Remains of Kaibon, Banten on Photography and Painting

The Reconstruction of Kaibon by LW van Boekhoven 
The Ruins of Kaibon in 1915 by Georg Friedrich Johannes Bley 
The Ruins of Kaibon in 1933 
The Ruins of Kaibon in 1933 
The Ruins of Kaibon in 1933 
The Ruins of Kaibon in 1933 
The Ruins of Kaibon in 1933 
The Ruins of Kaibon in 1938

The Battle of Banten on Sketchs and Paintings

The City of Banten, Bird View 
The Battle of Banten Between Dutch and Portuguese 
Banten's Mangkubumi and his Attendants 

Portuguese Residents at Banten 
The Journey of Cornelis de Houtman to Banten in 1596. Sketch in 1646 
The Journey of Cornelis de Houtman to Banten in 1596. Sketch in 1646

The Town of Banten in the Days of the Dutch East India Company. 

Notes: The naval Battle of Banten took place on 27 December 1601 in Banten Bay,Indonesia, when an exploration fleet of 5 Dutch vessels defeated a larger Portuguese fleet including galleons and fustas.

The History of Banten on Vintage Art

The Dutch Take Banten from Portuguese. This product is reproduced from a publication, advertisement, or vintage print. In an effort to maintain the artistic accuracy of the original image, this final product has not been retouched. This giclée print delivers a vivid image with maximum color accuracy and exceptional resolution. The standard for museums and galleries around the world, giclée (French for “to spray”) is a printing process where millions of ink droplets are sprayed onto the paper’s surface. With the great degree of detail and smooth transitions of color gradients, giclée prints appear much more realistic than other reproduction prints. The high-quality paper (235 gsm) is acid free with a smooth surface.  

Without Frame 
With Black Frame 
With Wood Frame 
With Luxury Frame

Ciujung and Cisadane on Dutch's Photography

Cisadane in 1920 
Ciujung in 1885 by Woodbury & Page
 Waterwork of Pamarayan in 1915
Ciujung in 1915

Cisadane in 1920
Cisadane in 1925
Cisadane in 1935
Cisadane in 1937

Waterwork of Pamarayan on Dutch's Photography

Fotografer: Georg Friedrich Johannes Bley 











Raden Kian Santang dan Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah


(Hikayat ini adalah contoh sastra lisan di Banten dan Jawa Barat yang lebih bersifat kiasan, yang memaksudkan dirinya untuk bercerita tentang bagaimana peralihan kultural dan politik di Banten dan Jawa Barat dari Era Hindu ke Era Islam)


Prabu Siliwangi memiliki beberapa putra dan putri, diantaranya adalah Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang, yang keduanya adalah putra dan putri kesayangan sang Prabu. Raden Kian Santang terkenal dengan kesaktiannya yang luar biasa. Di dunia persilatan nama Raden Kian Santang sudah tak asing lagi sehingga seluruh Pulau Jawa bahkan Nusantara saat itu sangat mengenal siapa Raden Kian Santang. Tak ada yang sanggup mengalahkannya. Bahkan, Raden Kian Santang sendiri tak pernah melihat darahnya sendiri.

Suatu ketika, Raden Kian Santang yang adalah putra Prabu Siliwangi itu terkejut ketika di dalam mimpinya ada seorang kakek berjubah yang mengatakan bahwa ada seorang manusia yang sanggup mengalahkannya, dan kakek tersebut tersenyum. Mimpi itu terjadi beberapa kali hingga Raden Kian Santang bertanya-tanya siapa gerangan orang itu. Dalam mimpi selanjutnya sang kakek menunjuk ke arah lautan dan berkata bahwa orang itu di sana.

Penasaran dengan mimpinya, Raden Kian Santang pun meminta ijin kepada ayahandanya, Prabu Siliwangi untuk pergi menuju seberang lautan, dan menceritakan semuanya. Prabu Siliwangi walaupun berat hati tetap mempersilahkan putranya itu pergi. Namun Ratu Rara Santang, adik perempuan Raden Kian Santang, ingin ikut kakaknya tersebut.

Meski dicegah, Ratu Rara Santang tetap bersikeras ikut kakaknya, yang akhirnya mereka berdua pergi menyeberangi lautan yang sangat luas menuju suatu tempat yang ditunjuk orang tua alias si kakek berjubah di dalam mimpi Raden Kian Santang itu.

Hari demi hari, minggu berganti minggu dan genap delapan bulan perjalanan sampailah Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang ke sebuah dataran yang asing, tanahnya begitu kering dan tandus, padang pasir yang sangat luas serta terik matahari yang sangat menyengat mereka melabuhkan perahu yang mereka tumpangi.

Tiba-tiba datanglah seorang kakek yang begitu sangat dikenalnya. Yah, kakek yang pernah datang di dalam mimpinya itu. Kakek itu tersenyum dan berkata: “Selamat datang anak muda! Assalamu alaikum!” Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang hanya saling berpandangan dan hanya berkata: “Aku ingin bertemu dengan Ali, orang yang pernah kau katakan sanggup mengalahkanku.”

Dengan tersenyum kakek itu pun berkata: “Anak muda, kau bisa bertemu Ali jika sanggup mencabut tongkat ini!” Lalu si kakek itu menancapkan tongkat yang dipegangnya.

Kembali Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang saling berpandangan, dan Raden Kian Santang tertawa terbahak-bahak. “Hai orang tua! Di negeri kami adu kekuatan bukan seperti ini, tapi adu olah kanuragan dan kesaktian. Jika hanya mencabut tongkat itu buat apa aku jauh-jauh ke negeri tandus seperti ini?  Ujar Raden Kian Santang mengejek.

Kakek itu kembali tersenyum. “Anak muda, jika kau sanggup mencabut tongkat itu kau bisa mengalahkan Ali, jika tidak kembalilah kau ke negerimu anak sombong.” Kata orang tua itu.

Akhirnya Raden Kian Santang mendekati tongkat itu dan berusaha mencabutnya. Namun  upayanya tak berhasil. Semakin dia mencoba semakin kuat tongkat itu menghunjam.

Keringatnya bercucuran, sementara Ratu Rara Santang tampak khawatir dengan keadaan kakaknya, ketika tiba-tiba darah di tangan Raden Kian Santang menetes, dan menyadari bahwa orang tua yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.

Saat itu, lutut Raden Kian Santang bergetar dan dia merasa kalah. Ratu Rara Santang yang terus memperhatikan kakaknya segera membantunya, namun tongkat itu tetap tak bergeming, akhirnya mereka benar-benar mengaku kalah.

“Hai orang tua! Aku mengaku kalah dan aku tak mungkin sanggup melawan Ali. Melawan  dirimu pun aku tak bisa! Tapi ijinkan aku bertemu dengannya dan berguru kepadanya.” Ujar Raden Kian Santang.Kakek itu kembali tersenyum. “Anak muda! Jika Kau ingin bertemu Ali, maka akulah Ali.” Tiba-tiba mereka berdua bersujud kepada orang tua itu, namun tangan orang tua itu dengan cepat mencegah keduanya bersujud. “Jangan bersujud kepadaku anak muda! Bersujudlah kepada Zat yang menciptakanmu, yaitu Allah!”

Akhirnya mereka berdua mengikuti orang tua tersebut, yang ternyata Ali Bin Abi Tholib, ke Baitullah dan memeluk agama Islam. 

Begitulah, Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh. Dalam perjalanannya Raden Kian Santang kembali ke pulau Jawa dan menyebarkan Islam di daerah Garut hingga meninggalnya. Sedangkan Ratu Rara Santang dipersunting oleh salah satu pangeran dari tanah Arab yang bernama Syarif Husen. Perkawinan antara Ratu Rara Santang dan Syarif Husen itu menghasilkan dua putra, yaitu Syarif Nurullah dan Syarif Hidayatullah. Syarif Nurullah menjadi penguasa Makkah saat itu, sedangkan Syarif Hidayatullah pergi ke Jawa untuk bertemu dengan ayah dan kakeknya.

Syarif Hidayatullah pamit untuk pergi ke Jawa dan ingin menyebarkan Islam ke sana. Dan pergilah Syarif Hidayatullah mengarungi samudera nan luas seperti halnya dulu ibu dan pamannya, Ratu Rara Santang dan Raden Kian Santang.

Setibanya di tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidak kesulitan berjumpa dengan ayah dan kakeknya. Namun Syarif Hidayatullah prihatin karena hingga saat itu kakeknya masih belum masuk ke dalam agama Islam dan tetap bersikukuh dengan agamanya yaitu agama Sunda Wiwitan, meski berbagai upaya terus dilakukan dan dia hanya berdoa semoga kakeknya suatu saat diberi hidayah oleh Allah.

Melihat keuletan cucunya dalam menyebarkan Agama Islam, Prabu Siliwangi memberikan tempat kepada cucunya sebuah hutan yang kemudian bernama Cirebon. Dan di sinilah pusat penyebaran Islam dimulai. Murid - muridnya kian bertambah dan Islam sangat cepat menyebar.

Dalam penyebarannya Syarif Hidayatullah mengembara ke ujung barat pulau Jawa, ke daerah kulon, tempat pendekar-pendekar banyak tersebar. Di Pandeglang ada Pangeran Pulosari dan pangeran Aseupan, juga terdapat Raja Banten yang terkenal sangat sakti, bahkan Raden Kian Santang pun segan kepadanya, yaitu Prabu Pucuk Umun, Raja Banten yang memiliki ilmu Lurus Bumi yang sangat sempurna, juga pukulan braja musti yang bisa menghancurkan gunung, bahkan menggetarkan bumi.

Rupanya Syarif Hidayatullah telah mengetahui kesaktian Prabu Pucuk Umun yang menguasai daerah itu. Untuk langsung mengajak Prabu Pucuk Umun masuk ke dalam Agama Islam sangat tidak mungkin, sebab Syarif Hidayatullah tahu Prabu Pucuk Umun mudah sekali murka, dan hal ini sangat berbahaya.

Dengan bersusah payah Syarif Hidayatullah menemui Pangeran Pulosari dan juga Pangeran Aseupan, yang merupakan sepupu dari Prabu Pucuk Umun, dan rupanya Pangeran Pulosari dan Pangeran Aseupan sangat tertarik dengan ajaran agama yang di bawa oleh cucu Raja Pajajaran itu, dan keduanya menganut agama Islam.

Masuknya kedua pangeran itu ke dalam agama yang dibawa Syarif Hidayatullah terdengar juga oleh Prabu Pucuk Umun, dan hal ini membuatnya murka. Tiba-tiba langit menjadi gelap, halilintar bergelegar bersahutan. Pangeran Aseupan dan Pangeran Pulosari memahami bahwa kakak sepupunya telah mengetahui masuknya mereka kepada agama yang dibawa Syarif Hidayatullah.

Dengan ilmu Lurus Buminya, Prabu Pucuk Umun memburu kedua pangeran yang menurutnya berkhianat itu, dan terjadilah perkelahian yang sangat dahsyat. Pangeran Pulosari dan Pangeran Aseupan berusaha mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan kakak sepupunya itu. Namun kesaktian luar biasa yang dimiliki Prabu Pucuk Umun membuat mereka lari ke arah selatan, dan di sanalah Syarif Hidayatullah menunggu mereka, dan dengan luka yang diderita mereka, akhirnya mereka pun berlindung di belakang Syarif Hidayatullah.

Prabu Pucuk Umun berteriak: “Hai cucu Siliwangi! Jangan kau ganggu tanahku dengan agamamu, jangan kau usik ketenangan rakyatku, enyahlah kau dari sini sebelum kau menyesal dan berdosa kepada kakekmu.”

Dengan tersenyum Syarif Hidayatullah menjawab: “Aku diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan agama ini, karena agama ini bukan hanya untuk satu orang tapi untuk semua orang di dunia ini. Agama yang akan menyelamatkanmu.”

“Aku tidak menyukai basa-basimu anak lancang!” Teriak Prabu Pucuk Umun dengan lantang dan menggelegar, dan dari arah depan tiba-tiba angin berhembus sangat kencang, tampak Syarif Hidayatullah mundur beberapa langkah, sedangkan Pangeran Pulosari dan Pangeran Aseupan memasang kuda-kuda untuk menggempur serangan Prabu Pucuk Umun.

Pertarungan itu begitu dahsyatnya hingga Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang pun bersemedi memberikan energi kepada Syarif Hidayatullah.

Prabu Pucuk Umun merasakan panas yang teramat sangat, dia mengetahui bahwa serangannya telah berbalik arah kepadanya, dan dengan menggunakan Ilmu Lurus Bumi, Prabu Pucuk Umun melarikan diri, namun dengan sigap Pangeran Aseupan dan Pangeran Pulosari mengejarnya. Dengan menggunakan ilmu yang sama terjadilah kejar-kejaran antara ketiganya. Dan akhirnya, di puncak Gunung Karang, Prabu Pucuk Umun tertangkap, atas restu Prabu Siliwangi, Prabu Pucuk Umun tidak dibunuh, tapi dimasukan ke kerangkeng di bawah kawah Gunung Krakatau. 

Prabu Pucuk Umun memiliki putri yang cantik dan juga memiliki kesaktian yang tidak kalah dengan ayahnya, bahkan lebih dari 1000 Jin di bawah pengaruhnya, dan dia bernama Ratu Kawunganten, Putri Prabu Pucuk Umun yang kemudian diperistri oleh Syarif Hidayatullah. Ratu Kawunganten pun masuk Islam dan berganti nama menjadi Siti Badariah.

Tidak berapa lama, Siti Badariah atau Ratu Kawunganten pun hamil, namun dia mengidam hal yang tidak wajar menurut pemikiran Syarif Hidayatullah, dia menginginkan daging manusia. Sontak, Syarif Hidayatullah pun kaget dan marah. “Isteriku, kau telah menganut agama Islam, keinginanmu itu terlarang.” Tandas Syarif Hidayatullah.

Namun isterinya tetap menginginkan daging manusia, dan Syarif Hidayatullah tak bisa berbuat banyak, beliau sangat marah dan meninggalkan isterinya dalam keadaan hamil dan kembali ke Cirebon.

Sepeninggal Syarif Hidayatullah, Siti Badariah atau Ratu Kawunganten kembali ke agama leluhurnya yaitu Agama Sunda Wiwitan, agama yang sudah menjadi darah dan dagingnya.

Ratu Kawunganten atau Siti Badariah pun melahirkan seorang putra, dan diberi nama Pangeran Sabakingking, seorang Pangeran yang suatu saat mendirikan Kesultanan Banten

Pangeran Sabakingking beranjak dewasa, dan dia menjadi pemuda yang gagah,  pemuda yang keras, berani dan memiliki kesaktian yang luar biasa, ilmu-ilmu kesaktian ibunya mengalir ke tubuhnya, lebih dari 1000 Jin takluk atas perintahnya. Pangeran Sabakingking tak pernah merasa takut kepada siapapun, dan hampir semua pendekar di tanah Banten pernah berhadapan dengannya.

Suatu hari, Pangeran Sabakingking dipanggil ibunya, karena ia harus mengetahui siapa ayahnya, Sabakingking pun menghadap ibunya.Anakku, kau sudah dewasa dan sudah saatnya kau mengetahui siapa ayahmu. Ia berada di Cirebon dan telah menjadi Sultan di sana. Jika kau ke sana berikan tasbih ini kepadanya. Tasbih inilah yang dulu menjadi mahar perkawinan ibu dengan ayahmu.

Pergilah Pangeran Sabakingking menuju utara melewati hutan dan sungai, bukit bahkan gunung di tempat yang dituju Pangeran Sabankingking langsung menuju kesultanan Cirebon.

Di Kesultanan Cirebon itulah Pangeran Sabakingking melihat sebuah perbedaan yang mendasar. Terdengar suara adzan, serta alunan al Quran yang asing baginya, namun begitu menyejukkan hatinya. Tak berapa lama bertemulah Pangeran Sabakingking dengan seorang tua berjanggut panjang dengan mengenakan sorban. Orang tua itu tampak berwibawa dan memiliki sorot mata yang tajam. “Anak muda, ada keperluan apa kau ke sini? Tanya orang tua yang tak lain adalah Syarif Hidyayatullah itu.Aku ingin bertemu dengan Syarif Hidayatullah dan menyerahkan tasbih ini dari ibuku.” Tasbih itu pun diterima Syarif Hidayatullah sembari menerawangkan matanya. “Apakah kau anak Kawunganten?” “Benar! Aku Sabakingking Putra Kawunganten!”

“Akulah Syarif Hidayatullah yang kaucari anak muda. Namun aku tidak begitu saja mengakui kau sebagai anakku, sebab ada syarat yang harus kau laksanakan.” “Apa itu?” Buatlah sebuah bangunan masjid lengkap dengan menaranya di Banten. Tapi ingat, hanya 1 malam saja. Jika  sampai muncul matahari dan perkerjaanmu belum selesai, jangan harap aku akan mengakui kau sebagai anakku.” Ujar Syarif Hidayatullah. “Baiklah! aku akan melaksanakan perintahmu.” Jika sudah selesai, kumandangkan adzan yang dapat kau dengar dari menaranya. Ingat, hanya dalam waktu 1 malam saja!”

Setelah mendengar perintah ayahnya, Pangeran Sabakingking bergegas meninggalkan Cirebon untuk kembali ke Banten. Setelah sampai di Banten diceritakanlah semua yang dialami selama di Cirebon kepada ibunya. Ibunya maphum dan bersedia membantu anaknya. Dipanggilah lebih dari 1000 jin sakti untuk membantu Pangeran Sabakingking, dan tepat saat matahari terbenam mereka mulai membangun fondasi Masjid di pesisir Banten. Semua bekerja dengan berbagai ilmu, lebih dari 1000 Jin dikerahkan, dan mendekati matahari terbit menara pun baru selesai. Saat itulah Pangeran Sabakingking menaiki menara dan mengumandangkan Adzan seperti apa yang ia dengar di Kesultanan Cirebon, dan dengan tenaga dalam yang nyaris sempurna, terdengarlah alunan adzan yang menggema hingga ke seluruh alam.

Mendengar suara adzan yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu, Syarif Hidayatullah pun keluar dari keraton Kesultanan Cirebon dan segera memperhatikan arah suara itu, yang tak salah lagi itu adalah suara anaknya. Dan dengan ilmu Sancang, ilmu berlari cepat yang sulit diterima akal manusia, yang dimilikinya, hanya dalam waktu beberapa menit saja tibalah Syarif Hidayatullah ke Mesjid yang dibangun anaknya tersebut dan melakukan sholat subuh di sana.

Pangeran Sabakingking mengetahui datangnya seseorang yang masuk ke Mesjidnya, dan dia bergegas menuju ke dalam. Alangkah kagetnya Pangeran Sabakingking saat ternyata dihadapannya adalah Syarif Hidayatullah, ayahnya. “Anakku. Kau telah membangun Mesjid ini dengan baik, Mesjid ini akan menjadi pusat penyebaran agama yang kubawa dan kau adalah pemimpinnya.  Mulai hari ini namamu adalah Hasanudin. Dan bangunlah Kesultanan di sini, syiarkan Islam kepada rakyatmu.

Hasanudin pun membangun keraton di sekitar masjid yang dibangunnya, yang tidak berapa lama berdirilah keraton lengkap dengan singgasananya, untuk membantu penyebaran Islam di Banten, dan Syarif Hidayatullah memerintahkan rakyatnya untuk ikut membangun Banten. Berduyun-duyunlah rakyat Cirebon menuju Banten. Mereka disambut rakyat Banten dengan antusias, seakan-akan perbauran antara rakyat Cirebon dan penduduk asli itu seperti halnya perpaduan antara Muhajirin dan Anshor jaman Nabi Muhammad. Budaya dan bahasa yang hampir sama dengan Cirebon merupakan bukti otentik yang terwariskan hingga saat ini.

Sementara itu, Padjajaran setelah mangkatnya prabu Siliwangi pecah menjadi jadi dua kerajaan yaitu Kerajaan Pakuan dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Pakuan di berikan kepada cucunya Ratu Dewata yang merupakan putri Raden Surawisesa yang dikenal dengan Pangeran Walangsungsang, salah seorang putra Prabu Siliwangi. Keinginan Kesultanan Cirebon untuk mengislamkan seluruh Kerajaan Padjajaran didukung penuh oleh Maulana Hasanudin, yang juga dibantu oleh putra mahkota yaitu Sultan Maulana Yusuf, yang merupakan hasil pernikahan Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana, Putri Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak. Selain Maulana Yusuf, Maulana Hasanudin memiliki putri bernama Ratu Pembayun yang menikah dengan Tubagus Angke putra Ki Mas Wisesa Adimarta dimana Tubagus Angke merupakan panglima perang Banten yang nantinya memiliki putra bernama Pangeran Jayakarta, yang kelak menjadi pajabat Kesultanan Banten di Jakarta, di mana nama Jakarta diambil dari namanya.

Warisan Sastra Jawa Banten



Radar Banten, 15 Februari 2013

Selain memiliki warisan kekayaan budaya dan intelektual Sunda, Banten juga memiliki warisan kekayaan budaya dan intelektual berbahasa Jawa. Secara historis, sebagaimana dipaparkan para sejarawan dan arkeolog yang meneliti dan menulis tentang sejarah dan budaya Banten, semisal Claude Guillot, penggunaan bahasa Jawa di Banten sebenarnya tak hanya telah ada semenjak Kesultanan Banten berdiri. Namun jauh sebelum itu, yaitu pada abad ke-10 yang bermula di Kerajaan Hindu Banten Girang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti yang bertitimangsa Prabu Sri Jayabupati yang menggunakan bahasa Jawa di Banten Girang dan di Cicatih Sukabumi yang dengan nyata menggunakan aksara dan bahasa Jawa.

Hanya saja, demikian lanjut Claude Guillot dalam bukunya yang berjudul Banten Sebelum Zaman Islam itu, penggunaan bahasa Jawa di Banten Girang itu memang sempat terputus, hingga akhirnya penggunaan bahasa Jawa di Banten mencapai periode mapannya bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Banten hingga sekarang. Di jaman Kesultanan Banten ini, bahasa Jawa yang mulanya digunakan sebagai bahasa keraton, bahasa resmi perdagangan dan politik Kesultanan Banten, termasuk juga sebagai bahasa kesusastraan, lambat laun menjadi bahasa yang digunakan secara massif oleh masyarakat Banten, terutama masyarakat Banten di Banten Utara, semisal Cilegon, Serang, dan sebagain kecil wilayah Tangerang.

Hal itu merupakan sesuatu yang wajar, mengingat banyaknya kaum pendatang dari Cirebon, Demak, dan dari daerah lain, semisal Bali dan Jawa Timur menjadi penduduk dan masyarakat resmi Kesultanan Banten, hingga saat ini, selain masyarakat yang sudah sejak lama ada di Banten, yang di antaranya masyarakat yang bertutur bahasa Sunda. Bersamaan dengan itu pulalah, dengan sendirinya, berkembanglah bahasa dan budaya Jawa di Banten, yang kelak dikenal sebagai Jawa-Banten, tak terkecuali tumbuh dan berkembangnya folklore dan dolanan yang menggunakan tuturan bahasa Jawa di Banten tersebut, kemudian juga turut menjadi khasanah akulturasi dan penetrasi budaya dan bahasa Jawa di Banten tersebut.  

Dan seperti umumnya dolanan dan folklore, selain sebagai unsur hiburan dan permainanan, sebenarnya terkandung juga di dalamnya rekaman historis dan psikologis dalam folklore dan dolanan yang hidup di dalam masyarakat, selain juga siratan kearifan, yang khusus dalam hal ini tercermin dalam folklore dan dolanan yang menggunakan tuturan bahasa Jawa di Banten. Ambil sebagai contohnya bunyi lagu dolanan berikut: “Iris-iris timun // timun giliran santri // tambing etan ana payung // payung wong lamaran // tae em em ta em em ta em em // sapa sing dadi ratune.” (Potong-potonglah buah timun // buah timun kepunyaan santri // di sebelah timur ada payung // payung orang yang mau melamar // ta em em ta em em ta em em // siapa yang jadi rajanya?).  

Jika ditafsir secara bebas, bunyi lagu dolanan di atas sebenarnya menyiratkan suatu peristiwa historis Banten yang dikemas secara halus dalam nyanyian. Lagu dolanan tersebut seakan-akan hendak menceritakan, sekali lagi bila ini ditafsir secara bebas, terjadinya akulturasi budaya dan politik antara kaum migran dan lokal di Banten, di mana kaum migran dikiaskan sebagai seorang yang melamar. Atau bisa juga ditafsirkan bahwa lagu dolanan tersebut tengah menceritakan diangkatnya seorang raja di Banten, seperti tercermin dalam bait atau larik terakhir lagu dolanan itu sendiri: “Siapa yang jadi rajanya?”

Kesusastraan lisan masa silam, semisal lagu dolanan itu, selain hendak menceritakan kisah oral dari mulut ke mulut, sebenarnya dapat juga ditafsirkan sebagai ikhtiar sebuah masyarakat untuk merekam sejarah mereka sendiri. Sebab, seringkali folklore dan dolanan, selain tentu saja dapat mencerminkan kandungan psikologis masyarakatnya atau yang menjadi dunia rasa seperti harapan, keinginan, dan cita-cita mereka sebagai masyarakat dan manusia, tersirat juga relevansi historis tentang bagaimana kondisi sosial dan kesejarahan folklore dan lagu dolanan. Bukan hanya itu saja, dengan membaca dan menyimak folklore dan lagu dolanan, kita juga dapat mengetahui bagaimana kondisi dan suasana kehidupan masa silam masyarakat: “Kijing-kijing mati // matine ning pinggirkali // cecindil sing ngadusi, kekunang sing ngedamari // cecebong sing nangisi, baye sing ngiliri!”

Lagu dolanan di atas, meski tentu saja diciptakan sudah lama dan dalam konteks yang berlainan, mengingatkan saya ketika saya masih bocah yang mencari kijing (makhluk hidup yang hidup di sungai) ketika air sungai surut bersama banyak orang dan teman-teman saya sendiri. Jika demikian, folklore dan dolanan, salah-satunya, memang secara langsung menceritakan kehidupan sebuah masyarakat sembari dimaksudkan sebagai kiasan yang hendak mendedahkan kearifan. Dan karena sifatnya yang alegoris itulah, folklore dan dolanan juga sebenarnya dapat ditafsirkan secara bebas alias tak mesti ditafsirkan sebagai satu arti atau satu makna saja. Semisal lagu Kijing-kijing, itu sebagai contohnya, seolah hendak mendedahkan sebuah sindiran tanpa harus membuat yang disindirnya merasa tersinggung.  

Selain mengandung aspek psikologis dan historis, yang tentu juga kandungan kearifan yang umum sifatnya, ada juga folklore dan lagu dolanan yang hendak menyindir, mengejek, sekaligus memotivasi atau menyemangati siapa saja atau seseorang yang ragu-ragu dan kurang memiliki tekad untuk berbuat sesuatu, semisal dicontohkan lagu dolanan yang berjudul Sumbul Bamban berikut: “Sumbul bamban sumbul bamban // Isine bebotok doang // Subuh dandan subuh dandan // Bisane dodok doang.” Lagu dolanan ini juga sebenarnya multi-tafsir. Contohnya kita bisa saja menerjemahkannya sebagai sindirian kepada seorang perempuan yang malas dan terlampau senang berhias atau berdandan hingga sehari-harinya malas bekerja atau hanya duduk-duduk saja.

Atau kita juga bisa menafsirkan dan menerjemahkan lagu dolanan tersebut sebagai ejekan dan sindiran kepada seseorang yang meski telah rajin berdandan dan berhias, ternyata tak bisa berbuat apa-apa untuk memikat lawan jenisnya. Ragam tafsir itu sah-sah saja mengingat folklore dan lagu dolanan memang banyak yang tidak terlampau verbal alias yang secara saklek hendak mengemukakan apa yang dimaksudkan dan diceritakannya secara jelas atau rigid. Hingga kira-kira, di situ pulalah, terletak kearifan dan kekuatan literer folklore dan dolanan itu sendiri sebagai sebuah khasanah kesusastraan sekaligus historiografis dan psikologis masyarakat yang memproduksi dan menuturkan folklore dan dolanan tersebut.

Dalam folklore dan dolanan, kearifan masyarakat, sebagai contohnya, diaplikasikan dan diterjemahkan ke dalam nyanyian dan permainan. Dan selain memiliki maksud pedagogik dan memiliki kandungan yang sifatnya historis, folklore dan dolanan juga dapat menjadi cerminan rasa dan apa yang ada dalam jiwa, atau katakanlah aspek psikologis, masyarakat yang memproduksi dan menuturkannya, seperti dicontohkan lagu dolanan bahasa Jawa Banten berikut, yang pada saat bersamaan mengandung aspek pedagogik, psikologis, dan historiografis:

“Pitik tulak pitik tukung // tetulak si jabang bayi, // ngadohaken cacing racak, // sawan sarab pan sumingkir,  si tukang merkungkung arsa, // tetulak si jabang bayi. // Ngingu pitik berangbung, // tulak walik rob jaladri, // wulane amantya warna, // abang ireng putih kuning, // sing tukang majoni marga, // tulak walik aneng wuri. // Yen lara tan tambane pun, // godong pasrah ing Yang Widi, // brangbang lega ing manah, // adas lawan Pulosari, // lawan sinandingan do;a, // puraging jabang bayi. // Si Jabang bayi puniku, // kekasihing sukma jati, // rinaksa ing malaikat, // kinipasan widadari, // ginendeng para oliya, // pinayungan kanjeng nabi. // Jabang bayi agi turu, // pungpung raine becik, // ana ule lan kelabang, // ana lamuk memedeni, //lah uwis agi turuwa, // ana kokok beluk muni. // Ana kinjeng-tangis mabur, // miber ing kayangan niki, // angrungu tangis si jabang, // anulye si kinjeng balik, // ngetokaken kang memala // tumungkul sarwi cempuni.

Sebagai penutup tulisan ini, seperti diungkapkan Dr. Mufti Ali dari Bantenologi, ada satu paparan menarik yang diutarakan Mas Mangoen Dikaria tentang lagu dolanan Jawa-Banten yang berjudul Gegempalang, yang bunyinya sebagai berikut: Gegempalang wohing aren gelondong // wohing penjalin // umah-umah Banjar Kulon // kulon-kulon sekedaton // kedatone kupat kuning // kupat kuning kayu andong // andong kayu ketumpang // ketumpang lalawuh urang // dening rangde lusuh kembang. Menurut Mas Mangoen Dikaria, lagu dolanan ini menjelaskan tentang taksonomi tumbuhan, tanaman, dan sejumlah toponimi atau nama tempat. Kata gegempalang artinya adalah buah enau yang sudah tua atau wohing aren. Sementara gelondong adalah rotan atau wohing penjalin, dan kedaton artinya keraton. Sedangkan kayu andong dan ketumpang merujuk pada sejenis tanaman yang kayunya dipakai sebagai tumbak dan sejenis tanaman dengan batang kecil yang berdaun lebar dan biasanya dapat dipakai sebagai obat. Dan rangde kembang berarti janda yang masih muda.

Akan tetapi, menurut Mas Mangoen Dikaria, seperti diungkapkan kembali oleh Dr. Mufti Ali dari Bantenologi, lagu dolanan ini sebenarnya mengandung makna sindiran jika dipahami secara mendalam. Lagu dolanan ini, salah-satunya, memberikan gambaran ilustratif tentang kemaluan pria dan wanita. Gegempalang menurut Mas Mangoen Dikaria sesungguhnya bermakna “gegem palang”, di mana kata “gegem” merujuk pada kayu yang bentuknya seperti bagian belakang kura-kura, bagian pinggirnya rendah dan tengahnya cembung, yang akan mengingatkan kita kepada bentuk kemaluan perempuan. Sementara “wohing aren” atau buah enau, ketika masih muda disebut cengkaleng, yang bilang dilafalkan sukukata akhirnya saja maka akan berbunyi “leng” yang artinya lubang.

Selanjutnya, gelondong artinya jaro atau kepala desa, yang penyebutannya hampir sama dengan kata jero (dalam). Wohing penjalin atau buah rotan disebut kesur yang hampir sama bunyinya dengan susur (tembakau yang digunakan untuk membersihkan gigi) yang biasanya ditempatkan di antara dua bibir. Sedangkan umah-umah maksudnya adalah posisi atau tempat susur tersebut, dan banjar berbanjar atau berbaris. Kulon artinya kilen atau kekalen dan sekedaton artinya seperti kedaton (keraton) raja-raja dahulu yang biasanya berada di ujung kampung atau perkampungan. Lalu, kupat kuning atau ketupat kuning sering disebut juga koja berukuran segitiga, karena ada kupat jantung yang bentuknya seperti jantung. Kayu andong biasa dipakai untuk tombak. Jadi, menurut Mas Mangoen Dikaria, kupat kuning dan kayu andong dalam lagu dolanan gegempalang itu merujuk pada kemaluan laki-laki. Dan pelafalan andong hampir mirip dengan gendong, dan pelafalan ketumpang hampir mirip dengan numpang.

Jika demikian, menurut Mas Mangun Dikaria, salah-satu makna tersembunyi dari lagu dolanan gegempalang tersebut adalah bahwa lagu dolanan itu sebenarnya sedang menggambarkan adegan intim seorang pria dengan seorang janda kembang. Makna dan maksud tersembunyi tersebut, setidak-tidaknya, telah menunjukan kearifan orang-orang Banten masa lalu dalam menggubah sebuah nyanyian yang mengandung kiasan dan sindiran, yang tak ragu lagi telah mencerminkan tingginya kearifan dan kemahiran literer masyarakat Banten di masa lalu.

Sulaiman Djaya