Otobiografi (Bagian Pertama)


Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2015)

Catatan ini tentu saja hanya menuliskan yang masih tersisa dalam ingatan saja. Ingatan yang tentu juga telah menjadi kepingan yang berusaha dipungut dari cecerannya yang telah tak lengkap dan bersifat subjektif menurut penulisnya. Sehingga, tentu saja, banyak yang tak diceritakan, dan pada saat bersamaan dipilah menurut selera penulisnya –sang pemilik otobiografi ini.

Berdasarkan riwayat keluarga, aku lahir menjelang fajar. Suatu ketika, saat aku sendirian menjelang siang, aku merangkak sampai di tengah jalan di depan rumah. Padahal di tepi jalan itu ada saluran irigasi yang cukup lebar dan dalam, yang barangkali aku dapat saja tercebur jika tak diketahui oleh orang kampung yang lewat dan segera mengangkatku dan menggendongku –demikian menurut cerita beberapa orang di kampung kepadaku ketika aku telah dewasa.

Aku terlahir dari keluarga miskin dan rumahku berada sendirian di tepi jalan dan sungai, tidak seperti orang-orang kampung lainnya. Mayoritas keluarga dari pihak ibuku tidak merestui pernikahan orang tua kami, dan karenanya aku selalu dikucilkan oleh mereka dalam hal-hal urusan keluarga kakekku dari pihak ibuku.

Meskipun demikian, orang-orang di kampungku, terutama kaum perempuan dan ibu-ibu, sangat menghormati ibuku dan aku. Kakek dari pihak ibuku mirip orang Arab dan berhidung mancung, dan tipikal fisik kakek dari pihak ibuku itu menurun (diwariskan) kepada anak-anak pamanku (adik ibuku) yang semuanya berhidung mancung –hingga sepupu-sepupuku (anak-anak paman, adik ibuku) mirip orang-orang Iran dan Arab.

Dan memang, semua orang di kampungku mengatakan bahwa pamanku (adik ibuku) adalah lelaki paling ganteng di kampungku, hingga banyak perempuan yang suka kepadanya. Hanya saja, Tuhan menjodohkannya dengan perempuan Betawi.

Nama kakekku dari pihak ibuku adalah Haji Ali, orang yang pendiam dan sangat tekun bekerja sebagai petani dan perajin perabot rumah-tangga dari bambu dan pohon-pohon pandan. Seringkali, bila ibuku menyuruhku untuk meminjam beras kepadanya, ia sedang menganyam bakul dan tampah dari bilah-bilah pohon-pohon bambu, dan hanya berhenti bekerja bila waktu sholat saja. Sesekali aku harus menunggunya pulang dari sawah, dan pada saat itu aku diajak ngobrol oleh nenek tiriku (yang kurang kusukai). Maklum, nenekku sudah meninggal ketika aku lahir.

Berkat kekayaan kakekku dari pihak ibuku itulah, pamanku (adik ibuku) bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta di Jakarta hingga menjadi sarjana strata satu, hingga ia menjadi satu-satunya orang di kampungku yang kuliah, dan kakekku tentu saja satu-satunya orang di kampungku yang bisa meng-kuliahkan anaknya di perguruan tinggi.

Namun demikian, meski kakekku orang kaya, keluargaku hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan karena keluargaku tidak mau mengandalkan kekayaan kakekku. Menurutku hal itu terjadi karena keluarga kami “disisihkan” oleh keluarga besar kami karena mereka tidak menyetujui pernikahan orang tua kami. Dan karena itu ibuku harus bekerja keras menjadi petani dan menanam apa saja yang dapat dijual dan menghasilkan uang, seperti menanam sayur-sayuran, kacang dan rosella.

Ibuku adalah perempuan yang dicintai oleh orang-orang di kampungku –terutama oleh kaum perempuan. Dan setelah ia wafat, penghormatan orang-orang kampung itu beralih kepadaku. Barangkali karena orang-orang di kampung tahu bahwa yang seringkali bersamanya saat ibuku bekerja di sawah-sawah mereka adalah aku.

Ia adalah tipe perempuan yang tidak suka mengobrol dan bergosip, dan hanya akan keluar rumah jika ada keperluan penting saja atau jika hendak membeli kebutuhan bagi dapur dan untuk mendapatkan bahan pelengkap makanan untuk makan kami. Ia sempat mengajar ngaji beberapa tahun sebelum akhirnya berhenti karena alasan harus mengoptimalkan keluarga dan harus istirahat karena telah banyak bekerja.

Di masa-masa sulit, ibu-ibu atau perempuan-perempuan di kampung akan bertanya kepada ibuku apakah kami punya beras untuk kebutuhan keluarga, dan karena itulah aku seringkali membawakan gabah-gabah mereka ke tempat penggilingan –yang berkat kerjaku membawa gabah mereka dengan menggunakan sepeda itu, kami mendapatkan beberapa liter beras sebagai upah.

Di masa-masa panen, ibu-ibu dan kaum perempuan di kampungku juga akan mengajak kami untuk turut memanen padi di sawah-sawah mereka, dan aku pula yang selalu ikut dengan ibuku. Dari pekerjaan itulah kami mendapatkan beberapa karung gabah (mendapatkan 1/4 bagian) –sesuai dengan kemampuan kami memanen padi di sawah-sawah mereka, sebagai bagi hasil dari kerja kami membantu memanen padi mereka.

Demikianlah cara-cara orang-orang di kampung menolong kami. Itu adalah masa-masa ketika adik-adikku belum lahir, dan bapakku seringkali tidak ada di rumah, yang karenanya sampai saat ini, aku adalah orang yang kurang menghormati bapakku. Sehingga, dalam banyak hal, ketidaksetujuan keluarga besar kami dari pihak ibuku, akhirnya dapat kumaphumi.

Sementara itu, di masa-masa senggang dari musim panen padi hingga waktunya menanam padi kembali, ibuku akan menanam kacang, kacang panjang, kangkung, dan juga rosella, yang kemudian akan ia jual kepada orang-orang kampung, dan tak jarang-orang di kampungku dan orang-orang di kampung tetangga datang langsung kepada kami untuk membeli bahan-bahan pangan yang dihasilkan ibuku itu.

Dari penjualan kacang, kacang panjang, kangkung, dan rosella (yang diolah menjadi kopi oleh ibuku dan kami itu)-lah, kami mendapatkan uang untuk membiayai sekolahku dan sekolah kakak perempuanku.

Jika aku lebih dekat dan lebih menghormati ibuku, tentu karena bagiku ibuku lah yang dapat kukatakan sebagai orang yang setia dan punya komitmen, ketimbang bapakku yang ber-poligami dan sering tidak ada di rumah di masa kanak-kanak dan remajaku.

Selain menanam sejumlah sayuran dan yang lainnya, ibuku juga berusaha beternak, seperti memelihara ayam dan unggas, yang ketika besar dapat dijual kepada orang-orang yang lewat yang hendak ke pasar atau sepulang mereka dari pasar. Ternak-ternak kami itu terutama sekali akan banyak yang membelinya di hari-hari besar keagamaan, atau bila orang-orang di kampung hendak melaksanakan pesta pernikahan anak mereka atau mengkhitankan anak mereka.

Dan aku pula yang seringkali membantu ibuku untuk menangkap ayam-ayam itu bila mereka kebetulan sedang dikeluarkan dari kandang saat ada orang yang hendak membelinya tanpa diduga. Begitulah masa kanak dan masa remajaku yang lebih banyak dihabiskan dengan ibuku –selain ibuku juga lah orang pertama yang mengajariku membaca dan mengaji al Qur’an serta mengajariku tatacara sholat.

Di era 80-an itu, selain ibuku, yang bekerja keras mencari uang untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan keluarga kami adalah kakak pertamaku (aku adalah anak ketiga dari lima bersaudara), seperti mengangkut batu-bata ke mobil truck, mencetak batu-bata, dan yang lainnya. Dapat dikatakan, di masa-masa itu, aku dan kakak pertamaku (lelaki) berbagi kerja dan tugas sesuai dengan kemampuan kami, di mana aku sering bertugas membantu ibuku bekerja di sawah atau menyirami tanaman yang ia tanam di samping rumah kami, di saat kakak pertamaku mencari uang dengan pekerjaan-pekerjaan lain.

Bertahun-tahun kemudian, tepatnya di era 90-an, ketika industri mulai banyak yang hadir di sekitar tempat kami (meski agak jauh), yaitu ketika kakak pertamaku yang hanya bersekolah sampai di sekolah menengah pertama, diterima menjadi karyawan (buruh) di sebuah perusahaan kontraktor yang tengah membangun sebuah pabrik kertas.

Keberuntungan pun terus berlanjut, kala masa kerja kakakku di perusahaan kontraktor tersebut berakhir karena pembangunan pabrik itu telah rampung, ia pun lalu diterima sebagai karyawan pabrik kertas (yang dibangun perusahaan kontraktor itu), siap beroperasi dan melakukan produksi.

Tak ragu lagi, keadaan itu telah memperbaiki keadaan ekonomi keluarga kami dan aku pun bisa meneruskan pendidikanku ke sekolah menengah pertama setelah lulus sekolah dasar, tepatnya di SMPN 1 Kragilan. Aku termasuk orang yang beruntung dapat melanjutkan di sekolah menengah pertama negeri, karena dengan demikian, aku dapat melanjutkan pendidikanku dengan cukup murah, di saat sejumlah kawanku banyak yang harus di sekolah swasta, semisal di SMP PGRI Kragilan (yang biayanya lebih tinggi).

Sekedar informasi tambahan, pendidikan sekolah dasarku hanya kutempuh selama lima tahun, karena aku tak perlu menempuh kelas dua sekolah dasar berdasarkan pertimbangan kepala sekolah dan para guru. Selama lima tahun menempuh pendidikan sekolah dasar itulah aku selalu mendapatkan ranking (peringkat pertama) dan lulus di sekolah dasar (SDN Jeruk Tipis 1 Kragilan) itu dengan peringkat pertama dan mendapatkan nilai tertinggi dibandingkan murid-murid yang lain.

Di saat aku duduk di kelas lima sekolah dasar di SDN Jeruk Tipis 1 itu pula, aku sempat menjadi juara pertama lomba cerdas cermat untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di tingkat Kecamatan dan juara satu tingkat Kabupaten untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

Sementara itu, selama dua tahun menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, aku harus berjalan kaki sejauh lima kilometer lebih menuju sekolahku. Bila ada mobil truck yang lewat atau melintas di saat aku berangkat atau pulang sekolah, aku pun akan menumpang mobil tersebut. Sebenarnya saat itu aku ingin sekali memiliki sepeda ketika melihat banyak teman-temanku di sekolah memiliki sepeda, namun aku tak berani memintanya kepada ibuku. Bagiku aku sudah sangat beruntung dapat meneruskan pendidikanku, yang seringkali aku pun telat membayar iuran sekolah, seperti membayar SPP atau biaya ujian.

Masalahnya adalah ketika aku harus bersekolah dengan jalan kaki itu harus kujalani di masa-masa musim hujan. Di masa-masa hujan itulah biasanya ketidakhadiranku di kelas lebih banyak. Sebagai gantinya aku harus belajar di rumah lebih keras untuk mengejar materi-materi mata pelajaran mata pelajaran yang tertinggal ketika aku tidak dapat hadir di kelas. Tentu saja, prestasiku di sekolah menengah pertamaku tidak sama ketika aku di sekolah dasar. Ketika menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, paling-paling peringkatku di antara 7 atau 9, kalah dengan anak-anak kota yang buku-buku mata pelajarannya lebih lengkap.

Tak jarang aku harus meminjam buku-buku teman-temanku untuk sehari atau dua hari agar dapat kusalin di buku-buku catatanku, yang dengan demikian aku tak mesti membeli buku-buku paket yang seringkali diwajibkan sekolah untuk membelinya dari sekolah. Pihak sekolah pun menjadi maklum ketika kujelaskan keadaan yang sebenarnya ketika aku sering tidak membeli sejumlah buku paket –kecuali untuk buku matematika dan fisika yang mau tak mau aku harus membelinya dari uang jajan yang kutabung diam-diam alias tak kugunakan untuk jajan.

Suatu ketika, di tengah perjalanan pulang sekolah, tiba-tiba turun hujan lebat, dan aku berteduh di bawah naungan ranting-ranting, dahan-dahan, dan daun-daun sepohon lebat di tepi jalan.

Memang, selama separuh perjalananku sebelumnya, langit tampak mendung, dan kupikir hujan baru akan turun sesampainya aku di rumah, sebuah praduga dan perkiraan sepihak yang sungguh keliru dan kusesali. Maklum, kala itu akau ingin segera pulang ke rumah. Malangnya aku. Hujan itu ternyata berlangsung cukup lama, sekira setengah jam lebih. Dan saat itulah aku dirundung kesepian dan ketakutan. Tak ada kendaraan atau orang yang melintas selama hujan lebat itu turun dan tercurah cukup deras dan riuh. Saat itulah aku serasa tengah berada di dalam dunia yang sangat sunyi. Barangkali pada saat itu pula hatiku berdo’a.

Manusia ternyata harus bersabar dan berdo’a ketika kejadian dan peristiwa yang tak menyenangkan menimpanya. Bahkan, kebahagiaan yang kita alami dan kita rasakan akan lebih bermakna setelah kita mengalami dan merasakan penderitaan.

Setelah hujan lebat itu reda, aku menggerakkan dan melangkahkan kedua kakiku dalam keadaan tubuh menggigil kedinginan, hingga gigi-gigiku sesekali bergemeretak. Untungnya kala itu, ada mobil truck pengangkut pasir melintas, dan aku dibolehkan duduk menumpang di kursi sopir dan temannya –dan itulah berkah yang tak kuduga pula.

Sesampainya di rumah, aku segera melepaskan baju seragam sekolahku dan langsung kuserahkan kepada ibuku, dan ibuku menjemur baju seragam sekolahku itu di dapur, di sebatang bambu yang melintang di atas dapur agar cepat kering dengan bantuan suhu dapur bila ibuku memasak dengan menggunakan kayu bakar di tungku-tungku dapur, karena keesokan harinya aku harus mengenakan baju seragam sekolahku tersebut. Ketika itu rumah kami yang sederhana hanya berlantai tanah, tanpa semen atau keramik seperti saat ini (seperti saat aku menulis catatan ini). Di lantai tanah itulah akan menggelar tikar pandan bila kami akan tidur.

Sementara itu, kebutuhan makan kami sehari-hari telah disediakan oleh apa saja yang kami tanam, seperti sayur-sayuran yang kami tanam, semisal bayam, kangkung, kacang, tomat, cabe rawit, dan lain sebagainya, di mana ibuku seringkali membuat menu makanan seperti sambal dari cabe rawit, tomat, garam yang dibeli dari warung, dan kulit buah rosella berwarna merah yang kami tanam sendiri.

Dalam setiap waktu makan, ibuku akan selalu membuat atau memasak sayur dari bayam atau kangkung yang dicampur bawang yang ditanam sendiri dan garam yang dibeli dari warung. Kalau pun sesekali kami makan lauk, paling-paling ikan asin, tahu, dan tempe yang dibeli dari pedagang keliling yang menggunakan sepeda.

Ia yang Lahir di dalam Ka'bah


"Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku menyertai beliau kemanapun beliau pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru dari karakternya yang mulia dan aku menerima serta mengikutinya sebagai suatu perintah".

Nabi SAW wafat dalam pangkuannya. Beliau dijuluki sebagai Haydar alias Asadun (Singa), dan kepada beliau pula Nabi SAW berwasiat. Beliau merupakan permata Nabi SAW dan Islam karena kezuhudan dan kearifannya, kesabaran dan kebijaksanaannya. Beliau adalah Imam Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi SAW.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s. adalah sepupu Rasulullah saw. Dikisahkan bahwa pada saat ibunya. Fatimah binti Asad, dalam keadaan hamil, beliau masih ikut bertawaf disekitar Ka'bah. Karena keletihan yang dialaminya lalu si ibu tadi duduk di depan pintu Ka'bah seraya memohon kepada Tuhannya agar memberinya kekuatan. Tiba-tiba tembok Ka'bah tersebut bergetar dan terbukalah dindingnya. Seketika itu pula Fatimah binti Asad masuk ke dalamnya dan terlahirlah di sana seorang bayi mungil yang kelak kemudian menjadi manusia besar, Imam Ali bin Abi Thalib.a.s.

Pembicaraan tentang Imam Ali bin Abi Thalib tidak dapat dipisahkan dengan Rasulullah saw. Sebab sejak kecil beliau telah berada dalam didikan Rasulullah saw, sebagaimana dikatakannya sendiri: "Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku menyertai beliau kemanapun beliau pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru dari karakternya yang mulia dan aku menerima serta mengikutinya sebagai suatu perintah".

Setelah Rasulullah saw mengumurnkan tentang kenabiannya, beliau menerima dan mengimaninya dan termasuk orang yang masuk Islam pertama kali dari kaum laki-laki. Apapun yang dikerjakan dan diajarkan Rasulullah kepadanya, selalu diamalkan dan ditirunya. Sehingga beliau tidak pernah terkotori oleh kesyirikan atau tercemari oleh karakter hina dan jahat dan tidak tenodai oleh kemaksiatan. Kepribadian beliau telah menyatu dengan Rasululullah saw, baik dalam karakternya, pengetahuannya, pengorbanan diri, kesabaran, keberanian, kebaikan, kemurahan hati, kefasihan dalam berbicara dan berpidato.

Sejak masa kecilnya beliau telah menolong Rasulullah saw dan terpaksa harus menggunakan kepalan tangannya dalam mengusir anak-anak kecil serta para gelandangan yang diperintah kaum kafir Qurays untuk mengganggu dan melempari batu kepada diri Rasulullah saw.

Keberaniannya tidak tertandingi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saww: "Tiada pemuda sehebat Ali". Dalam bidang keilmuan, Rasul menamakannya sebagai pintu ilmu. Bila ingin berbicara tentang kesalehan dan kesetiaannya, maka simaklah sabda Rasulullah saww: "Jika kalian ingin tahu ilmunya Adam, kesalehan Nuh, kesetiaan lbrahim, keterpesonaan Musa, pelayanan dan kepantangan Isa, maka lihatlah kecemerlangan wajah Ali". Beliau merupakan orang yang paling dekat hubungan kefamiliannya dengan Nabi saw sebab, beliau bukan hanya sepupu Nabi, tapi sekaligus sebagai anak asuhnya dan suami dari putrinya serta sebagai penerus kepemimpinan sepeninggalnya saw.

Sejarah juga telah menjadi saksi nyata atas keberaniannya. Di setiap peperangan, beliau selalu saja menjadi orang yang terkemuka. Di perang Badar, hampir separuh dari jumlah musuh yang mati, tewas di ujung pedang Imam Ali a.s. Di perang Uhud, yang mana musuh Islam lagi-lagi dipimpin oleh Abu Sofyan dan keluarga Umayyah yang sangat memusuhi Nabi saw, Imam Ali a.s kembali memerankan peran yang sangat penting yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi mendengarkan wasiat Rasulullah agar tidak turun dari atas gunung, namun mereka tetap turun sehingga orang kafir Qurays mengambil posisi mereka, lmam Alibin Abi Thalib a.s. segera datang untuk menyelamatkan Nabi dan sekaligus menghalau serangan itu.

Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Imam Ali bin Abi Thalib a.s. ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar, Amar bin Abdi Wud pun tewas. Demikian pula halnya dengan perang Khaibar, di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw ber-sabda: "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya". Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Imam Ali bin Abi Thalib a.s. yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil memperoleh kemenangan bagi kaum muslim, setelah sebelumnya Umar bin Khattab dan Abu Bakar gagal menaklukkan Khaibar atas perintah Nabi SAW.

Begitulah kegagahan yang ditampakkan oleh Imam Ali dalam menghadapi musuh Islam serta dalam membela Allah dan Rasul-Nya. Tidak syak lagi bahwa seluruh kebidupan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dipersembahkan untuk Rasul dan agama Allah. Kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah benar-benar terbukti lewat perjuangannya. Penderitaan dan kesedihan dalam medan perjuangan mewarnai kehidupannya. Namun, penderitaan dan kesedihan yang paling dirasakan adalah saat ditinggalkan Rasulullah saw. Tidak cukup itu, 75 hari kemudian istrinya, Fatimah Zahra, juga meninggal dunia.

Kepergian Rasululullah saw telah membawa angin lain dalam kehidupan Imam Ali a.s. Terjadinya pertemuan Saqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama, baru didengarnya setelah pulang dari kuburan Rasulullah saw. Sebab, pemilihan khalifah itu menurut sejarah memang terjadi saat Rasulullah belum dimakamkan. Pada tahun ke-13 H, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal dunia dan menunjuk khalifah ke-2, Umar bin Khaththab sebagai penggantinya. Sepuluh tahun lamanya khalifah ke-2 memimpin dan pada tahun ke-23 H, beliau juga wafat. Namun, sebelum wafatnya, khalifah pertama telah menunjuk 6 orang calon pengganti dan Imam Ali a.s. termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terpilihlah khalifah Utsman bin Affan. Sedang Imam Ali bin Abi Thahb a.s. tidak terpilih karena menolak syarat yang diajukan Abdurrahman bin Auf yaitu agar mengikuti apa yang diperbuat khalifah pertama dan kedua dan mengatakan akan mengikuti apa yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Pada tahun 35 H, khalifah Utsman terbunuh dan kaum muslimin secara aklamasi memilih serta menunjuk Imam Ali sebagai khalifah dan pengganti Rasululullah saw dan sejak itu beliau memimpin komunitas Islam. Selama masa kekhalifahannya yang hampir 4 tahun 9 bulan, Ali mengikuti cara Nabi dan mulai menyusun sistim yang Islami dengan membentuk gerakan spiritual dan pembaharuan.

Dalam merealisasikan usahanya, beliau mengbadapi banyak tantangan dan peperangan, sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan pembaharuan yang dicanangkannya dapat merongrong dan menghancurkan keuntungan-keuntungan pribadi dan beberapa kelompok yang merasa dirugikan. Akhirnya, terjadilah perang Jamal dekat Bashrah antara beliau dengan Talhah dan Zubair yang didukung oleh Mua'wiyah, yang mana di dalamnya Aisyah "Ummul Mukminin" ikut keluar untuk memerangi Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Peperangan pun tak dapat dihindari, dan akhirnya pasukan Imam Ali a.s berhasil memenangkan peperangan itu sementara Aisyah "Ummul Mu'rninin" dipulangkan secara terhormat ke rumahnya.

Kemudian terjadi "Perang Siffin" yaitu peperangan antara beliau a.s. melawan kelompok Mu'awiyah, sebagai kelompok oposisi untuk kepentingan pribadi yang merongrong negara yang sah. Peperangan itu terjadi di perbatasan Iraq dan Syiria dan berlangsung selama setengah tahun. Beliau juga memerangi Khawarij (orang yang keluar dan lingkup Islam) di Nahrawan, yang dikenal dengan nama "Perang Nahrawan". Oleh karena itu, hampir sebagian besar hari-hari pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib a.s digunakan untuk peperangan interen melawan pihak- pihak oposisi yang sangat merongrong dan merugikan keabsahan negara Islam.

Akhirnya, menjelang subuh, 19 Ramadhan 40 H, ketika sedang salat di masjid Kufah, kepala beliau ditebas dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam. Menjelang wafatnya, pria sejati ini masih sempat memberi makan kepada pembunuhnya. Singa Allah, yang dilahirkan di rumah Allah "Ka'bah" dan dibunuh di rumah Allah "Mesjid Kufah", yang mempunyai hati paling berani, yang selalu berada dalam didikan Rasulullah saw sejak kecilnya serta selalu berjalan dalam ketaatan pada Allah hingga hari wafatnya, kini telah mengakhiri kehidupan dan pengabdiannya untuk Islam.

Beliau memang telah tiada namun itu tidak berarti seruannya telah berakhir, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya" (al Qur’an 2: 154)