Postmodernisme dan Postmodernitas



Oleh Stanley J. Grenz (Penerjemah: Wilson Suwanto)

Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme.

Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan. Seperti proyek bangunan Pruitt-Igoe, pemikiran dan kebudayaan modernisme sedang hancur berkeping-keping. Ketika modernisme mati di sekeliling kita, kita sedang memasuki sebuah era baru - postmodern. Fenomena postmodern mencakup banyak dimensi dari masyarakat kontemporer. Pada intinya, Postmodern adalah suasana intelektual atau "isme"- postmodernisme.

Para ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernism. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten. Mereka menggantikan semua ini dengan sikap hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular dan lokal) serta membuang yang universal. Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, postmodernisme adalah anti-modern.

Tetapi kata "postmodern" mencakup lebih dari sekedar suasana intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud dalam banyak dimensi dari masyarakat kini. Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni, dan drama. Postmodernisme telah merasuk ke dalam seluruh masyarakat. Kita dapat mencium pergeseran dari modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai dari video musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh.

Postmoderisme menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Postmodernitas menunjuk kepada era yang sedang muncul, era di mana kita hidup, zaman di mana postmodernisme mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah era di mana ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - ketika postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern. Tujuan kita dalam bab ini adalah melihat dari dekat fenomena postmodern dan memahami sedikit tentang etos postmodernisme. Apakah tanda-tanda ekspresi budaya dan dimensi hidup sehari-hari dari "generasi mendatang ini?" Apakah buktinya bahwa pola pikir baru sedang menyerbu kehidupan masyarakat sekarang ini?  

Fenomena Postmodern

Postmodernisme menunjuk kepada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang sedang mendominasi masyarakat kini. Sekonyong-konyong kita sedang berpindah kepada sebuah era budaya baru, postmodernisme, tetapi kita harus memperinci apa saja yang tercakup dalam fenomena postmodern.

Kesadaran Postmodern

Bukti-bukti awal dari etos postmodernisme senantiasa negatif. Etos tersebut merupakan penolakan terhadap pola pikir Pencerahan yang melahirkan modernisme. Kita dapat melacak etos postmodern di mana-mana dalam masyarakat kita. Yang terpenting, postmodernisme telah merasuk jiwa dan kesadaran generasi sekarang ini. Ini merupakan perceraian radikal dengan pola pikir masa lalu.

Kesadaran postmodern telah melenyapkan optimisme "kemajuan" (progress) dari Pencerahan. Postmodern tidak mau mengambil sikap optimisme dari masa lalu. Mereka menumbuhkan sikap pesimisme. Untuk pertama kalinya, anak-anak pada masa kini berbeda keyakinan dengan orang tuanya. Mereka tidak percaya bahwa dunia akan menjadi lebih baik. Dari lubang yang besar di lapisan Ozon sampai kepada kekerasan antar remaja, mereka menyaksikan permasalahan semakin besar. Mereka tidak lagi percaya kalau manusia dapat menyelesaikan masalahnya dan kehidupan mereka akan lebih baik daripada orangtua mereka.

Generasi postmodern yakin bahwa hidup di muka bumi bersifat rawan. Mereka melihat bahwa model "manusia menguasai alam" dari Francis Bacon harus segera digantikan dengan sikap kooperatif dengan alam. Masa depan umat manusia sedang di persimpangan jalan. Selain sikap pesimis, orang-orang postmodern mempunyai konsep kebenaran yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Pemahaman modern menghubungkan kebenaran dengan rasio sehingga rasio dan logika menjadi tolok ukur kebenaran. Kaum postmodern meragukan konsep kebenaran universal yang dibuktikan melalui usaha-usaha rasio. Mereka tidak mau menjadi rasio sebagai tolok ukur kebenaran. Postmodern mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada rasio. Mereka menemukan cara-cara nonrasial untuk mencari pengetahuan, yaitu: melalui emosi dan intuisi.

Keinginan mencari model kooperatif dan penghargaan kepada cara nonrasional menciptakan sebuah dimensi holistik bagi kaum postmodern. Postmodern dengan holismenya menolak cita-cita Pencerahan, individu yang tidak berperasaan, otonom, dan rasional. Orang-orang postmodern tidak berusaha menjadi individu-individu yang mengatur dirinya secara penuh, tetapi menjadi pribadi-pribadi "seutuhnya".

Postmodern dengan holisme-nya mencakup integrasi seluruh dimensi dari kehidupan pribadi - perasaan, intuisi, dan kognitif. Keutuhan juga mencakup kesadaran akan lingkungan dari mana kita berasal. Tentu saja area ini mencakup "alam" (ekosistem). Tetapi ia juga komunitas. Konsep "keutuhan" postmodernisme mencakup aspek-aspek agama dan kerohanian. Postmodernisme menegaskan bahwa keberadaan diri dapat dikenal dalam lingkup ketuhanan.

Karena setiap orang selalu termasuk dalam konteks komunitas tertentu, maka memahami kebenaran haruslah bersama-sama. Keyakinan dan pemahaman kita akan kebenaran, berakar kepada komunitas dimana kita berada. Mereka menolak konsep Pencerahan yang universal, supra-kultur, dan permanen. Mereka lebih suka melihat kebenaran sebagai ekspresi dari komunitas tertentu. Mereka yakin bahwa kebenaran adalah aturan-aturan dasar yang bertujuan bagi kesejahteraan diri dan komunitas bersama- sama.

Dalam pengertian ini, kebenaran postmodern berhubungan dengan komunitas. Karena ada banyak komunitas, pasti ada kebenaran yang berbeda-beda. Banyak kaum postmodern percaya bahwa keanekaragaman kebenaran ini dapat hidup berdampingan bersama-sama. Kesadaran postmodern menganut sikap relativisme dan pluralisme.

Tentu saja, relativisme dan pluralisme bukanlah barang baru. Tetapi jenis pluralisme dan relativisme dari postmodern ini berbeda. Relatif pluralisme dari modernisme bersifat individualistik: pilihan dan cita rasa pribadi diagung-agungkan. Mottonya adalah "setiap orang berhak mengeluarkan pendapat."

Sebaliknya postmodernisme menekankan kelompok. Kaum postmodern hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang memadai, dengan bahasa, keyakinan, dan nilai-nilainya tersendiri. Akibatnya pluralisme dan relativisme postmodern menyempitkan lingkup kebenaran menjadi "lokal". Suatu kepercayaan dianggap benar hanya dalam konteks komunitas yang meyakininya.

Karena itu ketika kaum postmodern memikirkan tentang kebenaran. Mereka tidak terlalu mementingkan pemikiran yang sistematis atau logis. Apa yang dahulu dianggap tidak cocok, kaum postmodern dengan tenang mengawinkannya. Mereka mengkombinasikan sistem-sistem kepercayaan yang dulu dianggap saling berbenturan, Misalnya, seorang Kristen postmodern percaya kepada doktrin-doktrin gereja sekaligus juga percaya kepada ajaran non-Kristen seperti reinkarnasi.

Orang-orang postmodern tidak merasa perlu membuktikan diri mereka benar dan orang lain salah. Bagi mereka, masalah keyakinan/kepercayaan adalah masalah konteks sosial. Mereka menyimpulkan,"Apa yang benar untuk kami, mungkin saja salah bagi Anda," dan "Apa yang salah bagi kami, mungkin saja benar atau cocok dalam konteks Anda."  

Kelahiran Postmodernitas

Sebenarnya postmodernisme telah mengalami masa-masa inkubasi yang cukup lama. Meskipun para ahli saling berdebat mengenai siapakah yang pertama kali menggunakan istilah tersebut, terdapat kesepakatan bahwa istilah tersebut muncul pada suatu waktu pada tahun 1930-an. Salah satu pemikir postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya "Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana" (1934), de Onis memperkenalkan istilah tersebut untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme.

Yang lebih sering dianggap sebagai pencetus istilah tersebut adalah Arnold Toynbee, dengan bukunya yang terkenal berjudul "Study of History". Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun ia sendiri berubah pikirannya mengenai awal munculnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau semenjak tahun 1870-an.  Menurut analisa Toynbee, era postmodern ditandai dengan berakhirnya dominasi Barat dan semakin merosotnya individualisme, kapitalisme, dan Kekristenan. Ia mengatakan bahwa transisi ini terjadi ketika peradaban Barat bergeser ke arah irasionalitas dan relativisme. Ketika hal ini terjadi, kekuasaan berpindah dari kebudayaan Barat ke kebudayaan non- Barat dan muncullah kebudayaan dunia pluralis yang baru.

Meskipun istilah ini muncul pada tahun 1930-an, postmodernisme sebagai sebuah fenomena kultural belum menjadi sebuah momentum sampai 40 tahun setelahnya. Ia muncul pertama-tama dalam lingkup kecil masyarakat. Selama tahun 1960-an, suasana yang menandai postmodernisme sangat menarik bagi para seniman, arsitek, dan pemikir yang sedang mencari alternatif untuk melawan dominasi kebudayaan modern. Bahkan beberapa teolog ikut tertarik dengan trend tersebut, antara lain William Hamilton dan Thomas J.J. Altizer yang "mengundang arwah" Nietzsche untuk memberitakan matinya Allah. Perkembangan yang beraneka ragam ini membuat "pengamat kebudayaan" Leslie Fiedler pada tahun 1965 menambahkan istilah "post" kepada kata modern sehingga menjadi postmodernisme yang menjadi simbol kontra-kultural pada zaman itu.

Selama tahun 1970-an tantangan postmodern menembus kepada arus budaya utama. Pada pertengahan tahun tersebut, muncullah seorang pembela postmodern yang paling konsisten mempropagandakan ide postmodern, yakni: Ihab Hassan. Ia menghubungkan postmodernisme dengan eksperimentalisme dalam bidang seni dan ultra teknologi dalam bidang arsitektur. Tetapi etos postmodern secara tepat menjalar terus ke bidang-bidang lain. Profesor-profesor di universitas dalam berbagai fakultas mulai berbicara mengenai postmodernisme. Bahkan beberapa di antara mereka tenggelam dalam konsep-konsep postmodern.  Akhirnya penerimaan etos baru begitu menjalar terus ke mana-mana sehingga istilah "postmodern" menjadi label yang digunakan bagi berbagai fenomena sosial dan budaya. Gelombang postmodern menyeret berbagai aspek kebudayaan dan beberapa disiplin ilmu, khususnya sastra, arstektur, film, dan filsafat. Pada tahun 1980-an, pergeseran dari lingkup kecil kepada lingkup besar terjadi. Secara bertahap, suasana postmodern menyerang budaya pop bahkan juga hidup sehari-hari masyarakat. Konsep-konsep postmodern bahkan bukan hanya diterima tetapi populer: sangat menyenangkan menjadi seorang postmodern. Akibatnya, para kritikus kebudayaan dapat berbicara mengenai "nikmatnya menjadi seorang postmodern." Ketika postmodernisme diterima sebagai bagian dari kebudayaan, lahirlah postmodernitas.

Pencetus Postmodernitas

Antara tahun 1960 dan 1990, postmodernisme muncul sebagai sebuah fenomena kebudayaan. Mengapa? Bagaimana kita menjelaskan munculnya etos ini dalam masyarakat kita? Banyak pengamat menghubungkan transisi ini dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat pada paruh kedua dari abad ke-20. Faktor pencetus terbesar adalah lahirnya era informasi. Penyebaran postmodernisme sejajar dan bergantung kepada transisi ke era informasi. Banyak sejarahwan menyebut era modern sebagai "era" industrialisasi, karena era ini didominasi oleh produksi barang-barang. Karena fokusnya pada produksi material-material, modernisme menghasilkan masyarakat industri. Simbolnya adalah pabrik. Sebaliknya era postmodern mengarahkan fokus kepada informasi. Kita sedang menyaksikan sebuah transisi dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Simbolnya adalah komputer.

Statistik kerja membuktikan bahwa kita sedang mengalami perubahan dari masyarakat industri kepada masyarakat informasi. Pada era modern, mayoritas lapangan pekerjaan terbuka dalam bidang produksi barang. Pada tahun 1970-an, hanya 13% dari buruh-buruh di Amerika bekerja dalam produksi barang; 60% bekerja dalam bidang informasi. Pelatihan untuk karir yang berkaitan dengan informasi - baik prosesor data maupun konsultan - menjadi sangat penting. Masyarakat informasi menghasilkan sekelompok orang baru. Ploretariat telah menyerahkan tempatnya kepada "cognitariat." Dan untuk bisnis, munculnya masyarakat postmodern berarti perubahan dari model "sentralisasi" kepada model "network." Struktur hirarki dalam pengambilan keputusan diganti dengan keputusan bersama.

Era informasi bukan hanya mengubah pekerjaan kita tetapi juga menghubungkan seluruh belahan dunia. Masyarakat informasi berfungsi berdasarkan jaringan komunikasi yang meliputi seluruh muka bumi. Efisiensi sistem tersebut sangat mengejutkan. Pada masa lalu, informasi tidak secepat perjalanan manusia. Tetapi sekarang informasi dapat mengalir ke seluruh dunia secepat cahaya. Yang lebih mengagumkan lagi adalah kemampuan era postmodern untuk mendapatkan informasi dari mana saja secara cepat. Karena sistem komunikasi global yang begitu canggih, kita dapat mengetahui peristiwa apa saja di mana saja di dunia ini. Kita sedang menghuni sebuah desa global.

Munculnya desa global menghasilkan dampak yang kontradiktif. Budaya massal dan ekonomi global yang dihasilkan era informasi berusaha menyatukan dunia menjadi "McWorld." Ketika planet ini menyatu pada satu sisi, saat yang sama ia hancur berantakan pada sisi lainnya. Munculnya postmodernisme menghasilkan kesadaran global dan menipiskan nasionalisme. Nasionalisme semakin suram dengan munculnya gerakan menuju "retribalisasi," menuju loyalitas kepada lingkungan lokal seseorang. Ini bukan hanya terjadi di Afrika tetapi juga di Kanada. Kanada berkali-kali terancam oleh disintegrasi antara kelompok berbahasa Perancis di propinsi Quebec dan propinsi-propinsi di sebelah barat. Orang-orang sedang mengikuti motto: "Berpikirlah secara global, bertindaklah secara lokal."

Munculnya masyarakat informasi memberikan dasar berpijak bagi etos postmodern. Hidup di desa global menyadarkan penduduknya mengenai keanekaragaman budaya di bumi ini. Kesadaran ini memaksa kita mengadopsi pola pikir pluralisme. Pola pikir ini bukan hanya bersikap toleran kepada kelompok lain, tetapi ia menegaskan dan merayakan keanekaragaman. Perayaan keanekaragaman budaya menuntut gaya baru - eklektisisme - gaya postmodernitas. Masyarakat informasi telah menyaksikan perubahan besar dari poduksi massal kepada produksi segmen. Produksi barang-barang yang sama telah berubah menjadi produksi barang-barang yang beraneka ragam. Kita berada pada "budaya citarasa" yang menawarkan berbagai macam gaya yang tidak ada habisnya. Dulu siswa-siswi SMP dan SMU hanya memiliki tren suka-olahraga dan malas-belajar, sekarang mereka dapat mengadopsi tren apa saja sesuai cita-rasa dan gaya yang mereka sukai.

Alam Postmodernisme Tanpa Titik Pusat

Ciri khas postmodernisme adalah tidak adanya titik pusat yang mengontrol segala sesuatu. Meskipun postmodern dalam masyarakat bermacam-macam bentuknya, mereka sama-sama sepakat bahwa tidak ada fokus atau titik pusat. Tidak ada lagi standar umum yang dapat dipakai mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya hidup tertentu. Lenyaplah sudah usaha mencari sumber otoritas pusat. Lenyaplah sudah usaha untuk mencari kekuasaan yang absah dan berlaku untuk semua. Titik pusat sudah bergeser, masyarakat kita seperti kumpulan barang- barang yang beraneka ragam. Unit-unit sosial yang lebih kecil hanya disatukan secara geografis.

Filsuf postmodern, Michel Foucault, menawarkan sebuah usulan nama bagi dunia tanpa titik pusat, yaitu "heterotopia." istilah Foucault menggarisbawahi perubahan besar yang sedang kita alami. Keyakinan Pencerahan akan suatu kemajuan ayng terus-menerus melahirkan visi modernisme. Arsitek modernisme berusaha membangun sebuah bangunan masyarakat yang sempurna. Kasih, keadilan, dan perdamaian akan memerintah masyarakat tersebut. kaum postmodern membuang jauh-jauh impian kosong tersebut. Mereka hanya menawarkan keanekaragaman yang tak terhitung banyaknya, "multiverse" telah menggantikan model "universe" dari modernisme.

Tidak ada komentar: