Dongeng Insomnia VI (Burung Hudan dan Kuda Dardan) oleh Sulaiman Djaya (2015-2016)



Kita tinggalkan sejenak kisah di Negeri Suryan dan apa yang terjadi di negeri itu, dan sekarang kita perlu juga mengetahui kabar si burung utusan yang diutus oleh Hagar dan Sophia, si Burung Rukh yang diberinama Hudan itu, yang ternyata telah sampai ke Negeri Nun, negerinya Misyaila.

“Aku mengerti apa yang ingin kau sampaikan, Hudan!” Demikian ujar Misyaila kepada si Burung Hudan yang menjalankan perintah tuan-tuannya itu.

“Tapi percayalah, untuk saat ini Ilias akan sanggup melakukan tugasnya dengan baik tanpa bantuanku. Aku akan membantu sahabat-sahabatku di saat mereka memang sungguh-sungguh membutuhkan bantuanku.” Lanjut Misyaila.

“Sekarang pulanglah, agar engkau dapat kembali datang padaku dan agar kelak dapat memberikan kabar kembali di saat-saat genting.”

Dengan isyarat menganggukkan kepalanya dan menggerakkan sepasang sayapnya, si Burung Hudan itu pun mematuhi perintah Misyaila, dan langsung melesat terbang meninggalkan Misyaila dari tempatnya. Ia kembali melanglang-buana sebagaimana ia datang ke Negeri Nun yang sunyi itu, menuju Negeri Farisa di mana Hagar dan Sophia berada.

Sementara di Negeri Telaga Kahana nun jauh jaraknya dari Negeri Nun yang misterius di mana Misyaila berada itu, Siswi Karina mulai akrab dengan Dardan, seekor kuda putih pemilik satu tanduk mirip Unicorn yang dulu merupakan sahabatnya Pangeran Ramada dan sahabat suaminya Zipora, setelah Zipora memperkenalkannya kepada Siswi Karina beberapa hari sebelumnya.

Siswi Karina mulai mahir menunggangi Dardan yang perkasa dan ajaib itu, dan begitupun sebaliknya, Dardan mulai memahami setiap keinginan dan perasaan Siswi Karina dengan kekuatan intuisi dan telepati yang dimilikinya.

Sedangkan di Negeri Najdor, negeri yang merupakan tempat dan markas pasukan Siis, Rakab tampak kecewa dengan berita kekalahan garnisun pertama pasukan Siis-nya ketika hendak menaklukkan kota Ramad di Negeri Suryan itu. Ia tampak marah dan tak puas setelah mendengar laporan beberapa pasukan yang selamat dan kembali ke Negeri Najdor tersebut, terlebih kekalahan itu telah membuat gugur sejumlah prajurit terbaik dan pilihan yang telah dilatihnya sendiri. Rakab bingung bagaimana menjelaskan kekalahan garnisun pertamanya itu kepada Mayar Rother dari Negeri Amarik, Jarjus Bushan sang pemimpin idiot Bangsa Amarik, Ziva Kamarin sang pemimpin Negeri Asrail, Vidad Kamarun sang pemimpin Negeri Angland, dan Pangeran Wilad Nibtalal sang penguasa Negeri Najdan.

Setelah berpikir dan merenungkan pilihan apa yang harus dilakukannya, ia memutuskan untuk mengirimkan garnisun berikutnya dengan jumlah yang lebih besar dan dengan persenjataan yang lebih canggih. Namun kali ini sasarannya bukan lagi kota Ramad, tapi ke kota Daraa. Ia pun mengirimkan sepucuk surat yang ditujukan langsung kepada Mayar Rother agar dikirimkan persenjataan canggih dan sejumlah biaya ke Negeri Najdor dalam rangka melakukan serangan yang kali ini lebih besar dan lebih keras, dan karena itu ia membutuhkan banyak orang yang hendak ia rekrut sebagai para prajurit Siis, di mana biaya yang ia minta itu dalam rangka membayar mereka yang mau menjadi pasukan Siis.

Setelah surat yang dikirim oleh Rakab ke Mayar Rother itu diterima oleh Mayar Rother di Negeri Amarik, Mayar Rother pun segera menyanggupi permintaan Rakab tersebut, dan keesokan harinya kiriman senjata untuk pasukan Siis pun serempak datang dari Negeri Amarik, Negeri Asrail, Negeri Najdan, dan Negeri Angland dengan jenis-jenis senjata dan perlengkapan yang telah dibagi-bagi oleh masing-masing para penyumbang senjata bagi pasukan Siis berikutnya pimpinan Rakab tersebut.

Rakab pun tampak puas dan tak menyangka bahwa bantuan yang datang justru jauh lebih banyak dan lebih besar dari yang ia bayangkan dan yang ia harapkan. Ia pun segera menjamu para utusan negeri-negeri yang menjadi tuan-tuannya itu dengan jamuan yang mewah di markas pribadinya di sebuah lembah dekat pegunungan Rasdan yang sebenarnya tak seberapa jauh dari negeri Lubnan, salah-satu negeri yang merupakan sekutunya bangsa Farisa, Negeri Suryan, Negeri Yumnan, dan tentu saja Negeri Telaga Kahana.

Dengan bantuan yang jauh lebih besar dan lebih banyak yang datang itu, Rakab pun tampak puas dan timbul dalam dirinya rasa percaya diri, setelah sebelumnya ia terserang perasaan pesimis setelah kekalahan garnisun pertama yang dikirimnya ke Negeri Suryan itu.

Setelah para utusan sejumlah negeri yang membayar dirinya itu pulang dan kembali ke negeri masing-masing, Rakab pun memanggil sejumlah pemimpin pasukannnya untuk mematangkan strategi dan rencana serangan berikutnya dengan skala yang jauh lebih besar dibanding garnisun pertama yang dikirimnya, yang telah mengalami kekalahan yang memalukan itu.

Tapi, jauh dari Negeri Najdor yang menjadi markasnya itu, Ilias dan para jenderal di kota Damas di Negeri Suryan pun tengah melakukan apa yang ia lakukan bersama para pemimpin perangnya itu, di mana di kota Damas itu turut hadir pula Jenderal Reham yang terkenal jenius, berkepala dingin, dan senantiasa memiliki perhitungan yang matang dan tepat dalam berperang dan bertempur di medan peperangan dan pertempuran, di mana kejeniusan Jenderal Rahem ini setara dengan kecerdasan Ilias setelah dididik oleh Jenderal Roshtam. 

“Sekarang engkau dan Dardan telah menjadi sahabat satu sama lain,” ujar Zipora kepada Siswi Karina yang saat itu bersama Dardan berada di hadapan Zipora yang sudah mulai tampak menua, namun tentu saja yang aneh dan ajaib adalah justru Dardan itu sendiri yang usianya telah mencapai 300 tahun tapi tetapi kuat, tangkas, gagah, dan perkasa sebagai seekor kuda perang yang telah melayani lima generasi.

“Tentu saja keakraban kami berdua berkat restumu, Zipora,” ujar Siswi Karina.

“Dulu, sewaktu peperangan pertama terjadi di negeri ini,” demikian kenang Zipora, “Dardan-lah yang telah menyelamatkan kami, aku, Ilias, Hagar, dan Sophia, setelah Zacharias gugur. Ketika itu sejumlah prajurit mengepung rumah kami, dan tanpa kami duga, Dardan menerjang para prajurit tersebut dengan amukannya, tanpa kami tahu dari arah mana dia datang. Ternyata dia menjalankan perintah Zacharias yang ia tinggalkan dalam keadaan sekarat sebelum akhirnya ayah anak-anakku itu menghembuskan nafas terakhirnya. Dan ketika sejumlah prajurit lain datang dengan maksud membakar rumah kami, pada saat itulah Misyaila datang dengan pasukan para burungnya dan menghempaskan para prajurit yang hendak menyerang rumah kami itu dengan menggunakan tongkat ajaib di tangannya.”

Dalam peristiwa yang diceritakan Zipora kepada Siswi Karina itu, Zacharias berjuang dan bertempur dengan gigih, sebelum Misyaila dan pasukan para burungnya datang terlambat untuk membantunya, yang akhirnya Zacharias pun gugur ketika berusaha menghadang sejumlah pasukan yang berusaha membakar rumah-rumah para penduduk Negeri Telaga Kahana, hingga sebagian pasukan dari Negeri Amarik itu gugur di tangannya, sebelum ia sendiri akhirnya gugur namun masih sempat memerintahkan Dardan untuk segera menolong keluarganya sebelum Zacharias menghembuskan nafas terakhirnya dalam peperangan yang tak seimbang itu.

Saat itu Siswi Karina tampak terharu dan tersentuh dengan semua yang diceritakan Zipora kepadanya. Saat Siswi Karina bertanya kepada Zipora tentang bagaimana mulanya Misyaila mengenal dirinya, keluarganya, dan Negeri Telaga Kahana, Zipora pun menceritakan bahwa Misyaila adalah gurunya sekaligus sahabatnya Pangeran Ramada, ayah Zipora atau kakeknya Ilias, Hagar, dan Sophia. Siswi Karina agak terkejut ketika mengetahui hal itu, sebab ia sendiri merasa segan dan sungkan untuk menanyakan langsung hal tersebut kepada Misyaila.

“Kini kau paham dan mengerti kenapa Misyaila begitu perhatian kepada kami,” ujar Zipora kepada Siswi Karina.

“Yah, aku mengerti dan paham, Zipora,” jawab Siswi Karina, “sekarang aku paham bahwa Misyaila adalah sahabat Pangeran Ramada, yang berarti ia juga bagian dari keluarga kalian.”

“Betul sekali!” Jawab Zipora.

Demikianlah yang terjadi di Negeri Telaga Kahana, dan sekarang kita menuju ke kota Damas, di mana Ilias dan Jenderal Reham telah menetapkan sejumlah rencana dan strategi untuk menghadapi serangan susulan pasukan Siis pimpinan Rakab ke Negeri Suryan, negeri di mana mereka berada.

Dalam kesepakatan itu, Ilias dan Jenderal Reham telah menetapkan sebuah strategi bahwa mereka akan memberi perlawanan kecil saja ketika pasukan Siis datang, yang akan memberi kesan kemenangan palsu kepada pasukan Siis dengan membiarkan mereka memenangi pertempuran dan dapat menguasai tempat dan kota-kota yang mereka incar, namun sebelum itu para penduduk kota-kota yang akan diserang pasukan Siis diharuskan untuk mengungsi. Dan tugas untuk memimpin pengungsian itu diserahkan kepada Uba Zarila. Barulah setelah itu, setelah pasukan Siis menguasai kota yang mereka taklukkan, pada saat itulah Ilias dan pasukannya juga Jenderal Reham dan pasukannya akan menyerang dan menggempur pasukan Siis.

Strategi itu ditetapkan agar Ilias dan Jenderal Reham dapat mengetahui dengan jelas tempat dan posisi peperangan dan pertempuran yang akan mereka lakukan.

Strategi dan rencana yang matang dan dingin itu tentu saja tidak dibaca oleh Rakab yang terhitung tidak memiliki pengalaman yang matang dalam dunia militer dan kancah peperangan.

Dan di Negeri Najdor itu, garnisun pasukan Siis pimpinan Rakab dengan jumlah yang lebih banyak dan persenjataan yang lebih canggih telah berangkat dan meninggalkan markas mereka. Konvoi pasukan yang luar biasa besar dan banyak itu membuat tanah yang mereka injak dan mereka lewati menjadi bergetar, begitu pun pohon-pohon yang mereka lewati. Dan seperti sebelumnya, mereka pun memilih jalur laut untuk sampai ke Negeri Suryan, yang mana dengan menggunakan jalur laut, kapal-kapal raksasa mereka dapat mengangkut mereka semua dan seluruh persenjataan mereka yang terbilang berat dan super canggih itu.


Hari itu, cuaca tampak cerah dan matahari bersinar dengan terang, dan kapal-kapal raksasa yang mengangkut pasukan Siis dan persenjataan mereka itu pun telah berada di lautan. 

Tidak ada komentar: