Mahasiswi oleh Sulaiman Djaya (2015)



Dari segi fisik, ia bukan perempuan yang dapat dibilang menawan dan jelita. Apalagi untuk dikatakan sangat menyihir dan mempesona pada pandangan pertama ketika bertemu dengannya dalam suatu momen kebetulan. Aku langsung mencandainya ketika pertama kali bertemu dengannya. Saat itu aku bilang padanya bahwa nama lengkapnya tak sesuai dengan panggilan dirinya yang digunakan teman-temannya sesama mahasiswi. Ia langsung mebelalakkan matanya, melotot, tapi sedikit tersenyum karena ulah dan sikapku padanya yang spontan.

Aku mencandainya di sela-sela rehat dalam suatu acara pelatihan menulis di mana aku menjadi salah satu narasumber atau pematerinya.

“Mestinya teman-temanmu memanggilmu dengan panggilan Icah,” kataku.

“Boleh juga, Om!” balasnya. “Bagus koq! Bebas koq! Terserah si Om saja deh!”

Aku hanya tertawa setelah mendengar reaksinya atas ledekanku itu.

“Ya sudah! Kalau begitu kau kupanggil Icah!”

Dan lagi-lagi ia agak tersipu sembari sedikit tersenyum pahit, mungkin sebenarnya hanya untuk menyembunyikan reaksi sinisnya, sembari menyipitkan dua matanya. Atau mungkin saja alasan yang sebenarnya adalah karena ia sungkan untuk menyatakan keberatannya atas sikap dan ledekanku dengan terus-terang mengingat teman-temannya memanggilku dengan panggilan ‘Akang’.

Tapi sejak pertemuan itu, kami cukup lama juga tidak bertemu lagi dengannya, hingga akhirnya aku dan dia bertemu lagi ketika aku menghadiri sebuah diskusi yang bertempat di room theatre yang cukup nyaman dan sejuk di sebuah perpustakaan. Aku dan dia duduk tak jauh, hanya berjarak beberapa meter, dan aku baru ingat kalau dia adalah perempuan yang kuledek saat kami pertama kali bertemu setelah aku mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikannya secara seksama. Maklum aku mudah lupa dengan orang yang baru pertama berjumpa.

“Sepertinya aku kenal kamu,” ucapku padanya saat diskusi itu usai.

“Aku juga sepertinya pernah melihatmu, Om!” jawabnya.

“Oh iya!” kataku dengan spontan, “kamu yah yang aku ledekin saat aku selesai berbicara sebagai narasumber di acara pelatihan menulis itu?”

“Gak salah koq, Om!” jawabnya dengan singkat, cepat, dan tak bertele-tele. “Om pelupa yah?” ia berpura-pura meledekku.

“Semester berapa kamu?” tanyaku.

“Baru semester empat, Om!” jawabnya.

“Kamu jurusan bahasa dan sastra?” aku kembali bertanya.

“Ya, Om! Memang kenapa, Om?” tanyanya.

“Kamu salah jurusan!” kataku, yang lagi-lagi hanya sekedar meledek dan mencandainya.

“Memang mestinya aku kuliah di jurusan apa, Om?” tanyanya sekedar untuk berpura-pura dan mengimbangi percakapan kami.

“Jurusan desain busana atau tata rias pengantin!” jawabku dengan dan maksud bercanda seperti sebelumnya.

“Ih….si Om ada-ada ajah! Gak lucu tau!” ujarnya sembari mengernyitkan dahi dan agak memelototkan dua matanya, yang karenanya ia mulai sedikit menyingkap watak dan karakternya sebagai seorang perempuan.

Sejak saat itu aku sadar bahwa ia ternyata galak juga, dan aku segera menyudahi obrolan singkat itu karena memang aku harus menuju tempat lain. Itulah pertemuan keduaku dengannya, lagi-lagi hanya sekedar sambil-lalu saja, sekedar menyapanya sembari sedikit mencandainya.

Namun, tanpa kuduga, aku malah akan sering berjumpa dengannya, sejumlah pertemuan yang sebenarnya tak terbersit di hati dan pikiranku untuk meniatkannya sebagai sebuah rencana bertemu dengannya. Barangkali itu semua yang kita namakan peristiwa-peristiwa kebetulan yang terjadi terus-menerus. Di sisi lain, aku bukan lelaki yang bisa menyukai perempuan di saat pertemuan pertama, kecuali jika perempuan yang kujumpai itu benar-benar sosok yang menawan dan mempesonaku sebagai seorang lelaki yang menyukai dan menggandrungi seni dan keindahan.

Nona A ini, seperti telah kukatakan, adalah perempuan biasa, apalagi dia masih seorang mahasiswi, sebelum aku mengetahui bahwa salah-satu daya tariknya bagiku adalah kecerdasan dan selera seninya yang lumayan bagus, tentu setelah aku mengetahui kecenderungan dan minatnya pada seni dan sastra, untuk ukuran seorang mahasiswi, yang artinya ia memiliki citarasa seni dan literer yang sangat berkelas, dan kecerdasannya sebenarnya sudah terpancar juga ketika aku berbincang dengannya.

“Kamu sudah pernah menulis puisi?” tanyaku.

“Baru beberapa, Om!” jawabnya, “dan gak bagus-bagus amat. Beda dengan puisi-puisimu, Om, yang romantis, lembut, dan mengalir.”

“Nanti aku ingin membaca puisi-puisi yang kamu tulis yah!” ujarku berusaha membujuk dan meyakinkannya agar ia berbagi denganku.

“Gak usah, Om!” kilahnya, sekedar basa-basi tentu saja.

“Kenapa?” tanyaku.

“Hmmmm….yah seperti kubilang, puisi-puisi yang kutulis kurang bagus.” Ia berusaha bersikap rendah-hati, yang lagi-lagi sebenarnya sekedar bersikap basa-basi saja.

“Biar aku yang memberi penilaian, bukan kamu!” ucapku.

“Sudah menulis prosa, cerpen contohnya?” tanyaku.

“Sudah, Om!” jawabnya.

“Nanti aku ingin baca juga prosamu!” ujarku demi memperpanjang durasi perbincanganku dengannya.

“Jangan-lah, Om!” ucapnya.

“Santai saja dan gak usah malu!” aku meyakinkannya.


Begitulah sepotong perbincangku dengannya saat aku dan dia bertemu untuk ketiga kalinya di acara pelatihan dan pembelajaran sastra dan menulis yang diadakan di sebuah sekolah menengah atas. Kebetulan ia salah seorang panitianya, sementara aku adalah salah seorang pemateri atau narasumbernya, yang diminta untuk memberikan semacam ceramah pengantar tentang sastra dan menulis. Dan sejak itu pula mulai timbul rasa hormat dan perasaan untuk menghargai dirinya. 


Tidak ada komentar: