Kalilah dan Dimnah

oleh IBN MUQAFFA (filsuf & pujangga)


(Lukisan: New Fairy Tale karya Nikolay Bogdanov-Belsky di tahun 1891)

Diantara berbagai jenis binatang yang diperintah raja singa, ada dua ekor serigala yang amat bijaksana, seekor bernama Kalilah dan seekor lagi bernama Dimnah. Suatu hari Dimnah menanyakan mengenai keadaan rajanya yang tidak pernah keluar dan berduka kepada Kalilah. Akan tetapi Kalilah memberi nasihat kepada Dimnah bahwa orang yang mencampuri urusan orang lain sama seperti kera yang mencampuri urusan tukang kayu.

Kalilah bercerita tentang kera yang mengintai pekerjaan seorang tukang kayu yang membelah kayu dan memasang baji. Kemudian setelah tukang kayu pergi, kera tersebut berusaha mencabut baji itu sampai ekornya hancur dan mati kesakitan. Setelah tukang kayu melihat ada kera yang mati terjepit, tukang kayu berkata bahwa beginilah nasib orang yang suka mencampuri pekerjaan orang lain.

Dimnah mengira bahwa saat ini raja sedang ketakutan, ia merasa dan berpendapat bahwa orang yang arif bijaksana dapat mengerti keadaan sahabatnya, baik lahir maupun batin. Namun Kalilah masih meragukan kenekatan Dimnah itu, hanya saja Dimnah sudah berkeras untuk menghadap raja singa meskipun sedikit ditentang dengan argumen-argumen Kalilah.

Menurut Dimnah dengan perhatiannya terhadap rajanya itu ia bisa menjadi dekat dengan rajanya, dan setelah dekat tentu ia akan mengetahui sifat dan kelakuan rajanya, lalu ia akan memberi nasihat jika menurutnya ada kesalahan dalam tindakan rajanya itu. Dalam angan–angan Dimnah jika nantinya raja tahu bahwa ia seorang yang cerdik, maka menurutnya raja singa akan memuliakan dan menghormatinya.

Sebelum Dimnah pergi Kalilah memperingatkanya sekali lagi bahwa orang yang dekat dengan rajanya akan mendapatkan bahaya yang besar.

Suatu hari Dimnah datang menghadap raja singa, sebelumnya raja sama sekali tak mengenal siapa yang tiba-tiba datang menghadapnya itu, tetapi kemudian setelah diterangkan siapa ayah Dimnah, raja bertanya dimanakah Dimnah selama ini? Dimnah pun menjelaskan bahwa selama ini ia menantikan sesuatu yang dapat ia lakukan untuk mengabdi kepada rajanya, dan walaupun ia seorang yang hina, tetapi kadang juga mempunyai perlu kepada rajanya.

Dimnah juga berkata, ‘ranting yang kering di jalanan kadang ada gunanya setidaknya sebagai penggaruk gatal pada tubuh yang tak tercapai oleh tangan’.

Raja pun tercengang mendengar pernyataan Dimnah itu, ia menyimpulkan bahwa Dimnah adalah orang yang bijak dan berilmu meskipun belum terkenal namanya. Karena raja termenung cukup lama, akhirnya Dimnah meminta maaf jika raja tidak berkenan dengan kedatangannya.

Karena Dimnah khawatir bahwa raja tahu siapa ayahnya, ia memberikan pengertian bahwa seorang raja yang bijak tidak akan melihat seseorang dengan melihat siapa ayahnya. Tetapi seorang raja yang baik hanya akan memuliakan atau menghinakan seseorang hanya dengan melihat siapa diri seseorang itu, karena sesungguhnya tidak ada orang lain yang lebih dekat kepada seseorang kecuali dirinya sendiri.

Raja semakin heran dengan Dimnah, dan kemudian raja berkata: manusia itu ada dua macam, yang pertama adalah orang yang panas tabiatnya semisal ular yang berbisa, jika kebetulan ia terinjak dan belum menggigit, jangan pernah menginjaknya sekali lagi karena ular itu tentu akan menggigit siapa yang menginjaknya itu.

Kedua adalah orang yang dingin tabiatnya seperti ranting yang kering, jika ia lama tak digosokkan, maka akan keluar api dari ranting kering itu (karena itu berhati-hatilah dengan orang yang kelihatannya sangat sabar dan jarang marah, karena kalau sudah marah tak dapat dihentikan).

Sejak Dimnah menghadap raja itu, Dimnah telah duduk di samping raja singa. Suatu hari Dimnah menanyakan kenapa raja lama berdiam diri di rumah apa yang menyebabkan raja seperti itu.

Tiba-tiba terdengar lenguh Sjatrabah di tengah pertanyaan Dimnah itu. Raja terlihat ketakutan saat mendengar lenguh itu dan raja hanya tetap diam. Dimnah pun menyimpulkan bahwa raja singa selama ini memikirkan suara lenguh itu. Dimnah akhirnya menceritakan kisah seekor serigala yang melihat tabuh yang tergantung di dahan, karena angin yang bertiup ranting-ranting pun akhirnya mengenai tabuh itu dan terdengarlah suara yang besar dari tabuh itu.

Serigala tersebut berharap bahwa tentunya tabuh itu punya daging yang banyak. Serigala itu melompati tabuh dan menjatuhkannya kemudian menggigitnya, tapi ternyata tabuh itu kosong tak berisi. Dengan kecewa serigala berkata bahwa besar suaranya tiada isinya. Kemudian Dimnah meminta ijin untuk memeriksa suara lenguh itu.

Raja memberikan ijin kepada Dimnah untuk memeriksa suara itu, tetapi setelah Dimnah pergi raja menjadi khawatir kalau-kalau Dimnah akan berkhianat dan memilih ikut dengan yang bersuara keras itu. Akan tetapi kekhawatiran raja akhirnya usai setelah melihat Dimnah kembali. Dimnah pun menyampaikan kepada raja bahwa yang memiliki suara keras itu hanyalah seekor lembu yang tidak berbahaya.

Mendengar pernyataan Dimnah itu, raja singa pun masih belum percaya, karena raja tidak begitu sependapat dengan orang yang menyepelekan segala sesuatu. Setelah lama berbincang-bincang akhirnya Dimnah memutuskan untuk mengajak Sjatrabah berhadapan dengan raja singa.

Dimnah berjanji akan menanggung keselamatan Sjatrabah ketika berhadapan dengan raja singa nantinya. Ketika berhadapan dengan raja singa, Dimnah langsung bersujud dengan takzim dan menceritakan asal usulnya. Raja begitu bahagia melihat tingkah laku Sjatrabah dan raja memutuskan menjadikan Sjatrabah sebagai teman raja yang dimuliakan. Sjatrabah bahagia mendengar itu semua dan ia pun langsung mendoakan keselamatan bagi raja singa.

Setelah beberapa waktu berada di kerajaan singa, Sjatrabah berperilaku baik, bahkan menurut raja budi pekertinya sempurna dan sifatnya dapat dipercaya. Melihat itu semua raja semakin mengasihinya dan meningkatkan derajatnya lebih dari yang lain. Dimnah menjadi dengki kepada  Sjatrabah yang diperlakukan istimewa itu dan makin hari kedengkiannya itu semakin kuat. Suatu hari ia mengadukan kisahnya itu kepada Kalilah.

Dimnah menceritakan semua kejadian mengenai Sjatrabah kepada Kalilah. Dengan begitu semangat Dimnah ingin kembali mendapatkan kehormatan dan kedudukan yang tinggi lagi. Dimnah merasa bahwa Sjatrabah-lah yang telah mengambil semua perhatian raja. Dimnah menceritakan banyak kisah tentang suatu pekerjaan yang dlakukan dengan akal sempurna pasti akan berhasil.

Sebelum Dimnah kembali ke kerajaan untuk melakukan rencananya mengambil kembali perhatian raja dan ingin mendapatkan kedudukan tinggi, Kalilah memperingatkannya bahwa jika apa yang akan ia lakukan dapat membahayakan raja, maka janganlah melakukan perbuatan itu, intinya Kalilah menasihati Dimnah agar tidak berkhianat dengan rajanya.

Beberapa hari Dimnah tidak datang menghadap raja, suatu hari ketika raja sedang duduk sendirian di taman, Dimnah menghampirinya. Dimnah mulai melaksanakan aksinya untuk mempengaruhi raja. Dimnah mengatakan bahwa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Dengan kata-kata yang disusun begitu rapi, taktis, dan cermat, Dimnah mengatakan bahwa Sjatrabah telah mempetenahi bala tentara raja singa karena Sjatrabah telah mengetahui keberanian dan kepandaian raja, dan Sjatrabah telah merencanakan sesuatu untuk berselisih dengan raja.

Dimnah juga mengatakan bahwa Sjatrabah ingin menggantikan posisi raja, baik menggunakan cara baik maupun jahat. Dimnah dengan hati-hati menceritakan itu semua agar terlihat meyakinkan raja, dan untuk meyakinkan raja itu. Dimnah menceritakan kisah tiga ekor ikan dalam sebuah danau:

Dalam sebuah telaga ada tiga ekor ikan yang hidup di dalamnya, yaitu si paling cerdik, si cerdik, dan si bebal. Dekat telaga tersebut mengalir sungai yang jernih. Suatu hari ada dua orang penangkap ikan. Kedua penangkap ikan itu awalnya hanya akan menangkap ikan di sungai, tetapi krena melihat sebuah telaga, ia berniat untuk membawa jala esok harinya. Si paling cerdik tahu bahwa bahaya akan terjadi pada dirinya, maka ia langsung mencari jalan menuju sungai dan akhirnya pergi dari telaga itu.

Esoknya dua penangkap ikan itu datang lagi dan memasang jala di telaga itu, si cerdik baru sadar bahwa ia dalam bahaya, dan ia kemudian mencari jalan untuk menuju sungai, tetapi sayangnya jalan itu telah tertutup jala. Berbeda dengan si Bebal yang tetap tak berkutik dan hanya berjalan hilir mudik saja. Akhirnya si cerdik dan si bebal pun tertangkap.

Mendengar cerita Dimnah raja menjadi bingung karena menurut raja selama ini Sjatrabah tidak pernah berbuat jahat kepadanya. Dimnah pun memberikan pernyataan yang menguatkan raja singa bahwa Sjatrabah akan berbuat jahat kepadanya. Raja singa tidak suka dengan kata-kata Dimnah yang semakin tajam, sampai akhirnya raja marah kepada Dimnah dan ingin memanggil Sjatrabah, hanya saja dengan kata-kata Dimnah yang hati-hati dan begitu manis menyebutkan ciri-ciri seorang yang akan berkhianat bahwa matanya merah, tulang persendiannya gemetar, digeleng-gelengkan kepalanya, dan digerakkan tanduknya seperti akan berperang. Akhirnya raja pun mau untuk mendengar nasihat Dimnah agar berhati-hati jika Sjatrabah memenuhi tanda-tanda yang disebutkan.

Dengan kelihaian dan kecerdikan Dimnah berkata-kata, ia meminta ijin kepada raja untuk menemui Sjatrabah, dan hal ini hanya merupakan siasat Dimnah agar semuanya terlihat baik dan sebagai perintah raja, padahal sesungguhnya Dimnah hanya ingin menghasut Sjatrabah. Setelah raja mengijinkannya, mulailah ia mnghasut Sjatrabah bahwa suatu hari raja berkata bahwa alangkah gemuknya badan Sjatrabah itu padahal bagiku ia sudah tidak berguna lagi untuk hidup, aku ingin membunuhnya dan menjadikan ia sebagai makanan bala tentaraku.

Karena pandainya Dimnah berkata-kata dan karena diulang-ulangnya janjinya untuk menjaga keselamtan jiwa Sjatrabah selama-lamanya, maka akhirnya dengan rayuan dan hasutan Dimnah yang begitu meyakinkan walaupun masih agak ragu, Sjatrabah pun mulai sedikit percaya.

Seperti saat menghasut raja, Dimnah juga memberi tanda-tanda yang akan dilakukan raja jika memang raja akan berbuat jahat kepada Sjatrabah seperti yang telah ia katakan tadi. Bahwa raja singa akan bangun lalu duduk menjengkung dan kepalanya akan ditegakkan matanya juga akan bercahaya memandangmu dan telinganya berdiri serta mulutnya menganga.

Setelah selesai menghasut Sjatrabah, Dimnah menemui Kalilah untuk mengajaknya melihat kematian Sjatrabah. Sjatrabah yang telah termakan omongan Dimnah pun menghadap raja dan menantangnya, dan karena sama-sama telah terhasut akhirnya mereka pun bertanding.

Melihat keadaan itu Kalilah menghujat Dimnah bahwa ternyata sahabatnya itu sangat kejam dan hina, Kalilah yang merasa sering memberi nasihat kepada Dimnah merasa sangat kecewa. Akhirnya raja singa mengalahkan Sjatrabah, dan kala itu tampak Sjatrabah telah terguling di tanah dan tidak bernyawa lagi.

Setelah raja singa hilang marahnya, bercucuranlah air matanya dan sedih hatinya melihat Sjatrabah. Raja singa kemudian sadar dan menyesal dengan perbuatannya tadi. Ia kemudian berpikir bahwa Sjatrabah hanya difitnah saja.

Melihat raja singa bersedih tersebut, Dimnah lalu mendekatinya dan menghibur raja dengan mengatakan bahwa musuh raja telah tiada dan tidak ada gunanya lagi untuk bersedih. Hati raja singa sedikit tenang, tetapi kemudian ia tahu bagaimana sifat Dimnah yang sesungguhnya.

Suatu hari, harimau  salah seorang pembesar kerajaan yang terpercaya pulang ke rumahnya dari kerajaan. Di tengah jalan, ketika sampai di dekat rumah Kalilah dan Dimnah, ia mendengar suara Kalilah yang sedang menyesali dan menasihati Dimnah.

Harimau itu mendengar bahwa Dimnah-lah biang dari kematian Sjatrabah. Sehingga Kalilah tidak bisa lagi hidup bersama dengan Dimnah. Mendengar itu semua Harimau kembali ke kerajaan dan menemui ibu singa. Harimau menceritakan segala yang didengarnya tadi kepada ibu singa, dan menyuruh ibu singa untuk merahasiakannya terlebih dahulu.

Keesokan harinya Ibu singa melihat keadaan raja singa yang begitu bersedih karena kehilangan sahabat baiknya yang ia bunuh sendiri. Melihat anaknya bersedih itu, ibu singa lalu menceritakan semua yang dikatakan harimau kepadanya semalam tanpa menyebut nama harimau.

Mendengar cerita ibunya tadi, raja singa seketika itu juga marah besar dan memanggil semua pembesar kerajaan. Kemudian raja juga memanggil Dimnah, dan Dimnah yang seakan merasa tanpa dosa itu pun menghadap raja dan menanyakan apa yang terjadi. Ibu singa begitu jengkel melihat Dimnah yang serasa tanpa dosa. Ibu singa kemudian memutuskan agar hakim yang memeriksa semua perkara ini dan untuk sementara memenjarakan Dimnah.

Mendengar Dimnah dipenjara, ketika larut malam Kalilah diam-diam menemui sahabatnya itu dan ia mengatakan keprihatinannya dan menyesalkan perbuatan Dimnah yang hanya didasari nafsunya sehingga mengalahkan akalnya. Setelah lama bercakap-cakap akhirnya Kalilah pulang ke rumahnya.

Keesokan harinya semua orang dikumpulkan untuk mengadili Dimnah, pengadilan itu dipimpin oleh seorang hakim. Hari itu sang hakim meminta seorang saksi untuk berbicara dalam forum itu mengenai keterangan perkara Dimnah. Tak ada seorang pun yang berkata-kata, dengan angkuhnya Dimnah lah yang banyak berkata-kata mengenai kebaikan. Kemudian penghulu babi memberikan ciri seorang bedebah seperti Dimnah. Dimnah pun begitu malu mendengar semua pernyataan babi itu.

Suatu hari seekor rubah kepercayaan raja sekaligus sahabat Kalilah bercerita bahwa tidak lama setelah Dimnah masuk penjara, Kalilah jatuh sakit dan mati. Rubah kemudian menemui Dimnah dan menceritakan kematian Kalilah dengan sangat sedih. Dimnah mendengar cerita itu dan kemudian menyuruh sang rubah untuk mengambil seluruh harta yang ia simpan di rumahnya.

Keesokan harinya ibu singa baru tahu bahwa raja belum memutuskan hukuman untuk Dimnah. Hakim belum mampu memutuskan hukuman jika belum ada bukti atau saksi yang kuat, meskipun sebenarnya hakim yakin bahwa Dimnah memang bersalah. Rajapun demikian pula, ia tidak bisa menghukum seseorang tanpa ada bukti yang jelas.

Akhirnya raja menanyai ibu singa tentang informasi yang menyatakan cerita pertama tentang kelakuan Dimnah. Setelah meminta ijin kepada harimau dan dengan bujukannya, harimau mau memberikan penjelasan. Setelah mendengar cerita harimau kerajaan itu, Raja pun memerintahkan untuk membunuh Dimnah. Dan akhirnya Dimnah dibunuh dalam penjaranya.

Kesunyian yang Bergembira


Bagi banyak orang, Januari tentu saja adalah bulan keriangan, terutama bagi mereka yang menyambut dan merayakannya. Tapi itu tidak sama dengan kami. Sejujurnya kami tak pernah tahu bila ada orang-orang yang menyalakan kembang api di tengah malam di ujung bulan Desember. Saya hanya tahu bahwa di saat saya terbangun pagi-pagi sekali di awal bulan itu, saya hanya keluar sejenak. Mungkin ketika itu saya terpesona, meski masih seorang kanak-kanak, saat tangan-tangan fajar menyentuh rumput dan daun-daun yang masih basah karena embun. Menyentuh hidup.

Itulah saat-saat saya sungguh-sungguh terjaga, entah saya duduk atau berdiri kala itu. Mengelanakan kedua mata ke arah cuaca. Sementara, ketika saya telah menjadi seorang lelaki remaja, di pagi-pagi seperti itu saya akan menyeduh segelas kopi dari bubuk kopi buatan Ibu, agar sedikit merasa nyaman saat duduk di gubuk, menunggu burung-burung Januari yang kami khawatirkan akan datang menyerbu.

Pada saat-saat seperti itulah, saya sadar bahwa ada yang tengah termenung, ada yang begitu riang berlarian seperti kanak-kanak yang bahagia. Juga, ada yang tengah merapihkan diri dan ada yang bermain-main saja. Tetapi itu semua saya namakan sebagai tangan-tangan fajar yang riang bermain dan bercanda dengan burung-burung awal bulan Januari yang basah dan lembab saat saya tengah terduduk di sebuah gubuk tempat saya termenung dan menunggu.

Itulah keriangan Januari yang kami pahami dan kami alami. Keriangan yang juga datang ketika kami meninggalkan tahun sebelumnya, meski saya kira, ketika itu segala sesuatunya masih tetap sama dan tidak berubah. Kami masih menjalani hidup dengan menginjakkan kaki-kaki kami di lumpur dan meremas batang-batang padi ketika memukul-mukulkan ujung-ujung pohonnya yang bergelantungan bijian-bijian berwarna kuning pada sebuah alat yang kami sebut gelebotan. Setelahnya, seperti biasa, ada keheningan senjakala.

Burung-burung Januari saat itu, seperti sebuah karnaval yang melintasi bentangan kanvas-kanvas langit dan cakrawala yang berwarna kuning dan merah. Di hari-hari yang lain, bila kami telah selesai membantu orang tua-orang tua kami itu, kami akan bermain layang-layang hingga adzan magrib berkumandang. Dan pada malam harinya, selepas sembahyang magrib itu, kami akan membawa lampu minyak milik kami masing-masing menuju sebuah langgar tempat kami belajar Al-Qur’an kepada ustadz kami yang terbilang galak.

Seperti itulah rutinitas kami sebagai kanak-kanak sebelum akhirnya saya belajar dan mengerjakan tugas sekolah di rumah, juga bertemankan semungil nyala lampu minyak yang telah dinyalakan Ibu. Tidak seperti sekarang ini, musik-musik malam saya ketika itu adalah desau angin yang datang dari ranting-ranting dan sela-sela dedaunan sepanjang sungai, juga para katak dan serangga yang tak bosan-bosan memainkan orkhestra mereka.

Saya tak sepenuhnya mengerti apa yang saya sebut sebagai ingatan. Tetapi, dengan keterserakannya, dengan potongan-potongan dan serpihan-serpihannya, mereka justru memberikan kesempatan dan kebebasan pada seseorang untuk mengumpulkannya dan merangkainya menjadi sebuah narasi yang tidak mesti sama dengan peristiwa-peristiwa sesungguhnya. Saya tergoda untuk menyebutnya sebagai historiografi angan-angan. Karena mereka semua tak lebih sejumlah jejak yang samar. Ketika sebuah tulisan yang ingin menceritakannya tak ubahnya warna-warna pada sebuah kanvas.

Historiografi angan-angan dituliskan dan digambar dari keakraban kita dengan cuaca, angin, cahaya, tanah, dan sudut-sudut langit yang pernah kita tinggali dan kita akrabi dengan bathin kita. Seperti ketika Giovanni Segantini menggambar dan melukis Saint Moritz. Di mana ia menumpahkan kerinduan dan kesepian bathinnya sebagai seorang lelaki. Atau, katakanlah, ingatan itu seperti ketika seseorang memandangi warna-warna dan figur-figur yang tercerai-berai di sudut-sudut kanvas, sobekan-sobekan cahaya yang justru memberi kesempatan pada kita untuk menyusun dan menambalnya dengan angan-angan kita sendiri.

Tetapi saya, kadang akan memahaminya seperti seorang perempuan belia yang merendam separuh tubuhnya di sebuah sungai di kala senja.

Entah ini tercela ataukah tidak, kadang-kadang saya mengumpamakan salah-satu pengalaman di masa kanak-kanak seperti salah-satu figur dalam lukisan impresionistik, di mana ketika saya menuliskannya tidak berarti saya menulis tentang diri saya sendiri, melainkan tentang ingatan itu sendiri. Atau biarlah saya umpamakan ingatan itu seperti sebuah samar figur di antara desir angin dan gemerisik lembut dedaunan. Atau seperti seorang bocah yang berjalan telanjang kaki sendirian di bawah barisan rindang pepohononan senjahari. Seorang bocah yang menyusuri setapak jalan sepanjang aliran sungai.

Tetapi yang pasti, di waktu-waktu sorehari di 20 tahunan silam, saya suka sekali memandangi capung-capung selepas hujan. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan saya tentang kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan.

Pada saat-saat seperti itu, mereka seakan-akan asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca. Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan. Dingin yang tentu saja meresap pada bulu-bulu mereka. Dan saya sendiri, ketika itu, duduk di bawah rimbun pepohonan bambu pinggir sungai kecil yang airnya mengaliri sawah-sawah.

Anggaplah ketika itu, saya memang sudah jatuh cinta pada kebisuan dan kesenduan alam, yang pada akhirnya menggambar dan melukis kesenduan hidup itu sendiri. Kebisuan dan kesenduan yang memberi kedamaian yang aneh. Kedamaian yang merupakan keheningan musim yang basah dengan gerak-gerak yang samar dalam pandangan kedua mata saya sendiri sebagai seorang bocah yang hendak beranjak menjadi lelaki remaja.

Tentulah di saat-saat seperti itu, matahari sudah merasa terlambat untuk menampakkan diri. Di saat malam datang lebih awal. Kesunyian-kesunyian seperti itu pada akhirnya sangat berpengaruh pada keadaan bathin. Keadaan bathin yang mudah tersulut oleh kondisi-kondisi yang mendorong saya untuk mencipta dunia-dunia khayalan.

Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dan saya sendiri, bila dilihat dari sudut pandang orang lain lagi, merupakan salah-satu figurnya. Katakanlah saya telah bersatu, atau paling tidak, telah menjadi bagian dari mereka. Sebagai seseorang yang turut mengambil bagian dalam keheningan itu sendiri.

Konon, kecendrungan-kecendrungan seperti itu sebenarnya merupakan salah-satu bentuk keterasingan dan pelarian karena kecewa dan rasa tak puas. Atau karena amarah yang terpendam. Amarah yang menyamarkan dirinya untuk menggandrungi keindahan. Semacam kegilaan yang lembut. Dan kalau pun ya, saya takkan menganggapnya sebagai persoalan atau pun masalah yang perlu disikapi dengan serius. Sebab jika pun itu semua benar, saya akan mengakuinya. Saya akan menerimanya sebagai sesuatu yang mungkin saja malah akan memberikan kebaikan-kebaikan tak terduga.

Dalam cuaca seperti itu, saya pun sebenarnya tak hanya memandangi capung-capung yang saya umpamakan sebagai para peri mungil yang tengah bergembira. Sesekali saya pun melihat juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang. Sementara itu, di malam hari, bila saya keluar dari rumah untuk memandangi bintang-bintang di langit, saya akan bertemu dengan kunang-kunang. Saya sangat mengagumi tubuh-tubuh mereka yang seperti lampu-lampu kecil yang bergerak dan beterbangan.

Namun sekarang, di saat saya telah menjadi seorang lelaki dewasa, saya hampir tak pernah melihat kunang-kunang masa kanak dan masa remaja saya itu. Kadang-kadang, ada kerinduan dalam hati yang terasa sangat kuat sekali untuk bisa kembali melihat mereka, binatang-binatang ciptaan Tuhan yang menurut saya sendiri termasuk dalam golongan binatang-binatang kecil paling indah. Makhluk-makhluk yang sampai saat ini saya golongkan sebagai makhluk-makhluk keluarga para peri mungil bersama dengan kupu-kupu dan para capung itu.

Di masa-masa ketika angin ujung senja tak pernah sekalipun tidak datang ke pintu-pintu rumah kami, adzan berkumandang dalam cuaca basah. Pada saat itu, burung-burung telah bersembunyi di dahan-dahan, ranting-ranting atau di sarang-sarang mereka. Sedemikian akrabnya kami dengan adzan yang seakan memecahkan keheningan itu, kami juga jadi terbiasa berdoa dengan hasrat di hati kami masing-masing, yang kami tak pernah akan saling mengetahuinya satu sama lain. Namun yang pasti, kami sulit membedakan antara pasrah, berdoa atau berusaha bersikap sebagaimana layaknya orang-orang yang telah demikian akrab dengan kepolosan.

Dan kini, ternyata, saya akan menyebutnya sebagai kecerdasan jiwa kami yang tidak diajarkan di perguruan-perguruan tinggi di kota-kota besar saat ini.

Bersamaan adzan yang berkumandang dari sebuah speaker yang menggunakan tenaga accu di ujung senja itulah sebenarnya kami tengah belajar berkali-kali merenungi dan memahami waktu, meski saya belum menyadarinya ketika itu.

Mungkin saja ketika itu bukan hanya kami yang berdoa, tetapi burung-burung yang sama-sama menahan dingin selepas hujan seperti kami. Tapi itu hanya rekaan saya sebagai seorang kanak-kanak yang terjebak antara rasa bosan dan keheningan yang tak kami mengerti. Itulah sebenarnya saat-saat kami tengah mengakrabi musik yang samar-samar, dengan sejumlah komposisi yang tengah dimainkan angin, daun-daun basah, burung-burung dan yang lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Sebab di sana, para katak dan para serangga turut serta menjadi para penyanyi yang meramaikan dan menjelma pentas orkestra keheningan ketika itu. Kumandang adzan di ujung senja hanyalah overture-nya.

Saya akan menamai mereka semua sebagai keriangan yang tengah bertasbih dan memuji lembab. Juga, saya akan menamai mereka sebagai konsierto menjelang tidur, sebab mereka terus saja memainkan musik dan bernyanyi hingga menjelang tengah malam. Sementara itu, sesekali angin mempermainkan daun-daun hingga menjelma desau yang mengirimkan hembusan lembut ke arah jendela dan pintu-pintu rumah kami. Saya juga akan menamainya sebagai moment of compassion. Dengan musik-musik itulah jiwa kami menjadi cerdas dan jujur pada hidup, bukan dari khotbah-khotbah seperti sekarang ini. Tentu saja, ada banyak nama untuk itu semua, tapi saya akan lebih suka menyebutnya praying in solitude.

Dalam keheningan seperti itulah, kami sebenarnya tengah belajar bagaimana berdoa dengan tulus. Itu, tentu saja, jauh berbeda dengan khotbah-khotbah modern dan politis sekarang ini, yang telah mengaburkan batas individual jiwa, bahwa hati kami masing-masing ketika itu sebenarnya tetap tak terselami sebagai manusia yang mempercayai sesuatu yang kudus dan adikodrati. Namun, kepercayaan itulah yang membuat kami, orang-orang desa, menjadi manusia-manusia yang memiliki kesabaran dan tidak pernah berputus asa meski dalam kesahajaan kami yang serba terbatas. Saya akan menamainya sebagai kekuatan dan kecerdasan jiwa. Dan pada saat itulah, ada yang berubah dan ada yang tetap dan tidak berubah. (Sulaiman Djaya 2006)