian (Covenant) antara Tuhan dan Nabi Ibrahim telah dibuat untuk Ismail, dan bahwa orang "yang paling mulia atau terpuji" adalah keturunan Nabi Ismail dan bukan Nabi Ishaq melalui Nabi Daud. Nabi Jesus berulang kali dilaporkan telah bersabda mengenai Nabi Muhammad saw yang ruhnya atau jiwanya telah beliau lihat di sorga.

Insya Allah saya akan mempunyai kesempatan untuk menulis tentang Injil Barnabas ini kemudian.

Tidak diragukan bahwa mata kenabian Daniel yang melihat melalui visi yang indah berupa Barnasha yang agung, yang adalah Nabi Muhammad saw, juga merupakan mata kenabian Daud. Manusia yang paling mulia dan terpuji itu pula yang telah dilihat oleh Nabi Ayub (xix. 25) sebagai seorang Penyelamat dari kekuatan Iblis. Lalu apakah Nabi Muhammad saw itu yang dipanggil Nabi Daud dengan sebutan "Tuanku’ or "Adonku"? Marilah kita lihat.

Argumentasi yang menguntungkan Nabi Muhammad saw, yang disebut "Sayyidul-Mursalin" sama dengan "Adon of the Prophets" adalah menentukan; begitu nyata dan jelas dalam kalimat Perjanjian Lama sehingga orang menjadi heran atas kebodohan dan kekerasan kepala mereka yang menolak untuk mengerti dan mematuhinya.

Nabi terbesar dan Adon di Mata Tuhan dan mata manusia, bukanlah seorang penakluk dan pemusnah kemanusiaan, juga bukan seorang pertapa yang suci yang menghabiskan waktunya di dalam gua atau sel untuk bersemedi mengenai Tuhan guna mencari keselamatan dirinya sendiri, tetapi seseorang yang memberikan lebih banyak kebaikan dan jasa terhadap kemanusiaan dengan membawa mereka kepada cahaya pengetahuan tentang Satu Tuhan Sejati, dan dengan memusnahkan sama sekali kekuatan setan dan patung-patung mereka yang buruk sekali dan tradisi-tradisi yang merusak moral.

Nabi Muhammad saw itulah yang "melukai kepala ular" dan karena itulah Al-Qur’an menyebut setan, iblis dengan sebutan "yang dilukai"!! Beliau membersihkan Ka’ba dan seluruh Arabia dari berhala-berhala, dan memberikan cahaya, agama, kebahagiaan, dan kekuatan pada orang-orang Arab bodoh penyembah berhala, yang dalam waktu singkat menyebar luaskan cahaya itu ke seluruh empat arah di bumi ini. Dalam pengabdian kepada Tuhan, karya dan keberjayaan Nabi Muhammad saw adalah tidak tertandingi dan tidak tersaingi.

Para Nabi, Orang-Orang Suci dan Martir dari tentara Tuhan terhadap kekuatan setan; Nabi Muhammad saw sendiri tidak dapat dipungkiri adalah seorang Komandan Utama dari mereka semua itu. Jelas, bahwa beliau sendiri itulah Adon dan Lord bukan saja bagi Daud tetapi untuk semua Nabi, karena beliau telah mensucikan Palestina dan negeri-negeri yang telah dibersihkan oleh Nabi Ibrahim dari penyembahan berhala.

Karena Jesus Kristus sendiri mengakui bahwa beliau bukanlah "The Lord" dari Daud atau Al-Masih yang datang dari keturunan Daud, maka tidak lagi ada siapapun kecuali Nabi Muhammad saw di antara para Nabi yang dapat menjadi Adon atau Lord dari Daud. Dan bila kita bandingkan revolusi keagamaan yang pantas mendapat pujian yang dibawa oleh Anak Laki-Laki Mulia dari Keluarga Ismail ke dunia ini dengan apa yang sudah dicapai oleh seluruh Nabi bersama-sama, kita bisa menyimpulkan bahwa hanya Nabi Muhammad saw sendirilah yang berhak menyandang gelar Adon.

Bagaimana Daud bisa mengetahui bahwa Yahwah berfirman kepada Adon, ‘Duduklah kamu di sebelah kananKu sehingga Aku menempatkan musuhmu di bawah kakimu’?" dan bagaimana Daud bisa mendengar firman Tuhan ini? Kristus sendiri yang menjawab, yaitu: Ruh Daud menuliskan ini, Dia melihat Adon Muhammad seperti Daniel telah melihatnya (Daniel vii), dan (seperti) Paul telah melihatnya (2 Corinthian xii) dan banyak yang lainnya lagi yang telah melihatnya. Tentu saja misteri: "Duduklah kamu di sebelah kananKu" tersembunyi dari kita. Namun dengan pasti kita bisa menerka bahwa itulah penobatan resmi dengan kehormatan mendudukkan dirinya sendiri di sisi kanan Tahta Tuhan, dan karenanya dinobatkan menjadi "Adon", bukan saja dari para Nabi tetapi untuk semua mahluk yang telah berlangsung di malam yang terkenal, yaitu mi’raj Nabi Muhammad saw ke Sorga.


Satu-satunya keberatan prinsip atas misi suci dan superioritas Nabi Muhammad saw ialah cercaannya terhadap Trinitas. Namun Perjanjian Lama tidak mengenal Tuhan lain di samping Allah, dan Tuannya Daud tidak duduk di sisi kanan tuhan yang tiga, tetapi di sisi kanan Tuhan Yang Satu. Karenanya di antara Nabi-Nabi yang percaya dan memuja Allah, tiada apapun yang lain yang begitu agung, dan telah mewujudkan pengabdian yang begitu luar biasa bagi Allah dan kemanusiaan kecuali Nabi Muhammad saw.

Jenghis Khan


Di era Imperium Mongolia dibawah kekuasaan Jenghis Khan, melalui undang-undang yang dibuatnya, yaitu Alyasak, mengatur kehidupan beragama dengan tidak boleh merugikan antara satu pemeluk agama dengan yang lainnya, dan membebaskan pajak bagi keluarga Nabi Muhammad saw, para penghafal Al-Qur’an, ulama, tabib, pujangga, orang saleh dan zuhud serta muazin/yang menyerukan adzan.

Singkat kata, Jenghis Khan memberikan kebebasan pada penduduknya untuk menganut agama mereka sendiri dan menjalankan ibadah sesuai agamanya masing-masing.

Perlakuan Jenghis Khan kepada keluarga Nabi Muhammad saw itu terbilang unik karena justru di masa dua kekhalifahan yang mengklaim sebagai Kekhalifahan Islam, yaitu Umayyah dan Abbasiyah, keluarga Nabi Muhammad saw dan Kaum Syi’ah malah ditindas dan dibunuh, sampai-sampai para khalifah dua kekhalifahan (Umayyah dan Abbasiyah) itu dicatat dalam sejarah sebagai para pembunuh Imam Ahlul-Bait, utamanya 10 Imam setelah Imam Ali.

Tentu saja menarik untuk mengetahui siapa sebenarnya Temujin atau Jenghis Khan yang kemudian menjadi legenda dalam sejarah dunia dan kisah para penakluk dunia ini? Setelah ayahnya, yaitu Yasugi Bahadur Khan, meninggal, Temujin (Jenghis Khan) yang masih berusia 13 tahun tampil sebagai pemimpin.

Dalam waktu 30 tahun, Temujin berusaha memperkuat angkatan perangnya dengan menyatukan bangsa Mongol dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu pasukan yang teratur dan tangguh. Pada tahun 1206 Masehi, Temujin mendapat gelar Jengis Khan, Raja Yang Perkasa. Kala itu ia menetapkan undang-undang yang disebutnya Alyasak atau Alyasah, untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Wanita mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan perang dibagi dalam beberapa kelompok besar dan kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Dan tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan.

Undang-undang Alyasak ini berisi antara lain; larangan mencari-cari kesalahan orang lain, larangan membantu salah seorang di antara dua orang yang berselisih, jujur dalam menerima kepercayaan, keharusan saling tolong-menolong dalam peperangan dan melaksanakan hukum dengan disiplin yang ketat tanpa pandang bulu.

Di samping itu ada juga keharusan bagi warga negara untuk memperlihatkan anak gadisnya kepada raja untuk dijadikan sebagai istri anak-anaknya. Undang-undang ini dimasyarakatkan terus, sehingga merupakan sebuah agama yang senantiasa dipedomani dan dilanjutkan oleh penggantinya kemudian.

Undang-undang ini juga mengatur tentang hukuman mati bagi pezina, orang yang sengaja berbuat bohong, melaksanakan sihir, menjadi mata-mata, memberi makan atau pakaian kepada tawanan perang tanpa ijin, demikian pula bagi yang gagal melaporkan budak belian yang melarikan diri juga dikenakan hukuman mati.

Begitu pula Jenghis Khan melalui Alyasak ini mengatur kehidupan beragama dengan tidak boleh merugikan antara satu pemeluk agama dengan yang lainnya, dan membebaskan pajak bagi keluarga Nabi Muhammad saw, para penghafal Al-Qur’an, ulama, tabib, pujangga, orang saleh dan zuhud serta muazin/yang menyerukan adzan.

Jenghis Khan juga selalu melakukan inspeksi kepada prajurit-prajurit bersenjata lengkap sebelum pergi berperang, dan setiap orang harus memperlihatkan segala sesuatu yang ia miliki, bahkan sampai jarum dan benang sekalipun. Kemudian jika seseorang didapatkan lengah, maka dia harus dihukum. Jenghis Khan juga mendirikan pos pelayanan agar dia bisa memantau dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di negaranya.

Dari sini tampak bahwa armada perang Mongol sangatlah kuat dan memiliki kedisiplinan tinggi, sehingga banyak ditakuti musuh-musuhnya, dan memang terbukti sebagai kekuatan penakluk yang kuat dan tak terkalahkan.

Selain itu, sebagai seorang pemimpin dan diktator, Jenghis Khan juga sangat lihai memilih pengikutnya atau orang kepercayaannya yang pantas menjadi ajudannya berdasarkan kemampuan dan pengalaman mereka di medan perang. Tidak peduli bahwa orang tersebut berasal dari kelas atau nenek moyang yang berbeda, atau bahkan musuhnya sendiri di masa lalu.

Contohnya adalah ketika Jenghis Khan mengangkat Jebe sebagai ajudannya meski Ia adalah prajurit musuh yang pernah hampir membunuh dirinya. Keputusannya ternyata benar setelah Jebe terbukti handal dan lalu dikenal sebagai jenderal perang terhebat di masa penaklukan Asia dan Eropa. 


Cyrus The Great Sang Zulkarnain



Aku Cyrus, Raja Babilonia, Raja Sumeria, Raja Akkadia, Raja yang memimpin empat Negara…..Pesanku yang termashur memasuki Babilonia dengan mengusung perdamaian. Dan aku tidak mengijinkan bahaya apa pun mendatangi tanah Babilonia dan rakyatnya. Sikap terhormat penduduk Babilonia memberi pelajaran yang berharga bagiku. Dan aku memerintahkan agar semua orang untuk menyembah Tuhan mereka tanpa ancaman. Aku memerintahkan agar tidak ada penghancuran tempat tinggal dan perampasan tanah

Cyrus II of Persia (600 BC atau 576-530 SM) alias Zulkarnain umumnya dikenal sebagai Cyrus The Great (Koresh dalam bahasa Ibrani), adalah pendiri Kekaisaran Persia dan Dinasti Achaemenid. Para sejarahwan menyatakan bahwa dia adalah Raja Zulqarnain yang tercantum dalam Al-Qur’an. Karirnya dimulai sebagai pejabat rendahan di wilayah bagian barat daya Iran, lalu mendapat banyak kemenangan lewat pertempuran dan menyatukan tiga kerajaan besar terdahulu yaitu Median, Lydian dan Neo-Babilonia.

Di bawah pemerintahannya, Kekaisaran Persia menguasai berbagai kerajaan kuno sebelumnya yang terbentang mulai dari Timur Dekat, diperluas hingga akhirnya menaklukkan sebagian besar Asia Barat Daya dan sebagian besar Asia Tengah, sebagian dari Eropa dan Kaukasus. Kekaisaran ini diperluas ke Turki, Israel, Georgia dan Arabia. Di arah barat, ke Kazakhstan, Kirgistan, Sungai Indus (Pakistan) dan Oman di timur. Dari laut Mediterania dan Hellespont di barat sampai Sungai Indus di timur.

Zulkarnain atau Cyrus Agung menciptakan kekaisaran terbesar di dunia pada masanya dan ratusan tahun sesudahnya. Ia menghormati adat istiadat dan agama dari wilayah yang dia taklukan. Para sejarahwan menyebutkan bahwa dalam sejarah dunia, kerajaan Persia yang didirikan oleh Cyrus atau Zulkarnain ini merupakan model yang sangat sukses untuk sistem administrasi terpusat serta pemerintahan yang bekerja dengan partisipasi rakyatnya.

Tak hanya itu saja, Zulkarnain atau Cyrus Agung juga diakui prestasinya dalam kepeloporannya sebagai pencetus dan pendiri Hak Asasi Manusia, politik, dan strategi militer, ribuan tahun sebelum Eropa menemukan khazanah Zulkarnain dan lalu menjadikannya sebagai bahan utama kajian mereka.

Dengan demikian, pengaruh Zulkarnain pada peradaban Timur dan Barat merupakan warisan humanisme dan peradaban yang besar, selain tentu saja, berpengaruh luas di dunia kuno, bahkan Athena maupun China kuno banyak mengadopsi aspek-aspek budayanya dalam pertukaran budaya mereka.

SEJUMLAH WILAYAH TAKLUKAN
Median Empire (Madyan) (Zona Perang: Revolusi Persia, Pertempuran Hyrba, Pertempuran Perbatasan Persia, dan Pertempuran Pasargadae)

Meskipun ayahnya meninggal pada 551 SM, Cyrus Agung telah berhasil naik takhta di 559 SM. Namun, Cyrus belum menjadi penguasa independen. Seperti pendahulunya, Cyrus harus mengakui penguasa kolonialnya yaitu Median. Di sini, menurut sejarahwan Herodotus yang masyhur dari Yunani itu, Cyrus bersama Harpagus yang adalah sahabat sekaligus penasihatnya, menggerakkan rakyat Persia untuk memberontak melawan tuan-tuan feodal mereka, orang Median.

Ada kemungkinan bahwa baik Harpagus maupun Cyrus memberontak karena ketidakpuasan mereka dengan kebijakan Astyages, Raja Median yang lalim. Awal pemberontakan itu terjadi di musim panas 553 SM. Kala itu Harpagus dan Cyrus memimpin tentara melawan orang Madai hingga penaklukan Ecbatana pada tahun 549 SM, yang secara efektif meruntuhkan Kekaisaran Median.

Setelah Zulkarnain atau Cyrus Agung menerima mahkota Median 546 SM, ia secara resmi diberi gelar “Raja Persia” sebagai pengganti Astyages. Semua pengikut Astyages (termasuk banyak kerabat Cyrus) langsung di bawah komandonya. Pamannya, Arsames, yang sebelumnya menjadi raja negara-kota Madai Parsa juga harus menyerahkan tahtanya. Pengalihan kekuasaan ini tampaknya terjadi secara damai, dan Arsames masih tetap menjadi gubernur.

Lydian Empire dan Asia Minor (Zona Perang: Pertempuran Pteria, Pertempuran Thymbra, dan Pengepungan dari Sardis (547 SM)
Tanggal yang tepat dari penaklukan Lydian tidak diketahui, tetapi terjadi antara penggulingan kerajaan Median (550 SM) dan penaklukkan Babilonia (539 SM). Lydian pertama kali menyerang kota-kota Kekaisaran Persia yang waktu itu baru memulihkan diri pasca peperangan Median, melalui Pteria di Kapadokia.

Kala itu Raja Croesus dari Lydian mengepung dan merebut berbagai kota lalu memperbudak penduduknya. Sementara itu, Persia mengundang warga Ionia yang merupakan bagian dari kerajaan Lydia untuk memberontak terhadap penguasa mereka. Tawaran itu ditolak, akhirnya Cyrus-Zulkarnain menggerakkan tentaranya menuju Lydian. Pertempuran Pteria secara efektif menemui jalan buntu, dengan kedua belah pihak menderita kerugian berat. Namun Croesus berhasil dipukul mundur ke Sardis.

Sementara itu di Sardis, Croesus mengirim permintaan pada para sekutunya untuk mengirimkan bantuan kepada Lydia. Sayangnya, menjelang akhir musim dingin, sebelum bisa menyatukan sekutu, Cyrus Agung atau Zulkarnain ini mendobrak ke wilayahnya dan Croesus terkepung di ibukotanya, Sardis.

Sesaat sebelum Pertempuran akhir di Thymbra antara dua penguasa, Harpagus sang penasihat menyarankan Cyrus Agung untuk memposisikan unta-unta Arab di garis depan pasukannya. Kuda-kuda Lydian yang tidak tahan dengan bau unta-unta itu akan sangat takut. Strategi ini ternyata efektif hingga kavaleri Lydia tercerai-berai dan mengalami kekalahan telak di tangan pasukan Zulkarnain (Cyrus Agung). Cyrus menangkap Croesus dan menduduki ibukota Sardis. Kerajaan Lydia pun takluk di 546 SM.

Sebelum kembali ke ibukota, seorang Lydian bernama Pactyas dipercayakan oleh Cyrus Agung untuk mengirim harta rampasan perang ke Persia. Namun, segera setelah keberangkatan Cyrus, Pactyas menyewa tentara bayaran dan menyebabkan pemberontakan di Sardis terhadap Gubernur Persia-Lydia yang bernama Tabalus.

Cyrus kemudian mengirim Mazares, salah seorang komandan, untuk memadamkan pemberontakan dengan perintah menangkap Pactyas hidup-hidup. Setibanya Mazares di Sardis, Pactyas melarikan diri ke Ionia, tempat ia menyewa tentara bayaran. Komandan Mazares lalu mengerahkan pasukannya ke negara Yunani dan menaklukkan kota-kota Magnesia dan Priene. Akhir hidup Pactyas tidak diketahui, tapi ia kemungkinan tertangkap Cyrus dan dihukum mati.

Mazares melanjutkan penaklukan Asia Minor tapi meninggal karena penyebab yang tidak diketahui selama pengerahan pasukan di Ionia. Cyrus mengirim Harpagus, untuk menyelesaikan penaklukan Mazares di Asia Kecil. Harpagus menaklukkan Lycia, Sisilia dan Phoenicia, menggunakan strategi “Building Earthworks” untuk mengepung dan menembus benteng kota, sebuah metode perang yang masa itu tidak diketahui oleh orang Yunani. Ia mengakhiri penaklukan pada 542 SM dan kembali ke Persia.

Neo-Babilonia Empire (Zona Perang: Pertempuran Opis)
Tahun 540 SM, Cyrus menaklukkan Elam (Susiana) dan ibukotanya, Susa. Konflik dimulai pada musim dingin 540 SM, awal Oktober. Cyrus Sang Zulkarnain berjuang dalam pertempuran di Opis, kota strategis di dekat Sungai Tigris, sebelah utara Babilon. Tentara Babel itu ditaklukkan pada 10 Oktober. Berikutnya Kota Sippar takluk tanpa pertempuran. Ini kemungkinan adalah berkat negosiasi Cyrus dengan para jenderal Babel untuk mendapatkan kompromi demi menghindari konfrontasi bersenjata.

Nabonidus, Raja Babilon yang tinggal di kota Sippar pada waktu itu segera melarikan diri ke ibukota Babel, yang tidak dikunjunginya selama bertahun-tahun.

Dua hari kemudian, pada 7 Oktober (menurut Kalender Gregorian), Gubaru, salah seorang Jenderal Babilon yang memihak Cyrus mengerahkan pasukan masuk ke ibukota Babel, lagi-lagi tanpa ada perlawanan dari tentara Babel. Herodotus sang sejarahwan masyhur dari Yunani itu menjelaskan bahwa Persia, memanfaatkan kanal yang dibangun oleh Nitokris, Ratu Babilon sebelumnya untuk melindungi Babel terhadap serangan Median, dialihkan ke sungai Eufrat sehingga air turun “setinggi paha pria”. Hal ini memungkinkan pasukan invasi untuk berbaris langsung melalui sungai, menembus benteng kota Babel di malam hari.

Pada tanggal 29 Oktober, Cyrus sendiri masuk kota Babel dan menahan Nabonidus. Sebelum invasi Cyrus ke Babel, Kekaisaran Babilonia telah menaklukkan banyak kerajaan. Setelah mengambil alih Babel, Cyrus Agung menyatakan dirinya “Raja Babilon, Raja Sumeria dan Akkad, Raja dari empat penjuru dunia”.

Pada akhir pemerintahan Cyrus, Kekaisaran Persia Dinasti Achaemenid membentang dari Asia Kecil di barat ke daerah barat laut India di timur. Sebuah masa paling gemilang dalam sejarah Bangsa Persia, masa sebuah bangsa di bawah pemimpin agung: penakluk, ahli strategi, humanis, seorang raja yang berpaham monotheis, yang dalam Al-Qur’an disebut Zulkarnain.

MENELUSURI CYRUS ZULKARNAIN
Disebutkan bahwa Zulqarnain (yang dinarasikan di dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahfi) itu adalah Raja Koresh (Kurush) atau juga dikenal dengan Cyrus II Raja Persia, menurut para sejarahwan dan peneliti berdasar pada alasan-alasan berikut ini:

[1] Kata Zulqarnain yang berbentuk kiasan “mempunyai dua kekuasaan atau kerajaan” atau “dua tanduk” artinya seorang penguasa atau raja yang memiliki atau terbentuk dari dua kerajaan. Dalam sejarah kita mengetahui bahwa Kerajaan Koresh (Persia) dibentuk dengan menyatukan dua kerajaan sebelumnya, yaitu kerajaan Media dan Anshan pada tahun 549 SM.

[2] Dalam Kitab Daniel pada Perjanjian Lama disebutkan perumpamaan “Domba” bertanduk dua yang menanduk ke barat dan timur. Nabi Daniel dengan jelas menyebutkan itu adalah raja Persia yang terbentuk dari Media dan Anshan.

“Vision” dari Nabi Daniel tentang biri-biri jantan bertanduk dua, yang sebelah tanduknya lebih tinggi yang datang belakangan, mengisyaratkan tanduk yang lebih rendah yaitu Media dan tanduk yang lebih tinggi yaitu Parsi yang belakangan menjadi Imperium Parsi.

Dalam sejarah tokoh yang mendirikan Kerajaan Media dan Parsi yang kemudian menjadi Imperium Persia tersebut adalah Cyrus the Great (600 – 529) SM, mendirikan Imperium Persia (550) SM, dan memerintah (550 – 529) SM. Jadi “Vision” dari Nabi Daniel itu mengisyaratkan bahwa Zulqarnain adalah Cyrus the Great.

[3] Zulqarnain adalah seorang monotheis yang tidak mungkin menyembah Dewa-dewa seperti halnya Alexander (Iskandar), agama monotheis yang dibawa oleh seorang nabi Persia Zaratushtra yang sekarang agamanya menyimpang disebut dengan Zoroaster.

Cyrus the Great penganut yang taat dari agama Zarathustra. Di sekolah-sekolah diajarkan bahwa agama Zarathustra menyembah Dua Tuhan, yaitu Tuhan Terang Ahura Mazda (Ormuzd) dan Tuhan Gelap, Angra Manyu (Ahriman). Namun dewasa ini ada aliran agama Zarathustra di Amerika yang bersemboyan: “Kembali ke Gatha”, mereka ini berkeyakinan Zarathustra tidak mengajarkan dua Tuhan, melainkan mengajarkan Satu Tuhan, yaitu Ahura Mazda menciptakan Angra Manyu, seperti Allah menciptakan Iblis (Lucifer) dalam agama Yahudi, Nashrani dan Islam.

Hal itu mengisyaratkan bahwa Cyrus the Great bukanlah penyembah berhala atau dewa-dewa, melainkan beragama Tauhid (Monotheis), sehingga itulah sebabnya maka pada (538) SM Bani Israil semuanya dikembalikan ke Yerusalem oleh Cyrus the Great. Gatha telah dibakar habis tatkala Alexander menduduki Persepolis, sehingga Gatha hanya berupa rekaman ingatan dari para pendeta agama Zarathustra. Alexander memperoleh gelar dari para pendeta agama Zarathustra sebagai “yang terkutuk”.

Alexander dari Macedonia adalah orang yang mengakhiri pemerintahan Dinasti Persia Monotheis – Kerajaan Persia yang ada di masa lahirnya Islam adalah peninggalan dari pecahan kerajaan Alexander yang mengadopsi kepercayaan Polytheisme Yunani Kuno.

Sementara itu, berkaitan dengan kisah Ya`juj dan Ma`juj (Gog and Magog), Zulqarnain disebutkan menyerbu ke barat tempat matahari terbenam. Dalam sejarah diketahui memang raja Koresh menyerbu ke barat tepatnya kerajaan Lydia di Turki paling barat sekarang di mana sang raja (Croesus) diampuni dan tidak dibunuhnya! Ini terjadi pada tahun 547-546 SM.

Kemudian disebutkan Cyrus menyerbu ke timur yaitu tempat matahari terbit. Dalam sejarah dengan mudah diketahui bahwa yang dimaksud adalah bangsa India! Yang memang ia taklukkan pada 546-545 SM.

Kemudian disebutkan pula bahwa Cyrus menuju ke wilayah di antara gunung-gunung di mana terdapat bangsa pengacau Ya`juj wa Ma`juj. Dalam sejarah diketahui memang Raja Koresh (Cyrus) menyerbu wilayah Armenia di kaki pegunungan Kaukasus pada 537 SM (setelah penaklukan Babylonia pada 539 SM).

Kita mengetahui bahwa ia membangun tembok dari campuran besi dan tembaga yang diperkirakan berada dekat kota Derbent sekarang, ternyata bahwa Alexander tidak pernah menguasai pegunungan Kaukasus!!

Encyclopedia Columbia edisi ke-6, mencatat bahwa Derbent ditemukan pada tahun 438 oleh bangsa Persia sebagai pertahanan yang strategis di Pintu Besi. Benteng tersebut masih ada dan diberi nama Tembok Kaukasia (Caucasian Wall), dibangun oleh bangsa Persia (yang menemukannya) pada abad ke-6, untuk menahan serangan pendatang-pendatang dari daerah Utara.

[4] Kita juga mengetahui bahwa Koresh (Cyrus) dengan baik hati mempersilahkan bangsa Yahudi kembali ke tanah Palestina setelah terusir oleh bangsa Babil Khaldea sejak 586 SM, bahwa jarang sekali ada raja sebaik ini dalam sejarah. Hal ini menunjukkan tingkat keimanannya.

Cyrus II the Great inilah yang membebaskan orang-orang Yahudi yang diasingkan di Babilonia sejak invasi Nebuchadnezar dan mengembalikan orang-orang Yahudi ke Yerusalem untuk membangun Bait Suci (Bet El Makdesh) yang kedua kalinya.

Pada masa pemerintahan Cyrus II inilah terjadi gelombang pertama kepulangan orang-orang Yahudi dari Babilonia. Cyrus II terkenal karena pemerintahannya yang adil terhadap semua bangsa taklukannya. Cyrus II meneruskan tradisi sejak raja-raja Babylonia yaitu membiarkan wilayah-wilayah taklukannya diperintah oleh orang lokal dan di lain pihak mereka merekrut orang-orang pilihan dari setiap wilayah taklukannya untuk menjadi pajabat di Istana Raja. Karena itulah Cyrus II juga dikenal dengan gelar ”Cyrus The Great“

[5] Kembali pada kronologis penaklukannya dalam surah Al-Kahfi, disebutkan ke barat, timur dan ke pegunungan, dimana hal ini telah dilakukan Koresh. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Alexander yang asalnya dari barat!

[6] Alexander sesungguhnya tidak sehebat yang selama ini diceritakan, bukankah karena yang berkuasa di dunia saat ini adalah orang-orang Eropa (barat) yang dengan subjektif menetapkan orang Eropa sebagai yang paling hebat. Sebenarnya yang berhak disebut the Great adalah raja Koresh (Cyrus) karena ia dengan susah payah menaklukkan wilayah luas dari Turki (bahkan penerusnya Darius I sampai ke Eropa) di barat sampai ke India di timur. Alexander tinggal menerima enaknya saja dengan mengalahkan satu raja Persia (Darius III) pada 330 SM maka ia menguasai semua provinsi milik Persia!!! (wilayah Mesir telah ditaklukkan Persia tahun 525 SM, Babylon (‘Iraq) pada 539 SM!!)

[7] Seperti diketahui fokus lokasi para nabi adalah sekitar Timur Tengah. Adalah logis menetapkan Zulqarnain sebagai orang Persia yang dekat jazirah Arab daripada negeri Makedonia-nya Alexander di Eropa!!

[8] Bisa jadi kata-kata Arab suku Quraisy diambil dari nama raja Persia Koresh yang memang “The Great”, ”Agung”, “Magnus” dalam arti sebenarnya yang dekat dengan wilayah Arab. Bukankah nama aslinya Fihr bergelar “Quraisy”. Sebagai penganut monotheisme, tidak ada lambang/patung atau gambaran berhala/dewa-dewa dalam makamnya yang polos dan sederhana –untuk ukuran seorang raja besar dalam sejarah.

Apakah Wahabi Itu Manhaj Salafi?


Dipublikasi di harian Radar Banten, 9 Mei 2014 (dengan judul Pelita Islam)

Tulisan ini dimaksudkan sebagai berbagi pemahaman pada ummat muslim yang menyamakan antara Wahabi dengan Salafi dan Ahlus Sunnah, karena kekurangan pengetahuan tentang hal ini menjadi penyebab timbulnya fitnah di tengah–tengah ummat muslim yang berfaham Salafi dan Ahluss Sunnah, terutama sekali di kalangan masyarakat awam, sehingga banyak di antara kita baik dari golongan yang mengaku akhwat dan juga ikhwan yang menyatakan bahwa Salafi adalah sama halnya dengan Wahabi. Tentu saja, sekali lagi ditegaskan, Wahabi bukan Ahlus Sunnah atau pun Salafi. Dan jika diumpamakan sebuah virus yang merusak, virus Wahabi pun boleh dikatakan telah mulai merasuki daging kaum muslim dengan kegemaran mereka mengatasnamakan Salafi dan Ahlus Sunnah, padahal mereka (Khawarij-Wahabi) sesungguhnya palsu dan bertentangan dengan kaidah ajaran Islam yang sesungguhnya, menjadi noda kotor dalam secarik kain yang putih dan demikianlah kenyataan yang ada.

ARTI MANHAJ SALAF
Kata dan istilah Al-Salaf atau Salafiyah diambil dari kata Salaf yang berarti “orang-orang terdahulu” (pendahulu), seumpama kata Salafushshalih yang berarti orang–orang shalih sebagai pendahulu kaum muslim sesudahnya, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Dalam hal ini, kata salaf merujuk kepada sahabat dan orang-orang salih di jaman Islam awal, di jaman Nabi SAW dan para sahabat. Namun demikian, Wahabi-Khawarij tidak sahih ketika mereka mengatakan sebagai pewaris salaf, sebab pada kenyataannya mereka memutus sanad dari As-Salaf, dari Islam yang dijaga Nabi SAW dan ahlul bayt-nya, seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha (as):

Sungguh aku (Rasulullah) tahu bahwa ajalku telah dekat. Sesungguhnya kamu adalah orang yang paling pertama menyusulku dari kalangan ahlul baitku. Sebaik-baik pendahulumu adalah aku. Fatimah berkata, Mendengar bisikan itu, maka aku pun menangis. Kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbisik lagi kepadaku, Hai Fatimah, maukah kamu menjadi pemimpin para istri orang-orang mukmin atau sebaik-baiknya wanita umat ini? Lalu aku pun tertawa karena hal itu (HR Muslim 4488).

Namun kelompok Wahabi-Khawarij hanya mengutip bagian awal tersebut demi meligitimasi klaim sepihak mereka agar dianggap sebagai pewaris salaf, yaitu hanya dengan menggunakan matan (redaksi): “Sesungguhnya aku adalah sebaik-baik salafmu.”

Di sini, perlu diterangkan, apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:

PERTAMA, para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

KEDUA, shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).

KETIGA, shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan dikenal sebagai mujtahid mutlak.

Berikut adalah rincian yang membedakan antara wahabi dengan salafi, dengan rincian yang sangat membedakan pemahaman yang jauh dan bertolak belakang antara keduanya.

[1] Manhaj ulama As-Salaf yang sebenarnya adalah ulama Islam yang hidup dalam lingkungan 300 Hijriah yaitu Tanzih yang mensucikan Allah dari persamaan dengan makhluk-Nya. Sedangkan pemahaman Wahabi menyamakan Allah dengan makhluk. Maka Wahabi tidak layak dilsebut sebagai Salafi atau pun Ahlus Sunnah.

[2] Aqidah ulama As-Salaf yang sebenarnya pada ayat-ayat mutasyabihat dan hadith-hadith mutasyabihat adalah tidak berpegang dengan yang zahir maknanya tetapi ditolak makna zahirnya dan dinafikan segala perumpaan Allah dengan makhluk.

Manakala aqidah Wahabi adalah berpegang kepada yang zahir makna ayat-ayat mutasyabihat dan hadith-hadith mutasyabihat yang membawa kepada persamaan Allah dengan makhluk kemudian ditambah lagi Wahabi yang menyifatkan Allah kepada seluruh sandaran yang bukan sifat pada hakikatnya, maka Wahabi sangat tidak layak dinamakan sebagai As-Salaf.

[3] Ulama As-Salaf yang sebenarnya adalah ulama Islam yang hidup dalam 3 kurun pertama yaitu ulama yang pernah hidup pada zaman sebelum 300 Hijrah.

Manakala Wahabi muncul pada lingkungan 1111 Hijrah., amat jauh perbedaan antara yang benar dan yang bathil. Maka Wahabi sangat tidak boleh dinamakan sebagai Al-Salaf.

[4] Dakwah ulama Salaf yang sebenarnya adalah tidak mengkafirkan umat Islam sebagai individu maupun khalayak ramai selagi seseorang itu muslim dan tidak melakukan perkara yang membatalkan ke-Islam-annya.

Manakala Wahabi mengkafirkan ulama Islam dan umat Islam tanpa hak secara umum tanpa had dan seluruhnya dikafirkannya, maka Wahabi diharamkan daripada mempergunakan nama Salaf.

[5] Fiqh ulama Al-Salaf adalah tidak jumud dan tidak sempit serta tidak menghukum amalan umat Islam yang mempunyai dalil sebagai bid’ah sesat. Manakala Wahabi berfiqh secara jumud, sempit dan suka menghukum seluruh amalan umat Islam khasnya yang mempunyai dalil sebagai bid’ah, sesat, dan syirik, maka Wahabi tidak sepatutnya dinamakan sebagai Salafiyyah.

TENTANG WAHABI
Kelompok Wahabi seringkali tidak memiliki sanad, ketika mereka mengklaim sebagai pewaris salafi, dan mungkin sudah resiko mereka karena bersikap ekstrem keluar (kharaja) dari pemahaman Islam yang dijaga Nabi SAW dan Ahlul Bayt.

Mereka mengaku-ngaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh dan menamakan diri mereka sebagai Salafi. Tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh sehingga mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh. Apa yang para tokoh mereka katakan sebagai pemahaman Salafush Sholeh adalah ketika mereka membaca hadits, tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut Tabi’in, Tabi’in dan Sahabat. Inilah yang mereka katakan bahwa mereka telah mengetahui pemahaman Salafush Sholeh. Bukankah itu pemahaman mereka sendiri terhadap hadits, yang sayangnya dengan sanad yang cacat, dan tak jarang melakukan pemalsuan, karena mereka tentu tidak bertemu salafus sholeh disebabkan mereka memutus diri dari sanad-sanad sahih.

Mereka berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.

Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh. Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atasnamakan kepada Salafush Sholeh.

Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh. Fitnah dari orang-orang yang serupa dengan Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al-Najdi yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

Telah bercerita kepada kami Abu Al-Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az-Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya! Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al-Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan) (HR Bukhari 3341).

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah At-Tamim An-Najdi dipanggil oleh Rasulullah sebagai “orang-orang muda” yakni mereka suka berdalil atau berfatwa dengan Al-Qur’an dan Hadits namun salah paham. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda yang pemahamannya sering salah paham. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyyah” (maksudnya: suka berdalil dengan Al-Qur’an dan Hadits). Iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu perangilah mereka (luruskan pemahaman mereka)” (HR Bukhari 3342).

“Orang-orang muda” adalah kalimat majaz yang maknanya orang-orang yang kurang berpengalaman atau kurang berkompetensi dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka mengatakan bahwa “istilah salaf atau dakwah salaf bukanlah istilah baru. Istilah ini sudah dikenal sejak masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yakni ketika ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Fathimah “Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu” (HR. Muslim).

Padahal hadits selengkapnya adalah: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sungguh aku (Rasulullah) tahu bahwa ajalku telah dekat. Sesungguhnya kamu adalah orang yang paling pertama menyusulku dari kalangan ahlul baitku. Sebaik-baik pendahulumu adalah aku. Fatimah berkata, Mendengar bisikan itu, maka aku pun menangis. Kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbisik lagi kepadaku, Hai Fatimah, maukah kamu menjadi pemimpin para istri orang-orang mukmin atau sebaik-baiknya wanita umat ini? Lalu aku pun tertawa karena hal itu” (HR Muslim 4488).

Jika demikian, mereka secara tidak langsung telah memfitnah Rasulullah karena hadits tersebut sama sekali bukan menceritakan tentang “Manhaj Salaf”. Hadits tersebut menceritakan bahwa pemimpin pendahulu Fatimah Radhiallahu Anha adalah Rasulullah yang merupakan sebaik-baik pemimpin sedangkan pemimpin yang menyusul dari kalangan ahlul bait untuk para istri orang-orang mukmin adalah Fatimah Radhiallahu Anha.

Kata salaf dalam hadits ini adalah semata-mata artinya pendahulu bukan menerangkan adanya istilah “manhaj salaf” ataupun “mazhab salaf”. Para Imam Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang merupakan pemimpin ijtihad kaum muslim karena telah diakui berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salaf yang Sholeh tidak pernah menyampaikan adanya manhaj salaf atau mazhab salaf.

Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang daripada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka, hal ini karena mereka tidak meluangkan masa sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabi’in dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”

Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, yang wafat dan syahid karena dibunuh kelompok teroris Wahabi di Suriah itu, dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.


Mereka termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionisme dengan periodisasi salaf dan khalaf yang bertujuan agar umat Islam tidak mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang lima seperti yang telah disebutkan dan tentunya termasuk ulama khalaf karena mereka hidup setelah generasi Salafush Sholeh sampai akhir zaman.

Ceritera Negeri Surosowan


Syahdan, sebagaimana diceritakan dan dikisahkan, pada masa dulu kala, yaitu di zaman purbakala, ketika Sanghyang Betara Guru Jampang melanjutkan perjalanannya dari arah Timur ke Barat, yaitu ke tempat yang dinamakan Surosowan, yang merupakan nama dan gelar seorang Raja Banten, dimana kata Surosowan itu dalam bahasa Kawi artinya Surosadji yang mengandung arti dan makna Seorang Raja yang Berani.

Di tempat itulah Betara Guru Jampang duduk bersila atau bertapa di atas Watu Gigilang atau Batu yang Berkilauan. Di jaman itu, Negeri Surosowan dilingkungi atau dikelilingi air sungai yang jernih, air sungai yang kejernihannya seperti kilau intan dan permata. Dari perumpamaan negeri yang dikelilingi kejernihan air sungai itulah lahir sebutan Banten, yang berarti negeri yang dikelilingi cahaya intan. Sedangkan orang-orang Cina di jaman itu menyebutnya sebagai Wantan dan orang-orang Sunda menyebutnya Wahanten.

KEDATANGAN MAULANA HASANUDDIN
Waktu dan jaman pun terus bergulir dan berganti, hingga pada akhir abad ke-15 atau di awal abad ke-16 Masehi, Maulana Makhdum Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati di Cirebon, mengutus anaknya, yaitu Maulana Hasanuddin agar datang ke Negeri Banten untuk berdakwah dan menyebarkan Islam, termasuk mengenalkan Islam kepada raja-raja Banten, karena Syarif Hidayatullah telah mengetahui bahwa Maulana Hasanuddin sudah layak dan pantas untuk melakukannya.

Tanpa ditemani banyak pengawal dan prajurit, Maulana Hasanuddin pun berangkat dari Cirebon dengan hanya ditemani oleh salah-seorang santri kenamaan yang biasa disebut Ki Santri, seorang santri yang ditunjuk langsung oleh Syarif Hidayatullah. Kala itu, setelah selesai berkemas, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri pun menghadap Maulana Syarif Hidayatullah untuk memohon doa dan restunya, setelah bersama-sama menunaikan sholat sunah berjamaah dua rakaat.

Esok harinya, setelah menunaikan sembahyang subuh, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri pun bergegas keluar bersama-sama menuju pantai di mana telah tersedia sebuah perahu jung, dan setelah mereka menaiki perahu jung itu, mereka pun berlayar menuju Negeri Banten Girang.

Karena doa restu ayahanda-nya itulah, dalam perjalanannya Maulana Hasanuddin mendapatkan angin yang tetap dan tidak terancam badai atau gelombang di lautan, hingga dalam tempo yang sebenarnya belum waktunya, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri tiba dan mendarat di Pelabuhan Banten dengan selamat dan tanpa halangan. Ketika itu, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri segera menuju ke arah Selatan-Daya, hingga mereka tiba di sebuah tempat di mana terdapat tiga pertapa yang tengah bertapa yang duduk bersama-sama di atas Batu Ceper.

Berkat pemberitahuan dari ayahandanya sebelum berangkat, Maulana Hasanuddin telah tahu bahwa ketiga orang yang tengah bertapa itu tak lain adalah para Waliyullah, sebab ketika Maulana Hasanuddin mengucapkan “Salam”, mereka pun segera menjawab dengan ucapan “Salam”.

Setelah berjabat-tangan dengan mereka, Maulana Hasanuddin dengan santun bertanya kepada mereka: “Mengapa gerangan tuan-tuan berada di sini?” Mendengar kata-kata santun Maulana Hasanuddin itu, ketiga pertapa yang tengah bersemedi itu pun menjawab bersama-sama: “Kami memang telah sengaja menunggu kedatangan Adinda yang mulia di sini!” Kemudian Maulana Hasanuddin pun kembali bertanya dengan sopan kepada mereka: “Mengapa tuan-tuan menunggu?” Dan mereka pun kembali menjawab: “Sebenarnya tidak juga kami menunggu, sebab kami hanya ingin tahu wajah dan rupa Adinda”.

Begitulah, setelah berdialog dan berdiskusi dengan mereka, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri pun segera menuju ke Selatan, menyusuri jalan setapak yang mengikuti aliran Kali Pandan atau Sungai Cibanten ke arah udik, dan kemudian keduanya berhenti di depan rumah seorang empu, yang letak rumahnya tak jauh dari Pakuan (Pakuwuan) Banten Girang.

Demikianlah, setelah tiba di Banten Girang, Maulana Hasanuddin dan Ki Santri tinggal di rumah seorang empu tersebut. Dengan cara diam-diam, Maulana Hasanuddin memperhatikan dan mencermati kebiasaan dan adat-istiadat sehari-hari masyarakat Banten Girang, tata-sosialnya, juga dari perkataan orang-orangnya dan kepercayaan mereka, sembari berdakwah dengan jalan keramahtamahan yang disesuaikan secara pelan-pelan dengan kepercayaan masyarakat Banten Girang yang ketika itu menganut agama Hindu dan Budha.

Sementara itu, hikayat yang cukup menggugah rasa adalah ketika Maulana Hasanuddin dan Ki Santri bertemu dengan dua orang yang tengah memancing atau mencari ikan di tepi Kali Pandan atau Sungai Cibanten. Saat bertemu dengan dua orang itu, Maulana Hasanuddin menanyakan kepada mereka sudah berapa banyakkah mereka mendapatkan ikan? Dan keduanya mengatakan bahwa mereka sedari pagi hingga senja itu sama-sekali belum mendapatkan ikan tangkapan seperti yang mereka inginkan.

Mengetahui hal tersebut, timbullah rasa iba Maulana Hasanuddin dan mengatakan kepada mereka bahwa Maulana Hasanuddin akan mengajari mereka bagaimana cara menangkap ikan, juga tatacara berdoa beserta sarat-masruatnya, jika mereka mau datang ke rumah seorang empu di mana Maulana Hasanuddin tinggal di Banten Girang. Dan begitulah selanjutnya, ketika malam tiba, kedua nelayan di Kali Pandan atau Sungai Cibanten itu datang ke rumah si empu di Banten Girang untuk menemui Maulana Hasanuddin.

KAUM PANDITA & PARA ADJAR DI GUNUNG PULOSARI
Peristiwa masuk Islam-nya si empu dan dua orang nelayan di Kali Pandan atau Sungai Cibanten itu pun mulai tersebar ke masyarakat Banten Girang. Dan, pada suatu ketika, semenjak kedatangan dan masuk Islamnya dua orang nelayan di Kali Pandan atau Sungai Cibanten itu, dua orang adjar datang ke Maulana Hasanuddin setelah Maulana Hasanuddin selesai melaksanakan sembahyang subuh. 

“Ya Maulana Hasanuddin,” ujar dua orang adjar itu, “kami berdua adalah Ki Jong dan Ki Jo, yang sengaja datang untuk menemui Anda.” Saat itu, Maulana Hasanuddin merasa takjub dengan kedatangan dua orang adjar itu, dan Ki Jong dan Ki Jo pun kemudian melanjutkan maksud mereka. “Kami berdua adalah keturunan Prabu Siliwangi yang datang ke negeri Banten Girang untuk menemani Kakanda Prabu Pucuk Umun.” Kata Ki Jong dan Ki Jo. “Ketika kami berdua tengah bertapa di Gua Periuk Tembaga atau Dalung, telah datang suatu petunjuk tentang pertemuan dengan Maulana, yang telah membuat kami segera menyudahi tapa kami karenanya.” 

Demikianlah Ki Jong dan Ki Jo menceritakan maksud kedatangan mereka kepada Maulana Hasanuddin, dan kemudian mereka pun melanjutkan cerita mereka. “Dan sekembalinya kami dari pertapaan menuju Pakuan Banten Girang, kami tak menemukan Kakanda Prabu Pucuk Umun, dan saat itu dari orang-orang, kami mengetahui tentang kemasyhuran Anda, hingga kami berjumpa langsung dengan Anda sekarang ini.”

Keesokan harinya, dengan bersama-sama, Maulana Hasanuddin, Ki Santri, Ki Jong, dan Ki Jo, menuju dan masuk ke dalam istana Pakuan Banten Girang untuk menemui keberadaan Prabu Pucuk Umun, yang ternyata istana itu telah sunyi dan Pucuk Umun pun tak ada di tempatnya, dan setelah mereka berkeliling mencari ke dalam istana Pakuan Banten Girang itu, mereka justru menemukan seorang laki-laki keturunan bangsa Jin, yang ketika bertemu dengan Maulana Hasanuddin, Ki Santri, Ki Jong dan Ki Jo, lelaki keturunan bangsa Jin itu mengikrarkan diri memeluk agama Islam, dan kemudian lelaki keturunan bangsa Jin yang telah menganut Islam di hari itu pun diberinama Ki Santri, untuk menemani Ki Santri yang datang dari Cirebon.

Sementara itu, Maulana Hasanuddin tetap mengisi dan tinggal di istana Pakuan Banten Girang, yang resmi dikawal oleh Ki Jong dan Ki Jo, dan dua orang yang resmi memiliki nama yang sama: Ki Santri.

Dan seperti telah diceritakan, sebelum kedatangan Islam, Negeri Banten Girang menganut agama Hindu dan Budha, di mana masyarakatnya beribadah dengan perantara patung, batu, dan sebagainya, yang pujian tertingginya kepada Sanghyang Batara Tunggal. Orang-orang yang berpengaruh di antara mereka bergelar Adjar dan Pandita, dimana mereka senang bertapa di tempat-tempat yang sunyi, di bawah gunung, di hulu sungai, di atas batu, atau di tempat-tempat lain yang mereka anggap cocok dan bertuah.

Di antara para adjar itu, yang paling masyhur, sakti, dan berani bergelar Pucuk Umun, yang teramat luas pertapaannya dan sangat berpengaruh di antara semua adjar di Negeri Banten Girang. Gelar Pucuk Umun itu berarti adjar yang paling dicintai masyarakatnya karena kesaktian, kebijaksanaan, dan keberaniannya. Dan sejak diangkat menjadi Prabu, ia bertempat di Istana Pakuan Banten Girang.

Namun, sejak mengetahui kedatangan dan keberadaan Maulana Hasanuddin dari masyarakat Banten Girang, hati Prabu Pucuk Umun pun menjadi cemas hingga ia memutuskan untuk keluar dari Istana Pakuan Banten Girang menuju ke sebuah tempat yang bernama Batuwara di Gunung Pulosari demi bermusyawarah dengan Prabu Seda Sakti untuk membahas sikap dan tindakan mereka terhadap Maulana Hasanuddin. Di tempat yang bernama Batuwara di Gunung Pulosari itulah terdapat banyak tempat para adjar dan pandita, yang di antaranya adalah Adjar Domas, Pakuan Batu Ranjang, Batu Putih, dan Batu Miring, yaitu tempatnya Sanghyang Dengdek.

Ketika tersiar kabar bahwa Prabu Pucuk Umun telah sampai di tempat itu, semua ajar, Sanghyang, dan Dangiang pun berkumpul di tempat yang bernama Batuwara di Gunung Pulosari tersebut, dimana para adjar yang berasal dari tempat lain pun datang ke tempat pertemuan tersebut. Dalam pertemuan itu, mereka pun telah bersepakat untuk tidak takluk atau pun memeluk agama Islam yang dibawa Maulana Hasanuddin, meski mereka telah merelakan dan membiarkan masyarakat di Negeri Banten Girang Pesisir menentukan kemauan mereka sendiri, apabila mereka berkehendak untuk menolak atau pun menganut agama Islam yang didakwahkan Maulana Hasanuddin dan Ki Santri.

Begitulah, semua para adjar, sanghyang, dan para dangiang, juga para pandita, para prabu, dan tumenggung telah menyatukan diri di Gunung Pulosari, dimana di antara mereka selalu berjaga-jaga siang dan malam, sembari mengadakan acara sabung ayam, mengadu kambing, burung, sembari sesekali saling-moncoba dan saling berlatih satu sama lain untuk menguji-coba kesaktian mereka, sementara sebagian yang lainnya membakar kemenyan untuk memanjatkan puja dan puji kepada Sanghyang Batara Tunggal.

Ketika para adjar, pandita, dan Prabu Pucuk Umun bersuka ria dalam sebuah pesta dan perayaan, tiba-tiba meledak dan bergemuruhlah suara petir berkali-kali, yang diiringi halilintar, dan kemudian hujan lebat pun turun bersamaan dengan angin putting beliung. Hari yang mulanya terang tiba-tiba menjadi gelap pekat karena kabut dan awan hitam yang membesar dan bergumpalan di langit. Tak lama kemudian, terasa oleh mereka gempa bumi berkali-kali hingga banyak batu-batu besar terguling dari tempatnya, juga banyak pohon-pohon yang tumbang dan disusul dengan air sungai yang meluap dan mengirimkan air bah, seakan-akan Gunung Pulosari meletus di hari itu.

Di saat semua yang hadir merasa was-was dan terkejut ketika itu, Prabu Pucuk Umun pun tak dapat berkata apa-apa dan hanya bisa diam karena selama ia hidup belum pernah mengalami peristiwa seperti yang terjadi di hari itu. Begitu juga Prabu Seda Sakti, yang sama-sama bingung, hingga hanya bisa tercenung seperti yang dirasakan oleh Prabu Pucuk Umun.

Setelah peristiwa usai, dan setelah matahari kembali muncul dan pelan-pelan mulai memancarkan kembali cahayanya, Prabu Pucuk Umun pun memerintahkan Jang Kangkaleng Jang Kangkarang untuk datang ke istana Pakuan Banten Girang demi mengetahui apa yang tengah terjadi. Segera saja, Jang Kangkaleng Jang Kangkarang pergi menuju ke utara. Sesampainya di Banten Girang, ia menumpang di rumah salah-seorang kenalannya, yang ternyata telah menganut agama Islam.

Sementara itu, istana Pakuan Banten Girang telah diisi oleh Maulana Hasanuddin, dua Ki Santri, Ki Jong, dan Ki Jo. Penduduk di sekitar istana Pakuan Banten Girang dan di desa-desa ternyata telah banyak yang menganut agama Islam.

Selama tujuh hari tujuh malam itulah Jang Kangkaleng Jang Kangkarang menyelidiki apa yang telah terjadi, yaitu telah banyak orang-orang Banten Girang yang menganut agama Islam. Ia pun menceritakan itu semua kepada Prabu Pucuk Umun, Prabu Seda Sakti, dan prabu-prabu yang lainnya yang saat itu masih berkumpul di Batuwara di Gunung Pulosari. Prabu Pucuk Umun dirundung amarah ketika Jang Kangkaleng Jang Kangkarang menceritakan tentang masuk Islamnya Ki Jong dan Ki Jo. “Rupanya inilah yang hendak disampaikan oleh petanda halilintar dan badai beliung itu.” Kata Prabu Pucuk Umun. “Tapi walau bagaimana pun, kita tak boleh takluk atau menganut agama yang dibawa Hasanuddin!” Ujar Prabu Pucuk Umun dengan lantang.

KI JONG & KI JO MENCARI PUCUK UMUN
Pada suatu hari Maulana Hasanuddin mengutus Ki Jong dan Ki Jo untuk mencari dan menemui Pucuk Umun. Saat itu, Ki Jong dan Ki Jo mengusulkan untuk menaklukkan Prabu Pucuk Umun dengan jalan perang dan adu-tanding, tapi Maulana Hasanuddin tidak menyetujui usul tersebut. Di hari itu, Ki Jong dan Ki Jo pergi menuju ke timur dengan mengenakan keris masing-masing. Orang-orang yang ada di sekitar istana Pakuan Banten Girang menawarkan diri mereka untuk membantu Ki Jong dan Ki Jo, namun tak seorang pun dari mereka diperbolehkan untuk turut serta bersama Ki Jong dan Ki Jo.

Ki Jong dan Ki Jo pun berangkat menuju Pakuan Pajajaran, dan di sepanjang perjalanan menuju Pakuan Pajajaran dan ketika sudah berada di Pakuan Pajajaran itulah Ki Jong dan Ki Jo tak sungkan-sungkan untuk berdakwah dan mensyiarkan Islam, meski mereka tak menemukan keberadaan Prabu Pucuk Umun yang mereka cari dengan menempuh perjalanan yang cukup jauh itu. Mereka juga tak menemukan keberadaan Prabu Pakuan Pajajaran. Hingga mereka mendapatkan kabar bahwa semua petinggi, para ajar, dan para Prabu Pakuan Pajajaran sedang berkumpul di Gunung Pulosari.

Ki Jong dan Ki Jo pun menjadi was-was dan khawatir dengan kabar yang mereka dapatkan itu, sebab khawatir kalau-kalau mereka semua sudah menuju ke Pakuan Banten Girang. Karena itulah mereka berdua pun segera kembali lagi menuju Pakuan Banten Girang. Dan sesampainya mereka di Pakuan Banten Girang, Ki Jong dan Ki Jo pun menceritakan perihal semua yang didapatkan mereka kepada Maulana Hasanuddin. Saat itulah Ki Jong dan Ki Jo meminta persetujuan Maulana Hasanuddin untuk pergi menuju ke Gunung Pulosari, tapi Maulana Hasanuddin tidak menyetujuinya.

MAULANA HASANUDDIN MENUJU GUNUNG PULOSARI
Keesokan harinya, dengan ditemani Ki Jong, Ki Jo, dan dua Ki Santri serta sejumlah rakyat dan para penduduk Banten Girang, Maulana Hasanuddin pun berangkat dari Pakuan Banten Girang menuju ke Gunung Pulosari, hingga ketika mereka merasa lelah, mereka pun kemudian berteduh di sebuah pohon beringin yang letaknya di dekat kaki Gunung Pulosari arah sebelah timur. Di tempat itulah mereka menginap dan tinggal untuk beberapa hari, di sebuah tempat yang dikelilingi hutan belantara, yang kemudian tempat itu dinamakan Waringin Kurung.

Seperti telah diceritakan, di Gunung Pulosari itulah terdapat banyak tempat para Adjar dan Pandita, yang tempat-tempat itu telah diketahui Ki Jong dan Ki Jo. Selama sebulan berada di Waringin Kurung itu, Ki Jong dan Ki Jo sering datang ke Gunung Pulosari, dan ketika kembali ke Waringin Kurung, selalu membawa sejumlah adjar yang segera menganut agama Islam. Walhasil, dari hari ke hari semakin banyak para adjar yang menganut agama Islam. Setelah tujuh kali Jum’at, Maulana Hasanuddin pun mengutus Ki Jong dan Ki Jo, dengan ditemani sejumlah adjar, untuk menemui Prabu Pucuk Umun di puncak Gunung Pulosari.

Sesampainya di puncak Gunung Pulosari, mereka mendapati Prabu Pucuk Umun tengah berkumpul dengan para punggawanya, yang ternyata telah mengetahui keberadaan Maulana Hasanuddin di Waringin Kurung. Dengan tenang Ki Jong dan Ki Jo pun masuk dan menemui Prabu Pucuk Umun. “Kakanda Prabu Pucuk Umun,” kata salah seorang dari mereka, “sudah saatnya Maulana Hasanuddin yang akan menjadi pemimpin dan panutan di negeri ini, dan karena itu alangkah baiknya bila Kakanda Prabu Pucuk Umun menganut agama yang telah kami anut.”

Mendengar hal itu, Prabu Pucuk Umun pun menjadi murka, juga para punggawanya. “Hai, Ki Jong!” ujar Prabu Pucuk Umun dengan lantang, “tidaklah mudah kami menukarkan agama begitu saja. Kecualia bila Panembahan barumu itu mau mengadu kesaktian. Karena itu alangkah baiknya bila kalian mempersiapkan diri saja untuk adu tanding antara aku dan panembahan barumu itu ditempat yang ditentukan.”

Mendengar jawaban Prabu Pucuk Umun itu, Ki Jong dan Ki Jo pun tersulut amarahnya hingga langsung mengeluarkan keris mereka dan segera mengarahkan ke arah Prabu Pucuk Umun. Namun, Prabu Seda Sakti berhasil mencegah dan menggenggam tangan Ki Jong dan Ki Jo, hingga keris mereka malah menyasar ke tubuh para ajar dan beberapa orang yang ada di sekitar tempat tersebut dan telah membuat beberapa orang tergelincir. Sontak saja, terjadilah adu-tanding dan adu kesaktian antara pasukan Ki Jong dan Ki Jo dengan beberapa punggawa di tempat tersebut, sementara beberapa orang memilih untuk meninggalkan tempat tersebut dengan jalan mengasingkan diri ke Gunung Aseupan dan ke Gunung Karang.   

SABUNG AYAM DI TEGAL PAPAK
Setelah kedua belah pihak telah bersepakat, dan telah menyiapkan ayam yang akan disabungkan, maka di hari itu, pada 11 Rabiul Awal, orang-orang dari istana Pakuan Banten Girang dan para adjar dan pandita di Gunung Pulosari telah berkumpul untuk menyaksikan pertandingan sabung ayam antara Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun. Saat itu, ayam keduanya saling mematuk, menghantam, mencabik, atau sesekali menghindari serangan lawannya, sebelum saling menyerang satu sama lain, yang diiringi oleh sorak-sorai dan gegap gempita para pendukung Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun secara bergantian atau pun bersamaan.

Saat itu, semua yang hadir dan menyaksikan adu tanding kesumat dan mendebarkan hati mereka yang menyaksikannya itu membuat semua yang melihatnya merasa takjub dan heran ketika kedua ayam yang sama gagah dan perkasanya belum menandakan ada yang akan kalah di tengah arena. Bila ayam yang satu terpantik atau terjangkar oleh ayam yang lainnya, maka para pendukungnya akan bersorak gembira, member dukungan, dan begitu juga sebaliknya. Sabung ayam atau adu-tanding dua ayam jalu itu juga disaksikan oleh Prabu Seda Sakti dan Jang Kangkalang dari Pakuan Pajajaran dan Agus Jong dan Agus Ju dari Pakuan Banten Girang. Di sisi lain, saat itu, Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun saling mengadu doa dan mantra agar ayam-ayam jalu mereka tetap gagah dan perkasa saat saling menyerang secara bersamaan dan bergantian.

Anehnya, tanding sabung ayam yang telah berlangsung sejak pagi hingga sore itu belum juga menampakkan mana yang kalah, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan adu tanding sabung ayam itu keesokan harinya.

Dan begitulah selanjutnya, adu tanding sabung ayam antara ayam Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun itu ternyata berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan kekalahan ayam jalu milik Prabu Pucuk Umun. “Sekarang sudah terbukti ayam milikku yang menang? Lalu apa keinginanmu selanjutnya?” Ujar Maulana Hasanuddin. “Tentu saja saya tetap tidak akan takluk dengan agama yang anda bawa, dan saya akan beradu tanding di medan laga!” Jawab Prabu Pucuk Umun. Ketika itu, Maulana Hasanuddin memberi isyarat kepada dua pengikutnya yang sama-sama bernama Ki Santri untuk menghadapi dan melawan Prabu Pucuk Umun, dan ketika dua Ki Santri hendak memegang lengan Prabuk Pucuk Umun, seketika Prabu Pucuk Umun pun melompat ke atas pohon kelapa dan masuk ke dalam cumplung kelapa, sembari berteriak: “Silahkan cari di mana gerangan aku berada?

Namun, dengan segera dan tanggap, Maulana Hasanuddin pun kembali memberi isyarat kepada dua Ki Santri agar memanjat pohon kelapa tersebut, dan mereka pun segera meluruhkan dan melepaskan cumplung kelapa tempat persembunyian Prabu Pucuk Umun itu hingga jatuh ke tanah. Dan ketika itu pula Prabu Pucuk Umun kembali memekik sambil keluar dari cumplung kelapa tersebut. Melihat keadaan itu, giliran Ki Mas Jong yang melompat untuk menangkap Prabu Pucuk Umun, yang pada saat itu pun Prabu Pucuk Umun menantang Ki Mas Jong untuk dapat mencari dirinya yang memang segera menghilang dan bersembunyi itu. Ketika itulah Maulana Hasanuddin memerintahkan dua Ki Santri untuk mencarinya di setiap bunga melati yang hendak mekar, dan bantinglah bila menemukan bunga tersebut.

Betul saja. Prabu Pucuk Umun memang bersembunyi di dalam bunga melati, dan saat Ki Santri mendapatkan bunga melati tempat persembunyiannya itu, Ki Santri pun menyerahkannya kepada Maulana Hasanuddin, yang segera membanting bunga melati tersebut hingga terlontarlah kilatan-kilatan api yang diiringi pekikan suara Prabu Pucuk Umun. Saat itu, Maulana Hasanuddin cepat-cepat memberi isyarat kepada Ki Santri untuk menangkapnya, meski Ki Santri gagal melakukannya karena Prabu Pucuk Umun ketika itu melompat dan terbang ke udara, bersembunyi di balik awan putih, yang segera diikuti oleh dua Ki Santri, hingga mereka bertarung di angkasa.

Setelah Ki Santri merasa tak punya lagi kesempatan untuk menangkap Prabu Pucuk Umun, segera pula memutuskan kembali ke Waringin Kurung. Sebagian hikayat dan cerita menyatakan bahwa Prabu Pucuk Umun terpukul kepalanya hingga jatuh ke bumi, dan kemudian menyelam ke dalam bumi hingga sampai ke Tamansari, Pandeglang atau pergi ke Ujung Kulon.

Demikianlah diceritakan bahwa Maulana Hasanuddin selama bertahun-tahun ada di daerah Gunung Pulosari demi menyebarkan agama Islam. Juga ke Gunung Karang, Gunung Aseupan, dan tempat-tempat di sekitarnya hingga sebanyak 798 orang resmi menganut agama Islam, yang di dalamnya termasuk para adjar dan kaum pandita. Sedangkan mereka yang tetap tak mau menganut agama Islam adalah: Prabu Pucuk Umun yang tinggal di Ujung Kulon, Prabu Anggalarang yang tinggal di Tanjung Tua, Lampung. Prabu Linggawastu yang tinggal di Gunung Raja Basa, Lampung. Prabu Langga Buana yang tinggal di Gunung Gede, Cilegon. Prabu Munding Kalongan yang tinggal di Gunung Kadesa, Puncakmanik. Prabu Bramakandil yang tinggal di Gunung Pulosari. Prabu Seda Sakti yang tinggal di Tanjung Pujut atau di kawasan Teluk Banten. Prabu Mundalati yang tinggal di Gunung Kendeng, Lebak. Prabu Jang Kangkaleng Jang Kangkarang yang tinggal di Gunung Karang, dan Prabu Dewa Ratu yang tinggal di Gunung Panaitan.

Sementara itu, Prabu Pucuk Umun, yang merupakan keturunan Pajajaran itu, dapat disilsilahkan sebagai berikut: Kudalalean memiliki anak bernama Banjaran Sari memiliki anak bernama Mundingsari memiliki anak bernama Mundingwangi memiliki anak bernama Sari Pamekas. Juga dapat disilsilahkan sebagai berikut: Prabu Seda memiliki anak tiga orang, yaitu Hariang Banga yang menjadi Ratu di Galuh, yang kedua Jaka Susuruh atau Raden Tanduran, dan yang ketiga adalah Ciung Wanara yang meniliki anak bernama Lutung Kasarung memiliki anak bernama Prabu Darmaraja memiliki anak bernama Prabu Sakti memiliki anak Prabu Dewata memiliki anak Prabu Jaya Dewa memiliki anak Prabu Manditi memiliki anak Prabu Dewa Pakuan memiliki anak Prabu Raja Dewa memiliki anak Prabu Guru Tunggal Sakti memiliki anak Prabu Guru Tunggal Seda memiliki anak Prabu Tunggal Buana memiliki anak Prabu Seda Raja memiliki anak Prabu Pucuk Umun atau Ragamulya Surya Kencana memiliki anak Sang Kangkaleng penunggu periuk tembaga atau Dalung di Banten Girang yang juga tidak mau menganut agama Islam.

Dari putra yang lain menurunkan Prabu Anggalarang yang mempunyai anak Prabu Lingga Wastu yang memiliki anak Pangeran Lingga Tunggal yang memiliki anak Susuk Tunggal yang memiliki anak Susuk Djati yang memiliki anak-anak Pakuan dan yang kemudian memiliki anak Lingga Lumaya. Demikianlah diceritakan Prabu Pucuk Umun atau Panembahan Pulosari akhirnya tinggal di Ujung Kulon hingga akhir hayatnya.

MAULANA HASANUDDIN KE BANTEN SELATAN, INDRAGIRI, & PAJAJARAN
Selanjutnya, sebagaimana menurut cerita dan hikayat, pada suatu hari, Maulana Hasanuddin berpesan kepada Ki Mas Jong dan Ki Agus Ju agar tinggal dan menunggu istana Pakuan Banten Girang berserta rakyat di Banten Girang, karena ia akan pergi menuju Banten Selatan, yang setelah itu akan menuju Lampung. Dengan ditemani dua Ki Santri, berangkatlah Maulana Hasanuddin menuju Banten Selatan, kemudian pergi ke arah barat dengan mengikuti pantai laut sebelah barat hingga sampai ke Ujung Kulon. Dan dari Ujung Kulon, dengan menumpangi rakit, menyebarang ke Pulau Panaitan.

Saat berlayar atau menyebrang itulah, Maulana Hasanuddin meminta Ki Santri menyelam ke dasar laut, dan ketika Ki Santri telah muncul kembali, dibawanya sebuah Gong Keramat yang berpanju tujuh mungmung yang ia temukan dari dasar laut Panaitan. “Tahukah kau, Ki Santri, arti dan perlambang tujuh mungmung gong yang telah kita temukan itu?” Kata Maulana Hasanuddin, “Arti tujuh mungmung Gong Keramat ini menandakan bahwa keturunanku kelak hanya akan mengalami kemakmuran, kemerdekaan, dan kesentosaan hanya sampai tujuh turunan saja ketika mereka menjadi Raja di Banten. Sekarang letakkan Gong itu di atas air!”

Demikianlah sebagaimana dikisah hikayat, setelah dibalikkannya tujuh mungmungannya ke bawah, Gong Keramat itu pun terapung di atas air, dan mereka semua pun menumpangi Gong Keramat tersebut layaknya menaiki perahu jung, yang segera pula diberi kait di antara kedua sisinya hingga tak akan karam. Dengan menumpangi Gong Keramat itu pulalah, mereka berangkat dari Pulau Panaitan menuju Lampung. Mula-mula mereka mendarat ke Teluk Semangka, kemudian ke Silebar Bangka Hulu (yang kini bernama Bengkulu), hingga akhirnya ke Minangkabau. Dan dari Minangkabau itulah, ketika mereka kembali, berlayar mengikuti jalan pantai laut sebelah utara hingga sampai ke Seram.

Di sekitar Lampung dan Minangkabau itulah, yang menjadi Ratu bernama Ratu Dara Putih, yang ketika mengetahui kabar kedatangan Maulana Hasanuddin, segera menyambutnya di pantai, yang ketika mereka bertemu di pantai, mereka pun melanjutkan perjalanan dan akhirnya singgah di istana Ratu Dara Putih. Selama satu minggu Ratu Dara Putih menjamu dan tinggal bersama Maulana Hasanuddin, yang telah menjadi Panembahan Surosowan itu. Dan ketika itu pulalah, Maulana Hasanuddin menyarankan Ratu Dara Putih untuk memerintahkan rakyatnya menanam perca atau lada.

Setelah menghabiskan waktu berhari-hari dengan Ratu Dara Putih, Maulana Hasanuddin pun kembali berlayar menuju ke timur hingga sampai ke pesisir Karawang, masuk ke Sungai Citarum dan ke selatan, lalu ke barat, hingga akhirnya sampai ke Pajajaran. Dan dari Pajajaran kemudian meneruskan ke selatan, ke Pelabuhan Ratu, hingga akhirnya sampai kembali ke Ujung Kulon. Begitulah, setelah melakukan perjalanan dari Indragiri dan Pajajaran, beliau memutuskan untuk pulang ke Banten Girang. Dengan berangkat dari Ujung Kulon itulah Maulana Hasanuddin menempuh perjalanan pulang melalui Tanjung Lesung hingga akhirnya sampai ke istana Pakuan Banten Girang.

Seusainya berembug dan bermusyawarah, dan setelah selama bertahun-tahun melakukan seba atau perjalanan ke ragam negeri untuk menyebarkan Islam, Maulana Hasanuddin, yang kini dikenal sebagai Pangeran Sebakinking dan Panembahan Surosowan, mempercayakan Ki Mas Jong dan Agus Ju untuk membuka dan membagikan tanah kepada rakyat Banten. Rakyat Banten diperintahkan untuk pindah, memilih tanah, dan membangun rumah di wilayah Banten utara atau Banten Pesisir, kecuali tanah yang telah diberi batas dengan tali atau Paugeran, di mana ujung batas tali tersebut menjadi sebuah kampung yang bernama Kampung Paugeran.

Di masa itu, Banten Utara atau Banten Pesisir masih merupakan daerah dan tanah yang masih berupa rawa-rawa dan terendam air laut. Di mana terdapat sedikit sekali wilayah dan tanah dangkal yang layak untuk dibangun pemukiman. Tanah rawa-rawa itu banyak ditumbuhi pohon-pohon centigi, pohon api-api, dan pepohonan laut lainnya. Dan ketika dibuka alias dibabat, tanah-tanah itu menjadi kering karena tertimbun sisa penebangan dan pembabatan, juga terurug tanah, hanya saja masih terdapat sebuah tanah dan daerah yang begitu dalam tancangnya, tanah yang diperuntukkan untuk membangun tempat Panembahan Surosowan.

Di hari itulah semua orang sibuk bekerja dan membabat secara beramai-ramai dan bergotong royong di bawah komando dan pimpinan Ki Mas Jong dan Agus Ju. Sementara pekerjaan yang lainnya dikomandoi dan dipimpin oleh Ki Santri. Karena semangat dan motivasi yang tinggi dalam bekerja, tak memakan waktu lama, telah berbaris rumah-rumah hingga ke batas Paugeran. Meski tanah yang diperuntuhkkan untuk membangun Surosowan masih saja terendam air dan masih berupa rawa. Dan memang, telah dicari segala cara untuk mengeringkan tanah yang akan dijadikan sebagai pembangunan dan pendirian Surosowan itu, namun masih saja tak dapat dikeringkan.

Karena keadaan tersebut, Ki Mas Jong dan Agus Ju pun menceritakannya ke Maulana Hasanuddin yang kala itu masih berada di istana Pakuan Banten Girang. Mendengar apa yang diceritakan Ki Mas Jong dan Agus Ju itu, Maulana Hasanuddin berkata kepada mereka bahwa ia akan datang langsung ke tempat itu bersama-sama dengan Ki Mas Jong dan Agus Ju, beserta sejumlah rakyat Banten lainnya dari Banten Girang.

Dan keesokan harinya, ratusan rakyat Banten mengangkuti dan membawa perkakas mereka masing-masing, hingga jalan yang mulanya berupa setapak, tiba-tiba menjadi lebar, karena barisan rakyat Banten yang tak ubahnya sejumlah pasukan perang yang dipimpin langsung oleh Maulana Hasanuddin. Dan ketika mereka sampai di kota Banten yang baru itu, mereka pun melakukan pekerjaan mereka masing-masing, sementara itu Maulana Hasanuddin segera menuju ke sebuah tempat yang telah diceritakan oleh Ki Mas Jong dan Agus Ju untuk dibangun Surosowan yang masih terendam air itu.

Maulana Hasanuddin pun berhenti sesaat, kemudian menuju ke pantai bersama Ki Mas Jong, Agus Ju dan dua Ki Santri. Pada sebuah batu kering di tempat itulah, mereka melaksanakan solat sunnah dua rakaat berjamaah dan kemudian berdoa agar air yang masih merendam tempat yang akan dijadikan sebagai Surosowan itu menjadi kering. Syahdan, ketika mereka telah kembali dari pantai dan tempat di mana mereka melaksanakan sembahyang sunnah berjamaah dan berdoa itu, tempat yang akan dijadikan sebagai Surosowan itu pun menjadi kering, hingga semak-semak basahnya berubah kering keesokan harinya.

Ternyata, di tempat yang akan dijadikan sebagai Surosowan atau ibukota Banten yang baru, itulah ada seorang pertapa yang tengah duduk bertapa di atas Watu Gilang atau batu yang berkilauan, seorang pertapa yang telah terlilit ilalang dan tertimbun pepohonan, sementara kepalanya telah menjadi sarang burung empit. Pertapa itu tak lain adalah Betara Guru Jampang. “Silahkan adinda duduk di atas batu ini!” Perintah sang pertapa itu kepada Maulana Hasanuddin, “Sebab ketika adinda duduk di atas batu ini, maka adinda telah menjadi Raja Banten. Dan ingatlah, jangan sampai batu ini adinda pindahkan dari tempatnya.” Maulana Hasanuddin pun mematuhi perintah Betara Guru Jampang itu, sedangkan Betara Guru Jampang justru meninggalkannya dan menghilang dalam sekejap.

Di tempat Watu Gilang itulah kemudian didirikan sebuah rumah sebagai pesanggrahan batu tersebut, sebab seperti telah diperintahkan dan dikatakan Betara Guru Jampang, bila batu itu telah dipindahkan atau hilang dari tempatnya semula, akan berakibat pada rusaknya kemajuan Banten. Begitulah seterusnya, pembangunan kota Banten yang baru itu pun terus dikerjakan di bawah komando dan pimpinan Ki Mas Jong dan Agus Ju, sebelum akhirnya orang-orang dari Majapahit mempermegahnya.

Demikianlah hikayat Maulana Hasanuddin, yang menyebarkan Islam atas perintah ayahnya, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati di Cirebon, selama bertahun-tahun, yang akhirnya berhasil menjadi pemimpin masyarakat berkat kesabaran dan kegigihannya dalam berdakwah dengan cara dan jalan hikmah, dan akhirnya berhasil pula mendirikan Kesultanan Banten.