Dua Mata Senja



Ia arahkan dua matanya menembus lembab kaca jendela demi memandangi dinding-dinding langit dan cakrawala selepas dzuhur di bulan Juli setelah reda hujan. Rumput-rumput dan jalan-jalan basah yang ia lihat seakan dunia-dunia yang tengah terbaring dalam sapuan gelombang-gelombang angin yang mengirimkan dingin pada tubuh dan wajahnya melalui pintu yang memang sengaja ia buka setelah ia tekan saklar selampu ruangan demi mengusir kegelapan yang menutup wajah-wajah langit siang hari itu.

Direnunginya sepasukan burung-burung kuntul melintasi keheningan langit sebelum ia duduk di kursinya, burung-burung kuntul yang selalu saja mengingatkannya pada masa kanak-kanak, ketika ia kembali membuka dan menatapi lembar-lembar bergaris horisontal di mana ia akan kembali menulis kisah otobiografisnya di buku catatan harian kesayangan miliknya bersama alunan-alunan jazz sentimentil yang ia dengarkan.

Sekelompok burung kuntul yang tengah menempuh perjalanan migrasi mereka itu ia andaikan sebagai perubahan hidup dan pengulangan itu sendiri, kesementaraan dan usia yang menghitungi dirinya sendiri di saat waktu sebenarnya hanya bisa diam dan tak beranjak ke mana pun, di mana gerak dan kebisuan saling berpadu dan melengkapi satu sama lain seperti sepasang kekasih yang tengah dirundung kelesuan dan rasa cemburu yang membuat mereka kehilangan gairah dan spontanitas pertama mereka.

Tanpa ia kehendaki, keindahan menjelmakan dirinya sebagai kebisuan dan hening cuaca yang membasahi pepohonan dan tiang-tiang lampu sepanjang jalan. Waktu pun lelap bersama mimpi-mimpinya di antara buih-buih dan kabut yang ia pandangi sembari bersandar pada punggung kursi di mana ia duduk dalam kesendirian, terasa sendu dan agak murung, yang membuatnya membayangkan diri sebagai seorang lelaki yang tengah merasakan cinta menggebu.

Sampai hari di mana ia kembali terjaga dalam sepi itu, sudah empat hari hujan datang berturut-turut, sampai-sampai semua yang diciuminya dengan lembut ataupun tergesa seakan jadi beku dan lelap dalam pandangan kedua matanya yang agak murung, barangkali letih, meski dedaunan kadang-kadang bergerak pelan di saat angin menghembus, seolah-olah ada tangan-tangan gaib para malaikat yang tengah mencandai mereka.

Saat itu, dalam kebosanan yang membuat rambutnya tampak kusut dan lembab, ia jadi teringat peristiwa beberapa tahun silam, ketika ia mengajak seorang mahasiswi cantik berparas lembut dan bermata sendu dengan rasa percaya diri sekaligus agak sedikit tolol dan kikuk seperti seekor binatang yang terserang demam mendadak.

Rasa-rasanya ia sendiri tak percaya bahwa ia telah melakukannya. Ia ingin membuat si perempuan yang telah menjadiknnya seorang lelaki romantis seketika itu merasa bahagia ketika ia datang ke Jakarta sendirian untuk menemuinya. Spontanitas yang mungkin demi menutupi kecanggungannya sendiri karena pesona yang terpancar dari kelembutan wajah perempuan yang jatuh cinta kepadanya itu, dan keteduhan pandangan matanya yang redup sekaligus tampak menyala bagi dua matanya.

Cara berbicara dan menatap si perempuan yang jatuh cinta kepadanya itu dengan agak nakal dan sendu membuatnya menjadi seorang lelaki yang seketika menemukan apa yang mesti ia cari dalam hidup: gairah kehangatan dari getaran-getaran tubuh dan jiwa. Ia pun berusaha membayangkan gugusan rambut si perempuan yang bersembunyi dibalik kerudung hijau yang dikenakannya saat menjemputnya itu.

Di pojok Bintaro Plaza itu ia menghabiskan waktu bersama si perempuan belianya itu selama dua jam lebih. Waktu yang baginya saat itu, entah kenapa, terasa singkat hingga terdengar kumandang adzan dari arah yang cukup jauh. Si perempuan belia yang jatuh cinta kepadanya itulah yang memutuskan untuk menyudahi perbincangan dan canda mereka, sebab ia merasa letih setelah menempuh perjalanan Bandung-Jakarta.

Sebelum mereka berdua memutuskan pergi ke Bintaro Plaza itu, mereka sempat makan bersama di sebuah rumah makan yang berdekatan dengan sebuah kampus ternama. Di malam setelah mereka berbincang bersama di sudut Bintaro Plaza itu, ia mengantarkan si perempuan tersayangnya itu ke kosan temannya, seorang mahasiswi yang kebetulan satu jurusan. Mahasiswi itu adalah kakak tingkatnya yang juga telah berteman dengan si perempuan belia yang jatuh cinta padanya.

Tetapi waktu jualah yang pada akhirnya mengambil alih kenangan dan ingatannya tersebut. Jika pun ia menuliskannya, tentu tak lebih sebuah upaya untuk melakukan pengobatan pada diri sendiri. Sebab yang kini ia cintai tak lain kenangan dan ingatan itu sendiri. Kenangan dan ingatan yang juga telah mengajarkannya untuk menulis dan melupakan, atau lebih tepatnya mengajarkannya untuk memaafkan masa silam.

Tetapi, bagaimana pun, perlau diketahui oleh para pembaca, ingatan-ingatannya itu selalu saja mudah tersulut dan terbangkitkan dari dalam benaknya oleh suara-suara dari puisi-puisi yang ia baca, ketika beberapa puisi yang ia baca justru mengingatkannya pada pengalaman dan kenangannya sendiri, meski tentu saja puisi-puisi tersebut tak mesti persis menyuarakan sesuatu yang sama dengan apa yang ia alami dan yang ia ingat. Semua itu terjadi begitu saja, tanpa kesengajaan, ketika ia buka lembar-lembar koleksi buku-buku puisi kesukaannya.

Ada kesenangan tersendiri ketika ia kembali mereka-reka pengalaman asmaranya dengan si perempuan belia yang jatuh cinta kepdanya itu –yang begitu intim dan akrab. Pengalaman-pengalaman yang memberinya kebahagiaan seorang mahasiswa yang kembali memiliki hasrat pada seorang perempuan setelah masa-masa sekolah menengah.

Di hari ketika si perempuan itu menelponnya untuk memberitahu kedatangannya ke Jakarta kepadanya, ia begitu merasa bahagia. Dan keesokan harinya kedatangannya di Jakarta sesuai dengan apa yang dikatakannya kepadanya, ia datang ke Jakarta selepas dzuhur. Ia menjemputnya di stasiun kereta Gambir. Hanya beberapa menit saja ia langsung melihatnya berjalan ke arahnya setelah turun dari kereta eksekutif itu. Ia langsung tersenyum lirih ketika berada persis di hadapannya, dan ia segera saja mengajaknya berjalan ke sebuah warung serba ada di mana mereka membeli minuman sebelum menaiki bus yang akan membawa mereka ke suatu tempat yang mereka tuju.

Semenjak pertemuannya dengan si perempuan itulah ia mulai menyukai novel-novel sentimentil dan puisi-puisi romantis. Bahkan sejak saat itu ia mulai serius belajar menulis puisi-puisi cintanya sendiri setelah membaca puisi-puisi yang ia sukai. Barangkali kenangan dan ingatannya itulah yang menjadikannya sebagai lelaki yang kemudian gandrung menulis puisi.

Tak pernah terpikir olehnya di waktu-waktu sebelumnya bahwa pengalaman-pengalaman itulah yang ternyata mengajarkannya untuk menulis puisi dengan setia di kemudian hari. Dengan kata lain, ia mesti menjadi pecundang sebelum ia mampu mencintai dan menyukai perempuan lain selain si perempuan belia yang kini hanya jadi sekedar objek angan-angan penghiburan diri itu. Di selembar bergaris-garis horisontal buku catatan harian kesayangannya itu ia tulis sebuah puisi diaris dan otobiografis –semacam roman picisan yang ia tulis dalam bentuk puisi:

“Aku tahu bagaimana rasanya

jatuh cinta. Dan bagaimana ia mengkhianatiku
dengan selembut keindahan


yang membingungkan.

Aku tahu seseorang harus belajar merasa kecewa
sebelum ia menulis lagu

dan sajak cinta.

Di saat-saat kubosan dan ingin tidur
aku cuma berharap masih bisa


mengenang bagaimana derai rambutmu

seakan malam yang dilanda gundah
pada kertas-kertas yang berserakan.


Angin yang terus mendesir pelan

membuatku kembali teringat burung-burung liar
yang berlesatan bersama setiap kata


yang kau ucapkan. Sejak saat itulah

aku memahami keindahan yang kukenal
seumpama sepasukan penjahat


yang riang bermain-main dengan kesedihan

seorang lelaki. Sejak saat itu,
aku ingin terus terbaring saja


dan bermimpi di lelap sajak.”


Sulaiman Djaya (2010). Ilustrasi: Film Bright Star (film tentang John Keats) 


Tidak ada komentar: