Tragedi Wafatnya Pemilik Pedang Zulfikar



Dalam sejarah Islam, bahkan sejak awal dakwah Nabi SAW, permusuhan Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim, terutama kepada Ahlul Bayt Nabi SAW, seakan tak pernah padam, bahkan hingga saat ini. Mereka pun memusuhi kaum muslim yang setia kepada Sayyidina Ali (Syiah Ali), semisal kepada Abu Dzar al Ghifari, Salman al Farisi, Abdullah Ibn Mas'ud dan para sahabat tercinta Nabi SAW lainnya yang oleh Rasulullah dijuluki sebagai bintang-bintang bagi ummat Islam.

Adalah Abdurahman ibnu Muljam yang menikam Ali Karramallahu Wajhah dengan pedang beracun pada suatu Subuh di masjid Kufah tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Pada saat yang sama dua orang kawan sekomplotannya melakukan upaya pembunuhan di tempat lain. Tak heran, saat dinasti Umayyah berhasil menggerakkan syahwat jahiliyyah mereka dan berhasil merebut kekuasaan, permusuhan mereka pun kepada Ahlul Bayt malah semakin gencar. Di setiap mimbar dan mesjid, mereka tak sungkan-sungkan memburuk-burukkan Ali Karramallahu Wajhah dan Syiah-nya.

Ali bin Abi Thalib, yang dijuluki sebagai haidarah alias asadun (singa) karena keberaniannya, adalah sang penakluk benteng Khaibar yang konon hanya bisa diangkat oleh 15 orang. “Jika Rasulullah adalah kota ilmu, maka ia adalah pintu gerbangnya (pintu masuknya)”. Meski begitu, ia terkenal zuhud, yang ikhlas berbagi sepotong roti, sesuatu yang hanya dimilikinya untuk dimakan pada suatu pagi dengan seorang peminta yang datang ke rumahnya dengan perut kelaparan. Ia adalah Ali bin Abi Thalib, si pemilik Dzul Faqar, pedang bermata dua. Ia sepupu Rasulullah sekaligus mantunya, suami Fatimah dan ayah Hasan dan Husain. Dengan segala keutamaan yang melekat pada dirinya itu, sungguh tragis memang jika peristiwa kematiannya merupakan sejarah yang berlumur darah.

Sembilan Belas Ramadhan (SBR) merupakan jalinan rumit kisah cinta antara Qutham, Said, Khaulah, dan Abdurrahman bin Muljam. Qutham anak seorang Khawarij. Menuntut darah Ali bin Abi Thalib adalah cita-citanya semenjak ayah dan saudaranya terbunuh oleh tentara khalifah ke-4 itu pada peperangan Nahrawan di Sungai Dajlah (Tigris) dekat Baghdad. Sedang Said berdarah Umawy, yang juga menuntut darah Ali atas kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, meski otak pembunuh Usman bin Affan adalah orang Bani Ummawy juga, terlebih para pembunuh Utsman bin Affan itu terprovokasi ucapan Aisyah: "Bunuh saja si Na'tsal (maksudnya Utsman bin Affan), karena Aisyah mengharapkan Thalhah menjadi khalifah dengan terbunuhnya Usman, meski akhirnya 90% kaum muslim malah membai'at Imam Ali paska terbunuhnya Usman.

Ketika itu Said memuja Qutham, seperti kumbang menemukan bunganya. Apalagi keduanya memiliki cita-cita yang sama. Pemuda itu kemudian membuat surat perjanjian untuk menikahi Qutham dengan darah Ali sebagai maharnya.

Khaulah anak seorang pembuat senjata di Mesir yang dekat dengan Amr bin Ash, ahli strategi Muawiyah dalam peristiwa Tahkim yang memenangkan anak Abu Sufyan itu secara politis atas Ali. Ayah Khaulah seorang khawarij pula, yang mendukung upaya pembunuhan atas mantu Rasulullah itu. Ia bahkan telah membuat pedang seribu dinar bertabur racun seribu dinar untuk Abdurrahman bin Muljam. Pemuda inilah yang akan melaksanakan tugas eksekusi itu. Khaulah sangat paham rahasia ini, karena sudah menjadi janji orangtuanya bahwa darah Ali akan menjadi mahar pernikahan Ibnu Muljam dengan dirinya. Padahal, Khaulah, berseberangan dengan Ayahnya. Ia berpihak pada Ali dan bertekad membantu menyelamatkannya.

Said berdiri di persimpangan jalan ketika dalam wasiatnya, Abu Rihab menyuruhnya menghapus dendam kesumat itu. Bahkan kakeknya itu meminta Said membantu menyelamatkan Ali dari pembunuhan oleh sekelompok orang. Ini bertentangan dengan perjanjian yang telah dibuatnya dengan Qutham. Akhirnya, dengan berat hati, ia mengikuti wasiat kakeknya. Said menyampaikan perubahan drastis itu kepada Qutham dengan taruhan pernikahannya. Namun, di luar dugaannya, Qutham ternyata justru mendukungnya untuk menyelamatkan Ali dan bahkan cita-cita itu kini menjadi persyaratan mahar yang baru baginya. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan Said.

Maka meluncurlah dari mulut Said rencana jahat yang sempat didengarnya di Makkah menjelang kakeknya wafat. Sekelompok orang akan membunuh tiga orang sekaligus yang membuat carut-marut umat saat itu pada malam 17 Ramadan. Mereka adalah Ali di Kufah, Amr bin Ash di Fusthath, Mesir, dan Muawiyah di Syams.

Qutham kemudian meminta Said pergi ke Mesir untuk menemui kelompok penolong Ali dan mencari tahu siapa saja yang bakal melaksanakan eksekusi itu. Bersama Abdullah, saudaranya, Said pergi ke Fusthath, Mesir. Nahasnya, Abdullah tertangkap tentara Amr ketika bertemu dengan penolong-penolong Ali di sebuah tempat bernama Ain Syams. Mereka yang tertangkap ditenggelamkan di sebuah teluk untuk menghilangkan jejak.

Said berhasil lolos dari sergapan ini atas bantuan Khaulah. Sebaliknya, Khaulah berhasil lolos dari belenggu Ayahnya atas bantuan Said. Dari mulut Khaulah, Said tahu nama Ibnu Muljam yang tengah dalam perjalanan ke Kufah. Dan dari mulut Said, Khaulah tahu bahwa target pembunuhan 17 Ramadhan tidak hanya Ali, tetapi juga Amr dan Muawiyah.

Keduanya kemudian berbagi tugas. Khaulah meminta Said secepatnya kembali ke Kufah untuk memberitahukan rencana jahat itu pada Ali sebelum saatnya tiba. Sedangkan Khaulah akan berusaha memberitahu Amr dengan caranya. Maka berangkatlah Said ke Kufah untuk mengejar waktu.

Sesampai di Kufah, Ibnu Muljam dipertemukan dengan Qutham oleh pembantu setianya. Melihat kecantikan gadis itu dan cita-cita yang sama untuk menuntut darah Ali – yang ditutup rapat gadis itu dari Said, Ibnu Muljam meminang gadis itu. Ini tentu pinangan baru setelah Said. Dan tentu saja, darah Ali menjadi maharnya. Maka lengkaplah sudah konspirasi itu.

Malam 17 Ramadhan pun tiba. Said sudah sampai di Kufah pada malam itu. Tanpa menunda-nunda lagi, ia bergegas ke rumah Ali. Sampai di masjid Ali, tidak ada seorang pun yang ia temui kecuali Qinbar, penjaga Ali yang tengah duduk di sana. Ketika tahu yang di hadapannya adalah Said, Qinbar langsung meringkus pemuda itu dengan bantuan penjaga Ali yang berada di dalam rumah. Said kaget mengetahui situasi itu, tetapi ia tidak berkutik ketika Qinbar memperlihatkan secarik surat perjanjian yang tidak lain perjanjian pernikahannya dengan Qutham untuk dengan mahar darah Ali. Surat perjanjian itu ternyata tidak pernah dilenyapkan Qutham, dan itulah yang menghambat Said untuk menyampaikan berita penting itu kepada Ali.

Adalah Abdurahman ibnu Muljam yang menghantam Ali Karramallahu Wajhah dengan pedang beracun pada suatu Subuh di masjid Kufah tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H ketika washi dan khalifah Rasulullah itu sedang melakukan sholat. Pada saat yang sama dua orang kawan sekomplotannya melakukan upaya pembunuhan di tempat lain. Barak bin Abdullah ash-Shorimi membunuh Muawiyah bin Abi Sufyan di Syams dan Amr bin Bakr at-Tamimi membunuh Amr bin Ash di Mesir.

Imam Ali terluka yang berujung pada kematiannya. Muawiyah hanya terluka dan kemudian sembuh. Sedangkan pembunuhan terhadap Amr salah sasaran. Ketiga pembunuh itu, Ibnu Muljam, Barak dan Amr bin Bakr adalah anggota kelompok Khawarij, yang pada mulanya pendukung Imam Ali untuk menjadi khalifah, tetapi pada akhirnya membencinya karena suami Fatimah Azzahra itu menerima Tahkim setelah perang Shiffin.

Teladan Humanis Imam Husein Assyahid



“Jangan lah kau ucapkan perkataan yang dapat mengurangi harga diri dan nilaimu di hadapan ummat manusia.” (Husein as Syahid)

Cinta kepada sesama dan penghormatan kepada semua orang termasuk diantara sifat-sifat yang akan memberikan kondisi kejiwaan yang terbaik bagi pemilik sifat ini. Para psikolog dan ahli jiwa mengatakan, bahwa sifat ini sebagai keutamaan yang sangat tinggi. Imam Husein as adalah teladan yang sangat tepat bagi umat manusia berkenaan dengan sifat mulia ini. Dari beliau setiap orang akan memperoleh pelajaran tentang pengorbanan dan kasih sayang kepada sesama. Sifat ini akan membebaskan seseorang dari kungkungan sempit egoisme, dan menghantarkannya menuju kepada nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luas. Setiap kali motivasi-motivasi kemanusiaan semakin menguat pada seseorang, maka wujud kemanusiaannya akan semakin meluas dan kasih sayangnya kepada sesama juga akan semakin menguat.

Berkat watak dan jiwanya yang suci, serta pendidikan agama yang diperolehnya sejak kecil, Imam Husein as tampil sebagai teladan yang sangat mengagumkan dalam hal ini. Beliau mencintai rakyat dan memberikan berbagai kebaikan dan keuntungan bagi mereka. Sifat-sifat mulia beliau inilah yang membuat nama beliau kekal dan terukir selamanya dalam sejarah. Ibnu Asakir dalam kitabnya “Tarikh Dimasyq”, menulis sebagai berikut: suatu kiriman barang datang dari kota Basrah untuk Imam Husein as. Sebelum semua barang kiriman itu habis dibagikan untuk rakyat, Imam Husein as tidak bergerak dari tempat duduknya.” Salah satu keutamaan Imam Husein as sebagai seorang tokoh yang berpengaruh dalam sejarah, ialah beliau selalu membimbing rakyat menuju kesempurnaan dan kesejahteraan. Seraya menjauhkan diri dari sifat sombong dan membanggakan diri terhadap orang lain, beliau berusaha menumbuhkan dan menyebarluaskan sifat-sifat mulia di tengah rakyat. Sebagai manifestasi rahmat Allah swt, Imam Husein as mencintai rakyat dan beliau bangkit guna menyelamatkan mereka dari kehinaan dan keterjajahan.

Ustad Syahid Mutahhari, dalam salah satu bukunya menulis, “Para Nabi selalu merasa sedih melihat kehinaan dan kesengsaraan musuh-musuhnya. Tentu saja mereka itu sendiri tidak menyadari hal ini. Imam Husein as juga memiliki watak yang sama. Beliau sedih dan bersusah hati menyaksikan kesesatan dan kebinasaan musuh-musuhnya. Beliau tidak menginginkan hal itu. Dalam perjalanan perjuangannya, beliau menunjukkan kecintaan dan kasih sayangnya yang luas kepada semua orang. Dalam berbagai kesempatan, beliau berbicara kepada para penentang, menyampaikan nasehat dan peringatan, dengan harapan akan ada sebagian dari mereka yang sadar dan kembali kepada jalan kemuliaan. Imam Husein as berkali-kali mengingatkan kepada musuh-musuhnya, diantaranya dengan memperkenalkan diri beliau. “Saya adalah Husein, anak putri Rasul Allah, Fatimah. Aku adalah putra Ali. Aku bersama kalian dan keluargaku juga bersama keluarga kalian. Aku adalah teladan bagi kalian.”

Imam Husein as menjalani kehidupan yang menyatu dengan kehidupan rakyat pada umumnya. Beliau tidak pernah memiliki pasukan pengawal, dan tidak hidup di dalam istana megah di kawasan elit yang terpisah dari rakyat jelata. Suatu hari di musim haji, muslimin berbondong-bondong menuju ke kota Makkah. Mereka menempuh perjalanan panjang dan berat, di tengah musim kering yang panas, membuat tanah retak dan pecah-pecah. Dua bersaudara, Imam Hasan dan Imam Husein as, berangkat berziarah ke Rumah Allah dengan berjalan kaki. Sejumlah orang berjalan bersama mereka. Setiap orang bertemu dengan mereka, jika ia berkendaraan di atas kuda atau onta, maka ia akan segera turun dan ikut berjalan kaki di belakang, dalam rangka menghormati dua cucu Rasul ini.

Diantara mereka terdapat seorang tua kurus, yang tidak mampu berjalan jauh karena lemahnya. Ketika ia sudah tidak kuat lagi berjalan, ia berhenti lalu mendekat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash. Orang tua ini berkata kepadanya, “Wahai Sa’ad, meskipun saya tidak rela duduk di atas onta, karena dua cucu Nabi berjalan kaki, namun saya tidak kuat berjalan jauh dengan dua kaki saya. Cobalah kau minta kepada mereka untuk naik di atas onta. Sa’ad mengangguk, menyetujui usul orang tua ini. Lalu ia mempercepat langkahnya mendekati Imam Hasan dan Imam Husein as. Ia berkata, “Wahai cucu Rasul Allah, akan sangat lebih baik jika kalian naik di atas onta.”

Imam Hasan yang sedemikian tenggelam dalam kerinduan kepada Baitullah, dan semangatnya ini semakin berlipat karena disampingnya terdapat saudara beliau, yaitu Imam Husein as, menjawab, “Saya dan saudara saya, Husein, telah berjanji untuk berangkat ke Rumah Allah dengan berjalan kaki. Akan tetapi untuk meringankan orang-orang ini, maka dari sisi kami akan mengambil jalan lain, sehingga mereka yang berkendaraan akan dengan senang hati melanjutkan perjalanan mereka di atas kendaraan mereka.” (*)

Madame De Pompadour Van Bantam



Oleh GJ Nawi

Pelabuhan Banten sejak tahun 1568 sudah banyak disinggahi bermacam kapal dagang asing, seperti Birma, Benggala, Keling, Malabar, Tiongkok, Mesir, Parsi, Histambul, Habsyi, terutama Gujarat dan Portugis. Para pedagang Portugis merupakan orang Eropa pertama yang melakukan kontak dagang dengan Banten yang telah dilakukan sejak tahun 1546, kemudian dengan orang-orang Belanda pada 14 Juli tahun 1596.

Di dalam dunia perdagangan, sultan-sultan Banten banyak merugikan orang-orang Belanda di dalam dan di luar negeri, karena itulah mereka menjadi saingan berat bagi Belanda. Belanda sering mengganggu stabilitas kesultanan Banten dengan bermacam cara, baik secara peperangan frontal maupun politik adu domba (Devide Et Impera), bahkan hingga menyusup kedalam kalangan istana Banten itu sendiri.

Kekisruhan negeri Banten yang sangat signifikan dan sempat menggoyahkan eksistensi Banten sebagai kerajaan besar terjadi berkat ulah dan sepak terjang seorang perempuan peranakan Arab, bernama Syarifah Fatimah. Syarifah Fatimah adalah seorang janda dari Wan Mohammad seorang pegawai sipil militer VOC putra tunggal seorang Kapten Melayu di Batavia bernama Wan Abdul Bagus. Wan Abdul Bagus dikenal sebagai seorang Melayu yang mengepalai gettho Melayu yang kini dikenal sebagai Kampung Melayu, Cawang Jakarta Timur. Sedikit perihal Wan Abdul Bagus ini meriwayatkan bahwa dirinya merupakan putra dari Ence Bagus Pattani, dari Thailand Selatan. Kiprah Wan Abdul Bagus sebagai Kapten Melayu di Batavia sangat loyal terhadap Belanda. Boleh dikatakan selama hidupnya ia membaktikan diri pada Kompeni. Dimulai sebagai juru tulis, kemudian menduduki berbagai jabatan, seperti juru bahasa, bahkan sebagai duta atau utusan. Sebagai seorang pria dia sering terlibat dalam peperangan seperti di Jawa Tengah, pada waktu Kompeni membantu Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo. Demikian pula pada perang Banten, ketika kompeni membantu Sultan Haji menghadapi ayahnya sendiri Sultan Ageng Tirtayasa. Namun malang tak dapat ditolak, pada saat menghadapi pemberontakan Tete Jonker, Kapten Wan Abdul Bagus terluka cukup parah, hingga menjelang akhir hayatnya ia dipercaya oleh Kompeni untuk bertindak selaku Regeringscommisaris semacam duta VOC di Sumatera Barat.

Tahun 1747 setelah resmi menjadi janda Wan Mohammad, Syarifah Fatimah bersekongkol dengan Belanda untuk menghacurkan kesultanan Banten dari dalam, hingga pada akhirnya berhasil duduk sebagai permaisuri Sultan Zainul Arifin, bahkan berhasil merebut kekuasaan dengan memfitnah suaminya sebagai seorang yang tidak waras, sampai pada akhirnya sang Sultan yang dianggap gila itu dapat diasingkan ke luar Jawa (Maluku).

Ratu Syarifah Fatimah bersimaharajalela melampiaskan ambisi pribadinya, sehingga banyak kerabat sultan Zainul Arifin yang mati terbunuh dan membuat penderitaan yang amat sangat kepada rakyat Banten. Wanita peranakan Arab itu ingin tetap bersemayam di atas singgasana kesultanan Banten, maka keluarganya yang berdarah Arab banyak yang ditingkatkan status kedudukannya. Namun demikian rakyat Banten tidak membiarkan hal ini berlangsung lebih lama, pada Oktober 1750 di bawah pimpinan seorang ulama bernama Kyai Tapa (penghulu agung Mustafa) yang bekerja sama dengan keluarga sultan yaitu Tubagus Buang (Ratu Bagus Burhan), Ratu Siti (putra mahkota), Jayasengkar (Cibadak), Jagastru (Sukabumi) mengadakan pemberontakan dengan bergerilya dari luar ibu kota Banten. Sementara dari dalam kota Banten pemberontakan dilakukan dengan mendirikan pemerintahan darurat secara berturut-turut oleh Pangeran Waseh dan Pangeran Arya Adi Santika yang merupakan adik Sultan Zainul Arifin.

Untuk mendukung pemberontakan menghadapi Ratu Syarifah Fatimah, pada tahun 1752 Pangeran Arya Adi Santika menginstruksikan untuk membuka dan memperbanyak perguruan pencak silat secara umum di daerah Kasemen, dimana setiap laki-laki mulai dari usia 10 – 50 tahun diwajibkan belajar pencak silat, masyarakat dituntut untuk mampu menggunakan berbagai macam senjata antara lain siku, klewang, keris, sekin dan belati. Pasar-pasar dianjurkan untuk banyak menjual senjata-senjata sebagai dukungan kepada masyarakat yang turut dalam pemberontakan itu (TBG Roesjan : 38-39). Ditinjau dari materi kesejarahan yang ada, diasumsikan bahwa perguruan pencak silat di Kasemen Banten ini merupakan perguruan pencak silat tertua dan yang pertama kali menyebar luaskan ilmu bela diri pencak silat kepada masyarakat Banten.

Di dalam pemberontakan itu Syarifah Fatimah berhasil diamankan dan dibuang ke pulau Edam bersama empat pengikutnya, hingga mengalami depresi yang cukup tinggi dan mati bunuh diri dengan cara meminum racun. Hinnga kini makam Ratu Syarifah dan keempat pengawalnya masih dapat dijumpai di pulau Edam, Kepulauan Seribu.

Seorang sarjana Belanda menjuluki Ratu Syarifah Fatimah sebagai Madame De Pompadour Van Bantam (Madame De Pompadour dari Tanah Banten), mensejajarkannya sama dengan Jeanne-Antoinette Poisson, Marquise De Pompadour yang menjadi salah satu isteri resmi Louis XV dari Perancis. Kedua wanita yang ambisius itu kebetulan hidup dalam kurun waktu yang sama, keduanya wanita cantik bertalenta yang memiliki pengaruh budaya, intelektual dan politik yang cukup kuat di istananya masing-masing, dan hal yang perlu digaris bawahi keduanya sama-sama dikenal sebagai wanita petualang cinta. Kisah petualangan cinta Syarifah Fatimah, salah satunya adalah kisah jalinan mesra dengan Gubernur Jendral Belanda Baron Van Imhoff, bersemi ketika mengadakan pertemuan di Gedung Villa Nova Tandjoeng Oost. Surat cintanya masih dapat ditemukan dan tersimpan rapi di Arsip Nasional Jakarta. (*) 


Al Qur’an, al Hadits, Nahjul Balaghah, dan Soal Takwil




"Fitnah ibarat kuda liar yang menggilas masyarakat, menginjak-injak mereka dengan kukunya, dan menendang mereka dengan ujung kakinya, maka mereka tersesat di sana dan kebingungan, bodoh dan tergila-gila di rumah terbaik dan tetangga terburuk. Tidur mereka di sana adalah keterjagaan dan celak mata mereka adalah air mata …. Pembicaraan ini berkisar tentang fitnah pra pengutusan para nabi. Beliau menjelaskan kaadaan masyarakat di mana para nabi diutus dan pada hakikatnya menjelaskan pula kaadaan masyarakat pada zaman beliau seraya memperingatkan mereka agar menghindari fitnah." (Nahjul Balaghah)

Oleh: Sayid Ali Khamenei

Adalah keberuntungan yang luar biasa bagi saya saat menyaksikan terbentuknya lembaga baru di bidang Nahjul Balaghah yang direalisasikan oleh saudara-saudara kita tercinta pada Institut Nahjul Balaghah. Saya selaku warga Iran yang sangat menyukai ajaran Nahjul Balaghah, selaku muslim yang telah meluangkan sebagian masa kehidupan intelektual dan penelitiannya di bidang Nahjul Balaghah, dan juga selaku penanggung jawab negara Republik Islam Iran mengucapkan selamat atas gerakan yang penuh berkah dan berakibat baik ini, dengan harapan semoga tingkatan ini menjadi pijakan pemula untuk mencapai tahapan berikutnya yang lebih sempurna.

Semangat saudara-saudara kita ini layak mendapatkan penghargaan yang besar. Proyek ini tidak boleh berhenti sampai di sini saja, melainkan harus berlanjut seterusnya. Sudah barang tentu, selama jarak setahun antara kongres tahun kemarin sampai sekarang sudah ada beberapa usaha dan pekerjaan di berbagai bidang Nahjul Balaghah yang terlaksana dengan baik dan saya juga ikut terlibat di dalam sebagian aktifitas itu. Namun demikian, saya ingin menekankan kembali bahwa perkumpulan-perkumpulan ini harus menjadi pengantar untuk pekerjaan-pekerjaan berikutnya yang lebih besar. Sudah cukup lama tempo yang kita lalui tanpa menjalin hubungan dengan Nahjul Balaghah. Adapun sekarang, kita harus menggunakan peluang dan kesempatan yang ada secara optimal untuk menutupi kekurangan sebelumnya.

Memang benar mereka yang bekerja keras di bidang Nahjul Balaghah tidak sedikit, baik di Iran sendiri maupun di negara-negara Islam lainnya. Akan tetapi, masih tertinggal banyak pekerjaan utama dan asasi yang bisa digarap untuk menyebar-luaskan sekolah Nahjul Balaghah di segala penjuru dunia, kendati dasar dan pokok-pokoknya sedang dalam pembangunan secara bertahap. Sungguh, Nahjul Balaghah adalah simpanan istimewa nan agung yang keberadaannya saja susah untuk dijangkau atau dimengerti (apalagi lebih dari itu), dan setelah mampu menyentuh keberadaanya, baru memasuki babak berikutnya yang lebih utama, yaitu penggunaan dan pengambilan untung darinya. Adapun sekarang, kita masih belum mengetahui hakikat keberadaan Nahjul Balaghah itu sendiri. Memang iya; seperti halnya referensi-referensi kaya Islam lainnya yang memiliki nasib serupa, hanya saja Nahjul Balaghah adalah pengecualian tersendiri mengingat kelasnya yang sangat tinggi. Oleh karena itu, harus diperhitungkan dan disikapi lebih istimewa layaknya simpanan yang sangat berharga.

Apa yang ingin saya sampaikan sekarang adalah urutan dari sekian harapan dan cita-cita yang sejak dulu sampai saat ini kita miliki, yaitu harapan agar masyarakat kita dekat dan bersahabat dengan Nahjul Balaghah. Untuk masa-masa sekarang tidak bisa berharap banyak dari orang-orang seperti saya, kecuali jika Allah SWT memberi taufik, suatu hari saya dapat kembali ke kamar-kamar talabeh (pelajar agama) dan berpeluang aktif menjalankan tugas-tugas tersebut. Saya ingin berbicara seputar perhatian yang harus kita pusatkan pada Nahjul Balaghah dan sampai saat ini masih minim sekali. Seakan kita tidak tahu betapa agungnya simpanan makrifat tanpa batas yang terjaga dalam kitab ini, atau sampai sekarang masyarakat kita, bahkan para peneliti kita pun belum menyadari secara penuh pentingnya mencapai sumber agung yang tiada tara ini.

Pertama-tama, kitab ini terhitung referensi otentik kelas pertama Islam, dan sumber seperti ini sangatlah penting, khususnya dalam kondisi dan situasi historis masa kini yang berjarak seribu empat ratus tahun dari sejarah munculnya Islam. Urgensi itu juga disebabkan oleh merebaknya takwil dan interpretasi sesuka hati di sepanjang sejarah, dan ini merupakan wabah intelektual religius. Ketika zaman telah berjarak jauh dari sumber pancaran agama, maka benak, kreativitas, inovasi, dan gejolak internal manusia bermental menggiringnya untuk menarik kesimpulan berdasarkan selera pribadi masing-masing, dan secara misterius tak terlihat, telah berhasil menyimpangkan agama-agama yang pernah ada. Alasan kenapa agama-agama terdahulu telah menyimpang, salah satu penyakit utamanya adalah teks-teks otentik dan pertama mereka tidak terjaga secara selamat dan sempurna.

Satu keistimewaan besar yang kita miliki adalah Al-Qur’an yang tidak terjamah oleh tangan jahat perubahan dan penyimpangan. Hal inilah yang menyebabkan tetapnya sebuah poros utama dalam interpretasi atau pemahaman tentang Islam di tengah luasnya keberagaman selera yang ada. Pada akhirnya masih terdapat titik yang menjadi sandaran akhir untuk akidah dan pendapat yang berbeda-beda, yaitu Al-Qur’an. Namun hal itu tidak cukup. Dalam artian, belum dapat menghalangi arus takwil dan kecenderungan pendapat pribadi, selera personal, dan hawa nafsu.

Amirul Mukminin as sendiri suatu saat berkata pada Ibn Abbas,

لاَ تُخَاصِمْهُمْ بِالْقُرْآنِ، فَإِنَّ الْقُرْآنَ حَمَّالٌ ذُوْ وُجُوْهٍ

“Janganlah kamu menghadapi Khawarij dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an memikul banyak arti dan punya beragam wajah.”[1]

Sungguh, orang-orang yang menerapkan ayat “dan sebagian orang, ada yang menjual dirinya demi keridhaan Allah”—yang sebenarnya turun berkenaan tentang Amirul Mukminin Ali as—untuk Ibn Muljam, mereka betul-betul telah menyimpang dari jalan yang benar. Lalu, apa mungkin menghadapi orang seperti ini dengan menggunakan Al-Qur’an?! (Jelas tidak mungkin, karena mereka mengartikannya sesuka hati). Pada zaman sekarang, kita juga menyaksikan hal yang sama. Ada orang-orang yang bersandarkan kepada Al-Qur’an dengan metode takwil! Dalam situasi dan kondisi seperti ini, semakin banyak teks otentik Islam yang sampai kepada kita dari awal sejarah Islam, maka semakin besar pula peluang bagi para peneliti untuk mencapai ajaran Islam yang sebenarnya.

Dulu kita melihat ahli takwil—yang sekarang lebih dikenal dengan iltiqâthî (aliran yang mencampuraduk sana dan sini)—tidak peduli terhadap hadis, sehingga kapan saja kita membawakan hadis, mereka langsung berkata, “Apa kamu tidak menerima dan mengimani Al-Qur’an? Seakan-akan ada pertentangan antara kepercayaan terhadap Al-Qur’an dan keyakinan pada hadis!

Awal-awal kita heran. Tapi tidak begitu sensitif terhadap masalah ini. Sampai akhirnya kita sadar bagaimana mereka memperlakukan Al-Qur’an dan bagaimana mereka menolak hadis yang shahih dan sharih (jelas dan tidak ambigu). Ketika itu kita baru mengerti alasan sesungguhnya kenapa mereka menentang hadis. Di kala itu, Amirul Mukminin as mengingatkan Ibn Abbas seraya berkata, “Berargumentasilah dengan sunah untuk menghadapi Khawarij, karena sunah tidak bisa ditakwil lagi.” Jadi jelas, ketika kita hidup dalam situasi dan kondisi dunia Islam kontemporer yang pengikutnya mencapai jumlah yang jauh lebih besar dari sebelumnya dan berhasil menempati bagian terbesar dari geografi dunia, disertai oleh multi kultur dan beragam pendapat, aliran dan kelompok yang mendominasi jalan pikiran dan kejiwaan mereka, maka apabila kita dapat menghidupkan kembali teks-teks awal Islam, niscaya kita telah memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan poros utama untuk berijtihad dan menjelaskan pandangan Islam.

Pandanglah Nahjul Balaghah dari sudut ini. Dengan begitu, Nahjul Balaghah tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan kitab hadis fulan sahabat atau tabi’in yang terbentuk pada tahun lima puluh, enam puluh, seratus, atau seratus empat puluh Hijriah. Nahjul Balaghah adalah ucapan orang yang pertama kali beriman kepada wahyu Tuhan yang disampaikan oleh nabi Muhammad saw. Nahjul Balaghah adalah kata-kata khalifah Nabi, yaitu khalifah yang disepakati oleh semua orang Islam. Yaitu imam yang menurut pengikut Syi’ah dan mayoritas pengikut Ahlusunah adalah sahabat yang paling baik dan utama. Itu artinya ada ucapan-ucapan yang tersimpan secara utuh dan sampai kepada kita dari orang yang agung dan penting sekali, mulai dari ceramah atau kata-kata beliau yang lain. Maka sudah barang tentu ini adalah teks yang otentik dan agung berkaitan dengan ajaran-ajaran Islam, teks yang menyelesaikan segala permasalahan: tauhid, kenabian, filsafat sejarah, akhlak, irfan, dan lain sebagainya. Sebagaimana Anda perhatikan seksama, kita bisa menemukan dasar-dasar keyakinan yang sempurna dan komprehensif tentang Islam dari Nahjul Balaghah.

Tanpa diragukan lagi, kitab ini adalah pendamping Al-Qur’an dan setingkat di bawahnya. Kita tidak punya kitab lain yang sampai pada derajat nilai pengakuan, komprehensifitas, dan histori seperti ini. Oleh karena itu, menghidupkan kembali Nahjul Balaghah bukan hanya tugas orang-orang Syi’ah semata, melainkan juga tugas bagi semua orang Islam, karena dalam Islam tidak ada satu orang pun yang menolak Amirul Mukminin Ali as. Maka setiap muslim bertugas untuk menghidupkan Nahjul Balaghah sebagai warisan tiada tara Islam. Penghidupan ini tidak berarti memperbanyak cetakan yang—alhamdulillâh—sudah banyak. Melainkan kajian dan penelitian di bidang Nahjul Balaghah, sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap Al-Qur’an. Sudah banyak tulisan di bidang tafsir Al-Qur’an dan karya di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an. Upaya yang sama juga harus dilakukan untuk Nahjul Balaghah. Ia harus diajarkan sebagaimana Al-Qur’an diajarkan, karena ia adalah lanjutan dan ekor Al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana muslimin mewajibkan diri mereka untuk mengenal Al-Qur’an dan berteman dengannya, dan sebaliknya adalah aib dan kekurangan bagi mereka, maka terhadap Nahjul Balaghah pun mereka harus bertindak demikian.

Poin luar biasa penting lainnya yang ingin saya sampaikan di sini adalah tugas kita semua untuk mengetahui konteks munculnya kata-kata ini, sekaligus juga kaadaan si pembicara. Pengenalan ini memberikan kita kesembuhan yang cepat bagi berbagai penyakit sosial masa kini. Karena jika kita perhatikan, pembicaranya bukanlah orang biasa, melainkan manusia yang berhasil menyatukan dua keistimewaan sehingga ucapan-ucapannya naik sampai tingkat yang luar biasa. Dua keistimewaan itu adalah hikmah dan kekuasaan. Beliau adalah seorang hakim menurut yang disinyalir Al-Qur’an dengan firman-Nya, “Dia memberi hikmah kepada siapa pun yang dikehendaki.” Beliau mengenal jagat raya, manusia, dan segala ciptaan lainnya secara baik, teliti, dan sempurna. Dan itulah seorang hakim. Dalam terminologi orang yang meyakini beliau sebagai imam suci, hal itu didapat melalui ilham Allah SWT dan dalam terminologi mereka yang tidak mengimani kesuciannya, hal itu diperoleh lewat pelajaran Rasulullah saw. Bagaimanapun juga, yang jelas tak seorang pun meragukan bahwa beliau adalah manusia berbashirah dan berhikmah, sebagaimana para nabi, dan beliau mengetahui segala hakikat penciptaan serta apa yang terdapat dalam simpanan-simpanan Allah SWT.

Adapun keistimewaan kedua pembicara Nahjul Balaghah adalah beliau penguasa dan pemimpin masyarakat Islam pada periode tertentu yang bertanggung jawab mengendalikan pemerintahan Islam pada zamannya. Dua keistimewaan hikmah dan kekuasaan ini terdapat pada sosok Amirul Mukminin as sehingga ucapan-ucapan beliau terkatrol sampai tingkat yang luar biasa tinggi melebihi kata-kata mutiara biasa lainnya mengingat dimensi baru yang diperoleh.

Tapi, sebetulnya apakah sebenarnya kata-kata beliau itu? Apakah yang beliau utarakan dalam ceramah-ceramahnya? Apakah yang dikatakan oleh amîr dan penguasa pemerintahan Islam yang juga hakim ini? Sudah barang tentu apa yang beliau katakan sesuai dengan kebutuhan. Beliau pasti menjelaskan apa yang menjadi kebutuhan utama pada periode sejarah Islam zaman, dan tidak mungkin beliau mengutarakan hal-hal lain yang tidak diperlukan, karena tidak mungkin seorang dokter yang teliti dan penyayang memberikan resep dan saran yang tidak dibutuhkan pasien. Oleh karena itu, kita mendapatkan sesuatu yang berbeda dalam resep pemberian Amirul Mukminin as dan apakah itu? Hal itu adalah situasi dan kondisi masyarakat Islam pada masa hidupnya.

Tidak ada catatan sejarah yang lebih jelas dan lebih teliti daripada Nahjul Balaghah (kata-kata Amirul Mukminin as) dalam melaporkan kondisi dan situasi kehidupan masyarakat pada waktu itu. Sekarang ini kita hidup pada masa yang saya cenderung menyerupakannya dengan periode awal Islam. Artinya, kelahiran Islam kembali. Waktu itu adalah kelahiran pertama Islam. Adapun sekarang adalah kelahiran kedua Islam. Pada masa itu hukum-hukum Islam diberlakukan, dan sekarang kita sedang bergerak menuju penerapan hukum-hukm Islam tersebut. Kalau pada waktu itu musuh-musuh Islam yang sebetulnya memusuhi ajaran-ajaran Islam itu sendiri dan menentang masyarakat nabawi, begitu pula sekarang orang-orang yang memusuhi Revolusi kita pada hakikatnya mereka tidak menentang berdirinya Republik Iran, melainkan mereka melawan Islam itu sendiri. Tapi tentunya bukan atas nama hakikat Islam, dan harus disadari secara bersama bahwa ini bukanlah hal yang sederhana. Wajar-wajar saja apabila mereka menentang, bahkan apabila adikuasa, penguasa, penindas, kapitalis, penjajah, pelaku nepotisme, penginjak harkat manusia, terorisme nilai-nilai kemanusian dan pemberhangus norma-norma Tuhan tidak takut atau tidak gelisah terhadap Islam, maka itu sangat mengherankan, karena itu berseberangan dengan arah tujuan dan target mereka. Hal itu pula yang dulu pernah terjadi pada masa Amirul Mukminin as.

Nah, kita bangsa Iran sebagai orang-orang yang memikul dasar-dasar sistem negara Islam ini di atas pundak bersama, apabila merujuk kepada Nahjul Balaghah, niscaya kita akan mendapatkan hal-hal yang sangat menarik. Kita akan mampu mendeteksi penyakit-penyakit yang mungkin terjangkit dan mengancam situasi seperti ini sekaligus juga mendapatkan penawarnya. Ini sangatlah menarik dan marilah kita sama-sama mencari obat penawar itu. Saya tidak ingin mengatakan bahwa semua yang terjadi pada awal sejarah Islam sekarang pun terjadi secara persis serambut demi serambut. Melainkan arah dan tujuan di masa itu adalah sama seperti yang sekarang terjadi. Hati orang-orang beriman pada waktu itu sama dengan hati mukminin sekarang. Harapan dan cita-cita mereka pun sama. Keraguan orang-orang munafik dan lemah iman pada waktu itu adalah sama seperti yang dialami munafikin dan orang-orang lemah iman masa kini. Rencana teror dan rongrongan musuh pada masa lalu seragam dengan rencana musuh dan terorisme kontemporer. Poros sistem kenegaraan kita adalah sama dengan poros sistem pemerintahan awal Islam. Keberpihakan sistem kita kepada masyarakat adalah sama seperti halnya keberpihakan sistem Islam pada waktu itu. Menerima Al-Qur’an sebagai dokumen yang asli, naskah yang sempurna, dan sebagai pembentuk situasi yang ideal, semua ini adalah arah dan tujuan universal yang seragam antara sistem pemerintahan Islam kita sekarang dengan sistem pemerintahan Islam pada awal kelahirannya. Maka dari itu, wajar saja apabila kita sudah memprediksi datangnya penyakit-penyakit tertentu yang mirip dengan wabah yang menyerang masyarakat Islam pada waktu itu, sehingga dengan mengenali penyakit tersebut jauh-jauh sebelumnya, kita akan dapat mengantisipasi diri untuk melawan dan mengobatinya. Nahjul Balaghah mengajarkan penyakit-penyakit itu kepada kita. Meskipun tampaknya Nahjul Balaghah bukan catatan sejarah, tapi sebetulnya dia juga melaporkan sejarah pada waktu itu. Dan tentunya, jika saya ingin membawakan bukti-bukti bagaimana Amirul Mukminin as mengungkapkan masyarakat zamannya sekaligus penyakit dan penawar sosial pada waktu itu, jika saya ingin menerangkan bagaimana beliau memberi resep kepada kita yang apabila kita pelajari resep itu kita akan mengerti khasiatnya untuk mengobati penyakit tertentu yang kita temukan sekarang, jika saya ingin menguraikan semua itu, maka tidak cukup hanya dalam tempo dua atau tiga jam. Dan sayangnya, tidak bisa berharap banyak dari orang seperti saya sekarang. Mereka yang berpeluang harus menjalankan tugas mulia ini. Dan satu hal lagi perlu saya katakan, penelitian semacam ini terhadap Nahjul Balaghah bukanlah pekerjaan yang begitu sulit dan melelahkan. Cari dan bukalah selembar demi selembar, niscaya ia pasti menampakkan diri pada Anda.

Berikut ini saya ingin menyebutkan beberapa contoh dari penyakit yang pernah menimpa masyarakat pada masa Amirul Mukminin as sekaligus juga penawar yang beliau berikan.

Salah satu penyakit dan problema sosial pada waktu itu adalah dunia. Anda bisa saksikan betapa banyak ungkapan Nahjul Balaghah yang memperingatkan masyarakat dari dunia, cinta dunia, tipu daya dunia, dan bahaya dunia. Sebaliknya, kezuhudan Nahjul Balaghah merupakan salah satu bagian terpenting kitab ini. Untuk apa kezuhudan ini? Realitas apa pada waktu itu yang ingin ditunjukkan oleh seluruh kata-kata ini? Yaitu periode yang Nabi pernah bersabda tentangnya, “Kemiskinan adalah kebanggaanku.” Periode di mana Rasulullah dan masyarakat Islam pada waktu itu bangga dengan kemiskinannya. Mereka bangga karena tidak tercemar oleh dunia. Sosok seperti Abu Dzar, Salman, Abdullah bin Mas’ud, dan para penghuni Shuffah terhitung papan atas umat Islam kala itu. Mereka sama sekali tidak tertarik pada dunia, emas dan perak, dinar dan dirham, perhiasan dan permata, atau kekayaan berharga lainnya. Dan pada dasarnya, kilauan harta tidak bernilai di mata mereka daripada kilauan non-harta.

Rasulullah saw bersabda,

أَشْرَافُ أُمَّتِيْ أَصْحَابُ اللَّيْلِ وَ حَمَلَةُ الْقُرْآنِ

“Orang-orang mulia dari umatku adalah mereka yang menghabiskan malam bersama Allah SWT dan yang mengenal atau menghafal Al-Qur’an.”

Apa sebetulnya yang telah terjadi di tengah masayarakat Islam pada waktu itu sehingga sekitar lima puluh dari seratus ucapan Amirul Mukminin as berhubungan dengan zuhud? Apa yang ingin ditunjukkan oleh Nahjul Balaghah yang penuh dengan tuntunan zuhud dan anjuran kepadanya?

Iya, semua itu menunjukkan adanya penyakit tertentu pada masyarakat waktu itu. Resep Amirul Mukminin as yang bergejolak dan penuh dengan peringatan tentang dunia menunjukkan kepada kita betapa masyarakat pada waktu itu terjangkit parah oleh penyakit dunia. Dua puluh tiga tahun setelah kepergian Rasulullah saw mereka telah terjerat dan terjarah oleh dunia, dan Amirul Mukminin as berupaya untuk membuka perangkap tali yang mengikat kaki dan tangan mereka.

Ketika kita membaca tanggapan Nahjul Balaghah seputar dunia, kita diantar ke puncak tersendiri dan kata-kata Amirul Mukminin as di sini terasa memiliki ritme dan warna yang berbeda. Dari sekian ratus contoh kalimat beliau tentang dunia sulit bagi saya untuk melewatkan berapa baris berikut ini untuk tidak disampaikan pada kesempatan yang berharga ini, mengingat begitu indahnya kata-kata beliau:

فَإِنَّ الدُّنْيَا رَنِقٌ مَشْرَبُهَا رَدِعٌ مَشْرَعُهَا، يُوْنِقُ مَنْظَرُهَا وَ يُوْبِقُ مَخْبَرُهَا، غَرُوْرٌ حَائِلٌ وَ ضَوْءٌ آفِلٌ وَ ظِلٌّ زَائِلٌ وَ سَنَادٌ مَائِلٌ، حَتَّی إِذَا أَنِسَ نَافِرُهَا وَ اطْمَأَنَّ نَاکِرُهَا قَمَصَتْ بِأَرْجُلِهَا وَ قَنَصَتْ بِأَحْبُلِهَا وَ أَقْصَدَتْ بِأَسْهُمِهَا وَ أَعْلَقَتْ الْمَرْءَ أَوْهَاقَ الْمَنِيَّةِ قَائِدَةً لَهُ إِلَی ضَنْکِ الْمَضْجَعِ وَ وَحْشَةِ الْمَرْجَعِ

Perhatikan betapa indahnya kata-kata ini, dan tentunya tidak bisa diterjemahkan begitu saja. Para sastrawan dan pujangga harus duduk bersama untuk mencari kata padanan yang tepat kemudian menerjemahkannya. Apa yang menarik perhatian saya adalah ketika beliau mengomentari dunia seraya mengatakan, “Penipu yang berubah-rubah, cahaya yang memadam, bayangan yang menghilang, dan sandaran yang nyaris tumbang.”

Kemudian beliau melanjutkan diskripsinya dengan berkata, “Sampai suatu saat orang yang lari dari dunia akan bergantung padanya.” Dunia tampil begitu indah dan menawan dengan segala tipu daya yang tersimpan sehingga orang yang sebelumnya lari ketakutan terpaksa harus menyerah dan bersahabat dengannya.

Beliau melanjutkan, “Orang yang mengingkari akan tenang bersamanya.” Artinya orang yang sebelumnya membenci dan tidak bersedia untuk bergandeng tangan dengan dunia, mau tidak mau dia merasakan ketenangan berada di sisinya.

Ini adalah penyakit. Sahabat-sahabat Nabi saw yang pada masa hidup beliau meninggalkan rumah, kehidupan, kebun-kebun rindang Mekkah, harta kekayaan, perdagangan, bahkan anak dan istri, mereka tinggalkan untuk ikut datang bersama Rasulullah saw ke Madinah demi Islam, mereka tahan lapar dan tabah terhadap segala kesulitan, tapi orang-orang itu pulalah yang dua puluh tiga tahun kemudian setelah kepergian Rasulullah saw begitu serakah terhadap dunia sehingga ketika mereka meninggal dunia, emas yang mereka wariskan terpaksa harus dibagi dan dipecah dengan menggunakan kampak karena terlalu besar. “Sampai suatu saat orang yang lari darinya akan bergantung padanya, dan orang yang membenci akan merasa tenang bersamanya.” Ini adalah puncak kata-kata Amirul Mukminin as, dan ini adalah satu contoh dari sekian banyak kalimat beliau tentang dunia.

Tema lain yang berkali-kali terulang dalam Nahjul Balaghah adalah sifat sombong, seperti inti ceramah beliau yang bernama al-Qâshi’ah. Tentunya tidak terbatas pada ceramah ini saja, melainkan di berbagai tempat lain juga berulang kali beliau membahas kesombongan.

Masalah sombong yang berarti menganggap diri sendiri lebih tinggi dan angkuh daripada orang lain adalah penyakit yang menyelewengkan Islam dan sistem politik Islam, merubah kekhalifahan menjadi kerajaan. Itu artinya sama dengan memberhangus semua hasil dan jerih payah Rasulullah saw—minimalnya—dalam selang berapa waktu. Karena itulah kenapa Amirul Mukminin as begitu perhatian dengan masalah ini.

Satu contoh dalam ceramah al-Qâshi’ah[2] yang makruf dan terkenal ini betapa indah, berbobot, dan kerasnya beliau berceramah. Berikut ini saya ingin mengutip sebagian dari ceramah tersebut:

فَاللهَ اللهَ في كِبْرِ الْحَمِيَّةِ، وَفَخْرِ الْجَاهلِيَّةِ! فَإِنَّهُ مَلاَقِحُ الشَّنَآنِ، وَمَنَافِخُ الشَّيْطانِ، اللاَِّتي خَدَعَ بِهَا الْاُْمَمَ الْمَاضِيَةَ، والْقُرُوْنَ الْخَالِيَةَ، حَتّى أَعْنَقُوا فِيْ حَنَادِسِ جَهَالَتِهِ، وَمهَاوِيْ ضَلاَلَتِهِ، ذُلُلاً عَنْ سِيَاقِهِ، سُلُساً فِي قِيَادِهِ، … ألاَ فَالْحَذَرَ الْحَذَرَ مِنْ طَاعَةِ سَادَاتِكُمْ وَكُبَرَائِكُمْ! الَّذِينَ تَكَبَّرُوا عَنْ حَسَبِهِمْ، وَتَرَفَّعُوا فَوْقَ نَسَبِهِمْ

Ini adalah peringatan keras Amirul Mukminin as. Secara serius beliau mengingatkan masyarakat untuk menghindari dua hal berikut: (1) adalah sombong dan keangkuhan atau menganggap diri sendiri lebih unggul daripada yang lain, dan (2) sikap menerima kesombongan, keangkuhan, dan anggapan orang lain bahwa dirinya lebih tinggi atau unggul daripada selainnya. Artinya jangan pernah Anda angkuh dan menganggap diri kalian lebih unggul daripada orang lain dan juga jangan pasrah atau menerima sikap orang lain yang sombong dan punya anggapan seperti itu. Dua hal ini adalah jaminan terlaksananya etika Islam antara masyarakat dan penanggung jawab masayarakat Islam. Amirul Mukminin as menegaskan, masyarakat agar tidak angkuh terhadap orang lain sebagaimana beliau sendiri tidak sombong dan juga tidak pernah menerima perlakuan sombong orang lain.

Semua ini menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu terjangkit penyakit sombong dan angkuh. Kedua penyakit tersebut di atas ada pada mereka; kesombongan sekaligus juga pasrah dan menerima keangkuhan orang lain. Untuk meyakinkan diri, silakan Anda merujuk pada buku sejarah tentang masyarakat pada waktu itu. Mereka yang mengenal sejarah periode itu mengetahui persis bahwa penyakit utama masyarakat pada waktu itu adalah dua hal tersebut: sebagian dari mereka angkuh, congkak, sombong, dan menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang lain, seperti Quraisy lebih tinggi dari selain Quraisy, famili dari suku Arab tertentu lebih unggul dari keluarga suku lain. Dan sayangnya, penyakit ini begitu cepat merebak di tengah masyarakat dan orang-orang sombong segera bermunculan di berbagai penjuru setelah kepergian Rasulullah saw. Akibatnya, seperti disebutkan oleh Amirul Mukminin as, “Fainnahû malâqihusy syana’ân …”, Yaitu tempat kelahiran dan menjamurnya perbedaan dan perpecahan. Ketika seseorang menganggap dirinya lebih unggul daripada yang lain, ketika golongan tertentu beranggapan mereka lebih tinggi daripada golongan yang lain, maka saat itu adalah hari pertama perpecahan dan awal pertengkaran. Ketika kita memperhatikan poin-poin teliti dari ucapan Amirul Mukminin as, ternyata beliau telah menyebutkan semua karakter yang bersangkutan.

Penyakit kedua yang dialami masayarakat beliau adalah menerima dan menyerah terhadap keangkuhan orang lain. Yaitu, orang yang tertindas pasrah dengan ketertindasannya dan menerima bahwa mereka memang harus tertindas. Cobalah kita membaca sejarah masa itu, niscaya kita akan mendapatkan banyak bukti kepasrahan mereka terhadap kedzaliman atas diri mereka, pasrah pada kesombongan orang lain dan pasrah pada kehidupan marginal atau selalu di bawah. Anda akan terenyuh menyaksikan realitas masyarakat pada waktu itu. Setiap orang yang hendak mengangkat kepalanya dan unjuk rasa senantiasa diserang habis-habisan, dan ini (unjuk rasa) adalah salah satu karakter masyarakat Irak sepanjang sejarah. Namun demikian, sebagaimana tercatat juga oleh sejarah, orang-orang Kufah bukan tipe masyarakat yang setia dan tepat janji, dan ini karakter yang melahirkan berbagai karakter buruk lainnya. Tetapi secara umum masyarakat Irak pada waktu itu adalah masyarakat yang punya watak tinggi dan tidak pernah menerima penguasa-penguasa Syam. Menurut saya, sepertinya salah satu sebabnya adalah kehadiran Amirul Mukminin as di tengah mereka untuk selang waktu yang cukup lama sehingga mereka mempelajari etika Islam yang mulia ini dari beliau.

Bagaimanapun juga kita menyaksikan sepanjang sejarah pemerintahan Bani Umayah dan Bani Abbas selama sekitar enam ratus tahun, satu-satunya sasaran empuk dan titik utama kelemahan masyarakat Islam pada periode itu adalah hal tersebut di atas, yaitu kepasrahan terhadap keangkuhan atau kezaliman. Kerusakan pun bersumber dari sini. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as sering kali menentang masalah nepotisme dan sikap masyarakat yang menerima nepotisme penguasa serta kesombongan mereka. Ini adalah salah satu hal yang disebutkan Amirul Mukminin as dalam Nahjul Balaghah.

Masalah berikutnya adalah fitnah. Banyak sekali kata-kata beliau yang menakjubkan seputar fitnah. Sebagiannya multi berbobot, indah, dan komprehensif sangat mengherankan perhatian setiap orang yang memikirkannya! Apakah fitnah itu? Fitnah adalah ketercampuradukan dan kacaunya barisan, serta berbaurnya hak dan batil.[3]

وَ لَكِنْ يُؤْخَذُ مِنْ هذَا ضِغْثٌ، وَمِنْ هذَا ضِغْثٌ، فَيُمْزَجَانِ! فَهُنَالِكَ يَسْتَوْلي الشَّيْطَانُ عَلَى أَوْلِيَائِهِ

Masalah mencampuradukkan hak dan batil, penggunaan slogan hak untuk kepentingan batil, penggunaan simbol-simbol hak untuk mengokohkan pondasi kebatilan, semua ini adalah penyakit yang terdapat pada masa Amirul Mukminin as dan beliau tuangkan dalam kata-kata.

Ada dua macam ucapan Amirul Mukminin as tentang fitnah. Salah satu dari dua macam itu membicarakan fitnah secara universal. Saya ingin membaca dua ucapan beliau yang sudah saya catat sebelumnya.

Pada ceramah ke-2 Nahjul Balaghah, ketika beliau berbicara tentang kemunculan Rasulullah saw, beliau juga mengisyaratkan keadaan masyarakat seraya berkata:

في فِتَنٍ دَاسَتْهُمْ بِأَخْفَافِهَا، وَوَطِئَتْهُمْ بأَظْلاَفِهَا، وَقَامَتْ عَلَى سَنَابِكِهَا، فَهُمْ فِيهَا تَائِهُونَ حَائِرونَ جَاهِلُونَ مَفْتُونُونَ، في خَيْرِ دَار، وَشَرِّ جِيرَان، نَوْمُهُمْ سُهُودٌ، وَكُحْلُهُمْ دُمُوعٌ

Sungguh ini juga salah satu kalimat yang tidak bisa diterjemahkan begitu saja. Lagi-lagi para penyair dan sastrawan harus duduk bersama mengerahkan semua kemampuannya untuk menemukan padanan kata dan susunan kalimat yang tepat. Beliau berbicara tentang fitnah sebagai berikut:

Fitnah ibarat kuda liar yang menggilas masyarakat, menginjak-injak mereka dengan kukunya, dan menendang mereka dengan ujung kakinya, maka mereka tersesat di sana dan kebingungan, bodoh dan tergila-gila di rumah terbaik dan tetangga terburuk. Tidur mereka di sana adalah keterjagaan dan celak mata mereka adalah air mata …. Pembicaraan ini berkisar tentang fitnah pra pengutusan para nabi. Beliau menjelaskan kaadaan masyarakat di mana para nabi diutus dan pada hakikatnya menjelaskan pula kaadaan masyarakat pada zaman beliau seraya memperingatkan mereka agar menghindari fitnah.

Ini satu bentuk dari pembicaraan beliau seputar fitnah. Adapun bentuk lain dari penjelasan beliau tentang fitnah adalah spesifik tertuju pada person atau komunitas terbatas, seperti kata-kata beliau mengenai musuh-musuh yang telah menyulut api peperangan, yaitu Muawiyah, Thalhah dan Zubair, ‘Aisyah, Khawarij dan lain sebagainya yang semua itu menurut kaca mata beliau terhitung fitnah.

Sebetulnya, bentuk kedua ini semacam pengungkapan atau penyingkapan. Beliau hendak melumpuhkan dan membasmi fitnah ini dengan cara membongkar wajah-wajah mereka, dan ini adalah sebaik-baik cara membasmi fitnah. Apakah fitnah? Ketika dua kubu sedang bertikai, maka debu bertebaran sehingga wajah-wajah mereka susah untuk dikenal sampai terkadang manusia membunuh saudaranya atau termakan senjata kawannya sendiri. Kadang-kadang dia berjalan bersama musuhnya dan saling percaya. Inilah yang disebut dengan fitnah.

Apa obat penawar fitnah? Penyingkapan. Tak satu hal pun lebih manjur daripada penyingkapan dalam membasmi fitnah. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as melakukan penyingkapan wajah masing-masing, dan penyingkapan ini berarti ada penyakit yang sedang menimpa masyarakat pada waktu itu.

Dengan demikian, kira-kira saya sudah menjelaskan tiga tema, yaitu dunia, kesombongan, dan fitnah, dan masih ada ratusan lain seperti ini dalam Nahjul Balaghah yang bisa Anda temukan apabila Anda mencarinya. Saya sendiri belum menghitungnya sehingga bisa saya pastikan ada seratus masalah lain seperti ini, tapi saya melihatnya demikian. Bahkan lebih dari seratus tema besar yang bisa didapatkan melalui penelitian. Setiap Amirul Mukminin as berbicara tentang sebuah penawar, maka itu menunjukkan adanya penyakit tertentu, karena apabila penyakit itu tidak ada, pasti Amirul Mukminin as selaku hakim yang bertanggung jawab ganda terhadap masyarakat pada zamannya tidak akan berbicara demikian, melainkan dia akan membicarakan hal lain yang lebih berguna. Oleh karena itu, membicarakan hal-hal seperti itu berarti masyarakat pada waktu itu terjangkit oleh penyakit-penyakit tertentu dan penawarnya adalah anjuran-anjuran yang beliau berikan.

Seribu tiga ratus sekian puluh tahun telah berlalu, dan kita sekarang membutuhkan resep obat tersebut, baik untuk pengobatan dan juga untuk mengenali penyakit apa yang mengancam. Kondisi kita sekarang persis seperti dahulu kala. Kita terancam oleh cinta dunia, wabah kesombongan, cinta diri sendiri, nepotisme, dan bahaya fitnah-fitnah sosial yang mampu merobohkan semua bangunan kita. Maka dari itu, kita juga memerlukan penwawar-penawar tersebut, dan senantiasa kita akan merasa butuh kepada Nahjul Balaghah selama-lamanya, terlebih lagi apabila kita memandangnya dengan perspektif ini. Saya tidak melihat seseorang yang mengkaji Nahjul Balaghah dari sisi ini. Memang benar sudah banyak usaha yang dilakukan, tapi ini adalah perspektif baru dalam memandang Nahjul Balaghah. Bercerminlah pada Nahjul Balaghah dan apa yang Anda lihat pada diri Anda dalam kondisi sekarang? Apa penyakit yang Anda idap? Bahaya apa yang mengancam Anda? Dan peringatan apa yang tertuju pada Anda? Ketahuilah penawarnya ada pada Nahjul Balaghah, dan merupakan keharusan kontemporer bagi para peneliti untuk menggali Nahjul Balaghah dari sisi-sisi ini.

Bagaimanapun juga, di penghujung pembicaraan ini, pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara terhormat yang telah memberi warna baru pada kajian Nahjul Balaghah, dan memberi perhatian yang lebih ekstra terhadap kajian-kajian seperti ini, serta membersihkannya dari debu-debu kealpaan. Berikutnya, saya juga menghaturkan ucapan terima kasih kepada para peneliti yang menulis di bidang Nahjul Balaghah, mulai dari karya tafsir Nahjul Balaghah dan syarah, terjemah, kamus kata-kata Nahjul Balaghah dan lain sebagainya. Sekali lagi, saya tekankan untuk lebih serius lagi dalam masalah Nahjul Balaghah.

Sekarang ini, Nahjul Balaghah bagi kita lebih sensitif dari berbagai sisi. Di pembahasan tadi saya mengingatkan pada dua sisinya, dan masih banyak lagi sisi-sisi yang lain.

Saya tekankan kembali bahwa kitab ini adalah simpanan agung yang tiada tara dan tidak akan pernah berakhir, dan pada zaman sekarang, kita lebih membutuhkannya, masayarakat kita dan masyarakat Islam lebih memerlukannya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

[1] Nahjul Balaghah, surat ke-77.[2]Ceramah al-Qâshi’ah ke-192.
[3]Ceramah ke-50.