INDONESIA: Kapitalisme Kroni Membuat Kota-Kota Menjadi Lingkungan Yang Tidak Manusiawi dan Tercemar untuk Rakyat Biasa


oleh Andre Vltchek* (Diterjemahkan oleh Rossie Indira)
 
Beberapa tahun lalu, seorang pengusaha Indonesia yang sekarang tinggal di Kanada, menemui saya di salah satu restoran mewah di Jakarta. Sebagai salah satu pembaca setia saya, dia ‘punya sesuatu yang mendesak untuk diceritakannya kepada saya’, setelah tahu bahwa kami sedang sama-sama berada di ibukota Indonesia yang amburadul dan polusinya sangat tinggi ini.

Apa yang dia katakan benar-benar langsung ke pokok permasalahan dan pastinya layak untuk kena dua jam macet yang parah untuk bertemu dengannya:

“Tidak akan ada yang diizinkan untuk membangun transportasi umum yang komprehensif di Jakarta atau di kota-kota lain di Indonesia. Jika ada seorang walikota atau gubernur mencobanya dengan menentang keinginan komunitas bisnis yang kejam yang sebenarnya mengendalikan sebagian besar pemerintahan di Indonesia, maka dia akan diturunkan dari jabatannya, atau bahkan akan dihancurkan secara total.”

Kata-kata 'prophetic' ini masih terdengar nyaring di telinga saya, beberapa bulan setelah penghancuran total gubernur Jakarta yang progresif, yang dikenal dengan nama Ahok (nama asli: Basuki Tjahaja Purnama), yang dengan sangat keras berusaha untuk memperbaiki kota yang tampaknya sudah tidak dapat dikendalikan dan benar-benar hancur, dengan membangun jalur transportasi massal yang baru (LRT), merestorasi stasiun-stasiun kereta api lama, membersihkan kanal-kanal, setidaknya mencoba membangun trotoar di berbagai tempat walau masih sangat sederhana, serta menanam pohon-pohon dan menciptakan taman-taman kota.

Setelah masa jabatan pertama Ahok yang sangat sukses, pihak oposisi langsung mengkonsolidasikan kekuatannya. Mereka ini terutama terdiri dari kaum Islamis, konglomerat bisnis besar, dan kader militer serta kader revolusionis lainnya (hampir secara eksklusif mereka ini adalah individu-individu yang pro-bisnis dan pro-Barat) yang masih mengendalikan Indonesia.

'Ahok', sebagai orang di luar kalangan di atas dan dari etnis Tionghoa, benar-benar kalah.

Alih-alih datang untuk menyelamatkannya, beberapa perencana dan arsitek ‘terkenal’  tapi korup, kebanyakan mendapatkan dana/bantuan dari luar negeri, tanpa malu-malu bergabung dengan kalangan yang 'mencerca Ahok'.

Bagi mereka, mengalahkan Ahok pun tidaklah cukup. Dia harus dihukum dan dipermalukan untuk mencegah orang lain mencoba meniru kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya yang berorientasi sosial. Selama kampanye pemilihan gubernur, dia dituduh telah ‘menghina Islam’ dalam salah satu pidatonya. Tentu saja tuduhan itu benar-benar omong kosong, bahkan sudah dibela oleh beberapa ahli bahasa terkemuka di Indonesia, namun di dalam masyarakat yang benar-benar korup (baik secara legal maupun moral), tuduhan itu dianggap benar.

Pada tanggal 9 Mei 2017, 'Ahok' dijatuhi hukuman dua tahun penjara, dan langsung dimasukkan ke dalam tahanan.

Sejak saat itu, banyak proyeknya yang berhenti, atau setidaknya secara signifikan diperlambat. Sekali lagi kita lihat sampah-sampah ada lagi di kanal-kanal dan sungai-sungai di Jakarta.

Bagi mereka yang masih percaya akan datangnya keajaiban, semua harapan sudah mati, tidak ada lagi.

Para ‘perencana kota’ yang masih percaya bahwa mereka dapat 'bekerja dengan' rezim yang sekarang (mereka menyebutnya 'pemerintah'), sudah benar mengasumsikan bahwa sekarang ini kembali 'bisnis seperti biasa'.

Saat 'Ahok' dilempar ke balik jeruji besi, desahan lega hampir bisa dideteksi di seluruh negara kepulauan yang malang ini! Semuanya telah kembali ke 'normal', setidaknya bagi mereka yang telah mendapat manfaat dari hancurnya negeri Indonesia dan kota-kotanya.

Sejarah Indonesia berulang kembali. Sekarang ini, setidaknya untuk beberapa dekade mendatang, hampir pasti bahwa semua kota di Indonesia akan tetap seperti sekarang - neraka bagi yang tinggal, mimpi yang paling buruk, dan tidak dapat disangkal sebuah daerah perkotaan yang paling mengerikan di muka Bumi.

Tapi para pembaca di luar negeri tidak seharusnya tahu mengenai hal ini. Orang Indonesia tidak seharusnya mengerti situasi yang dihadapinya. Semua ini biasa – normal-normal saja. Semua baik-baik saja. Kalau kita baca makalah-makalah dari ANU (Australian National University), anda akan diberitahu bahwa ‘Indonesia sekarang ini adalah negara yang normal, seperti Brasil atau Meksiko’. Tidak ada yang luar biasa yang sedang terjadi di sana.

Namun, pada kenyataannya semua sudah hancur. Kota-kotanya sudah hancur. Bukan secara metafor, bukan pula secara hiperbolik, tapi benar-benar kongkrit.

Seorang seniman Australia terkenal, George Burchett, yang sekarang tinggal di Hanoi, Vietnam, pernah berkunjung ke Jakarta. Selama beberapa minggu kami berkeliling Indonesia. Dia merasa kaget dan tertekan. Sebelum meninggalkan Indonesia, dia berkata:

“Saya sudah mengunjungi banyak kota di seluruh dunia. Kota-kota yang dibangun untuk rakyat. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, di Indonesia, saya melihat kota-kota yang benar-benar tidak dibangun untuk rakyat, tapi juga untuk melawan rakyat.”

Hal ini terjadi karena kota-kota di Indonesia fasis. Mereka tidak melayani kebutuhan warganya. Sebaliknya, mereka dirancang untuk menjarah sedikit sumberdaya yang masih dimiliki oleh rakyat biasa; menjarah dan memberikannya kepada penguasa-penguasa lokal, juga kepada perusahaan-perusahaan multi-nasional.

Kutipan dari Encyclopedia Britannica tentang definisi ‘negara gagal’ dapat menerangkan secara sempurna negara Indonesia pada umumnya dan kota-kotanya secara khusus:

“Kapasitas pemerintahan dari sebuah negara yang gagal dikurangi sedemikian rupa sehingga tidak dapat menjalankan tugas administratif dan organisasi yang diperlukan untuk mengendalikan rakyat dan sumber daya yang dimiliki, serta hanya dapat menyediakan layanan publik yang minimal...Negara gagal ditunjukkan dengan infrastruktur yang amat buruk, pasokan listrik yang tidak stabil dan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai, dan memburuknya indikator-indikator pembangunan-manusia yang mendasar...”

Gubernur Ahok telah mencoba untuk mengubah situasi di atas. Rakyat (Jakarta) mendukungnya. Jutaan orang menyaksikan di semua kota besar di Indonesia. Timbul harapan yang awalnya rapuh tapi segera mekar.

Tapi tiba-tiba: ada kejadian yang luar biasa, semua berhenti, dan semua rencana hancur! Orang yang berani menyuntikkan beberapa elemen sosialis ke dalam sistem yang brutal, akhirnya berakhir di balik jeruji besi.

Dan sekarang semua kembali ke skenario ‘negara gagal’ sebelumnya. Hidup di Indonesia kembali kosong dan mudah ditebak.

Hampir tidak ada perbedaan mencolok di antara kota-kota di Indonesia. Jika Anda menempatkan seseorang di pusat atau pinggiran kota Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar atau Pontianak, dia tidak akan tahu berada di kota yang mana.

Semua jalan utama dalam kondisi macet yang parah. Hampir tidak ada trotoar, dan kalaupun ada trotoarnya sempit dan kondisinya menyedihkan, dan trotoarnya dikuasai oleh sepeda motor yang agresif dan knalpotnya mengeluarkan asap kotor, dan trotoar juga penuh dengan pedagang kaki lima yang tidak diatur dan tidak higienis. Preman ada dimana-mana, mengendalikan jalanan. Hampir semua jalan raya sekunder punya sistem pembuangan limbah yang terbuka. Saat hujan turun, lingkungan perumahan terendam air kotor. Gerobak sampah yang kecil, ditarik oleh orang-orang dengan pakaian kotor dan honor/gaji yang tidak memadai, mengumpulkan sampah-sampah rumah tangga. Semua kota-kota di Indonesia menghadapi masalah yang sama, dan kota-kota itu terlihat persis sama.

Sanitasi, kualitas air dan fasilitas daur ulang sampah berada pada tingkat yang sama dengan negara-negara di Afrika sub-Sahara yang paling miskin.

Slums (permukiman kumuh) terlihat di mana-mana - luas dan brutal. Kenyataannya, sebagian besar lingkungan di kota-kota di Indonesia yang disebut kampung, sesuai dengan definisi internasional tentang permukiman kumuh.

Beberapa tahun yang lalu saya diundang untuk berbicara di Universitas Indonesia (UI). Beberapa mahasiswa bertanya kepada saya: “Mengapa? Mengapa semua ini terjadi di negara kami? Apakah ada solusinya?”

Saya menjawab bahwa tentu saja ada solusinya: “Sosialisme dan perencanaan di pusat pemerintahan. Tapi tentu harus dilaksanakan dengan tekad yang kuat dan nyata, dan harus mencakup perlawanan anti-korupsi yang sepenuh hati, juga larangan menjual semua sumber daya alam dan utilitas kepada orang asing.” Saya menambahkan: “Dan katakan kepada dosen-dosenmu untuk berhenti menerima pendanaan dari Barat, dan pergi ke Eropa untuk belajar tentang ‘pemerintahan’, ‘pemerintahan yang baik’ dan perencanaan kota dari negara-negara yang telah merampok negaramu selama beberapa abad.”

Saya yakin para mahasiswa itu suka dengan apa yang saya katakan (tapi tidak yakin juga apakah mereka masih bisa memahami artinya). Namun, sudah bisa diduga, saya tidak pernah diundang bicara di UI lagi.

Kota-kota di Indonesia seperti luka yang terbuka. Semua sumber daya alamnya telah dirampok dari mereka dan akibatnya, hilanglah sudah apa yang membuat hidup masih tertahankan. Hanya yang tidak diinginkan oleh para kaum ‘elit’ yang diberikan kepada rakyat.

Hampir tidak ada taman untuk publik di Indonesia, setidaknya bukan taman yang baik. Kota-kotanya tidak punya pelataran atau taman-taman di pinggir sungai atau pantai, hal yang sangat kontras dengan daerah perkotaan di Amerika Selatan, di Timur Tengah dan bahkan di Afrika (tidak usahlah kita bicara tentang ruang publik, taman, promenade dan tempat olahraga terbuka yang indah dan baik sekali di China).

Jalanan yang kotor, tersumbat dan tercemar disebut 'jalan' dan 'jalan besar'. Tidak ada trotoar, atau jika ada, hanyalah selebar satu meter, dengan keramik-keramik yang pecah atau banyak lubang yang cukup dalam. Di tempat trotoar tidak benar-benar dibutuhkan, malah mungkin ada trotoar di sana – di satu atau dua jalan di tengah kota dan di depan beberapa bangunan pemerintah, dan trotoar di sana pun tidak menghubungkan apa-apa. Hal ini jelas menunjukkan bahwa tidak ada apapun yang benar-benar dirancang untuk rakyat.

PENTING UNTUK DIPAHAMI bahwa pemerintah Indonesia, di semua lapisan, sebenarnya bukan institusi yang terdiri dari pria dan wanita yang benar-benar bertekad memperbaiki negara dan melayani rakyatnya. Sebaliknya!

Di Indonesia, sejumlah besar politisi adalah anggota atau berafiliasi dengan militer, yang telah memerintah negara ini secara brutal sejak kudeta militer yang didukung pihak Barat (Amerika) di tahun 1965. Kudeta tersebut menghancurkan segala sesuatu yang bersifat sosialis dan komunis, melarang gagasan komunis, dan membunuh 1 - 3 juta orang, termasuk hampir semua intelektual progresif. Selain itu, sebagian besar politisi adalah pengusaha, taipan dan oligarki, dan sebagian besar dari mereka punya reputasi yang buruk. Mereka telah merampok bangsa dan rakyatnya selama lebih dari setengah abad, dan sama sekali tidak ada alasan mengapa mereka harus berhenti melakukannya sekarang, atau dalam waktu dekat. Bagi individu-individu ini, meraih posisi politik teratas tidak lain hanyalah untuk memaksimalkan keuntungan.

Pihak Barat (Amerika dkk) senang memuji ‘Demokrasi Indonesia’ (tidak heran karena secara de facto Indonesia berfungsi sebagai sebuah koloni yang patuh, yang menjarah warganya dan sumber dayanya sendiri atas nama pihak Barat), yang punya banyak partai politik, namun tidak satu pun mempunyai ideologi kiri atau yang membela kepentingan orang awam. Selain itu, sebagian besar ‘masyarakat sipil’, LSM, tunduk pada kepentingan ekonomi dan politik Barat. Banyak sekali organisasi, bahkan mungkin sekali semua organisasi, ini didanai langsung dari Washington, Berlin, London atau Canberra. (Saya menggambarkan situasi seperti ini dalam novel terbaru saya “Aurora”).

Perusahaan-perusahaan Indonesia dan pemerintahnya merupakan satu kesatuan. Dan mereka dengan tegas dan serempak menjarah sumber daya alam di seluruh nusantara. Negara terpadat ke-4 di bumi ini hampir tidak menghasilkan apa-apa. (Baca buku saya Archipelago of Fear dalam bahasa Inggris atau Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara).

'Filosofi' penjarahan tak terkendali ini kemudian diterapkan pada 'urbanisme'; ke bagaimana kota-kota di Indonesia diperintah dan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya ke pasar. Bahkan di Afrika tempat saya tinggal dan bekerja selama beberapa tahun, tidak ada pencurian tanah perkotaan yang tak tahu malu oleh para elit (sebagian diantaranya adalah pegawai pemerintah).

Setelah semua hal di atas dipaparkan, jauh lebih mudah untuk memahami realitas Indonesia dan kota-kotanya.

Setelah hal di atas didefinisikan, apa yang terjadi di kota-kota di Indonesia ‘mulai masuk akal’.

Kenyataannya, tidak banyak yang bisa disebut 'urban' di kota-kota di Indonesia. Baik itu kota seperti Pontianak dengan 600.000 penduduk, atau Jakarta dengan 12 juta (28 juta termasuk kota-kota di sekitarnya).

Ke mana pun kita pergi, kita lihat contoh ekstrim bagaimana keuntungan lebih diprioritaskan dibanding orang/rakyat (profit over people).

Seperti pulau-pulau yang sudah dijarah habis, habis-habisan ditambang dan dicemari, kota-kota di Indonesia dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan penghasilan maksimal bagi sekelompok kecil individu dan bisnis. Namun akibatnya harus ditanggung oleh orang-orang miskin, yang sering sakit, berpendidikan rendah, dan mayoritas penduduk yang benar-benar sudah tersudut.

Jaringan media, pendidikan, hiburan pop yang berkualitas rendah, serta pengaruh agama yang masuk dan struktur keluarga yang bersifat feodal, disebarkan dan dijunjung tinggi, sehingga rakyat tidak berpikir, tidak mempunyai keraguan dan tidak memberontak.

Hasil yang diperoleh amat mengejutkan.

Kota-kota di Indonesia menjadi seperti perkebunan kelapa sawit atau tambang-tambang terbuka, dengan beberapa elemen koloni barak militer (tentu saja ada beberapa tempat khusus untuk para pengawas, dengan rumah-rumah yang besar tapi kitsch, seperti yang banyak terlihat di Jakarta Selatan).

Di sini, tidak ada yang dibangun untuk membuat hidup menjadi nyaman, penuh warna, gembira, bermakna dan bahagia. Tidak ada gedung konser permanen, tidak ada teater, dan tidak ada museum yang besar untuk umum (salah satu museum yang baru dibuka adalah milik pribadi, dan berfungsi untuk mengindoktrinasi masyarakat lebih dalam lagi, kali ini menargetkan ‘kelas menengah di perkotaan’). Tidak ada lingkungan perumahan yang punya tempat pejalan kaki yang lebar dan nyaman, dan tidak ada promenade di pinggir laut yang gratis untuk umum.

Tidak satu pun struktur yang bernilai arsitektural tinggi yang dibangun di kota manapun di Indonesia setelah kudeta militer/agama di tahun 1965/66.

Di Indonesia, ‘area publik’ identik dengan mal, tak terhitung jumlah mal-mal dengan berbagai ukuran dan kualitas. Di dalam mal, ada restoran-restoran dan toko-toko, dan kafe-kafe yang punya banyak cabang di mal-mal lainnya. Ada juga beberapa bioskop yang kebanyakan menampilkan film Hollywood atau film horor lokal. Pada akhir pekan, ada band-band yang memainkan lagu-lagu pop Barat dan Indonesia yang sudah kuno, tidak ada variasi sama sekali. Sebanyak sekitar 50 lagu didaur ulang lagi dan lagi. Bisa diduga, yang paling favorit adalah: “I did it my way”.

Tidak ada yang ‘ekstra’ di kota-kota di Indonesia. Semuanya cukup yang mendasar saja: entah bagaimana Anda bertahan dengan gaji yang kecil (dengan harga makanan dan barang-barang konsumsi setinggi atau lebih tinggi daripada di Tokyo atau Paris), entah bagaimana Anda berangkat ke tempat kerja dan pulang, setiap hari duduk berjam-jam dalam kemacetan lalu lintas yang mengerikan karena kurangnya angkutan umum yang baik bahkan di kota-kota yang punya 2-3 juta penduduk, seperti Surabaya atau Bandung. Anda memasak dan mencuci piring dan pakaian Anda dengan air yang tercemar, dan mencoba menghemat tagihan listrik yang sangat tinggi. Sama sekali tidak ada yang bisa dikerjakan di lingkungan perumahan Anda. Tentu saja selalu ada masjid di dekatnya atau kadang-kadang ada juga gereja, kalau memang itu yang Anda sukai. Tidak ada taman, tidak ada taman bermain untuk anak-anak. Tidak ada trotoar untuk dipakai berjalan ke kafe, jadi jika Anda ingin benar-benar pergi ke kafe atau ke toko buku (semua toko buku di Indonesia semakin kurang lengkap dan sangat disensor), Anda harus naik motor atau mobil, itupun kalau Anda masih punya sisa stamina.

Kemungkinan terbesarnya adalah - Anda tidak punya waktu untuk melakukan apa pun. Perjalanan sehari-hari 3-4 jam, pekerjaan yang melelahkan, dan yang bisa Anda lakukan hanyalah ambruk di depan pesawat televisi dan siap untuk diindoktrinasi, dinetralisasi dan dibodoh-bodohi lebih jauh lagi.

Anda belajar untuk tersenyum saat Anda benar-benar ingin mati, atau setidaknya ingin berteriak keras-keras. Anda merasakan bahwa tidak akan ada yang bisa berubah menjadi lebih baik, dan bahwa hidup Anda telah selesai, mungkin pada saat Anda berumur 25, atau bahkan lebih muda lagi.

Pada akhirnya, beberapa orang melakukannya lebih cepat daripada yang lain: Anda menjadi lebih relijius, dan Anda menjadi orang yang tradisional, konservatif dan 'berorientasi keluarga'. Memang sungguh-sungguh tidak ada alternatif yang lain. Kota-kota di Indonesia memastikan bahwa tidak akan ada alternatif tujuan yang lain. Kota-kota ini adalah mesin-mesin yang sempurna, menciptakan ketaatan, menjarah segala sesuatunya dari manusia, dan tidak memberi imbalan apa pun.

SAYA sering menggambarkan kudeta di tahun 1965 sebagai “Hiroshima Budaya”. Sementara di Jepang, Amerika Serikat secara terbuka melakukan eksperimen pada kesehatan jutaan manusia, di Indonesia eksperimen itu sifatnya sangat berbeda. Hal yang menarik bagi Kekaisaran adalah: “Apa yang akan terjadi pada sebuah negara anti-imperialis progresif yang mengandalkan budaya yang kompleks dan beragam, jika terjadi pertumpahan darah, jika bioskop dan studio-studio filmnya ditutup, 40% guru dibunuh, perempuan-perempuan dari organisasi sayap kiri diamputasi payudaranya, para penulis dibuang ke kamp konsentrasi di Pulau Buru, dan para perencana kota diajarkan untuk merancang kota seperti Houston, Dallas atau LA, namun di negara dengan gaji hanya 10% atau kurang daripada di Amerika Serikat?”

Jawabannya sederhana: “Negara  itu akan berubah menjadi seperti Indonesia. Akan menjadi seperti Jakarta sekarang ini”. Bagi para demagog dan perencana imperialis Barat, “Indonesia” dan “Jakarta” bukan hanya nama negara dan kota tapi merupakan nama-nama dari sebuah konsep, sebuah model.

Model ini, yang dipaksakan di koloni-koloni Barat, sangat cocok untuk pihak Barat dan kepentingannya.

Model ini juga cocok untuk para ‘elit’ Indonesia, yang sering bermain kotor di negaranya sendiri, menjarah semua yang mereka bisa jarah, tapi kemudian bersantai, bermain dan sering mengevakuasi seluruh keluarga mereka ke Singapura, California, Australia, Hong Kong dan banyak tempat lainnya ‘yang aman dan bersih’.

Model ini adalah yang termurah; konsep yang paling efisien yang dirancang untuk menjarah, dan untuk benar-benar menipu sebuah bangsa secara telak. Tidak mengherankan, pihak Barat telah mencoba untuk meniru penggunaan ‘model Indonesia yang sukses’ ini di berbagai bagian dunia.

Mereka bahkan sempat mencoba menyuntikkannya ke Rusia, setelah Uni Soviet dilukai dan kemudian dihancurkan. Mereka juga mencobanya di Chile...Teman-teman saya yang berusia jauh lebih tua di Santiago mengatakan kepada saya bahwa sebelum kudeta 9-11-1973 yang dilakukan oleh Jenderal Pinochet atas nama Barat dan perusahaannya, beberapa orang di sekitar Presiden Allende diancam oleh orang-orang dari sayap kanan: “Hati-hati, Jakarta akan datang!”

Jakarta benar-benar datang! Di sini, di seluruh Indonesia, di semua kota, dan dengan tingkatan berbeda di sebagian besar negara ini yang sudah jatuh di bawah sepatu neo-kolonialis Barat.

Tapi apa sebenarnya artinya ‘Jakarta’? Apakah itu hanya sebuah nama atau juga kata kerja, kata kerja infinitif?

“Ke Jakarta...” adalah ‘mengambil segala sesuatu dari rakyat dan tidak memberikan apapun kembali kepada mereka’. “Ke Jakarta” adalah berbohong dan menjarah dan meyakinkan umat manusia, melalui indoktrinasi yang panjang, bahwa semuanya baik-baik saja, dan seperti seharusnya terjadi. ‘Men-Jakarta-kan” bangsa ini adalah membuat hampir seluruh penduduk tidak relevan lagi, memberikan seluruh hasil jarahan di atas nampan perak kepada penguasa lokal dan asing, dan hanya menyisakan sungai dan kanal yang kotor dan tercemar, juga kemacetan yang luar biasa, kabut asap, tempat penyeberangan jalan tanpa eskalator, dan keramik-keramik yang rusak di sepanjang jalan kompleks.

‘PENDUDUK YANG DI-JAKARTA-KAN’ adalah penduduk yang  taat, suka kekerasan, tegang, tapi bukan terhadap rezim, turbo-kapitalisme, para elit yang korup dan tuan-tuan mereka dari pihak Barat, namun terhadap satu sama lain, dan juga terhadap kelompok minoritas.

Jakarta hanya mendapat sedikit kritik dari media arus utama Barat dan lokal, dan hampir tidak ada analisis yang asli dari kalangan akademisi. Tidak mengherankan: menyerang realitas kota-kota di Indonesia ibarat menyerang seluruh sistem neo-kolonialis Barat yang diberlakukan di berbagai belahan dunia. Untuk mengatakan hal yang sebenarnya pasti akan menghancurkan karier jurnalistik siapapun, seperti juga akan men-torpedo semua kesempatan untuk mendapatkan jabatan yang berpenghasilan baik di universitas!

Seringkali, yang bisa diharapkan tentang penggambaran situasi yang realistis di Indonesia, adalah keluhan-keluhan yang secara acak terdengar di pesawat terbang yang meninggalkan Indonesia, atau beberapa ‘bukti anekdot’ dari halaman majalah-majalah dan blog-blog perjalanan. Tampak sekali bahwa apa yang dilihat dengan mata kepala sendiri oleh orang-orang biasa bertentangan langsung dengan ‘fakta’ yang ditulis oleh media arus utama dan akademisi.

Pada tanggal 17 September 2017, sebuah surat kabar Malaysia The Star menulis: “Berdasarkan indeks kualitas udara yang secara real-time diunggah ke aplikasi Airvisual pada tengah hari Jumat, 15 September, Jakarta berada di peringkat ketiga sebagai kota paling tercemar di dunia...Pada pertengahan Agustus, aplikasi tersebut menunjukkan bahwa Jakarta berada di peringkat paling atas, diikuti oleh Ankara, Turki dan Lahore, Pakistan.”

Majalah ‘Escape Here’ menempatkan Jakarta sebagai kota No.1 dalam laporannya “10 Kota Dengan Lalu Lintas Terburuk di Dunia”:


“Terjadi di ibu kota negara ini, dan salah satu kota dengan perancangan paling buruk di Dunia, sebuah kombinasi yang membuat bepergian di kota ini seperti sebuah bencana. Jumlah pemilik mobil yang terus meningkat dari perluasan pinggiran kota yang mengelilingi mega-kota ini menjadi penyebab warganya menghabiskan waktu selama 400 jam setahun di kemacetan. Kota ini sudah dinyatakan sebagai kota dengan lalu lintas terburuk di dunia. Sepertinya tidak ada solusi untuk mega-kota ini karena infrastruktur ditangani oleh pemerintah daerah dan kontrak-kontraknya dinegosiasi ulang setiap tahun; yang berarti proyek jangka panjang hampir tidak mungkin. Perjalanan rata-rata di kota ini memakan waktu sekitar 2 jam...”

Pada tanggal 2 September 2015, bahkan surat kabar resmi Indonesia berbahasa Inggris, The Jakarta Post, menerbitkan kembali peringkat survei yang menempatkan ibukota Indonesia ini sebagai nomor 9 ‘kota paling tidak ramah di bumi’:

"Jakarta, ibu kota Indonesia yang terkenal karena macet dan polusi udara yang buruk, berada di posisi 9 diantara kota-kota paling tidak bersahabat di dunia tahun ini, yang ditunjukkan oleh sebuah survei yang baru-baru ini dilakukan oleh sebuah majalah perjalanan internasional. Pembaca majalah travel mewah Conde Nast Traveler untuk pertama kalinya memasukkan Jakarta ke dalam daftar ‘10 kota yang tidak bersahabat di dunia’ tahun ini. Dalam survei tersebut, salah satu pembacanya mengatakan bahwa Jakarta adalah ‘tempat paling menakutkan yang pernah saya kunjungi’ dengan kemacetan dan penduduk lokal yang agresif.”

'Tempat paling menakutkan': tentu saja! Apa yang bisa kita harapkan dari ibu kota negara yang dalam setengah abad terakhir ini telah melakukan 3 genosida yang mengerikan (terhadap penduduknya sendiri pada tahun 1965/66, melawan rakyat Timor Leste dan genosida yang sedang berjalan melawan rakyat Papua)?

Apa yang bisa diharapkan dari kota-kota yang ruang hijaunya sudah dirampok habis? Kenyataannya, semua hal yang bersifat ‘publik’ di kota-kota ini sudah dirampok, tidak ada lagi karya-karya seni dan segala sesuatunya telah dikomersialkan; Semua hal dan semua orang diharapkan sama - berperilaku dengan cara yang sama, penampilan yang sama, terdengar sama, dan merasakan dengan cara yang sama.

Cobalah tampil berbeda, dan jika Anda orang Papua, Cina, Afrika, atau kulit putih, cobalah berjalan di trotoar-trotoar sempit dan rusak di Surabaya, Jakarta, Pontianak, atau Medan. Anda akan dikata-katai; anda akan segera menjadi sasaran rasisme. Orang-orang akan berhenti dan mengejek, atau lebih buruk lagi.

Beberapa hari yang lalu saya syuting dari atas sebuah perahu di sebuah sungai yang tercemar yang melewati kota Pontianak, Kalimantan. Dua orang anak di pinggir sungai langsung mengangkat jari tengah mereka dan berteriak: “Fuck you!” Langsung terjadi begitu saja: tanpa peringatan dan tanpa alasan. Tentu saja hal ini bukan hal terburuk yang bisa terjadi. Kalau saja saya orang Cina...atau orang Afrika...Semua orang juga tahu apa yang akan terjadi. Hal ini tidak pernah dibicarakan, tidak pernah ditulis…

Menurut para ‘analis’ dan akademisi Barat, Indonesia adalah negara yang ‘demokratis’ dan ‘toleran’. Semakin memburuk kondisi negara ini, semakin menindas dan tidak toleran, semakin hancur, maka mereka akan semakin memujinya.

Kebohongan demi kebohongan menumpuk. “Kaisar memakai pakaian yang indah”, kata semua orang, seperti cerita anak-anak jaman dulu. Tapi pada kenyataannya, Kaisar itu telanjang!

Semua ini termasuk ‘political correctness’. Kita diharapkan ‘sensitif’ terhadap ‘budaya’, agama, dan cara hidup setempat. Satu-satunya kelemahan dari pendekatan ini adalah bahwa di negara-negara seperti Indonesia, budaya lokal, cara hidup dan bahkan agama yang sangat agresif, semua itu hasil dari rezim fasis yang secara langsung dipaksakan kepada bangsa ini oleh Barat (Amerika dan sekutunya) setelah pembantaian di tahun 1965/66. Seandainya jalan sosialis sebelum tahun 1965 diizinkan mengalir secara alami, Indonesia sekarang akan menjadi bangsa yang benar-benar normal, imbang secara sosial, sekuler dan toleran, dan kota-kotanya akan melayani rakyat, bukan sebaliknya.



Sekali lagi, di sini ‘political correctness’ dipakai untuk melindungi kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan oleh Barat, oleh para elit lokal dan militer, serta oleh para pemimpin agama. ‘Budaya’ lokal tidak dilindungi sama sekali, karena budaya itu sudah mati, sudah dibunuh.

Kota-kota juga mati. Bangkainya berbau busuk, mengerikan, mengerikan, sudah tidak ada harapan sama sekali. Penduduknya sudah tidak bisa bernafas dengan baik lagi, terhina, terpinggirkan, sakit, dan terus-menerus dirampok secara sistematik.

Anehnya, perlu majalah elitis seperti Conde Nast untuk memperhatikan hal-hal di atas...Dibutuhkan keluhan dari pelancong yang secara acak ditanya...Orang tidak akan pernah membaca komentar semacam itu dalam laporan yang keluar dari Australian National University atau di halaman media seperti The New York Times.

Tepat di luar kota Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, di Pulau Madura, beberapa kapal besar dilucuti/dibongkar untuk dijual besi tuanya. Secara berkala terjadi ledakan, runtuh menimpa pekerja, dan ada korban yang kehilangan wajah atau anggota badan mereka. Pemandangan di sana amat mengerikan: angker dan cukup membuat gelisah. Sama seperti yang terlihat di Bangladesh, walau di Madura ini semua berjalan tidak terlalu diperhatikan.

Dalam banyak hal, saya berpendapat bahwa kota-kota di Indonesia menyerupai kapal-kapal tersebut dan daerah-daerah pesisirnya yang tercemar tempat kapal-kapal itu dilucuti menjadi ribuan besi tua dan kemudian dijual. Walau dulu dibanggakan, mereka sekarang dipermalukan, dalam kesakitan, dan dipotong-potong sementara mereka masih hidup.

Hanya fasisme sejati yang bisa memperlakukan warganya dengan cara ini; hanya sebuah rezim yang sakit jiwa dan benar-benar gila.

Kota-kota di Indonesia...apa saja yang ada di dalamnya? Yang ada di dalam kota-kota di Indonesia adalah rumah-rumah kecil dan padat, kanal yang kotor, jalanan berlubang, polusi yang tak terbayangkan, masjid dan gereja. Kemudian ada beberapa menara perkantoran di pusat kotanya, pusat-pusat perbelanjaan yang tak terhitung jumlahnya dan beberapa hotel mewah tempat para elit melarikan diri dan beristirahat sejenak dari mimpi buruk yang dialaminya sehari-hari, itulah ‘kehidupan normal’ di sini. Lapangan golf di mana-mana, tapi tidak ada taman publik yang layak, karena bahkan beberapa area hijau sudah diprivatisasi.

Sekarang ini mantan gubernur Jakarta, ‘Ahok’, dipenjara karena berani mengubah keadaan; membangun transportasi umum, membersihkan sungai dan membangun beberapa taman kecil. Dia dipenjara karena merelokasi penghuni liar ke perumnas, dan juga karena berusaha melayani mayoritas penduduk yang miskin dan dihina-hina.

Tindakan-tindakan sosialisnya segera dicemarkan dan didiskreditkan oleh para elit, oleh LSM yang didanai Barat (Amerika dkk) dan oleh perencana kota yang korup. Bahkan ketika hal-hal itu tidak bisa menghentikan tekad dan semangatnya, maka diluncurkanlah isu agama. Bagaimanapun, sebagian besar agama bersifat regresif, berorientasi pada bisnis, dan siap mendukung rezim fasis manapun.

Sampai seberapa burukkah kota-kota di Indonesia? Kapan kota-kota ini tidak akan bisa dihuni lagi?

Rakyat sudah banyak yang sekarat; mungkin ribuan yang sudah sakit karena kanker, karena stres, dan karena penyakit pernapasan.

Jutaan manusia menyia-nyiakan hidup mereka. Mereka hidup, tapi hanya wujudnya saja, tidak benar-benar hidup: mereka bergerak secara mekanis, melintasi kota yang parah polusinya dengan sepeda motor, makan junk food (makanan cepat saji), dan selalu dikelilingi hal-hal yang buruk dan jelek.

Mengapa?

Untuk berapa lama lagi?

Hutan-hutan di Kalimantan, Sumatra dan Papua sudah habis terbakar. Di seluruh Kepulauan Nusantara ini, semuanya sudah habis dijarah, ditambang, dan hancur karena polusi yang mengerikan. Ekstraksi dan penjarahan sumber daya alam adalah satu-satunya ‘mesin’ ekonomi riil di Indonesia saat ini.

Kota-kotanya tidak jauh lebih baik. Benar-benar tidak lebih baik.

Sudah waktunya bangsa Indonesia bangun, atau nanti akan terlambat. Tapi nampaknya bangsa ini benar-benar tidur pulas. Mereka benar-benar tidak memperhatikan bahwa negaranya sedang jatuh bebas. Mereka dikondisikan untuk tidak memperhatikan. Mereka dibuat untuk menerima, bahkan untuk merayakan keruntuhannya sendiri.

Mereka yang memaksa Indonesia ke dalam kondisi ini tentu tidak akan membocorkannya. Setidaknya selama masih ada yang tersisa, sesuatu yang bisa diekstraksi, dimanfaatkan, dijarah, maka mereka akan tetap memuji ‘kesuksesan’ dan ‘kemajuan’ Indonesia.

Saya mengajak semua orang dari seluruh dunia yang ingin melihat wajah sejati neo-kolonialisme, kapitalisme brutal dan bencana yang ditimbulkan oleh sayap kanan, untuk datang ke kota-kota di Indonesia! Datang dan lihatlah dengan matamu sendiri. Datang dan jalan-jalan di sana; Jangan bersembunyi di kota-kotamu sendiri yang nyaman, yang penuh dengan taman-taman rimbun, gedung konser, bioskop seni, transportasi umum dan teater.

Ini hal yang nyata. Ini adalah peringatan bagi dunia!

Datang dan lihatlah bagaimana kondisi kota-kota di negara di mana komunisme dan sosialisme dilarang, di mana sebuah koloni bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang dijajah, dan di mana segala sesuatu disajikan di piring perak yang besar langsung ke hadapan monster yang disebut fasisme.
 
14 Desember 2017, Ketapang, Kalimantan Barat, Indonesia
 
*Andre Vltchek adalah seorang filsuf, novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Tiga buku terbarunya adalah tribute-nya kepada “The Great October Socialist Revolution”, novel revolusionernya Aurora, dan buku bestselling-nya yang non-fiksi dan politis: “Exposing Lies Of The Empire”. Silahkan lihat buku-buku lainnya disini. Silahkan lihat Rwanda Gambit, film dokumenternya tentang Rwanda dan DRCongo, serta film/dialognya dengan Noam Chomsky “On Western Terrorism”. Sekarang ini Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah, dan terus bekerja di berbagai belahan dunia. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya. Tautan ke esai aslinya: http://21stcenturywire.com/2017/12/17/indonesia-capitalism-reduced-cities-dehumanized-polluted-environments-ordinary-people/

Ketika Ketakutan Menjalar di Jalanan


oleh Andre Vltchek*

“Saskia Wieringa, menemukan kegiatan seksual di Indonesia begitu melekat. Kekerasan seksual yang dialami Gerwani, dilakukan oleh anak muda, sering kali kelompok agama, laki-laki yang mayoritas pembunuh. Bentuk kekerasannya membuktikan pandangan ini. Sebuah dokumen dari kelompok hak asasi, Tapol memberi gambaran jelas: perempuan anggota PKI ditelanjangi, tubuhnya dibakar sebelum dibunuh; anggota Gerwani yang baru menikah diperkosa berulang kali oleh grup Ansor dan digeranjangi mulai dada sampai kelamin; wanita hamil 9 bulan dibunuh, perutnya dipotong dan anaknya disembelih; pemimpin Gerwani yang lain ditusuk alat kelaminnya dengan bambu runcing. Kekerasan yang mengerikan ini, dilakukan hanya karena mereka Gerwani. Ini sekaligus menegaskan bahwa laki-laki lebih berkuasa dan memegang kontrol atas seksualitas perempuan, menyingkirkan siapapun yang mau merubah mitos ini.”

TEMAN baik saya, seorang perempuan Indonesia keturunan Tionghoa, baru-baru ini dilecehkan di Jakarta Pusat, di siang bolong. Saat itu saya berada di Jepang, kami saling mengirim SMS dan email. Ini bukan yang pertama kali dialaminya, dia merasa terhina, disudutkan dan benar-benar stress. “Seandainya saya terlahir sebagai orang lain—bukan China. Seandainya saya terlihat seperti orang lain,” tulisnya. Setengah hari penuh saya coba meyakinkannya bahwa tidak ada yang salah menjadi keturunan Tionghoa, atau etnis lainnya. Indonesia—negara yang sejak 1965 melakukan tiga pembantaian massal yang didukung penuh oleh Barat (Amerika)—sudah membuat teman saya merasa gagal. Sebuah negara yang menggunakan kekerasan seksual untuk menakuti rakyatnya sendiri.

Saya minta teman saya menuliskannya, satu pengalamannya sendiri dan dua pengalaman temannya. Tiga cerita sederhana tentang pengalaman mereka. “Saya yang akan memberikan konteks,” janji saya. Dia menyanggupi dan mengirimkan ceritanya. Saya menambahkan dengan cerita besar yang mengerikan dan tidak pernah diungkapkan: sebuah kekerasan seksual yang tak terbayangkan yang membuat perempuan Indonesia menderita sejak 1965. Cerita ini selalu tabu (sesuatu yang diharamkan), namun saya sadar ia harus diungkapkan, dengan bahasa yang sederhana.

PERTAMA, Anna menceritakan kisahnya. Kejadian yang belum lama dialaminya: Kantor saya berada di Jalan Wijaya. Ada beberapa kafe kecil, restoran, warung, di sekitar kantor. Saya mendatangi salah satunya yang berjarak sekitar 10 menit dari kantor.  Saya belum pernah mengalami kejadian buruk saat berjalan di tempat ini. Beberapa anak muda mengolok-olok saya, tapi saya tidak ambil pusing, karena saya sudah sering diolok-olok saat berjalan dari Terminal Lebak Bulus ke rumah.

Apa yang dikatakan Anna tentang olok-olok sebagai sesuatu yang normal, sesungguhnya amat mengerikan. Kata-katanya seperti: “Mau kemana, cantik? Kok sendirian?” Kadang-kadang: “Hei cewek putih”. Mereka juga mengejek dengan Bahasa China. Tidak hanya anak muda, namun juga supir bus, yang sering kali mengejek dengan Bahasa China setiap waktu dan dimana saja mereka berada.

Saat itu saya berjalan agak lambat di trotoar dan tiba-tiba beberapa anak muda bersepeda mendekat dan memegang pantat saya, lalu meremasnya. Kemudian mereka terus bersepeda, melihat ke belakang, tertawa dengan bangga karena berhasil mempermalukan saya. Saya sangat terkejut karena tidak melihat kedatangan mereka. Kejadian yang sangat tidak saya harapkan. Saya terdiam beberapa menit, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Namun dengan perlakuan yang diterimanya, Anna tidak marah kepada para penyerangnya, dia tidak melapor ke polisi (“Mereka akan menggoda saya atau melakukan sesuatu yang lebih buruk,” Anna menjelaskan alasannya kepada saya). Malah dia malu dengan identitasnya:

Ketika saya sedikit pulih, saya merasa: “Saya benci berwajah China…Andai saya bukan China, saya tidak akan terlihat berbeda dengan orang kebanyakan. Andai saja kulit saya lebih gelap dan mata saya lebih lebar, mereka tidak akan melakukan apapun kepada saya.”

Banyak orang lain di sana, perempuan, laki-laki, berjalan kaki, kenapa tidak mereka? Kenapa harus saya? Dua teman mencoba menenangkan saya, namun mereka tidak bisa berbuat banyak selain mengatakan “sudahlah”. Atau “lain kali lebih berhati-hati”. Ketika kembali ke kantor, saya hanya ditanya: “Kamu baik-baik saja?” Dan mereka bilang, “Harus kuat…” dan yang lain hanya berkata, “Terima kasih Tuhan, karena saya tidak terlihat seperti orang China.” Saya malu dan sedih. “Apa yang bisa saya lakukan? Ini Indonesia. Ini sudah takdir saya sebagai orang China yang tinggal di Indonesia. Kalau tidak sekarang, kejadian ini akan terjadi juga nantinya.”

Ketika kamu berniat menulis ini, saya ragu, apakah wajar menceritakan hal begini. Ini sudah dianggap ‘biasa saja’ oleh semua orang di sini.

Sejak awal, kami sudah diarahkan menerima saja apapun yang terjadi. Tidak ada yang bisa kami lakukan, ini sudah takdir kami, sebuah takdir yang tidak terelakkan.

ANNA bukan nama sebenarnya. Hampir tidak ada korban pelecehan, penganiayaan, maupun perkosaan, mau mengungkapkan jati diri mereka. Indonesia merupakan sebuah negara dimana teror seksual di kalangan perempuan dianggap sesuatu yang biasa, sejak kudeta yang didukung Barat (Amerika) pada 1965. Anak perempuan yang dianiaya tidak menceritakan kepada orang tuanya; korban perkosaan tidak melapor kepada polisi, sementara nama mereka buruk akibat penganiayaan, pelecehan atau perkoasaan. Di Indonesia, orang yang diperkosa dianggap kotor. Korban diajarkan untuk tidak merasa terlecehkan. Malah mereka merasa malu, harus menyembunyikan kejadian itu, daripada berjuang untuk mendapat keadilan bagi dirinya maupun orang lain. Ada pengecualian untuk beberapa orang, namun perbandingannya sangat sedikit.

Tidak seperti perempuan di India. Di Indonesia, tidak ada film yang mengungkapkan kekerasan seksual, seperti film Cairo 678 yang memenangkan Egyptian Award. Korban 1965, korban Timor-Timur, korban kekerasan di Papua yang sedang berlangsung, korban rasisme dan diskriminasi agama, korban kekerasan seksual, dan korban-korban kekerasan lainnya sudah dibungkam. Di buku terbaru saya tentang Indonesia: Archipelago of Fear (Pluto, 2012), saya mengungkapkan: Ketakutan sangat dipaksakan di Indonesia. Ada beberapa tipe ketakutan. Kejadian masa lalu, kasus kekerasan, maupun korupsi. Ketakutan untuk diungkapkan, ketakutan dihukum, dan mendapat malu. Ketakutan untuk mengakui bahwa ia adalah korban kekerasan. Ketakutan menjadi minoritas—baik ras, etnis atau agama—di Indonesia hukum mayoritas sering kali menindas minoritas.

TINGKAT kejahatan terhadap perempuan di Indonesia mirip dengan perang DR Congo di Afrika. Namun, tidak pernah ada berita di koran Indonesia tentang hal itu, ia tidak pernah dibicarakan, sangat rahasia. Di Barat, misalnya, Indonesia seringkali dijadikan contoh yang baik untuk negara demokrasi, masyarakat toleran. Belum ada yang merubah mitos itu. Itu karena Indonesia sangat tunduk kepada politik dan ekonomi Barat (Amerika). Ia sudah berlangsung sejak 1965, semasa pemerintahan korup Suharto, yang sudah mengkhianati dan membunuh bangsanya sendiri. Sebuah pidato terkenal di Beijing tahun 1995 oleh Hillary Clinton, ia menyatakan: “Hak asasi adalah hak perempuan, hak perempuan adalah hak asasi.” Tahun 2009, ketika ia ke Indonesia dalam sebuah kunjungan kenegaraan sebagai Menteri Luar Negeri, dia menyatakan: “Saat saya berkunjung ke negara lainnya, saya akan katakan kepada orang-orang: jika kamu ingin ke tempat di mana Islam, demokrasi, modernitas dan hak asasi perempuan dijunjung tinggi, pergilah ke Indonesia.”

Clinton berbicara tentang sebuah negara dimana Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator LBH APIK, dan mantan anggota PKB, tinggal. Nur mengatakan kepada saya, di lain hari pada 2011, di rumahnya di Jakarta, tentang negaranya: “Jutaan perempuan di Indonesia disunat untuk alasan budaya dan agama. Saya salah satu di antaranya…Adik saya juga disunat dan saya menyaksikannya. Ketika mereka menyunat adik saya—tahun 1960—saat itu saya berusia 5 tahun…Saya melihat darah di mana-mana, darah yang sangat mengerikan. Kejadian itu juga menimpa anak perempuan saya. Keluarga memaksa saya. Saya tidak tahu…dia dilahirkan tahun 1990 sebelum saya belajar bahwa sunat termasuk isu hak asasi manusia. Saya menolak anak saya disunat, tapi keluarga memaksa saya: “Mengapa tidak?! Dosa dan malu kalau kita tidak melakukannya!” Akhirnya, saat anak saya berusia enam bulan, saya membawanya ke sebuah rumah sakit di Jakarta dan mereka melakukannya…Saya tidak melihatnya karena mereka membawanya pergi. Saya duduk di luar dan menangis. Bulu kuduk berdiri semua. Anak saya menangis, berteriak, mereka membawanya kembali pada saya dengan darah dimana-mana.”

Sungguh, suatu contoh yang baik tentang hak asasi perempuan, Clinton!

SETELAH 1965, kekerasan seksual dilakukan secara biadab. Banyak perempuan dari organisasi kiri, termasuk Gerwani, dada dan alat kelaminnya dipotong. Ia dianggap biasa, normal. Militer, kader agama, dan jutaan warga negara Indonesia menjadi bagian dari hal ini. Mereka terlibat dalam tindakan kekerasan. Sebanyak 800 ribu hingga 3 juta orang: kiri, PKI, intelektual, guru, ateis dan Tionghoa, dibasmi secara sistematis. Cerita yang tidak masuk akal, namun nyata adanya, sejak Indonesia dibangun tahun 1965. Mereka yang dicap PKI dan Gerwani tidak bisa bersuara. Mereka dikebiri tentara Indonesia. Sebuah kekerasan seksual yang mengerikan. Sudjinah, mantan Gerwani, memaparkan kekerasan yang dialaminya sebagai tindakan balas dendam setelah 1965, di dalam bukunya ‘Terempas Gelombang Pasang’, 2003:

“Kami tiba di sebuah sekolah China yang sudah diubah menjadi ruang penahanan dan interogasi. Begitu tiba, saya langsung mengerti, kenapa bangunan tempat anak-anak belajar ini disebut ‘Rumah Hantu’ oleh para tahanan…Saya dimasukkan ke sel kecil yang dindingnya penuh bercak darah. Saya mendengar tangisan dan rintihan dari ruang interogasi. Teman saya, Lami (Sulami) diinterogasi pertama, dan kemudian giliran saya… “Oi, buka mulutmu…” kata si penginterogasi, kemudian mereka memukul seluruh tubuh saya dengan tongkat rotan panjang. Sekitar delapan ‘setan’ berpakaian kemeja hijau garis-garis kuning memukul badan saya bagai kutukan. Saya menutup mata dan merasakan pukulan di seluruh badan telanjang saya; perut, dada, wajah dan lengan. Darah mengalir dari mulut. Ketika membuka mata, saya lihat yang lain yang sudah dipukul tergeletak di lantai, beberapa masih sadar…Lebih dari 30 perempuan dan anak-anak di tempat itu, di antaranya ada gadis China…satu masih sadar. Dia diinterogasi. Ketika dia tidak menjawab pertanyaan, mereka menyentrumnya.”

Merujuk pada riset Universitas Harvard dan Institut Hubungan Internasional dan Keamanan Portugis (Kai Thaler, Bayang-bayang Pembantaian: Dari Pembantaian Indonesia 1965-1966 ke Pembantaian Timor-Timur 1974-1999): Perempuan sering menjadi korban kekerasan. Anggota Gerwani dimutilasi dan dibunuh selama peristiwa G-30-S. Perempuan ‘komunis’ dianggap monster meresahkan. Ini bukan hanya tindakan kriminal, seperti kata-kata Suharto, “Sebuah tindakan sadis, merusak identitas perempuan Indonesia.”

Beberapa slogan anti-komunis yang digunakan: ‘Gerwani Tjabol’, ‘Gantung Gerwani’ dan ‘Ganyang Gerwani’. Di Bali, ribuan perempuan dipaksa melakukan aktivitas seksual. Mereka diklaim sebagai anggota Gerwani yang membuat mereka diperkosa. Penganalisis gender tentang Pembunuhan, Saskia Wieringa, menemukan kegiatan seksual di Indonesia begitu melekat. Kekerasan seksual yang dialami Gerwani, dilakukan oleh anak muda, sering kali kelompok agama, laki-laki yang mayoritas pembunuh. Bentuk kekerasannya membuktikan pandangan ini. Sebuah dokumen dari kelompok hak asasi, Tapol memberi gambaran jelas: perempuan anggota PKI ditelanjangi, tubuhnya dibakar sebelum dibunuh; anggota Gerwani yang baru menikah diperkosa berulang kali oleh grup Ansor dan digeranjangi mulai dada sampai kelamin; wanita hamil 9 bulan dibunuh, perutnya dipotong dan anaknya disembelih; pemimpin Gerwani yang lain ditusuk alat kelaminnya dengan bambu runcing. Kekerasan yang mengerikan ini, dilakukan hanya karena mereka Gerwani. Ini sekaligus menegaskan bahwa laki-laki lebih berkuasa dan memegang kontrol atas seksualitas perempuan, menyingkirkan siapapun yang mau merubah mitos ini.

Rezim menggunakan batalion militer untuk memperkosa perempuan di desa dan kota di Timor-Timur, pembantaian massal. Salah satu komandonya Susilo Bambang Yudhoyono, perwira tinggi Suharto.

Hari itu, saya menyelundup ke Timor-Timur, menuju beberapa tempat. Di Ermera, militer Indonesia datang tiba-tiba, menculik laki-laki dan memperkosa perempuan, dari bayi hingga nenek-nenek 80-an. Saya ditahan dan disiksa, film saya disita. Semua ini tak pernah diungkapkan hingga kini. Bentuk penyiksaan terhadap perempuan oleh sekelompok orang Indonesia sangat sadis, meluas dan mengerikan, saya tak bisa memasukkannya ke dalam laporan ini. Isu ini dianggap tabu di bawah kekuasaan Suharto, dan ia tetap dianggap tabu di era demokrasi Indonesia. Kasus perkosaan perempuan Tionghoa di siang bolong mengakibatkan kekuasaan diktator Suharto yang didukung Barat (Amerika) runtuh, namun rezim pro-Barat masih tetap bertahan hingga kini.

Kerusuhan di Indonesia, tindakan perkosaan, saya dokumentasikan di Solo pada 1998. Ratusan perempuan Tionghoa, sebagian besar penjaga toko yang rendah hati bersama anak mereka, ditiduri oleh orang gila dan haus darah, orang-orang rasis yang fanatik, sementara polisi hanya berdiri dan menonton dalam diam. Kemudian kasus kekerasan seksual di Papua yang sedang berlangsung, kejadian mengerikan yang menimpa 100 ribu hingga 500 ribu orang, pembantaian massal. Militer Indonesia secara bertahap memperkosa perempuan, menculik anak kecil dan menjadikan mereka budak seks.

Oktober 2004, Direktur Pendidikan Papua New Guinea (PNG), Sir Peter Baki, menjelaskan kepada saya tentang keadaan buruk yang menimpa anak-anak Papua: “Pengawas kami yang bekerja dengan anak-anak mengatakan: pasukan Indonesia rutin datang ke desa terpencil di Papua. Begitu melihat perempuan yang mereka suka, mereka menahannya. Keluarganya dibuang jauh dan tentara menahannya sampai memperkosanya. Kemudian perempuan itu disuruh diam, kalau tidak tentara akan merusak seluruh desa. Jika si perempuan memberitahu identitas tentara yang memperkosanya, dia akan dibunuh dan desanya akan dihancurkan. Pembicaraan kami berlangsung di Nandi, Fiji, dimana Baki menghadiri rapat PBB. Dia mendekati saya, meminta bantuan untuk menyelamatkan anak-anak Papua, memberikan informasi detail tentang perempuan-perempuan itu. Ada yang baru berusia 9 tahun, melintasi perbatasan ke PNG, melarikan diri dari Papua dengan alat kelamin dan puting susunya dipotong dan dibakar dengan rokok.

“INI cerita kedua,” lanjut Anna. “Namanya Melia Christina, 23 tahun, dari Surabaya, kini tahun pertamanya menjadi dokter umum.” Tentu saja di cerita ini, Melia bukan nama sebenarnya, namun ceritanya nyata…Melia salah satu teman dekat saya saat SMA. Dia perempuan yang kurang beruntung, dia pernah mengalami pelecehan seksual. Kampung Melia di Situbondo, orang tuanya mengirimnya ke Surabaya untuk menempuh pendidikan SMA. Dia tinggal di kos, tidak begitu jauh dari SMA Petra 2 Christian, sekolah tercinta kami. Kosnya terletak di di ujung jalan besar, beberapa gang sempit harus dilewati, hal yang biasa untuk sebuah rumah di kawasan kumuh.

Untuk menuju sekolah, kami berjalan sekitar 10 menit menyusuri jalan raya, melewati tiga becak dan pengemudinya, juga penjual bakso dan mie ayam. Kami tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Sudah banyak orang yang mengalami pelecehan seksual di jalan itu. Kejadian pertama terjadi di pagi buta, sekitar pukul 06.15, Melia ingin sampai di sekolah lebih awal dari biasanya dan jalanan masih gelap. Ketika dia hampir mencapai jalan utama, seorang lelaki muda berambut panjang, mengenakan kemeja putih lusuh, mengendarai sepeda, datang dari belakang. Tiba-tiba memegang dan meremas dada Melia dengan keras. Kemudian dia melihat ke belakang dan berteriak “Cina!”, meludah dan tertawa. Melia terkejut. Dan serangan yang sama terjadi lagi.

Sekolah kami tahu kejadian ini, namun mereka tidak berbuat banyak untuk mengatasinya. Mereka hanya mengingatkan murid-murid untuk lebih berhati-hati ketika berjalan kaki di jalanan tersebut dan berjalan berkelompok, jangan sendiri. Karena tidak ada seorang pun yang melindungi kami, atau setidaknya memberi tahu kami bahwa apa yang terjadi merupakan sesuatu yang buruk, merupakan kejahatan rasisme, maka kami mulai berpikir kejadian itu biasa saja, normal. “Ia akan terjadi lagi, lagi, dan lagi kepada perempuan China yang tinggal di Indonesia.”

Sekolah kami tidak berusaha membela kami, atau setidaknya membuat kami merasa aman. Kami berhak mendapat perlindungan. Mereka hanya mengatakan: “Lain kali lebih berhati-hati, dan berdoa setiap hari semoga kejadian itu tak terulang lagi. Namun ia terjadi lagi dan lagi. Tindakan terbaik yang bisa dilakukan Melia hanyalah melindungi dirinya sendiri dengan memeluk buku tebal menutupi dadanya, untuk melindungi payudaranya.

PENULIS dan Jurnalis Indonesia, Linda Christanty, menulis untuk laporan ini: “Selama kerusuhan Mei 1998, Iwan Zainuddin, teman saya, ayahnya penjual sup di dekat Masjid di Jakarta Timur. Ia tiba-tiba mengunjungi saya. Dia memohon: Tolong pergi!” Dia baru saja selesai sholat di Masjid, dan mendengar enam anak muda tetawa sambil menceritakan bagaimana mereka memperkosa beberapa perempuan Tionghoa. Anak muda itu sholat di Masjid setelah memperkosa perempuan. Ini kisah nyata, dan sangat mengerikan.”

Answer Styannes, Kepala Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia di Hong Kong, menulis sebuah laporan: “Indonesia punya jejak rekam buruk untuk isu kekerasan seksual, hanya sedikit yang sudah meneliti tentang itu. Tidak adanya data korban kekerasan seksual membuatnya menjadi sulit untuk mendapat gambaran akurat mengenai isu ini. Rasisme menyebabkan kekerasan seksual, ia sudah diketahui publik secara luas, menjadi bagian dari (atau berhubungan dengan) penyalahgunaan skala luas. Dua contohnya perkosaan yang dialami perempuan Tionghoa pada Mei 1998 merupakan bagian dari kekerasan seksual yang dialami perempuan Papua oleh militer di akhir 1970-an.

Kekerasan seksual cenderung didiamkan, orang lebih membahas masalah utamanya, seperti pembunuhan atau penyiksaan. Permintaan menyelidiki aktivis korban penculikan dan penembakan anak-anak pada 1998 masih disuarakan hingga kini, namun tidak dengan isu perkosaan yang dialami perempuan Tionghoa meski ia terjadi pada saat yang bersamaan.

Mengapa kekerasan seksual jarang dibicarakan di Indonesia dibanding dua isu lainnya? Karena isu ini sulit dibuktikan. Tantangan kasus rasisme adalah membuktikan motif si pelaku. Pada kasus kekerasan seksual saksi dan kesediaan mereka untuk berbicara apa yang sudah terjadi sangat jarang ditemukan. Korban juga tak bisa disalahkan ketika mereka tidak mau menceritakan pengalamannya. Pada kasus perkosaan perempuan Tionghoa 1998, Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, di sisi lain pemerintah meragukan kejadian tersebut. Ini tindakan salah—tidak ada kepastian hukum dan bantahan pemerintah bahwa ia hanya peristiwa kecil.”

Peneliti Islam di Indonesia, Noor Huda Ismail, berkomentar dalam esainya: “Sentimen anti China sudah menyebar dan ada dua penyebabnya: China menunjukkan tingkat ekonomi yang lebih baik, karena mereka pekerja keras, cerdas dan saling mendukung satu sama lain. Sementara penduduk lokal lebih konsumtif dan kurang kreatif. Penyebab kedua adalah guru agama tidak mengerti tentang sejarah: bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh pedagang China!”

KENYATAANNYA, hampir tidak ada orang Tionghoa yang tinggal lagi di Indonesia. Jika seseorang berbahasa China, membawa budaya China, menceritakan dongeng China, makanan China, dan memainankan permainan anak-anak China. Setelah 1965, segala hal yang berhubungan dengan China dilarang. Film China dan naga dilarang, kue dan mainan, bahasa dan aksara China dilarang. Alasannya hanya karena China adalah negara komunis. Komunisme harus dilarang, berdasarkan perintah Washington, London dan Canberra. Di lokal, komunisme disamakan dengan ateis. Ateis juga dianggap ilegal. Nama China juga dilarang. Jadi Ling diubah menjadi Linda dan Kwie diubah menjadi Gunawan.

Pengacara pembela hak asasi di Indonesia, Ester Yusuf, berbicara tentang situasi ini di film tentang pembantian 1965 di Indonesia, “Terlena—Breaking of A Nation”: “Kenapa isu ini jarang diungkap? Karena diskriminasi ras di Indonesia sangat besar. Orang berbicara tentang kejahatan hak asasi atau isu kemanusiaan, tapi tak ada yang fokus pada isu minoritas Tionghoa. Meski ada pelanggaran hak asasi yang serius pada etnis Tionghoa, ia tak biasa diungkap. Dari 1740 hingga 1998 ada 12 kerusuhan ras dan tak satupun diusut tuntas. Saya kira semua ini punya sejarah panjang. Selama ratusan tahun etnis Tionghoa menyadari bahwa mereka tak punya perlindungan hukum. Bermula dari 1740 dan ia terus berulang. Tahun 1740 dilakukan oleh pemerintah kolonial dan etnis lain yang tak suka dengan etnis Tionghoa. Ini menjadi pola dan tak ada solusinya. Etnis Tionghoa tak pernah mendapat perlindungan hukum.”

Penulis China-Indonesia, Yaya Sung, menjelaskannya lebih detail dalam tulisannya Jalan Kemenangan: “Inventarisasi dibuat organisasi anti diskriminasi Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), menerbitkan Dua Tahun Solidaritas Nusa Bangsa Melawan Rasialisme (Jakarta: SNB, 2000), memperlihatkan 62 peraturan hukum dari masa kolonial hingga rezim Suharto (inventarisasi hingga sampai 1988), secara eksplisit dan implisit mendiskriminasi etnis Tionghoa. Dari 62 peraturan, 42 ditetapkan pada Rezim Orde Baru. Sebanyak 8 peraturan dari zaman kolonial, 12 dari Rezim Sukarno dan 3 dari MPRS. Jelaslah di bawah Suharto, diskriminasi sangat mencolok dan mengintimidasi etnis Tionghoa.”

Rasialisme sudah mengakar di Indonesia. Bahkan sebelum 1965, penulis terkenal se-Asia Tenggara, Pramoedya Ananta Toer, dipenjara selama setahun, karena memprotes perlakuan diskriminasi kepada orang-orang Tionghoa. Pram bukan orang Tionghoa. Tak hanya Tionghoa yang menderita di Indonesia. Kejadian lebih mengerikan dilakukan Jerman saat perang Nazi. Indonesia telah dirugikan, 40 persen populasi Timor-Timur telah dibunuh dan tidak ada yang peduli. Pembantaian massal terjadi di Papua, sementara kekayaan alamnya terus dikeruk. Tempat dimana terjadi pertumbuhan ekonomi, tapi bukan dari investasi besar, namun dari penjarahan di pulau-pulau berpotensi, dilakukan bersama di satu bangsa yang tidak bahagia, tanpa bisa memisahkan diri.

INDONESIA merupakan satu dari lima negara di muka bumi, di mana saya tidak berani berjalan sendiri di jalanan. Saya berusaha menghindari olok-olok melecehkan, menunjuk jari secara agresif dan berteriak ‘bule’ (albino, berkulit terang). Empat negara lain (saya sudah bekerja di total 150 negara dan semua benua) merupakan negara perang dan terjadi pembantaian massal DR Congo, Rwanda, Uganda, dan (hanya di daerah kumuh) Kenya. Namun yang paling memperihatinkan dialami orang asing berkulit gelap dari Afrika. Saya berbicara dengan mantan anggota parlemen Kenya dan anggota PBB Ethiopia. Keduanya mengunjungi Indonesia untuk menghadiri beberapa pertemuan selama beberapa hari.

“Kamu tahu monyet?” tanya teman dari Afrika.

Monkey,” jawab saya. “Kenapa?”

“Kata ini sudah biasa saya dengar di Indonesia.”

“Kamu ke kebun binatang?” kata saya antusias.

“Tidak,” ia melihat ke bawah. “Saya hanya berjalan di jalan raya.”

‘Bule’ bisa pergi, dan itu sudah terjadi. Bandingkan angka pendatang di pusat perbelanjaan Indonesia (arisan ditinggalkan dan tempat publik diprivatisasi), begitu juga di Bangkok, Hanoi atau Kuala Lumpur.

Melihat kebudayaannya, bahasa, dan identitasnya, mereka dipaksa menyandang nama Indonesia, bertingkah laku seperti Indonesia, berpikir seperti Indonesia, mereka merasa terhina, malu dan dilecehkan. Suharto, militernya beserta kelompok agamanya punya rencana licik: mereka membunuh minoritas Tionghoa, memperkosa istri dan anak-anaknya, menimbulkan teror dimana mereka tidak bisa bergerak bebas, dan mereka merekrut beberapa pebisnis Tionghoa untuk menjadi kapten ekonomi. Mereka tahu setelah terjadi pertumpahan darah, orang-orang Tionghoa tidak akan berani memberontak. Mereka hanya bisa berbisik di belakang.

Indonesia punya filosofi dan moral jahat. Pelaku kejahatan, pembunuh, penyiksa, dan pemerkosa bisa bebas dan bangga dengan perbuatannya. Korban penganiayaan, perkosaan dan pelecehan merasa malu, kotor. Saya punya teman. Dia punya anak. Dia keturunan Tionghoa. Suatu kali dia bercerita bahwa dia diperkosa dan anaknya merupakan hasil perbuatan memalukan itu.

Teman yang lain merupakan korban pelecehan semasa kanak-kanak. Dia diserang di rumahnya oleh dua anak muda tetangganya, laki-laki yang tidak suka dengan keturunan Tionghoa. Mereka melakukan pelecehan seksual selama berjam-jam. “Saya merasa sangat malu,” katanya. “Dan ketika keluar, mereka masih melakukan hal yang sama…” “Keluar?” saya tidak mengerti. “Orang-orang itu ditahan, dituntut dan dipenjara?” Ternyata tidak, mereka bebas dan masih melecehkannya. Dia tidak menceritakannya pada siapapun, termasuk orang tuanya. Tidak terjadi sesuatu pun pada pelaku pelecehan tersebut.

KINI kita sampai di cerita ketiga,” kata Anna.

Seseorang bukan nama sebenarnya yang akan menceritakan kisahnya adalah Sisca Gunawan, 24 tahun, kini asisten manajer di sebuah hotel besar di Surabaya.

Saya di sana dan melihat sendiri kejadiannya, karena kami berjalan bersama. Ketika kami tiba di ujung jalan, berdiri dan menunggu mobil, tiba-tiba tiga orang dengan dua sepeda mendekati kami. Sisca dan saya spontan menjarak dari mereka, tapi mereka tetap mendekati kami. Dan tiba-tiba salah satu dari mereka memegang wilayah pribadi Sisca. Sisca menolaknya namun laki-laki itu masih melakukan apa yang diinginkannya. Lelaki satunya tertawa, seolah mereka bekerjasama dengan baik. Yang satunya melihat kembali ke arah kami dan berteriak, “Pelayanan Anda sangat baik!” Hal terburuk yang selalu diingat Sisca adalah ekspresi wajah mereka, ejekan mereka dan tertawa puas.

Dan lagi, sekolah hanya bisa mengatakan bahwa kami harus lebih berhati-hati. Berjalan berkelompok, memakai seragam longgar, dan berjalan ketika orang sudah ramai. Namun hal yang sama masih terus terjadi. Jadi kemana pun kami, kapanpun, murid-murid ‘mendapatkan gilirannya’. Perlahan-lahan kami sudah terbiasa. Seolah-olah kejadian ini pasti dialami oleh semua orang. Ketika kami mendengar kejadian yang lain, kami tidak akan membantu tapi hanya berpikir, “Oh, itu sudah diduga kok, seolah itu sudah menjadi bagian dari proses pendidikan di SMA.” Tak ada seorang pun yang membela kami atau setidaknya menjelaskan itu bukan kesalahan kami, tak ada yang salah menjadi China dan itu kejadian yang mengerikan.

PADA UMUMNYA, iklim politik tidak pernah berpihak pada perempuan Indonesia, apalagi minoritas. Nursyahbani Katjasungkana menjelaskan: “Dalam budaya dan agama kami, perempuan harus patuh pada laki-laki. Hukum pernikahan mengharuskan laki-laki menjadi pencari nafkah. Kami mencoba untuk merubahnya, namun sangat sulit dan semuanya bergerak sangat lambat. Dan tak hanya di dalam rumah perempuan menerima pelecehan. Saya pernah melihat di gedung DPR, bagaimana seorang rekan mengejek anggota parlemen perempuan. Satu dari rekan saya—dia cantik dan single, pengacara dari Lampung—dengan terang-terangan dilecehkan oleh mereka. Mereka mengatakan: “Oh, saya minta maaf. Saya tak bisa membawanya karena saya sudah punya empat isteri.”

Eva Kusuma Sundari, anggota parlemen dari partai PDIP sangat khawatir dengan masa depan kaum perempuan. Dia mengatakan pada saya di tahun 2011: “Ketakutan merajalela di sekitar kami, kaum perempuan. Mengacu pada komisi perlindungan hak perempuan, setidaknya ada 96 peraturan lokal yang dibuat politisi lokal. Ini peraturan Islam, yang sangat mendiskriminasi kaum perempuan. Itu menjadi ancaman. Dan masih ada hingga kini.”

SATU puisi yang ditulis oleh Sulami, mantan Sekretaris Gerwani:

Ini hanya bagian dari cerita
Hanya salah satu bagian
Namun
Cerita ini datang dari
Sesuatu yang mengerikan seperti laut yang tak terbatas
Orang-orang malang disiksa
Siapa yang harus menanggung
Pengorbanan tiada akhir
Itulah yang saya tulis kini
Bagaimana saya tahan
Anak-anak manusia
Ratusan ribu orang disiksa, meninggal
Ratusan ribu dikurung
Terdampar di pulau terasing
Bergumul di tengah hutan lebat
Terancam oleh piton
Ayah ibu meninggal
Ayah ibu dikurung
Anak-anak hidup sendiri
Anak perempuan diperkosa
Kelahiran yang tak diinginkan
Menggeram anak-anak dalam kutukan
Dikeluarkan dari sekolah!
Bajingan!

Anna tidak tahu puisi ini. Dia mulai mempelajari sejarah hidupnya, negaranya, dunianya. Hingga kini, dia tak menyangka setiap bentuk penghinaan yang dihadapinya dan temannya, setiap kejahatan, akan menjadi semakin besar, dan sangat menyeramkan. Hal yang sangat memalukan, kotor, akan menjadi bagian dari masa lalu dan masa kini negaranya. Itu akan menundukkannya, membuatnya malu dan menjadi penurut, seperti budak diam, pasif dan hanya menerima.

Anna menolak. Mayoritas perempuan Indonesia tidak berani. Negara tak akan pulih dari perkosaan mengerikan 1965, yang mulai mereda namun tidak akan pernah benar-benar tuntas. Dengan berbagai cara, ia akan terus berlanjut hingga kini. Ini perkosaan tersembunyi dan disahkan. Peristiwa yang sangat berbelit. Di Indonesia, selama beberapa dekade, merampok dianggap baik, berbohong menjadi dogma, feudalisme dinamakan demokrasi, ketakutan dicampur dengan cinta dan perhatian. Selama lebih 50 tahun, anak-anak perempuan Indonesia, Tionghoa dan ras lainnya, seperti berjalan di es tipis, aneh untuk negara tropis. Ia masih rapuh, tidak menentu dan tidak terlindungi.

*Novelis, pembuat film dan jurnalis investigasi. Dia meliput perang dan konflik di lusinan negara. Dia mengkritisi novel revolusioner politik Point of No Return dan sekarang sudah diedit dan tersedia. Oceania adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatifnya tentang pemerintahan Suharto dan model fundamentalis bernama Indonesia—The Archipelago of Fear (Pluto). Dia membuat film dokumenter Rwanda Gambit tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Congo. Setelah tinggal selama beberapa tahun di Amerika Latin dan Oceania, Vltchek kini tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Afrika.