Ketika Dubes Banten Berada di London dan Menonton Teater Shakespeare



 oleh Russell Jones

“Saya ingin menerka apa yang dipikirkan oleh perutusan Indonesia tentang bangsa Inggris dan apa yang dipikirkan oleh bangsa Inggris mengenai mereka, tepat tiga abad yang lampau. Suatu kesan tentang pikiran bangsa Inggris mengenai mereka, sedikitnya pada taraf yang agak formal, dapat diperoleh dari beberapa laporan yang diterbitkan pada masa itu, dan pernah dikutip oleh Sir William Foster (1926: 113- 114). Saya merasa agak puas, bahwa perutusan diplomatik pertama dari sebuah negara Indonesia diterima di Inggris begitu baik, dan pikiran yang sebaliknya, bahwa ketika jamuan itu diselenggarakan, dan dinikmati oleh mereka, dan tidak ada kemungkinan untuk membawa keuntungan bagi para tuan rumah sebagai imbalan, hanya menambah suatu perasaan yang merangsang kepada rasa puas saya ini.”

Sabtu, 13 Mei 1682
Para Duta Besar Banten itu berangkat ke Windsor untuk menghadap kepada Sri Baginda, sekitar pukul delapan pagi (juru masak mereka dan Benyamin Schinckfeild telah dikirim sebelumnya), mereka diangkut dengan kereta kerajaan di mana duduk: Kiayi Ngabehi Naya Wipraya, Sir Charles Cotterel, Sir Henry Dacres dan Sir Jeremy Sambrooke, dalam kereta kedua duduk Kiayi Ngabehi Jaya Sedana, Sir Charles Cotterell, Esq, Sir Robert Dacres dan William Meinstone, Esq, dalam kereta ketiga duduk Mr Robert Marshall, Monseur Bars, dan dua orang anggota senior dari iringan itu dan dalam empat kereta yang lain lagi sisa dari rombongan itu dan para budak, sedangkan kereta-kereta itu dikawal oleh pasukan berkuda. Mereka berjalan secara anggun sampai ke Hounslow, di tempat mereka meninggalkan kereta-kereta itu untuk menikmati sekedar jamuan, dan tiba di Windsor pada malam hari, di mana mereka menginap di rumah Mr. Lytton.

Minggu, 14 Mei 1682
Sekitar pukul 10 pagi Sir Charles Cotterell tiba dengan kereta kerajaan untuk menjemputnya, untuk menghadap kepada raja. Mereka berangkat pukul 11, arak-arakan itu didahului oleh budak-budak para duta yang membawa tombak dan payung-payungnya, kemudian menyusul para duta besar, Mr Charles Cotterell, Sir Henry Dacres, Sir Robert Dacres, Mr Charles Cotterell, Mr Meinstone, Mr Marshall dan pengiring Jawa dalam kereta-kereta mereka.

Demikianlah mereka tiba di Windsor Castle. Mereka diberitahukan agar mengirim dulu para budak yang membawa tombak dan payung pribadi dan 2 orang yang berambut panjang dengan payung-payung sultan yang terbuka di atas surat Sultan melalui semua penjaga dan pelayan sampai ke ruang balairung di mana masuk para dutabesar, para budak dan pembawa tombak tinggal di ruang tunggu bersama sepuluh orang pengiring mereka dan kedua payung Sultan.

Mereka dijemput oleh Earl of Berkeley, Sir Charles Cotterel, Sir Henry Dacres, Sir Jeremy Sambrooke, Mr. Charles Cotterel, Mr. William Meinstone dan Mr. Robert Marshall, mereka melalui semacam lorong yang dibentuk oleh para pengiring mereka. Mereka memberi hormat khusus kepada Sri Baginda dan Sri Ratu, yang duduk bersama di bawah kanopi agung.

Setelah mendatangi taplak-meja agung M (menurut adat negerinya) duduk dan mempersembahkan kepada Raja surat Sri Sultan, yang dibungkus dalam amplop yang bersulaman, bersama hadiah-hadiah Sri Sultan (yang terdiri dari tiga kotak kecil berisi intan) yang harga sebenarnya tak diketahui orang. Sir Henry Dacres menjadi penerjemah antara Sri Baginda dan para Duta Besar.

Meskipun singkat, penerimaan ini menyenangkan Sri Baginda, ketika upacara itu selesai dan salam hormat sudah disampaikan yang memuaskan kedua belah pihak, maka para Duta Besar itu berangkat dalam urutan yang sama sebagaimana mereka telah masuk sebelumnya. Mereka pergi kepada suatu ruangan indah, di mana tinggal sampai makan siang telah disiapkan. Hal ini telah dilaksanakan secara istimewa keagungannya, teliti dan mahal sekali, yang hanya dialami oleh sedikit Duta Besar (yang lain), konon kabarnya biayanya untuk Sri Baginda berjumlah lebih dari pada dua ratus pound.

Pada ujung utama meja itu duduk Kiayi Ngabehi Naya Wipraya, bersama orang-orang lain dari rombongan Jawa dan para pengiringnya. Di sebelah kiri duduk sejumlah yang berkedudukan tinggi dari bangsa Inggris. Selama resepsi ini tidak kekurangan akan musik yang menyenangkan, anggur yang baik dan kemeriahan yang pantas, dan toast yang lazim diminum, terutama kepada Sri Baginda, Sri Sultan, Sri Ratu, Duke of York, para Duta Besar dan kepada para Gubernur dan para anggota East India Company.

Dari tempat itu para Duta Besar pergi ke dalam sebuah ruangan khusus, setelah itu bersantai, mereka diiringi oleh Sir Charles Cotterel untuk melihat-lihat semua ruangan indah dan serambi di istana itu, dan St. George's Chapel.

Setelah melihat itu semua, mereka dijamu lagi sekira satu jam dengan bermacam-macam minuman, tetapi karena mereka ingin tahu lebih banyak, mereka diiringi sepanjang perjalanan mereka untuk melihat lingkungannya, dan dengan demikian mereka sampai ke menara, di mana Pangeran Rupert menghormati mereka dengan memberi salam sendiri, sambil memperlihatkan sesuatu barangnya yang aneh-aneh, terutama koleksi senjata yang tak ada bandingannya, hal ini begitu menyenangkan mereka sehingga mereka membalasnya dengan menghadiahkan kepada Pangeran itu kedua payung putih Sri Sultan untuk ditambahkan kepada koleksi itu.

Selama mereka berjalan-jalan di atas menara itu, mereka tak sedikit pun tidak terkesan melihat pemandangan yang indah dari daerah sekelilingnya, terutama ke sebelah timur dan ke sebelah barat, pemandangan itu meluas sampai sedikitnya 60 mil. Ketika mereka sudah puas dengan upacara-upacara pada hari itu, mereka diantarkan pulang ke tempat kediaman mereka dalam kereta kerajaan.

Senin, 15 Mei 1682
Sekitar pukul 8 pagi mereka berangkat dalam kereta kerajaan dan kereta-kereta lain ke London dan tiba di Hampton Court.

(Mereka berkunjung kepada Duke of Lauderdale di Ham, setelah mengirim kebanyakan pengiringnya ke London melalui darat, para Duta Besar itu naik, dua atau tiga kapal untuk melengkapi perjalanan mereka lewat sungai, mereka begitu senang sehingga hari itu terasa terlalu singkat bagi mereka hingga hari sudah magrib ketika mereka sampai ke tempat kediaman mereka), di mana mereka menemukan jurumasak mereka yang sudah meninggal, yang sakit demam ketika mereka meninggalkannya, yang dapat disebabkan karena ia tak henti-henti minum brandy dan beberapa minuman keras yang lain sejak mereka baru tiba di Charing Cross.

Mereka tak begitu sedih karena wafatnya, meskipun mereka mengalami sedikit kesulitan untuk menemukan sesuatu tempat pantas untuk kuburannya.

Selasa, 16 Mei 1682
Sebelum ia dapat dikubur, ia dibawa ke sana sebelum tengah malam, dengan kereta-kereta diiringi secara pantas oleh pengawal dan prajurit (di samping beberapa kawannya) ke suatu tempat khusus di James's Park di seberang Hyde Park, di mana makamnya dibuat sesuai dengan kelaziman agamanya dan negaranya.

Pada tanggal 17 Mei para dutabesar dijamu lagi dengan sebuah "resepsi gemilang" di East India House. Sebagaimana ditulis oleh salah seorang pejabat pada waktu itu:

"Kami menyelenggarakan suatu sambutan dan penerimaan yang gemilang, dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh Sri Baginda seakan-akan ia datang dari raja yang terbesar di dunia, karena kami ingin menunjukkan kepadanya kesopanan bangsa kita dan kebesaran dan keagungan kerajaan ini, agar ia dapat mengungkapkan di bagian Timur dunia ini, (di mana kita hanya terkenal sedikit, macam negara dan bangsa apa kita ini). Kalau upacara ini selesai, kami akan memperoleh izin Sri Baginda untuk mengadakan suatu Perjanjian dengannya, yang kita harapkan akan membawa keuntungan bagi kita".

Sayangnya, perasaan optimis ini keliru, karena para Duta Besar itu tidak diberi kuasa untuk mengadakan sesuatu perundingan. Di samping itu, keadaan (politik) menjadi lain sehingga bagaimanapun juga tidak menguntungkan Company.

Setelah kunjungan-kunjungan resmi selesai, para Duta Besar mulai suatu urutan jamuan dan darmawisata yang amat hebat. Kita tak perlu mengikuti perjalanannya dari hari ke hari lewat laporan resmi secara terperinci yang agak menjemukan, ringkasan peristiwa dari Sir William Ester (Foster, 1926: 109- 11) memberikan kepada kita gambaran yang baik tentang banyaknya keramah-tamahan yang dipersiapkan bagi mereka, dan ringkasan ini beruntung dapat memperbaiki dan mengkomentari karena pengetahuannya tentang adegan resmi pada waktu itu.

Pada tanggal 20 Mei 1682 mereka dijamu oleh Sir Robert Dacres di tempat kediamannya di Clerkenwell, pada tanggal 24 Mei 1682 mereka pergi ke Cheapside untuk melihat arak-arakan pemakaman Sir Thomas Bendworth, pada tanggal 30 Mei 1682 mereka berkunjung lagi ke Duke's Theatre untuk kedua kalinya (pertama kalinya pada tanggal 18 Mei 1682), ketika ada pementasan "The Tempest", dan pada tanggal 7 Juni 1682 mereka diperlihatkan Guildhall, Rumah sakit Bethlehem dan kedua Exchange.

Keesokan harinya mereka pergi ke tempat kediaman Sir Josua Child di Wanstead, di mana mereka dijamu dengan cara yang gemilang. Putri Child yang kedua, Rebecca, baru menikah tiga hari sebelumnya, dengan Charles, Lord Herbert, putra sulung Mark Worchester, dan pengantin wanita dan pria itu berada di antara orang-orang yang terpandang yang telah berkumpul untuk berjumpa dengan para wakil dari Sultan Banten itu.

Hari itu berlalu dengan bersuka-ria, mendengarkan musik dan beberapa jamuan yang lain, dan dengan berjalan-jalan di taman yang amat menyenangkan tersebut (sekarang menjadi taman untuk umum), dan pada waktu magrib, Child mengantarkan para tetamunya kepada kereta-kereta mereka.

Pada tanggal 9 Juni 1682 mereka berkunjung kepada tugu peringatan. Para Duta Besar diantarkan sampai ke puncaknya dan diperlihatkan pemandangan kota (dari atas). Dari sana mereka pergi ke Tower, di mana mereka melihat intan permata mahkota, (corn jewels), koleksi senjata, dan kebun binatang raja.

Keesokan harinya berlalu dengan berkunjung ke West Minster Hall, kedua Ruangan Dewan Perwakilan, dan West Minster Abbey (gereja), sedangkan pada tanggal 12 Juni 1682 mereka berada di sekolah naik kuda yang tersohor dari Monsieur Thouberti, ketika murid-muridnya memamerkan kepandaiannya.

Pada sore hari tanggal 14 Juni 1682 para Duta Besar mengunjungi Percetakaan Raja di Blackfriars, (yang sekarang ditempati oleh kantor suratkabar Time). Di sana mereka melihat nama-namanya yang dicetak, dan mereka menaruh perhatian banyak akan bermacam-macam prosesnya. Kemudian mereka pergi ke Basinshall Street, untuk berkunjung kepada Sir Jeremy Sambrooke, dan untuk mengucapkan terima kasih untuk kegiatannya demi mereka. Sambrooke telah mengundang banyak sekali orang untuk bertemu dengan mereka, dan telah menyiapkan suatu banket (makanan) yang berlimpah-limpah yang sangat'menyenangkan.

Kunjungan kehormatan dilakukan kemudian (15 Juni 1682) kepada Duke of York di Istana Saint James. Para Duta Besar diterima oleh Duke dan Duchess, didampingi oleh putri mereka, Anne (yang kemudian menjadi ratu), dan diperlakukan dengan banyak kehormatan. Pada malam hari, untuk bersantai, mereka pergi ke Hyde Park untuk melihat bagaimana para bangsawan berkeliling dalam kereta mereka. Lima hari kemudian mereka berlayar di sungai ke Mortlake, tempat jamuan oleh Mr. Hymphrey Edwin, yang telah disebut sebagai salah seorang angggota Komisi Company yang menjamu mereka sepanjang hari secara menarik, kemudian sebelum pulang, mereka berkunjung ke tempat kediaman seorang yang disebut Mr. Ducane.

Selama dua pekan yang berikut, para Duta Besar itu berhasil mengunjungi Duke's Theatre sebanyak tiga hari, dan sementara itu (antara ketiga kunjungan itu) mereka bertamasya terus. Earl of Berkel, menjamu mereka di tempat kediamannya di Clerkenwell pada tanggal 22 Juni 1682, dan pada sore hari tanggal 22 itu, di tempat Artileri Alderman Sir James Edwards, Kolonel Trained Band City, menyuruh prajuritnya berbaris untuk para tetamunya. Mereka diantarkan dua hari kemudian kepada suatu pertunjukan adu beruang lawan sapi -- suatu pertunjukan yang mereka lebih suka daripada tamasya mereka ke Temple Mills pada hari berikutnya, ketika mereka, dipimpin oleh Sir  Henry Dacres, mereka melihat "invensi baru meriam besi".

Pada tanggal 5 Juli 1682 para Duta Besar itu diperkenankan mohon diri pada Raja Charles II. Upacara itu meliputi pemberian kepada salah seorang Duta Besar, oleh raja sendiri, sepucuk surat untuk Sri Sultan Banten.

Kita tak diberitahukan tentang isi surat itu. Kita dapat menduga bahwa surat itu ditulis dalam bahasa Melayu, mungkin oleh William Meinstone, yang bertugas dari permulaan untuk membuat terjemahan dari surat Sri Sultan ke pada East India Company (Fruin-Mees, 1924:221). Tetapi, menurutt Fruin-Mees (h. 214), ada suatu laporan dalam Daghregister di Daghregister di Batavia, bahwa surat itu berbahasa Inggris dan tidak dilampiri sebuah terjemahan dalam bahasa Melayu. 

Terjemahan dalam bahasa Belanda dari laporan berbahasa Inggris menyebutkan bahwa surat itu dibungkus dengan “bungkusan yang mahal”. Suatu laporan dari masa itu (dikutip oleh Foster, 1926:111) memberi perincian yang lebih tepat: "Sri Baginda memberinya sepucuk surat, dalam dompet dari bahan tekstil emas, untuk dipersembahkan kepada tuannya...." Hal ini berarti adanya pengetahuan pada pihak penasehat raja bahwa kelak ada kelaziman Melayu untuk membungkus surat-surat raja dalam sebungkusan dari bahan tekstil berwarna kuning. 

Laporan yang berbahasa Belanda berakhir di sini, dapat diduga bahwa setelah saat terakhir, yang resmi dari kunjungan itu, laporan yang berbahasa Inggris sampai saat itu diberikan kepada para Duta Besar. Tetapi mereka tinggal di London sepekan lagi, dan sesaat sebelum akhir kunjungan mereka ada kehormatan bagi mereka secara unik. Catatan yang berikut tentang keberangkatan mereka tertulis dalam London Gazette pada tanggal 13 Juni 1682 (dikutip oleh Foster, 1926: 116):

"Para Duta Besar Raja Banten setelah mohon diri dari Sri Baginda (yang memberikan mereka suratnya untuk Tuan mereka dari tangannya sendiri) memberi mereka kehormatan dijadikan ksatria (knight) dan masing-masing menerima pedangnya yang diberikan bersama gelar itu dan ikat-pinggang yang disulam, yang dipasang pada mereka di depan Sri Baginda. Keesokan harinya mereka diantarkan ke Greenwich, di mana mereka naik kapal Cleveland yang membawa mereka ke Chatham untuk melihat angkatan laut kerajaan, dan dari sana mereka naik kapal Kempthorne, ialah kapal yang khusus berlayar ke India Timur sebesar 10 ton, yang membawa mereka pulang"

Daghregister (Fruin-Mees, 1924- : 215) melaporkan bahwa Naya Wipraya menjadi "Sir Abdul" dan Jaya Sedana menjadi "Sir Ahmad".

Menurut Daghregister (idem) kapal Kemphoorn tidak baru berangkat dari Downs pada tanggal 23 Agustus 1682, yang sampai di Banten pada tanggal 20 Januari 1683.

Sesungguhnya suatu bayangan yang menyenangkan bahwa kunjungan pertama sebuah perutusan Indonesia ke Inggris membawa keuntungan. Sedihnya, harus dilaporkan terjadinya kegagalan. Kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang menguntungkan antara Banten dan Inggris berdasarkan pemikiran bahwa kekuasaan Belanda tak akan menjadi yang terpenting di Jawa. Tahun 1682, ialah tahun dikirimnya perutusan itu ke Inggris, melihat suatu pergulatan untuk kekuasaan antara sultan yang lama, Abul Fatah dan putranya, Sultan Haji (Abdul Kahar) (lihat Stapel, 1939 : 415 dsbnya). Sultan muda itu dalam keadaan terjepit memohon bantuan kepada Belanda, dengan menawarkan penyerahan negaranya kepada mereka, asal saja mereka mengizinkapnya untuk tetap memerintah, dan terutama menawarkan monopoli perdagangan Banten "dengan menutup pintu bagi semua bangsa atau orang-orang lain".

Suatu ekspedisi Belanda dikirim dari Batavia ke Banten dan pada tanggal 7 April 1682, juga sebelum perutusan itu sampai di London, tentara Sultan Abdul Fatah telah dikalahkan-secara mutlak. Sebagai akibat para pedagang yang lain daripada Belanda, dititah keluar dari Banten.

Kita dapat membayangkan betapa ironisnya keadaan: juga sebelum dimulainya masa penerimaan para Duta Besar dari Banten yang berlangsung selama tiga bulan, peristiwa-peristiwa dalam tanah airnya telah melenyapkan setiap kesempatan untuk mencari keuntungan bagi kedua belah pihak. Sultan Abul Fatah diserahkan kepada Belanda pada tahun 1683 dan sampai ajalnya tinggal di Batavia sebagai tawanan.

Maka kapal Kemthorne dan para penumpangnya tiba di Jawa pada bulan Januari 1683, dan mereka melihat betapa keadaanya sudah berubah sama sekali. Tak dapat diragukan lagi, karena ia amat malu ketika para Duta Besarnya kembali dari istana "musuh yang paling dibenci" oleh orang Belanda, Sultan Haji menganggap tindakan terbaik ialah mengirim mereka segera ke Batavia, di mana kapal Kempthorne, yang dilarang berlabuh di Banten, tiba juga.

Melihat keadaan yang sudah berubah, kaptain Inggris dengan perasaan segan, menyerahkan barang dagangan pribadi milik para Duta Besar dan hadiah-hadiahnya (Fruin- Mees, 1924 : 2;3) 500 tong mesiu yang dikirim sebagai hadiah dari Charles ke pada Sri Sultan diambil oleh Belanda sebagai tindakan kebijaksanaan. Laporan pengalaman-pengalaman mereka di London, seperti kita telah melihat, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan masuk ke dalam Daghregister. Para penguasa Belanda di Batavia merasa bijaksana, untuk menahan untuk sementara waktu surat-surat kepada Sultan Banten, karena nadanya melawan Belanda, karena belum diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, surat-surat itu tidak disebut lagi dalam sumber-sumber, dan kita dapat menduga bahwa tidak pernah sampai ke tangan Sultan.

Surat-surat asli atau salinannya dalam bahasa Inggris, pasti disimpan di Den Haag pada tahun 1895, ketika salinan-salinan surat-surat itu dibuat dalam Java Factory Records G.21/17 dan dibawa  ke India Office Library di London.

Kita boleh bertanya bagaimana terjemahan dilakukan untuk mempermudah hubungan antara para Duta Besar Banten dan tuan-tuan rumah Inggris. Rupa-rupanya salah seorang Duta Besar Banten, Jaya Sedana, agak fasih berbicara bahasa Inggris (Fruin-Mess, 1924: 215). Laporan itu seringkali menyebutkan beberapa orang Inggris yang pada beberapa kesempatan terpenting menjadi juru terjemah. Yang paling sering disebut adalah Mr. William Meinstone dan Mr. Robert Marshall.

Mr. Meinstone pernah mengabdi kepada East India Company di Makasar, Jambi, dan Banten, dan sudah jelas memperoleh pengetahuannya tentang bahasa Melayu di daerah -daerah di mana bahasa itu dipakai. Ia jelas seorang yang paling jauh dalam kesarjanaannya antara empat juru terjemah itu, dan ia menjadi pengarang buku tatabahasa Melayu yang satu naskahnya dari masa itu ia masih ada, ialah bulan Agustus 1682, sebulan setelah berangkatnya perutusan itu.

Dapat diterima bahwa Meinstone memakai bantuan beberapa anggota perutusan itu sebagai penerang, untuk menyelesaikan karyanya. Pada tahun 1688-89 ada laporan bahwa Meinstone, yang pada waktu itu sudah meninggal, telah siap dengan sebuah naskah kamus Melayu, tetapi naskah itu hilang (Boyle, 1772: 567). Marshall pernah juga menjadi seorang pegawai di Banten dan boleh juga belajar bahasa Melayu di sana. Dua  tuan yang lain menjadi juru terjemah juga pada beberapa kesempatan (lihat 22 Juni): seorang ialah Mr. English (atau Inglis), yang saya sama sekali tidak kenal. Yang lain adalah Sir Henry Dacres yang pernah menjadi seorang Kepala di Banten.

Saya ingin menerka apa yang dipikirkan oleh perutusan Indonesia tentang bangsa Inggris dan apa yang dipikirkan oleh bangsa Inggris mengenai mereka, tepat tiga abad yang lampau. Suatu kesan tentang pikiran bangsa Inggris mengenai mereka, sedikitnya pada taraf yang agak formal, dapat diperoleh dari beberapa laporan yang diterbitkan pada masa itu, dan pernah dikutip oleh Sir William Foster (1926: 113- 114). Saya merasa agak puas, bahwa perutusan diplomatik pertama dari sebuah negara Indonesia diterima di Inggris begitu baik, dan pikiran yang sebaliknya, bahwa ketika jamuan itu diselenggarakan, dan dinikmati oleh mereka, dan tidak ada kemungkinan untuk membawa keuntungan bagi para tuan rumah sebagai imbalan, hanya menambah suatu perasaan yang merangsang kepada rasa puas saya ini.




The History of Diplomacy Between Banten and Danish



Reedited and Translated by P. VOORHOEVE 

In the 17th century the Danish extended their commercial activities from their settlement in Tranquebar on the Coromandel Coast to various parts of Indonesia. These relations to no small extent came into being through the cooperation and advice of Dutchmen who found the road to Asia barred to their own enterprises because of the Dutch United Company monopoly1.  Thus we find in the Danish National Archives some Malay letters to kings of Denmark accompanied by Dutch translations. Two of these letters have been published by Danish historians.

They are re-edited here because original Malay manuscripts dated int he 17th century are scarce, and because they are good specimens of the style of letter writing at Indonesian courts at that time. On January 7th, 1675 both the Sultan and the Shahbandar of Banten (Western Java) wrote letters to King Frederic III of Denmark.

The Sultan asked for cannon and powder and mentioned that 176 bahara (a weight) of pepper, for which there had been no room in the Danish ship Faerae, were being kept in store2. In a letter dated H. 1082, without month or day (i.e. between May lOth, 1671 and April 28th, 1672), from the Sultan of Banten to King Christian V, the Sultan again mentions the 176 bahara of pepper which had been deposited by Capt. Adeler with the Banten nobleman Angabèhi Cakradana. This letter is transliterated and translated below3.

In Gunnar Olsen's contribution to the publication "Vore gamle Trope-kolonier" this letter is reproduced on p. 102 and a Danish translation is given on p. 651. However, the translation does not agree with the Malay text. It was apparently made from a later letter. Here in the Sultan says that the pepper left behind by Capt. Adeler had been delivered to Capt. Christian Bielke.

Another letter from the Sultan of  Banten to Christian V, dated February 15th, 1675, is reproduced in H. Henningsen's edition of Dagbog fra en Ostindiefart 1672-75 af ]. P. Cortemünde, p. 29. A Danish translation from Dutch is given in Appendix 5 (p. 222). In this case too the Dutch translation differs from the Malay text. The differences will be discussed in the notes to our transliteration and translation of the Malay letter.

FIRST LETTER

Transliteration:

At the top, between two wax-seals(?) with illegible inscriptions: Ngilamat Sultan Banten (Jav. script) 1082 (European numbers). Note in Gothic script: Dette Er Sultanen af f Bantam Egenn Haand, som hand Selff haffuer Schreffuitt.


Above the tèxt at the right-hand side the black imprint of the Sultan's seal, reading: Al-Wathik Billah Al-Sultan Abü'l-Fath ibn Al-Sultan Ab(ü'l-Macalï) ibn Al-Sultan Abï'l-Mafakhir ibn Muhammad ibn Yüsuf ibn Hasaniddïn.

Text of the letter:

Ini surat menyatakan tulus dan ikhlas daripada Paduka Siri Sultan Abü'l-Fath di Banten yang mengempukan tahta pekerjaan (sic) dalam negeri Banten khallada'llahu mulkahu wa-sayyara acnak acadiyah (sic) mulkihi datang kepada raja Danmark yang bernama Raja Kerristian anak Raja Parraiderrai yang mengempukan tahta pekerjaan dalam negeri Danmark raja yang termashur4 gagah berani-dalam segala negeri atas angin dan negeri bawah angin ialah raja yang amat bangsawan serta setiawan dan yang bijaksana pada memerintah segala pekerjaan di darat dan di laut serta mengelakukan isticadat raja2 dalam negeri Danmark.

Adapun kemudian daripada itu bahwa surat dan bingkis daripada Raja Kerristian itu telah sampailah kepada Raja Paduka Serri Sultan di Banten dengan sempurnanya. Maka apabila dibukalah surat itu dari-pada meterainya semerbaklah bau-bauwan yang amat herrum daripada kasturi dan canbar akan mengatakan perkataan tulus dan ikhlas dan hendak berkasih-kasihan. Sahdan barang maksud Raja Keristian yang tersebut dalam kitabat itu tellah diketahuilah oléh Paduka Seri Sultan di Banten maka Paduka Seri Sultan pun terlalulah sukacitta sebab mendengar perkataan Raja Kerristian yang tersebbut didalam kitabat itu.

Sebermula adapun Raja Kerristian hendak meminta tanah dalam negeri Banten akan tempatnya kapitan Danmark duduk di Banten kerana hendak beniaga didalam negeri Banten suddahlah Paduka Seri Sultan memberi tanah yang dikehendaki oléh kapitan Danmark itu serta beberapa perjanjian Paduka Seri Sultan kepada kapitan Danmark yang duduk di Banten itu seperti yang tersurat didalam surat perjanjian itu.

Sebermula Paduka Seri Sultan meminta kepada Raja Kerristian jual-jualan obat bedil pada tiap2  masa kapal belayar ke Banten sekira 2 obat bedil itu seratus pikul dan demikian lagi peluru bedil besar 2 . Sahdan Paduka Seri Sultan memberi maclum kepada Raja Kerristian dahulu kala Kapitan Haddelar menitipkan lada kepada Angabèhi Cakradana banyaknya lada itu seratus bahara dan tujuh puluh enam bahara. Tammat.5


Translation:

Signature of the Sultan of Banten. (A.H.) 1082. This is a letter expressing the sincere and honest feelings of His Majesty Sultan Abu'l-Fath of Banten, owner of the Royal Throne6  in the country of Banten (may God perpetuate his reign and break(?) the necks of the foes of his kingdom) towards the king of Denmark, called King Christian, son of King Frederic, owner of the Royal Throne in the country of Denmark, a king whose bravery is famous in the lands above the wind and in the lands below the wind; he is a most noble and faithful kirig, wise in ruling everything on land and sea and in enforcing the royal customs in the country of Denmark.

Further, Your Majesty's letter and gift have reached us in good order. When the letter was taken from its sealed envelope, a fragrant perfume of musk and ambergris was diffused, conveying words of sincerity and expressing the wish for mutual friendship. We, Sultan of Banten, fully understand the contente of your, King Christian's, letter and we were extxemely pleased to hear the words of your missive.

Further, as to your, King Christian's, requèst to be granted a piece of land in the country of Banten, to be used for a residence for the Danish captain in Banten. because he wants to conduct trade in the country of Banten, We, Sultan of Banten, have given a plot of land in accordance with the Danish captain's wishes. We have made an agreement with the Danish captain, in the terms mentioned in the written treaty.

Further, we ask you, King Christian, to send us gun-powder for sale, about 100 picols of powder every time your ships sail to Banten, and also large cannon balls.

And furtherrnore, we let you, King Christian, know that Captain Adeler has formerly deposited pepper with Angabèhi Cakradana, a quantity of 176 bahara. Finish7

SECOND LETTER

Transliteration:


Subhana man tanazzaha 'ani'l-jahsad'i (The same stamp as on the first letter; the words ibn Abü (sic) 'l-Macalï are clearly legible here).

Ini surat pada menyatakan tulus kasih dan ikhlas daripada Paduka Seri Sultan Abü'l-Fath di negeri Banten khallada'llahu mulkahu wasultanahu wa-abbada cadlahu' wa-ihsanahu sainpai kiranya kepada Raja.

Karistian Kuwaintus anak Raja Parra Darrai yang mengempukan atas tahta segala kerajaan didalem nagri Danamarka yang dikaruniyaï Allah subhanahu kiranya dan ditambahi kebessaran kan kemuliaan pada tiap2 masa siang dan malem dan yang dilebihkan kiranya dalam dunya ini daripada raja2 yang dahulu pada memerintahkan segala raciyyatnya karena melakukan isticadat kabaikan dalam negerinya dan yang amat memelihara kepada segala orang baniaga dan anak dagang semuhanya dengan peliharanya yang sempurna dalam dunya ini.

Adapun kemudian daripada itu bahwa surat dan bingkis daripada Raja Karistian Kuwaintus yang dibawaya (sic) oléh Kapitan Haddalar yang jadi Kumandur di negeri Kelling itu tellah sampailah kiranya kepada Paduka Seri Sultan di Banten dengan sempurnanya maka terlalulah sukkacita daripada hati Paduka Seri Sultan akan mendengar perkataan Raja Karistian yang termadhkur dalam surat dan kitabat itu dan tellah diketahuilah kiranya oléh Paduka Seri Sultan di Banten. Sebermula Raja Karistian Kuwaintus berkirim beddil bessar sepucuk tellah diterimalah oléh Paduka Seri Sultan dengan seribu tarima.

Sebermula lagi Paduka Seri Sultan memberi maclum kepada RajaKaristian akan hal ihwal lakunya pétor yang duduk di Banten yang bernama Pétor Pahuli akan gantinya Pétor Mikal itu maka dahulu Paduka Seri Sultan suruh menjual tembaga ke negeri Kelling dua ratus dua puluh pikul dibawaya (sic) oléh suruhan Pétor Mikal bernama Kapitan Wilkek kaki kayu ke negeri Kelling. Maka sekarang ini hendak dihilangkan harga tembaga itu oléh Pétor Kelling yang bernama Mangusakub sama2 muwafakat dengan Pétor Pahuli itu tiada memberi maclum kepada Paduka Seri Sultan berapa sudah laku jual tembaga itu di negeri Kelling.

Adapun yang memberi maclum kepada Paduka Seri Sultan akan harga tembaga itu di negeri Kelling ada satu orang Danmarka duduk ia di negeri Kelling bernama Ian Indirik, itulah yang memberi maclum kepada Paduka Seri Sultan harga tembaga itu di negeri Kelling.

Sebermula lagi Pétor Pahuli dan Pétor Mangusakub banyak2 ia buatharu biru kepada Paduka Seri Sultan tiada ia mau mengikut padaisticadat kebaikan negeri.Sebermula lagi ada dia membawa dagangan kain tiada ia ben-i surat seperti mana harganya kain itu karena dia hendak mengilangken harga tembaga itu Pétor Pahuli dan Pétor Mangusakub. Dan tiada kiriman Paduka Seri Sultan kepada Raja Karistian hanya lada.

Adapun yang membawa surat ini kapitan kapal bernama Kapitan Riktal. Tersurat dalam negeri Banten pada hari Isnén pada lima bellas hari daripada bulan Dhulkaédah pada tahun Dal awwal seribu dualapan puluh lima tahun daripada hijrat Nabi kita Muhammad salla'llahu calaihi wasallam. Hadakumu'llahu ila tarïki'l-mustakïm.



Translation:

Glory be to Him who is free from vice.This is a letter offering the sincere and true friendship of His Majesty Sultan Abu'1-Fath in the country of Banten (may God pérpetuate his reign and might and make his justice and righteóusness endure) towards King Christian V, son of King Frederic, who owns the throne of activities8  in the country of Denmark, and who may ënjoy the favour of God (to Whom be glory) and whose greatness and glory may be augmented at every moment, day and night, and who may surpass in this world all former kings in the government of his subjects, by enforcing the approved customs in his country, and who takes perfect care of all traders and foreign merchants in this world.

Furthermore, the letter and gift of King Christian V brought by Capt. Adeler, Governor of the Coromandel Coast, have reached His Majesty the Sultan of Banten in good order. His Majesty's heart was extremely pleased to hear the words of King Christian contained in his letter and missive, and His Majesty the Sultan of Banten has taken notice of them. Further, King Christian V sent a large cannon; His Majesty the Sultan has accepted it with a thousand thanks.

Furthermore, concerning the conduct of Factor Paulli, head of the factory in Banten and successor of Factor Mikkel(sen), His Majesty the Sultan Iets King Christian know that formerly His Majesty the Sultan gave order to sell 220 picols of copper on the Coromandel Coast. This copper was carried across to the Coast by a messenger of Factor Mikkelsen called Captain Wilkek (?), a man with a wooden leg. Now the head of the factory on the Coromandel Coast, Magnus Jacob(sen), wants to embezzle the proceeds from the sale of this copper, together with Factor Paulli; they do not let His Majesty the Sultan know at what price the copper was sold on the Coast.

The man who let His Majesty the Sultan know the price of the copper on the Coast was a Dane who was living on the Coromandel Coast, Jan Hendrick(sen). He informed His Majesty the Sultan of the price the copper fetched on the Coast.

Furthermore, Factor Paulli and Factor Magnus Jacobsen cause His Majesty much trouble, since they refuse to follow the good customs ofthe country.

Further, they have brought a load of textiles without any written statement about its value, because Factor Paulli and Factor Magnus Jacobsen want to embezzle the proceeds from the sale of that copper9 The only thing His Majesty the Sultan sends to King Christian now is pepper. This letter will be carried by a ship's captain called Captain Rechter10 Given at Ban ten, Monday 15th Dhulkaédah, in the year Dal awwal, 1085 of the Hijrah of our Prophet Muhammad, God's blessing and benediction be on him.May God lead you on the straight path11

Notes
1  M. A. P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in theIndonesian Archipelago between 1500 and about 1630, p. 205.

2  H. Henningsen, Dagbok fra en Ostindiefart 1672-75 af J. P. Cortemünde,introduction p. 25, citing Henning Engelhart, De Danske ostindiske Etablissementers Historie (unpublished MS. in the National Archives) p. 144 f . It isnot clear whether it is the original Malay letters which are in the NationalArchives, or only the translations.

From Vore gamle Tropekolonier. Red. J. Brondsted. (Gunnar Olsen, Dansk Ostindien 1616-1732). Vol. I, p. 102; "translation" p. 651: D. Kanc. indlaegtil ostind. reg. 13/3 1672, nr. 9 (Rigsarkivets udstilling)

4 In the official Malay-Indonesian orthography (1972) sy is used for the Arabic shyin, but this is unsuitable for scholarly publications, where sy has always been used to denote two phonemes (s + y) as opposed to the single phoneme, for which sj was used in Indonesia and sh in Malaya. I have used s. Some vowels that may seem peculiar in our transliteration represent vowel signs in the original texts.

Some peculiarities of orthography in this letter are: t ' for e (once Siri for Seri) ;d for d, apparently used without any fixed rule; duplication of a consonant after e in a few cases (Serri, Kerristian, etc.) but not consistently.

6 pekerjaan, work, for kerajaan, kingdom, is a queer mistake made by the scribe at the Banten court, who apparently was appointed because of his fine, regular handwriting rather than for his knowledge. Only the words "Ngilamat Sultan Banten" in Javanese script may have been written by the Sultan's own hand and not the whole letter.

7 The main difference between the contents of the Malay letter and the Danish "translation" concerns the 176 bahara of pepper. Furthermore, the translation adds a request for some cordage and specifies the cannon balls wanted, but it omits the amount of gun-powder. It seems probable that two nearly identical letters were sent by different ships and that in the interval between the sending of the first and the second letter the pepper had been delivered to Captain Bielke

8 The court scribe is again confused by the expression tahta kerajaan, Royal Throne, and instead of the pekerjaan of the first letter he has now written segala karjaan, all activities.

9 Apparently the shipment of textiles represented the proceeds from the saleof the copper.

10 Riktal sounds like the Chinese pronunciation of the name Rechter or Richter.

1 1 From a photocopy of the Dutch translation which accompanied this letter it appears that there are two small errors in Henningsen's Danish translation of this document (Dagbok p. 222): the name of the captain who brought a letter via England was Valraet, not Valract, and (3rd line of the letter from below) "her pa kysten" should be "her og pa kysten", i.e. here (in Banten) and on the (Coromandel) Coast. There are some characteristic differences between the Malay text of the letter and its Dutch translation. The Dutchman who made it knew of course that there was nobody at the Danish court who could read Malay. He shortened the letter by omitting the details of the unfortunate trade in copper and instead of these he added a plea for justice to be bestowed on Jan Hendricksen who had apparently moved from Tranquebar to Banten. One feels tempted to suppose that Hendricksen was a Dutchman in Danish service and wrote the translation himself.

Senopati Aria Wanajaya


(The Ancient Port of Banten by Micha Rainer Pali) 

Kembali Ke Gilinggaya

Setelah berembug di antara mereka, akhirnya diputuskanlah bahwa yang akan berangkat kembali ke Gilinggaya tak lain adalah Sudamala dan Prabasena. Dan setelah mereka menyiapkan diri, beserta beberapa perbekalan yang diserahkan langsung oleh Prabu Sri Jayabupati, mereka pun berpamitan dan segera menghilang dari balik gerbang benteng ibukota Banten Girang yang teduh itu, ketika udara sebenarnya masih terasa dingin dan merembes ke pori-pori tubuh mereka. Hal yang sama juga dilakukan Aria Wanajaya, meski sebelum berangkat, ia sempat menitipkan segulung surat kepada seorang prajurit untuk diserahkan kepada Nhay Mas Dandan, kekasihnya tercinta.

Jarak yang harus mereka tempuh sama-sama jauh dan sama-sama harus menempuh setapak-setapak di antara beberapa hutan yang masih dihidupi oleh sejumlah binatang buas yang siap memangsa kapan saja. Namun itu bukan ihwal yang menggentarkan mereka dengan kanuragan dan disiplin latihan keprajuritan yang telah mereka pelajari cukup lama dari guru mereka masing-masing. Di waktu malamnya, sebelum akhirnya berangkat di pagi buta tersebut, Aria Wanajaya memang sempat menulis sebuah sajak cerita, sebuah mantra, yang ia persembahkan kepada Nhay Mas Dandan, yang berkat pendidikan orang tuanya yang berkebangsaan Yunan, telah membuatnya sama terpelajarnya dengan Aria Wanajaya.

Hari itu adalah sebuah hari yang untuk kesekian kalinya menjadi takdir perjalanan sepi Aria Wanajaya, meski kali ini dengan beban dan tugas yang tak lagi sama. Dalam perjalanannya itu ia juga sesekali bertanya dan menerka-nerka siapa gerangan seseorang yang hendak ditemuinya atas perintah Sri Jayabupati tersebut, hinggga Prabu Sri Jayabupati begitu menyakralkannya.

“Pastilah reksi itu bukan sembarang reksi.” Bathinnya, sampai-sampai ia hampir tak sadar dan waspada ketika seekor ular raksasa persis telah berada di depannya. Dengan menyiagakan badan dan mengambil ancang-ancang, Aria Wanajaya berhasil menghindar dari gerak ular raksasa tersebut, hingga akhirnya ia untuk beberapa kali berhasil menusukkan senjata miliknya yang beracun itu ke leher si ular yang tak ragu telah membuat ular itu langsung lumpuh setelah muntah, dan akhirnya tergelepar tak sadarkan diri.

Sejenak, sebelum akhirnya ia meneruskan perjalanannya, ia mengamati kalau-kalau ular raksasa itu masih hidup dan bernyawa. Namun tanpa ia duga, jasad ular tersebut mencair menjadi lendir yang segera meresap ke tanah setelah sebelumnya membasahi rumput-rumput dan ilalang di sekitarnya. Berbeda dengan yang dialami Aria Wanajaya, sekelompok orang bersenjata dan mengenakan topeng di wajah mereka, tanpa dikira oleh Prabasena dan Sudamala, telah mengepung mereka. Tanpa ada basa-basi di antara mereka, mereka saling bergerak dan menyerang satu sama lain. Pertarungan yang tak imbang dari segi jumlah tersebut hampir-hampir membuat Prabasena dan Sudamala mendapatkan celaka, jika saja kedua pemuda dari Gilinggaya itu tak gesit menghindar dan membalas serangan yang datang dan menyerang ke arah mereka berdua. Dengan sigap, tangan-tangan Sudamala dan Prabasena menerbangkan jarum-jarum beracun kepada para penyerang yang akhirnya berhasil mereka kalahkan tersebut.   

Setelah mereka berhasil mengalahkan para penyerang itu, Prabasena dan Sudamala mengambil beberapa senjata milik para penyerang dan beberapa benda lainnya yang digunakan para penyerang untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Sri Jayabupati ketika mereka kembali ke ibukota Banten Girang. Meski kelelahan akibat pertarungan tersebut, Prabasena dan Sudamala tetap sampai di negerinya, di Gilinggaya, tepat waktu, yaitu yang kira-kira untuk saat ini, adalah ketika adzan magrib baru saja berkumandang. Sesampainya di negerinya itu, mereka pun langsung menuju tempat tinggal Ki Artasena demi menyampaikan apa yang diinginkan Prabu Sri Jayabupati kepada Ki Artasena.

“Begitulah, Ki, yang diinginkan Prabu Sri Jayabupati ketika kami menghadap.” Ujar Prabasena.

“Baiklah jika begitu. Tak butuh waktu lama, esok, bahkan ketika fajar belum sempat menampakkan wujudnya, kalian akan dapat membawa si pemuda yang bernama Santanaya itu.” Kata Ki Artasena.

“Sementara itu, kalian tunggulah di sini.” Lanjut Ki Artasena saat ia keluar dari teras rumahnya itu. Hanya butuh waktu satu jam lebih, Ki Artasena pun telah kembali dengan membawa serta Santanaya.

Sulaiman Djaya

Senopati Aria Wanajaya



Prahara di Cibanten

Dalam pertempuran tak imbang itu, sejumlah prajurit di depan benteng dan gapura ibukota telah siaga kapan saja jika tindakan mereka untuk membakar cairan pada sebuah parit yang mengelilingi benteng itu akhirnya harus disulut dan dinyalakan. Para prajurit itu sadar tengah berperang dengan kerajaan yang memiliki angkatan perang lima kali lipat lebih besar dari kekuatan mereka. Dan pada saat itu pula, mereka juga tahu pasukan yang tengah melakukan pertempuran dengan kawan-kawan dan saudara-saudara mereka itu baru sebagian dari kekuatan pasukan yang harus mereka lawan dengan terpaksa.

Sementara itu, di tempatnya, Prabu Sri Jayabupati telah bangkit dari semedi dan tapa singkatnya, dengan dikawal langsung oleh Ki Purba. Dua petinggi negeri Kerajaan Sunda itu telah lengkap mengenakan pakaian dan perlengkapan perang mereka. Senjata pusaka milik mereka masing-masing, pelindung lengan, dan ketopong yang dikirim dari dinasti Song di negeri Yunan yang jauh ternyata pas dengan kepala mereka setelah seniman gambar mengirimkan sketsa wajah para petinggi negeri Banten Girang itu ke negeri Yunan.

Di tempat lain, di pelataran Banusri, dengan rasa percaya diri, namun tetap waspada, Ranubaya berjalan dengan gegap-gempita bersama dengan seratus prajurit yang masing-masing hanya bersenjatakan tombak yang lebih mirip lembing di tangan dan golok di pinggang. Mereka berangkat bersama-sama dari sisi Barat benteng ibukota Banten Girang. Tugas mereka hanya satu: memancing sebagian kekuatan lawan dengan jalan melemparkan tombak-tombak mereka ke arah pasukan yang lebih banyak dari mereka tersebut, dan setelah itu mereka pun berlari ke arah pinggiran sungai yang disusul oleh pasukan lawan, sebuah sungai bernama Kali Pandan.

Dan akhirnya, tak lama kemudian, di tepi sungai itulah mereka bertarung, hingga pasukan lawan yang tewas diceburkan ke sungai, yang tak ayal lagi telah membuat Kali Pandan menjadi berwarna merah dan segera menghembuskan bau anyir darah segar di saat waktu telah mendekati senja. Persis ketika sejumlah pasukan musuh mengejar kelompoknya Ranubaya itu, pasukan yang dipimpin Aria Wanajaya telah berhasil memukul mundur dan menewaskan sejumlah pasukan lawan yang berusaha merangsek ke Alas Dawa atau yang lebih dikenal dengan Alas Banten Girang. Kedua pasukan itu pun segera bergabung dan langsung menggempur pasukan lawan yang berada di dekat Kali Pandan.

Untuk sementara mereka masih sanggup menahan pasukan lawan yang terus memaksa untuk mendekati benteng ibukota Banten Girang yang memang bertujuan untuk menghancurkan pusat ibukota tersebut. Saat itu Aria Sentanu tampak begitu gagah perkasa menjejakkan kedua kaki depannya ketika sejumlah prajurit lawan berusaha mendekati dan menghantamkan senjata ke arah Aria Wanajaya. Namun dengan sigap, Aria Wanajaya selalu berhasil menyabetkan goloknya yang lebih panjang dari kebanyakan golok milik prajurit lainnya ke arah siapa saja yang mencoba mencelakakan ksatria yang anggun itu.

Namun, pertarungan yang sebenarnya cukup sengit itu, ternyata, bagi pihak lawan baru merupakan ajang uji coba untuk menerka dan mengetahui kekuatan lawan mereka. Juga sebaliknya, Prabu Sri Jayabupati menyadari intrik dan taktik lawannya, dan karena itu, ia bersama Ki Purba dan sejumlah perwira lainnya, tidak mau terburu-buru untuk turun ke medan laga sebelum mengetahui kekuatan pasukan lawan sesungguhnya. Ketika itulah, di balairungnya, ia teringat iparnya, Airlangga di bagian paling Timur pulau Jawa yang juga pernah mengalami kemelut yang sama seperti yang tengah ia hadapi tersebut.

Begitulah untuk sementara, Sri Jayabupati masih bisa memperpanjang waktu agar kekuatan musuh tak segera dapat mendekati ibukota Banten Girang. Ia sadar ia tengah menghadapi sebuah badai di saat ia mengibaratkan dirinya bak tumpukan bata yang akan roboh bila badai itu akan datang dengan hantaman yang lebih keras. Tetapi, tentu saja, ia tak mungkin menampakkan ketakutan dan rasa kecut di dalam hatinya itu menyebar ke wajahnya alias ia tetap berusaha sigap dan optimis.

Kini, setelah Sudamala tewas, ia mengandalkan Prabasena, Ranubaya, Surajaya, dan terutama Aria Wanajaya yang telah terbukti efektif untuk menggerogoti dan mengurangi kekuatan lawan. Pada saat itulah ia memerintahkan Ki Kanta untuk pergi ke arah utara ke sebuah tempat di dekat Sungai Cisadane, demi mendapatkan kekuatan tambahan. Dan seketika itu pula, ia mengijinkan Ki Kanta menggunakan salah-satu kuda miliknya sebagai tunggangan agar bisa melakukan tugas dengan cepat, ketika di ibukota sendiri akan tetap berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk berusaha menahan kekuatan musuh agar tetap tidak dapat mendekat. Ia pun memerintahkan Ki Purba untuk mengamankan dan membawa kaum perempuan dan anak-anak ke sebuah tempat rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya dan Ki Purba.

Dengan rasa bimbang, Sri Jayabupati seolah tengah mengangankan kabut di depan kedua matanya sendiri, di saat ia merasa terlambat untuk meminta bantuan saudaranya di Jawa, di saat saudaranya sendiri di Jawa tengah merasakan nasib yang sama akibat amarah dan balas dendam Sriwijaya. Tapi nasi telah menjadi bubur dan nasib itu harus ia tanggung sendiri.

Di malam kesekian ia menyepi dan bersemedi itu, istri dan keluarganya telah mengosongkan ruangan di mana mereka seharusnya ada. Beberapa anggota keluarganya ia perintahkan untuk pergi, mengungsi, dan meminta bantuan kepada saudara-saudara mereka yang hidup dan menghuni di sebuah daerah ke arah Barat, ke daerah yang dialiri oleh Sungai Cikalumpang di sekitar Gunung Wangun. Di sebuah daerah yang sebenarnya masih lebat dengan pohon-pohon raksasa dan hutan yang dihuni binatang-binatang buas. Sebagian di antara kelompok yang hijrah itu, selain kaum perempuan, adalah beberapa pengrajin yang hanya sanggup menyelamatkan beberapa milik mereka, ketika ibukota Banten Girang sendiri telah resmi hanya dihuni para perwira, senopatih, dan para prajurit.

Sesaat setelah Ranubaya dan Aria Wanajaya bersama para prajurit mereka yang tersisa selepas pertempuran yang gagah-berani dan gegap-gempita di dekat Kali Pandan itu, Sri Jayabupati memerintahkan mereka untuk membangun sebuah pagar-pagar runcing dengan jalan menebang ratusan pohon Albasia, agar bila sewaktu-waktu ketika pasukan lawan tak lagi mampu mereka tahan, mereka bisa berlindung dibaliknya sembari melemparkan kayu-kayu runcing dan tombak yang tersisa sebelum bertarung dengan jalan berhadap-hadapan. Sebagian yang lain, yang rupa-rupanya para empu dan para pengrajin ahli yang tak mengungsi, sibuk membuat senjata-senjata tambahan dan memanaskan sejumlah cairan untuk mereka tumpahkan ke parit-parit tambahan yang baru digali. Sedangkan beberapa dari mereka menanak ubi dan hasil kebun lainnya untuk menghilangkan rasa lapar dan rasa lelah mereka.

Dan begitulah, keesokan harinya, karnaval dari seberang lautan kembali datang dengan gagah-berani, dan kali ini dengan jumlah yang lebih besar bersama dengan para senopatih mereka.

Sulaiman Djaya 


The Old Port of Karangantu, Banten in 16th and 17th Century

(Karangantu in 1598 by J.B. Wolters Groningen)

(Banten Bay by E. Dezentje)
(Cornelis de Houtman at the Port of Karangantu in 1596 by LW van Boekhoven
(The Old Port of Karangantu in 16th Century by Cortemunde) 
(The Duyfken sailed under the command of Willhelm Janszoon in the port of Karangantu, Banten in 1605) 
(The Old Port of Karangantu, Banten in 16th Century)
(The Naval of Portuguese in the Port Karangantu in 17th Century) 
(The Navy of the Sultanate of Banten in the Time of Maulana Muhammad at the Port of Karangantu, Banten) 
(The Battle of Banten Between Dutch and Portuguese in 1601)
(The Journey of Cornelis de Houtman to the Port of Karangantu, Banten in 1596. Sketch in 1646)
(The Port of Karangantu, Banten in the Days of the Dutch East India Company) 

The Dutch Take Banten from Portuguese at the Port of Karangantu, Banten in 1601. This product is reproduced from a publication, advertisement, or vintage print. In an effort to maintain the artistic accuracy of the original image, this final product has not been retouched. This giclée print delivers a vivid image with maximum color accuracy and exceptional resolution. The standard for museums and galleries around the world, giclée (French for “to spray”) is a printing process where millions of ink droplets are sprayed onto the paper’s surface. With the great degree of detail and smooth transitions of color gradients, giclée prints appear much more realistic than other reproduction prints. The high-quality paper (235 gsm) is acid free with a smooth surface.