LELAKI SENJA (Bagian Ketiga) oleh Gary Gulaiman

Sri….di dua matamu yang sendu itu, kukenang Juni kelabu. Di ujung Sabtu itu aku datang ke kotamu bersama gerimis biru yang mericik di hatiku…..” (Yahya Hasan).

Di sebuah keriuhan malam di kota itu kau pernah begitu akrab dengan cahaya lampu-lampu jalan, cahaya lampu-lampu yang telah kautinggalkan di antara pepohonan jalan dan trotoar. Kini kau hanya bisa menghadirkan kembali keberadaan mereka dalam benakmu dengan jalan mengembarakan pikiranmu ke tempat-tempat yang pernah kau kunjungi, kau lewati, dan kau diami bersamanya.

Bersama detik-detik dan menit-menit yang tak terasa ketika itu, kau dan ia tak peduli pada cuaca dingin yang menyusup ke sela-sela benang baju –ke pori-pori kulit tubuhmu. Sebab kau dan ia hanya tahu bahwa kalian sama-sama ingin bertemu untuk sebuah alasan yang anehnya kalian rahasiakan dalam diri kalian masing-masing. Sebuah pengkhianatan –di saat kau tak memiliki alasan yang meyakinkan untuk marah, hingga kau hanya bisa menerimanya dan memang tak menemukan alasan untuk membantahnya.

Saat itu kau dan dirinya memutuskan untuk berjalan kaki saja –karena menurut kalian dengan apa yang kalian putuskan itu kalian bisa saling mengenal kembali setelah selama satu tahun kalian tak bertemu –selepas pertemuan dan perkenalan pertama kau dan ia di kampusnya, yang begitu akrab dan tanpa beban, meski pertemuan dan perbincangan itu memang bersifat kebetulan saja di sela-sela acara diskusi yang diselenggarakan oleh kampusnya dan kampusmu.

Kau dan ia pun akhirnya bisa kembali untuk saling menerka dan memahami diri kalian masing-masing selama berjalan kaki bersama itu –sebab hubungan kalian sebelumnya hanya melalui pertukaran kata-kata yang saling kalian tuliskan di lembar-lembar kertas. Kadang-kadang kau dan ia saling bertukar puisi –meski hanya sekali dua kali. Dan menurut pengakuannya sendiri, ia pun sesekali menuliskan apa yang dirasakan dan dialaminya menjadi sebuah puisi.

Sebenarnya kau tak menyangka bahwa ia sangat menyukai puisi yang kau tulis dan kau kirim untuknya selama kalian hanya bisa berhubungan lewat pertukaran kata-kata di lembar-lembar kertas.

Kau dan ia berjalan kaki pelan saja dan memang kembali mendapatkan keakraban seperti saat pertama kali kalian berkenalan dan berbincang di salah satu sudut taman kampusnya. Entah atas alasan dan dorongan apa, kau dan ia bersepakat untuk berkunjung ke rumahnya –dan meneruskan perbincangan kalian di rumahnya hingga menjelang magrib. Bahkan kau sempat berkenalan dengan ibunya dan adik perempuannya.

Cuaca yang agak mendung dan menyembunyikan matahari di hari itu sangat mendukung apa yang kalian lakukan. Apalagi ia mengenakan kemeja dan kerudung biru yang tentu saja menambah keindahan suasana selama kau dan ia berjalan dan berbincang menuju jalan umum untuk menaiki angkutan umum yang akan membawa kau dan ia ke Dago –di mana kau dan ia telah bersepakat untuk menghabiskan waktu kalian demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kembali akrab di hari Minggu itu.

Ia memaksamu untuk turun bersamanya dari angkutan sebelum sampai di tempat yang hendak kalian tuju. Ketika kau tanya kenapa mesti turun di saat tempat yang akan kalian tuju masih jauh sekitar ratusan meter lagi, ia hanya menjawab bahwa ia merasa tak nyaman berada di dalam angkutan umum dan lebih baik berjalan kaki lagi saja agar bisa lebih santai dan bisa berbincang-bincang seperti pada saat kau dan ia berangkat dari rumahnya.

Ia menggandeng dan menggenggam tanganmu ketika kau dan ia akhirnya berjalan kaki lagi sesuai dengan keputusan dan kehendaknya. Dan memang kau sendiri merasa lebih nyaman dengan berjalan kaki lagi daripada merasakan kegerahan akibat cuaca mendung yang malah membuat tubuh kalian merasa panas karena keringat orang-orang yang duduk bersama di dalam angkutan yang berdesakan-desakan.

Selama kau dan ia berjalan kaki untuk yang kedua kalinya itu, lampu-lampu jalan kota mulai menyala. Sepanjang trotoar dan pepohonan itu kau rasa adalah pengalamanmu yang paling akrab dengan seorang perempuan yang usianya lebih muda satu tahun dari usiamu, hingga kau dan ia lebih merasa sebagai sepasang bocah berlainan jenis kelamin yang asik bercanda tanpa canggung dan merasakan kebebasan yang sebenarnya. 

Kejadian-kejadian yang telah berlalu bertahun-tahun itu tiba-tiba menemukan kembali detil-detilnya di dalam benak dan kepalamu saat kau tak menemukan tema dan isu lain untuk menulis. Kau dan ia sempat duduk berdua dan saling bertukar kata yang keluar dari mulut kalian di trotoar itu untuk beberapa menit sembari memandangi lalulalang dan laju lalulintas sebelum kau dan ia berjalan kaki lagi.

Kalian menyandarkan punggung kalian masing-masing di sebaris pagar taman –di bawah lampu-lampu yang menyala dengan terang. Kau dan ia melakukan itu karena menurutnya bioskop yang hendak kalian datangi baru akan dibuka sekitar satu jam lagi, yang karenanya kalian merasa tak perlu terburu-buru.

Kau masih ingat, kau dan ia akhirnya tak sempat menonton sebuah film yang kalian rencanakan itu. Kau dan ia malah lebih asik bercanda di sebuah cafe yang terletak agak ke sudut di pusat hiburan itu setelah kau dan ia berkeliling di antara rak-rak sebuah toko buku. Ia membeli sebuah novel Sampek Engtay, sementara kau sendiri membeli Aeneid-nya Publius Virgilius Maro terbitan Everyman Books.  

Di meja yang agak menyudut ke arah dinding itu ia terus saja berbicara dengan riang, sementara kau sendiri hanya bisa mendengarkan setiap kata yang meluncur dari mulut dan kedua bibirnya yang tipis dan indah.

Sebenarnya kau tak sepenuhnya hanya mendengarkan setiap kata yang diucapkannya –kau lebih terpesona dengan kelembutan sepasang matanya yang agak sendu. Seakan-akan kau tengah membaca larik-larik sebuah puisi yang memberikan kedamaian dan ketentraman bathin saat kau terus memandangi sepasangan matanya sambil berusaha menyimak apa yang dikatakannya dari satu tema ke tema lainnya saat itu.

Di sela-sela perkataannya –mungkin agar kau tak merasa diacuhkan, ia memintamu untuk membacakan sebuah puisi yang mungkin masih kau hapal, meski permintaannya kau tolak dengan halus dengan mengatakan padanya bahwa tak ada satu pun puisi yang kau hapal. Tapi ia malah menggodamu untuk membuat puisi seketika itu juga untuknya. Tentu saja kau hanya bisa mengatakan bahwa puisi yang ia maksud itu telah ada ada di depanmu –sebuah puisi yang tak lain sepasang matanya yang indah dan agak sendu, yang memberimu sebuah pandangan yang menenangkan dan memberimu rasa damai.

Ia hanya tersenyum dan sedikit tertawa gembira ketika mendengarkan apa yang kau ucapkan itu. Saat itu kau yakin ia merasa istimewa dengan apa yang kau katakan itu –sebab ia tampak sedikit tersipu akibat ulahmu itu, hingga ia mencubit lenganmu dengan lembut. Setelah itu ia kembali menyeruput minumannya melalui sedotan dan kembali bercerita tentang apa saja yang ia lakukan selama kalian tak bertemu. Dan lagi-lagi kau hanya bisa mendengarkannya saja –karena memang kau tak memiliki tema yang bisa kau ceritakan padanya, mungkin karena kau lelah, rasa lelah yang terobati karena kebahagiaan.

Rasa-rasanya momen-momen itu merupakan sebuah peristiwa paling riang dalam hidupnya sepanjang yang kau ketahui –momen paling ceria dibanding pertemuan-pertemuan kau dengan ia sebelumnya. Hingga rasa lelahmu akibat perjalanan dari Jakarta ke Bandung seakan-akan hilang begitu saja, berubah menjelma rasa senang yang ia hadirkan. Dan sepertinya ia tahu bagaimana agar kau bisa mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk mengobati keletihanmu demi bertemu kembali dengannya.

Di cafe itu kau dan ia menghabiskan waktu hampir dua jam sejak kalian berbincang selepas adzan magrib berkumandang. Ia pun mencegahmu ketika kau hendak membayar minuman yang kalian pesan, karena ia ingin mentraktirmu dari uang lomba karya ilmiah yang ia menangkan. Setelah itu kau dan ia pun beranjak meninggalkan meja tempat kalian bercengkerama dan bercanda selama dua jam itu, meninggalkannya dan berjalan keluar melewat pintu depan cafe.

Setelah kau dan ia menghabiskan waktu bersama di cafe itulah ia memintamu untuk duduk barang sejenak di lantai depan cafe demi mendengarkan apa yang ingin ia katakan kepadamu. Tanpa rasa curiga kau iyakan dan kau turuti permintaannya. Tapi saat itu setiap perkataannya tiba-tiba menjadi pelan dan tak lagi riang seperti ketika kalian berbincang di meja cafe sembari menikmati jajanan kesukaan kalian. Saat itulah timbul pertanyaan dan rasa penasaran dalam dirimu. Dan kecurigaanmu yang muncul seketika itu ternyata benar dan tak ia bantah, meski sebelum-sebelumnya kau tak menyangkanya sedikit pun. 


Tidak ada komentar: