Apa Taman Budaya Itu?


Oleh Rahmat Hidayatullah (Litbang Dewan Kesenian Banten)

Studi tentang Taman Budaya (Cultural Park) melibatkan pelbagai disiplin keilmuan yang beragam. Menurut González (2013: 1-2), Taman Budaya adalah contoh terbaik dari apa yang disebut Law dan Mol (2002) sebagai “benda licin” (slippery objects). Dalam sebuah Taman Budaya, mustahil untuk memisahkan antara satu aspek dengan aspek lain atau menganalisis setiap elemen secara terpisah. Perencanaan tata ruang (spatial planning), pariwisata (tourism), organisasi kelembagaan (institutional organization), pengelolaan museum dan cagar budaya (heritage and museum management), antara lain, berinteraksi sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk menentukan area aktivitas yang tepat bagi setiap disiplin. Jadi, Taman Budaya dapat mengambil makna yang berbeda tergantung pada akar disiplin dari penulis yang mengkajinya. Ia dapat menjadi instrumen perencanaan tata ruang, pelayanan cagar budaya atau vektor untuk daya tarik pariwisata. Secara paralel, Taman Budaya dapat diartikulasikan secara berbeda di tingkat lokal tergantung pada siapa yang merencanakan dan mendukungnya, untuk tujuan apa dan dalam konteks apa.

Karakteristik interdisipliner kajian Taman Budaya tersebut pada gilirannya turut mempengaruhi cara para penulis mendefinisikan Taman Budaya.

Berikut ini beberapa definisi yang dikemukakan oleh para penulis sebagaimana dicatat oleh González (2013: 31). Bagi arkeolog Almudena Orejas (2001: 6), Taman Budaya merupakan “instrumen koordinasi warisan budaya”, sedangkan bagi geografer Rubio Terrado (2008: 26), Taman Budaya adalah “sebuah usulan perencanaan tata ruang di daerah pedesaan.” Menurut Daly (2003: 2), seorang promotor National Heritage Areas (NHA) dari Amerika Serikat, Taman Budaya adalah “inisiatif daerah yang dinamis, yang membangun hubungan antara orang, tempat, dan sejarah mereka.” Bagi perencana tata kota seperti Bustamante dan Ponce (2004: 10), Taman Budaya merupakan “proyek yang berusaha membangun citra identitas daerah.” Akhirnya, arsitektur seperti Sabaté (2009: 21-22) menganggap Taman Budaya sebagai “instrumen untuk memproyeksikan dan mengelola Lanskap Budaya (Cultural Landscape), yang cakupannya tidak hanya pelestarian warisan budaya atau promosi pendidikan, tetapi juga untuk mendukung pembangunan ekonomi lokal.”

Perbedaan definisi di atas memperlihatkan ketegangan antara gagasan “ideal-transenden” tentang Taman Budaya dan persepsi empiris tentang kompleksitas Taman Budaya.

Dalam kenyataannya, ambivalensi yang terkandung dalam konsep “landscape” direproduksi dalam konsep Taman Budaya. Di satu sisi, terdapat kontradiksi antara isu-isu eksistensial yang berkaitan dengan identitas dengan visi utilitarian tentang ruang. Di sisi lain, ketegangan muncul antara mereka yang menganggap Taman Budaya sebagai proyek berorientasi masa depan dan mereka yang melihat Taman Budaya sebagai instrumen pelestarian masa silam. Kendati demikian, ada beberapa elemen inti yang berulang kali disorot dalam setiap definisi, yaitu pentingnya partisipasi lokal, pembentukan manajemen kemitraan yang heterogen dan “visi daerah” (regional vision) tentang lanskap dan warisan budaya. Dalam konteks ini, beberapa definisi lebih menekankan pelestarian warisan budaya sebagai tujuan utama, sementara definisi lain lebih menempatkan pembangunan ekonomi sebagia pusat perhatian.

Dengan demikian, bagi Bustamante dan Ponce, maksud Taman Budaya adalah membangun “citra daerah yang kuat” (strong regional image) untuk mencapai tujuan ekonomi. Sebaliknya, bagi Sabaté, premis utama Taman Budaya adalah untuk meningkatkan harga diri masyarakat lokal (self-esteem of local communities), “pariwisata akan datang kemudian.” Daly berpendapat bahwa tujuan utama Taman Budaya adalah pemanfaatan warisan budaya sebagai dasar untuk pengembangan proyek bersama demi masa depan yang direncanakan oleh kelompok sosial dalam skala daerah (González, 2013: 32).

Genealogi Taman Budaya pada dasarnya dapat ditelusuri kembali ke abad ke-19 di Eropa dan Amerika. Eropa menyajikan praktik pembangunan Taman Budaya yang sangat heterogen tergantung pada masing-masing negara. Namun demikian, terdapat beberapa kecenderungan umum yang mendasari pengembangan Taman Budaya di Eropa. Salah satu faktor penting adalah konseptualisasi museum—khususnya museum Prado atau Louvre—sebagai landasan kultural penting legitimasi negara bangsa (nation-state) yang lahir pada abad ke-19 (Sherman, 1989). Ide ini masih sangat berpengaruh dan telah menyebabkan pemisahan yang jelas antara museum dan kawasan lindung (protected areas) seperti taman nasional atau taman alami, yang lebih berhubungan dengan ide pelestarian alam.
Menurut González dan Vázquez (2014: 36), selama abad ke-20, beberapa proses dan bentuk pengelolaan tertentu telah memfasilitasi kemunculan Taman Budaya, antara lain:

[1]          Tradisi museum terbuka (open-air museums) di Skandinavia, di mana koleksi folkloric menjalin kontak dengan alam, seperti museum Nordiska Museet pada tahun 1880 atau museum Skansen pada tahun 1891. Tradisi ini sangat mempengaruhi Ecomuseum Skandinavia kontemporer dan Taman Budaya seperti Bergslagen.
[2]          Kemunculan New Museology dan Ecomuseum. Perkembangan ini mempengaruhi fokus Taman Budaya menjadi instrumen pertumbuhan sosial-ekonomi dan representasi komunitas sosial-ekonomi tersebut.
[3]          Tradisi pengelolaan kawasan lindung (protected area) di Italia tidak mengkonsepikan taman sebagai ruang tertutup, margasatwa atau cagar alam, tetapi sebagai bagian dari jalinan ekologi dan budaya yang kompleks. Selain itu, ia memiliki karakter budaya yang kuat, berbeda dari konstruksi mazhab naturalis-fungsionalis Amerika, yang dipakai sebagai dasar untuk pembentukan Taman Budaya dan jaringan Taman Budaya seperti yang terdapat di Tuscany, Italia.
[4]          Skema taman daerah Perancis (French regional park) diciptakan selama tahun 1960-an. Sementara taman nasional dimiliki dan dikelola oleh negara, taman daerah merupakan inisiatif lokal yang melibatkan pelbagai jenis kepemilikan dan aktor sosial. Konservasi cagar alam dan budaya bukanlah lingkup dalam dirinya sendiri, melainkan suatu cara untuk memberikan citra kualitas (image of quality) kepada daerah dalam rangka mendukung pembangunan sosial-ekonomi, menarik pariwisata dan meningkatkan kemampuan lokal.
[5]          Perkembangan Arkeologi Industri merupakan faktor penentu di kedua sisi kawasan Atlantik sejak 1960-an. Ia telah mempromosikan konsepsi spasial tentang situs warisan budaya industri dan pendekatan demokratis dalam pengelolaannya, yang biasanya dihubungkan dengan pembangunan sosial-ekonomi.

Di Amerika, skema taman nasional dimulai dari pembangunan Yellowstone National Park pada tahun 1872 dan dilembagakan melalui pembentukan National Park Service (NPS) pada tahun 1916. Sejak awal kemunculannya, Yellowstone National Park berfungsi sebagai “mitos pastoral” (pastoral myth) dan repositori identitas nasional (Bray, 1994: 3). Yellowstone National Park berusaha untuk mencapai keseimbangan antara pelestarian padang gurun alam dan narasi penaklukan alam berikut peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengannya. Pembentukan Yellowstone National Park telah menjadi proses yang sulit dan kontroversial di Amerika Serikat akibat adanya ide yang telah berakar mendalam tentang taman sebagai ruang konservasi tertutup dengan gerbang khusus yang dimiliki dan dikelola secara publik.

Penciptaan National Trust for Historic Preservation pada tahun 1949 dan pemberlakuan National Historic Preservation Act pada tahun 1966 membuka jalan bagi kemunculan National Heritage Area (NHA) (Eugster, 2003: 50). Selanjutnya, sejak tahun 1960 dan seterusnya, terjadi pergeseran dalam pengelolaan taman nasional sehubungan dengan environmentalist turn yang diwakili oleh mazhab perencanaan ekologi di Amerika Serikat (Steinitz, 1968) dan mazhab ekologi lanskap di Eropa (Forman dan Gordon, 1986). Paradigma baru ini melampaui ide taman sebagai ruang terbatas dan merangkul ide menyeluruh tentang ekosistem besar yang meliputi unsur-unsur sosial-budaya.

Fondasi tradisional taman nasional, taman alam atau cagar biosfer dalam pelbagai bentuknya merespon paradigma yang didasarkan pada pasangan konseptual alam dan konservasi. Tujuannya adalah untuk membatasi ruang dan melucutinya dari konteks sosial dalam rangka melestarikan margasatwa dan panorama spektakuler. Ia dianggap sebagai entitas yang menjadi perhatian publik dan nasional yang harus didanai secara publik. Kepemilikan tanah oleh pemerintah melibatkan pendekatan teknis-ilmiah dan birokratis dan pengelolaannya cenderung steril dari keterlibatan warganegara, yang pendapat dan bentuk-bentuk kehidupannya hampir tidak diperhitungkan (Phillips, 2002). Taman Budaya berusaha untuk membedakan diri dari paradigma pengelolaan semacam ini.

Tujuan pembentukan Taman Budaya bukanlah pelestarian, tetapi pengelolaan aktif atas sumber daya warisan budaya dalam rangka mempromosikan identitas lokal suatu wilayah dan pembangunan ekonomi (Bray, 1994: 3-4). Tidak seperti kebanyakan model perencanaan tata ruang, Taman Budaya seringkali diselenggarakan secara bottom-up oleh kelompok-kelompok akar rumput (grassroots). Biasanya, komunitas lokal menciptakan kemitraan, di mana aktor-aktor sosial yang berbeda berpartisipasi dalam kerjasama dengan lembaga-lembaga publik. Baik di Eropa dan Amerika, pembentukan Taman Budaya pada umumnya mensyaratkan bahwa pelestarian sumber daya alam dan budaya dilakukan oleh kemitraan tanpa lembaga tertentu yang mengklaim kepemilikan tanah (Frenchman, 2004).

Entitas manajemen biasanya diciptakan untuk memandu pelaksanaan taman, mengembangkan rencana jangka panjang yang mengidentifikasi tujuan pengelolaan wilayah dan menetapkan tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan (Daly, 2003). Mereka juga secara aktif campur tangan dalam desain wilayah, menciptakan hubungan antara koridor budaya dan alam, jasa pariwisata dan aset kebudayaan seperti museum atau pusat pengkajian. Taman Budaya didasarkan pada sumber daya wilayah di kawasan tertentu dalam rangka menghasilkan citra taman dan struktur administratif yang menyediakan kohesi dan makna ruang.

Proyek ini berfokus pada “interaksi antara manusia dan lingkungannya. Kawasan cagar budaya berusaha menceritakan kisah orang-orang dari waktu ke waktu dan bagaimana lanskap membentuk tradisi rakyat” (Vincent dan Whiteman, 2008: 1). Dengan demikian, wilayah ini pada umumnya dikembangkan dari Lanskap Budaya atau perjalanan budaya, yang dikelola di sekitar tema sentral seperti masa lalu industri, episode militer, situs arkeologi dan sebagainya. Dalam keseluruhannya, cagar budaya biasanya berfungsi sebagai prinsip pengorganisasian, yang melaluinya komunitas lokal merencanakan masa depan ekonomi, lingkungan dan budaya mereka. Menurut Eugster (2003: 51), Taman Budaya memberikan kohesi bagi masyarakat, “karena semua orang memiliki warisan dan warisan itu memiliki makna bagi mereka…Kawasan cagar budaya memiliki hati, jiwa, dan roh manusia yang kurang dimengerti oleh kebanyakan rencana induk tradisional, rencana penggunaan lahan, dan peraturan zonasi. Kawasan cagar budaya memungkinkan rakyat untuk mengklaim tempat-tempat ini dan membuat komunitas, lanskap dan daerah menjadi relevan dan spesial bagi penduduk yang dilayaninya.”

Dengan demikian, penekanan bergeser dari tingkat nasional ke tingkat lokal, dan tanggung jawab manajemen bergerak dari para ilmuwan dan ahli ke agen-agen lokal dan perantara yang menggabungkan pengetahuan lokal dan teknis dan melakukan tugas-tugas yang berbeda (Phillips, 2003). Dalam banyak kasus, cakupan geografis Taman Budaya bervariasi sesuai kondisi-kondisi lokal, ruang lingkup teritorial, jenis warisan yang digunakan, tujuan utama dan bentuk topologi mereka. Mengingat Taman Budaya didukung oleh gagasan konstruksi sosial tentang “Lanskap Budaya”, bukan oleh gagasan objektif tentang reifikasi ‘alam’ yang harus dilestarikan, konsepsi dan perencanaan Taman Budaya harus bergeser dari perspektif teknis-birokratis ke perspektif interpretatif berbasis warisan budaya. Pengembangan sebuah lanskap dianggap menjadi cara untuk menyediakan kepada pengunjung sebuah “kode” untuk memahami wilayah itu, dalam rangka:

“Meningkatkan signifikansi budaya wilayah melalui pembacaan, yang memberikan nilai bagi memori, mentransfer maknanya ke situasi hari ini. Identitas dan energi budaya, sosial dan ekonomi dapat mentransformasi memori menjadi faktor inovatif, dalam bentuk-bentuk baru pembangunan dan pelestarian. Ini adalah inisiatif, yang memungkinkan jumlah transformasi tak terhitung dalam arti metamorfosis produktif suatu tempat di mana identitas budaya (cultural identity) dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap wilayah diraih kembali” (Barilaro, 2006: 101).

Kehendak untuk memulihkan jiwa suatu tempat (soul of places), identitas lokal dan rasa memiliki adalah sebuah strategi yang memungkinkan daerah tertentu untuk membedakan diri dari daerah lain dalam kancah persaingan global. Taman Budaya berupaya memperkuat sinergi teritorial “dengan menangkap dan menceritakan kisah orang-orang dan tempat mereka. Kisah ini, ketika dihubungkan bersama, mencerminkan identitas daerah dan mendukung kesadaran kolektif tentang kebutuhan untuk melindungi dan meningkatkan apa yang membuat tempat kita unik” (Daly, 2003: 2). Taman Budaya adalah tempat rekreasi dan hiburan (places of leisure and entertainment) bagi masyarakat lokal dan pengunjung luar dalam lingkungan manusiawi (humanized environments) yang tidak lagi tertutup sebagaimana “kawasan hijau” (green areas) dalam ruang terbatas. Pada akhirnya, tujuan Taman Budaya adalah transformasi kawasan-kawasan yang dilanda depresi ekonomi dan demografis menjadi wilayah yang dinamis. Dalam merealisasikan tujuan tersebut, Taman Budaya menggunakan strategi pemasaran yang mendukung pengembangan citra merek (brand images) yang memungkinkan bagi proses identifikasi wilayah, berikut nilai-nilai dan aset budaya yang dimilikinya, sebagai komoditas. Taman Budaya biasanya berwatak intervensionis dalam hal perencanaan tata ruang dan memiliki tujuan komersial. Namun, fakta ini tidak harus menjadikan Taman Budaya sebagai taman tematik karena ia mengelola identitas dan warisan nyata demi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan bukan untuk intensifikasi laba (González dan Vázquez,2014: 39-40).

Di Eropa, definisi Taman Budaya cenderung lebih heterogen. Eropa pada dasarnya mengambil ide dari UNESCO dan European Landscape Convention. Berbeda dengan Amerika, Eropa tidak mengenal sistem Taman Budaya yang menyeluruh. Sabaté (2009: 630, dalam González dan Vázquez, 2014: 40), misalnya, memahami Taman Budaya sebagai “instrumen manajemen proyek, yang mengakui dan meningkatkan nilai Lanskap Budaya tertentu, tidak hanya mengejar pelestarian cagar budaya atau promosi pendidikan, tetapi juga pembangunan ekonomi lokal.” Menurut Bergdahl (2005: 71, dalam González dan Vázquez, 2014: 40), “konsep Taman Budaya telah memperluas jangkauannya [...] tujuannya tidak sekedar untuk melestarikan sejarah suatu daerah. Taman Budaya berusaha untuk memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi yang positif dari suatu daerah, tujuan yang agak jarang bagi sebuah museum, yang berarti bahwa Taman Budaya lebih diproyeksikan menuju masa depan wilayah ketimbang masa lalunya.”

Sementara Bustamante dan Ponce (2004: 14, dalam González dan Vázquez, 2014: 40) menganggap Taman Budaya sebagai proyek “yang mengistimewakan produksi citra yang memberikan identitas bagi suatu wilayah, di mana cagar budaya bersama dengan sumber daya alam dan budaya lainnya digabungkan, disajikan, dan dipromosikan secara sengaja dalam rangka membentuk lanskap berpola yang bercerita tentang sejarah wilayah tersebut dan penghuninya.”

Sebaliknya, di Amerika, pengembangan sintesis publikasi yang berdiri di antara bidang literatur ilmiah dan pemasaran merupakan gejala umum bagi kawasan cagar budaya (heritage areas). Kerangka kerja mereka lebih dekat dengan isu pariwisata, rekreasi dan komunitas lokal, berbeda dengan fokus Eropa pada manajemen lanskap. National Park System mendefiniskan Taman Budaya sebagai taman “yang ditetapkan oleh Kongres Amerika Serikat, di mana sumber daya alam, budaya, sejarah, dan rekreasi bergabung membentuk lanskap yang khas dan kohesif secara nasional, yang timbul dari pola-pola aktivitas manusia yang dibentuk oleh geografi. Kawasan ini menceritakan kisah penting tentang bangsa kita dan merupakan representasi pengalaman nasional baik melalui ciri-ciri fisik yang masih bertahan dan tradisi-tradisi yang berkembang bersamanya” (National Park System Advisory Board, 2006: 2).

Meskipun akar disiplin dan geografisnya berbeda, pelbagai definisi, konsep dan praktik Taman Budaya secara bersamaan memberikan gambaran tentang bagaimana Taman Budaya bekerja dan dikonsepsikan oleh aktor-aktor yang berbeda. Taman Budaya dipandang sebagai instrumen, proyek, lanskap, inisiatif daerah atau museum, yang didasarkan pada kombinasi “wilayah – warisan” (territory – heritage) untuk mempromosikan transisi menuju model sosio-ekonomi baru berdasarkan rekreasi dan pariwisata. Artinya, unsur utama untuk meningkatkan Taman Budaya adalah identitas suatu wilayah dan kelompok-kelompok sosial yang hidup di dalamnya sebagai warisan berwujud (tangible) dan tak berwujud (intangible). Jadi, Taman Budaya tidak hanya berorientasi pada pelestarian alam atau masa silam, melainkan untuk perencanaan masa depan melalui reorganisasi ruang oleh kelompok sosial yang berakar di dalamnya.

Namun demikian, terdapat perbedaan asumsi yang mendasari Taman Budaya di Eropa dan Amerika Serikat. Di Eropa, proyek ini biasanya dibingkai dalam kaitannya dengan istilah-istilah seperti ‘museum’ dan ‘lanskap’, sebagai pengelolaan beberapa aset cagar budaya yang terletak di kawasan tertentu yang ditingkatkan dalam rangka mempromosikan pembangunan ekonomi. Di lain pihak, definisi Amerika lebih menekankan peran komunitas lokal dan manfaat potensial kawasan cagar budaya untuk kohesi mereka, rasa memiliki dan pelestarian identitas. Di samping itu, mereka juga lebih menekankan pentingnya “menceritakan kisah” (telling the stories) masyarakat lokal atau bangsa Amerika. Bahkan, kebanyakan kawasan cagar budaya di Amerika Serikat benar-benar mengartikulasikan narasi tersebut, sebuah ciri yang kurang umum di Eropa.

Pada akhirnya, Taman Budaya bergerak melampaui konsepsi sebuah “taman” (park) sebagai milik publik (publicly-owned) dan ruang tertutup (enclosed space) yang ditujukan untuk kepentingan konservasi. Taman Budaya berusaha secara aktif melestarikan lanskap berpenduduk luas dan sumber daya warisan budaya mereka, menghubungkan mereka dengan kegiatan wisata melalui pengembangan struktur pengelolaan. Dengan demikian, Taman Budaya melampaui gagasan tentang “situs cagar budaya” (heritage site) sebagai sebuah titik dalam ruang, merangkul gagasan tentang “warisan teritorial” (territorial heritage) atau Lanskap Budaya (Cultural Landscape). Perubahan fokus ini memungkinkan Taman Budaya untuk mengatasi dikotomi “alam/budaya” (nature/culture) dan “berwujud/tak berwujud” (tangible/intangible) berkat konsepsi holistik tentang relasi manusia (man) dan ruang (space).

Galeri Program Dewan Kesenian Banten


Bengkel Seni Budaya #10 Dewan Kesenian Banten 29 Juli 2017: Peringatan Hari Puisi Indonesia Bersama Amien Kamil, Toto ST Radik, Sulaiman Djaya, Novia Fitria, Ibnu PS Megananda, Arif Sodakoh, Dinara, Gesbica, Tito, Selvi, dll.

SARASEHAN, PEMBACAAN, MUSIKALISASI

Puisi lahir dan ditulis oleh penyair dari kehidupan, dalam arti puisi tidaklah lahir dari ruang hampa yang tercerabut dari kondisi manusiawi yang berjalan bersama sejarah, bersama kondisi-kondisi sosial-kultural-politis, bahkan eksistensial. Puisi lahir dari rahim sejarah dan kondisi kemanusiaan sebagai sebuah refleksi dan sikap seorang penyair menjalani dan memandang hidup. Inilah dasar tema Bengkel Seni Budaya #10 Dewan Kesenian Banten 29 Juli 2017 dalam rangka Peringatan Hari Puisi Indonesia. 

Adalah sesuatu yang lazim bahwa puisi adalah cerminan geliat dan ruh hidup. Acapkali puisi merupakan modus mengada dan metode seorang penyair untuk mengajukan dan menawarkan pandangan dan sikap hidup itu sendiri. Puisi digali dan ditulis dari relung jiwa kehidupan dan keseharian manusiawi bersama sejarah, dari pertarungan dan perjalanan manusia sebagai Sang Pengada dalam lautan banalitas dan kedalaman sejarah. Karena itulah puisi acapkali mengandung kearifan. 


JAMBORE SENIMAN BANTEN adalah acara dan program yang sengaja dirancang dan diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Banten dalam rangka membangun spirit kebersamaan, mempererat silaturahmi, berbagi pendapat dan pandangan, serta memperkokoh sikap saling asah saling asuh di kalangan insan-insan pegiat seni dan budaya di Banten.

ADA BANYAK PERSOALAN kesenian dan kebudayaan di Banten yang perlu dikaji ulang dan disinergikan dengan spirit kebersamaan, mulai dari persoalan infrastruktur hingga suprastruktur kebudayaan. Yang pertama terkait ketersediaan ruang dan fasilitas kebudayaan, sedangkan yang kedua berkenaan dengan soal identitas dan visi kebudayaan Banten.

Perlu ada visi yang jelas untuk membangun kebudayaan yang berkelanjutan, juga interaksi yang sehat dan saling mendukung satu sama lain. Karena dasar inilah Dewan Kesenian Banten menyelenggarakan Jambore Seniman Banten pada 5-6 Agustus 2016 di Pantai Kelapa Gading Anyer. Acara ini akan dimeriahkan dengan dialog para seniman, atraksi seni, interaksi komunitas, dan Deklarasi Seniman Banten.

Seperti sama-sama kita tahu, tujuh belas tahun Banten resmi menjadi daerah yang otonom dan memiliki sistem pemerintahannya sendiri. Bersamaan dengan itu, secara kultural, perjalanan usia Provinsi Banten diiringi pula dengan pertumbuhan komunitas, orang per orang, serta para pegiat seni dan budaya secara sporadis yang tersebar di seluruh kabupaten/kota se-Banten.

Hanya saja, karena sifatnya yang sporadis tersebut, kegiatan kesenian dan kebudayaan tak jarang menjadi hanya sekadar dentuman kecil untuk kemudian kembali hilang, tumbuh kemudian layu, serta tak jarang pula aktivitas kebudayaan menjadi selebrasi yang tak berdampak menjangkau ke masa depan yang sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan.

Meski demikian, kenyataan tersebut tidak bisa diartikan sebagai indikator rendahnya geliat kesenian dan kebudayaan di Banten, sebab potensi geliat kehidupan kebudayaan di Banten sesungguhnya sangat besar.

Dalam hal ini, ada beberapa hal yang selayaknya diperhatikan dalam soal strategi pembangunan kebudayaan, seperti penguatan identitas dan kebanggaan para seniman dan para pegiat seni budaya yang hidup di Banten akan arti historis dan kultural Banten sebagai tempat lahirnya para seniman pioneer yang berskala nasional dan internasional.

Selain itu, yang tentulah merupakan hal dasar dan fondasi utama yang niscaya, pembangunan infrastruktur yang memadai bagi kerja-kerja dan aktivitas kebudayaan akan menjadi tak ubahnya sebuah rumah bagi para penghuninya.

Keberadaan sentra-sentra untuk kerja dan kegiatan kebudayaan ibarat tanah dan pupuk bagi tanaman, yang akan menjadi tempat tumbuhnya kehidupan dan kerja-kerja kebudayaan secara sinambung dan berkelanjutan. Keberadaan sentra-sentra kultural seperti Taman Budaya dan Gedung Kesenian, contohnya, adalah hal yang wajib ada jika kehidupan kebudayaan ingin lestari dan maju.

Sementara itu, secara kognitf dan intelektual, dibutuhkan sinergitas dan kesepahaman yang aktif dan produktif untuk mewujudkan visi kebudayaan yang telah disebutkan itu. Dan karena itu, para pegiat, para pekerja seni, para pekerja budaya, dan institusi-institusi serta komunitas-komunitas seni dan budaya di Banten perlu berkumpul untuk rembug dan duduk bersama-sama demi mencapai visi besar tersebut.

INILAH yang mendasari Jambore Seniman Banten mendeklarasikan Pancacita Seniman Banten, yang isinya sebagai berikut:

[1] Menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Kebudayaan Daerah sebagai Payung Hukum penerapan strategi pengelolaan seni budaya di Provinsi Banten;
[2] Mengubah nama dan fungsi area Ex Pendopo Gubernur Banten menjadi Taman Budaya Banten (TBB) sebagai sentra pengelolaan seni budaya di Provinsi Banten;
[3] Membangun Gedung Kesenian Banten (GKB) yang mencakup Galeri Seni Rupa, Auditorium Seni Pertunjukan, Ruang Workshop, serta sarana dan prasarana lainnya;
[4] Mendirikan Akademi Komunitas Kesenian Banten (AKKB) sebagai langkah awal menuju pendirian Institut Kesenian Banten (IKB);
[5] Menggerakkan perusahaan-perusahaan di Banten untuk merealisasikan program Corporate Social Responsibility (CSR) guna pengelolaan seni budaya di Provinsi Banten. 


Album Program dan Kegiatan Dewan Kesenian Banten (DKB)

Dalam kondisi minim anggaran (yang bahkan ketiadaan anggaran di tahun 2016) dan ketiadaan ruang serta fasilitas bagi kerja-kerja intelektual dan kebudayaan, Dewan Kesenian Banten mampu menyelenggarakan banyak hajat dan program intelektual dan kebudayaan sejak tahun 2016 hingga saat ini. Seperti Program Bengkel Seni Budaya, Banten Gawe Art, Jambore Seniman Banten, Sayembara Penulisan Puisi Maritim, Sayembara Naskah Drama, Pameran Seni Rupa, Workshop Tari dan Seni, dan yang lainnya. Tentulah hal ini terselenggara berkat komitmen intelektual dan kebudayaan yang dimiliki para pengurus Dewan Kesenian Banten.

Kami, para pengurus Dewan Kesenian Banten, sadar dengan mata dan hati kami, dengan jiwa dan pikiran kami, bahwa kerja-kerja intelektual dan kebudayaan, seberapa pun sulitnya, tetap harus dilakukan demi pembangunan Sumber Daya Manusia yang kreatif dan cerdas, demi menciptakan masyarakat yang literer, dinamis, dan maju. Singkat kata, demi menciptakan peradaban dan martabat, kekuatan dan kemandirian masyarakat di masa yang akan datang. Kami ingin memulai untuk melakukan kebajikan bagi banyak orang, bagi generasi yang akan datang, agar tercipta Banten yang beradab dan bermartabat. 




Bengkel Seni Budaya Dewan Kesenian Banten

Bengkel Seni Budaya Dewan Kesenian Banten adalah Program Berkala yang diselenggarakan setiap bulan sekali di setiap hari Sabtu di akhir bulan. Program ini telah dimulai sejak 15 Oktober 2016 dan akan terus berlangsung selama masa Kepengurusan Dewan Kesenian Banten periode pertama, yaitu di tahun 2018, sejak didirikannya Dewan Kesenian Banten pada tahun 2015 dan dilantiknya Kepengurusan DKB oleh Gubernur Banten, yang ketika itu H. Rano Karno, pada 15 Oktober 2015.

Tujuan diadakannya Program Bengkel Seni Budaya Dewan Kesenian Banten ini adalah untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia Kebudayaan sembari melakukan penggalian dan pengembangan seni-budaya di Banten yang terwakili di seluruh Komite Dewan Kesenian Banten.

Kami, pengurus Dewan Kesenian Banten, sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa di tengah kondisi ‘ketiadaan’ infrastruktur dan suprastruktur kebudayaan di Banten, semisal ketiadaan Institute Kesenian dan Gedung Kesenian, perlu menyelenggarakan forum dan ‘wadah’ untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia Kebudayaan sembari ‘menghidupkan’ kerja-kerja intelektual dan kebudayaan di Banten.

Adapun yang dipercaya untuk ‘mengawal’ Program Bengkel Seni Budaya Dewan Kesenian Banten ini adalah Ketua Komite Sastra dan Ketua Bidang Perencanaan Program Dewan Kesenian Banten, yang dalam hal ini Sulaiman Djaya.