Nona Rosa oleh Sulaiman Djaya (2011)



Berambut pirang berwarna coklat –brunette dalam istilah Bahasa Ingrisnya, wajahnya sebenarnya lebih mirip perempuan Timur Tengah, meski ia perempuan Eropa –perempuan yang hadir dalam hidupku secara tiba-tiba dan tak terduga. Tak lama setelah ia mengenalku, sekira berjalan lima hari sejak pertemuan pertamaku dengannya yang berlanjut jadi intim dan akrab, ia menyatakan dengan terus-terang bahwa ia jatuh cinta padaku.

What do you think about Indonesia?” tanyaku padanya dengan bahasa Ingris yang pas-pasan.

Indonesia is beautiful country!” dia menjawab.

No…..no….I mean about the people, not the nation,” ujarku.

Friendly like you” jawabnya, dan aku hanya bisa tersenyum.

Itulah perbincangan pertama kami saat aku datang ke Merlynn Park Hotel atas permintaannya. Saat itu senja baru mulai –senja di kota Jakarta yang terasa gerah. Aku duduk di salah satu kursi sofa yang berwarna merah yang ada di kamarnya, sementara ia duduk di tepi ranjang tidur yang begitu apik dan rapi.

Sebagai tanda keramahanku selaku tuan rumah dan sekedar untuk menunjukkan penghargaanku karena ia telah datang jauh-jauh dari Eropa demi menemuiku, kuseduhkan kopi untuknya –kopi spesial yang telah disediakan hotel tempatnya menginap selama tujuh hari itu.

Berhidung mancung dan berambut pirang keriting berwarna coklat, ia adalah perempuan yang menunjukkan ciri khas perempuan Latin, yang sebenarnya agak mirip perempuan Arab –sebagaimana yang telah kukatakan. Ia bercerita padaku bahwa demi menghemat perjalanan dari Madrid menuju Indonesia, ia ambil tugas sebagai jurnalis dadakan dari sebuah media.

Agar ia tak merasa jenuh dengan hanya stay di kamarnya di hotel itu, kuajak dia keluar dari kamar hotelnya sekedar untuk menikmati jajanan khas warga Jakarta, berjalan kaki menuju ke salah satu penjual bakso di pinggir jalan yang tak jauh dari gerbang Merlynn Park Hotel.

Para pekerja hotel itu, termasuk yang perempuan-perempuan, kuperhatikan sesekali mencuri pandang ke arah kami, entah apa persepsi mereka tentangku ketika aku berjalan akrab dengan seorang perempuan Eropa. Tapi aku sendiri memang tak peduli.

Sembari makan bakso di pinggir jalan itu, kami berbincang sebelum kami sudahi ketika adzan magrib berkumandang, dan aku segera menuju mushola, sementara kukatakan padanya bahwa ia bisa langsung ke kamarnya saja jika merasa lelah dan ingin istirahat setelah menempuh perjalanan jauh.

Sebenarnya permintaanku agar ia meninggalkanku di mushola itu agar tak menganggunya jika, misalnya, ia ingin mandi dan istirahat sejenak, dan aku katakan padanya bahwa aku akan berada di ruang musholla itu hingga jam tujuh lewat beberapa menit.

Dan benar saja, selesai adzan isya, handphone-ku berdering, dan ia memintaku untuk naik ke atas. Kami akhirnya bersepakat untuk meneruskan obrolan dan pertemuan kami di sebuah kafe yang berada di hotel itu, karena aku takkan bisa merokok dengan bebas jika harus mengobrol dan bertemu di kamarnya.

Seperti biasa aku pesan kopi hitam, kunyalakan batangan rokok kretekku, sementara ia memesan jus lemon dingin. Aku cukup terkejut juga ketika ia hanya mengenakan pakaian minim, dan ia berkata bahwa cuaca cukup panas. Kukatakan “itu tak salah, karena negeri ini beriklim tropis, dan kau datang di saat musim kemarau”.

Tentu saja ia berbicara cukup lancar, sementara aku terbata-bata dengan keterbatasan bahasa Ingrisku. Udara malam sesekali berhembus ke arah kami, dan sembari berbincang itu, mataku sesekali memandangi cahaya yang memancar dari gedung-gedung bertingkat yang ada di depan mataku.

Sesekali kuberitahu terjemahan bahasa Ingris yang ia ucapkan dalam bahasa Indonesia, dan tiba-tiba ia malah bertanya, ‘how to say I’m fall in love with you in Indonesian language?’. Awalnya aku enggan untuk menerjemahkan pertanyaannya itu ke bahasa Indonesia, tapi akhirnya kukatakan juga bahwa yang ia ucakan itu artinya adalah, ‘aku jatuh cinta padamu’ dalam bahasa Indonesia.

Pertemuan pertama itu pun kemudian berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya selama hari-hari berikutnya, dari satu kafe ke kafe lainnya, mengunjungi kota tua Jakarta, ke Museum Nasional dan tempat-tempat lain yang ingin ia kunjungi yang telah ia catat di buku perjalanannya yang ia bawa dari Eropa.

Seringkali ia begitu antusias untuk menangkap dan mengabadikan objek-objek menarik dengan kamera yang ia bawa bila kami bepergian dan berjalan bersama-sama demi mendatangi dan mengunjungi sejumlah tempat itu, semisal ke Cafe Batavia.

Kebetulan malam itu ada bazaar dan panggung musik bertajuk Saturday Night Festival, dan kuajak keluar perempuan Eropa-ku dari Cafe Batavia, tempatku dan dia bersantai sembari menikmati kopi kami masing-masing itu. Kebetulan lainnya adalah aku merasa lapar, dan rasa laparku saat itu tak cukup terobati hanya dengan menikmati kopi dan jajanan di Cafe Batavia –tak sebanding dengan harga kopi dan jajanannya yang bagiku sangat mahal, meski yang bayar adalah perempuan Eropa-ku, dan kukira itulah alasanku yang sebenarnya ketika aku mengajak keluar perempuan Eropa-ku menuju keramaian yang hingar-bingar itu.

Kuajak ia ke sebuah warung tenda yang menjual soto, tetapi ia malah memesan sate, di saat aku tetap pada pilihanku untuk makan soto, tentu saja pakai nasi, karena sejak keberangkatanku bersamanya dari Merlynn Park Hotel itu aku belum makan sore.

Ia bertanya, tentu dalam bahasa Ingris, kenapa banyak menu makanan di Indonesia terasa pedas dan sepertinya orang Indonesia senang dengan sambal? Kukatakan karena negeri ini kaya dengan rempah-rempah dan orang-orang Indonesia memiliki seni kuliner yang tak kalah hebat dengan orang-orang Eropa, negerimu yang jauh itu. Dan dulu orang-orang Eropamu banyak yang datang ke sini untuk mendapatkan rempah-rempah Indonesia. Sebuah jawaban yang sebenarnya asal ucap saja, tapi untungnya ia membenarkan apa yang kukatakan itu.

Lalu ia bertanya lagi kenapa aku lebih menyukai rokok kretek ketimbang rokok filter? Kukatakan itu soal selera masing-masing orang saja, dan bagiku rokok kretek lebih terasa, dan lebih lama durasi untuk menghisapnya ketimbang rokok filter, dan kau memang lebih cocok, sebagai perempuan, untuk menghisap rokok filter yang nikotinnya relatif lebih ringan dan rendah dibanding rokok krektek Dji Sam Soe yang kuhisap.

Si perempuan penjual soto itu bertanya kepadaku, “Pacar sampeyan, Mas?” “Inggih, mbak yu!” jawabku sembari tersenyum. “Wah sampeyan koq bisa dapat pacar wong Eropa tho, Mas….” lanjut si perempuan yang lumayan cantik itu untuk ukuran perempuan Jawa. “Yah mbothen nopo-nopo tho mbak….” ujarku.

Si perempuan Eropa-ku, yang kebetulan belum paham betul Bahasa Indonesia itu, bertanya kepadaku dalam Bahasa Ingris, yang dalam bahasa Indonesia berbunyi: “apa yang kalian bicarakan?” “She said to me you are beautiful…” jawabku. “Don’t lie to me…!” ujarnya….”No….no….I’m seriously….” ucapku membantah keraguannya, dan ia pun tersenyum.

Kenal di mana tho, Mas?” si perempuan pemilik warung tenda soto itu kembali bertanya. “Yah di Jakarta, mbak!” jawabku. “Sampeyan orang mana, Mas?” tanya si mbak yu itu. “Orang Serang, Banten…” “Ooooh…..” kata si perempuan pemilik warung tenda soto itu.

Seusai makan bersama di warung tenda itu, aku dan dia menuju ke salah satu sudut keramaian itu, duduk dan kembali menyulut rokok kami masing-masing, sembari mendengarkan vokalis perempuan yang menyanyikan lagu-lagu jazz romantis, yang ternyata adalah lagu kesukaannya perempuan Eropa-ku.

Aku tak memikirkan apakah esok aku akan bangun kesiangan atau tidak, karena memang di hari Minggu aku tak mesti datang ke tempat di mana aku bekerja sebagai salah seorang peserta magang di lingkungan perkantoran di kawasan Kebon Sirih itu.

Aku dan dia menghabiskan waktu di tempat keramaian itu hingga jam tiga pagi, dan pulang dengan menumpang taksi.

Cukup lama kami menunggu taksi yang hendak kami sewa, sekira 15 menit, sebelum akhirnya datang taksi yang menawarkan jasanya ke hadapan kami. Alasan dia dengan begadang di Kota Tua Jakarta itu tak lain karena ia ingin menggunakan kesempatan hari terakhir kedatangannya di Jakarta, sebelum di hari Senin paginya ia akan terbang menuju Madrid, tentu saja dengan melakukan sejumlah transit di beberapa bandara.

Ilustrasi: Lukisan karya Evgeny Mukovnin 


Tidak ada komentar: