LELAKI SENJA (Bagian Pertama) oleh Gary Gulaiman (2012-2016)



Kau bayangkan ingatan, masa silam, dan kenangan seumpama sefoto lama berwarna sepia yang kau buka tanpa sengaja dari sealbum lusuh dan kusam ketika kau dilanda dan dirundung kebosanan dan kesepian dalam kesendirianmu. Dan kau hanya dapat mereka-reka serpihan-serpihan yang sudah tak lagi lengkap, berserakan, tapi kau berusaha mengembalikan serakan-serakan itu, meski tak pernah kembali menjadi utuh sebagaimana kau kehendaki seperti pada awalnya. 

Kau melakukan itu karena kau membutuhkan kesibukan bagi pikiran dan angan-anganmu untuk mengalihkan rasa bosan, bahkan amarah terselubung yang berusaha kau lawan dan kau pendam.

Kau harus yakin bahwa hidupmu mengalir berirama seperti sungai dalam bayang-bayang senja. Pada saat itu kau dapat membayangkan suara-suara burung di keheningan udara sebagai sebuah puisi cinta. Kau harus mendengar dengan hatimu yang ikhlas. Dari sana-lah kau akan menemukan bahasa dan perumpamaan. Dalam kesepianmu, kau pandangi angkasa malam setelah kau sibak gorden jendela, seakan kau menginginkan kesunyian galaksi nun jauh dari tatapan dua matamu yang basah. 

Bintang-bintang dan langit yang mirip sebuah kota yang terlelap yang kau pandangi itu kau bayangkan sebagai kesepianmu sendiri. 

Di tengah malam hingga subuh menjelang, kau duduk begitu sabar menanam kata dalam lembar-lembar catatan harian kesayanganmu di bawah seneon lampu kamar. Terkadang rasa bosan menghantam jiwamu yang kesepian, tetapi hatimu tetap bergembira berkat cinta. Kau kenang kisah asmara pertamamu dengan seorang perempuan bermata sendu yang derai rambutnya pernah begitu intim dan akrab bagimu, dan kau mengabadikannya jadi sejumlah sajak. 

Kau terus saja menghisap begitu dalam rokok kretek kesukaanmu sembari sesekali menyeruput secangkir kopimu yang mulai dingin, sementara pikiranmu dan angan-anganmu terus mengembara entah kemana pada saat mana jari-jari tanganmu mengapit pena demi membajak dan menggarap selembar kertas yang tampak bisu dan pasrah di mejamu yang lembab. 

Di luar, dari kamarmu di mana kau duduk sendirian dalam cuaca dingin itu, ada gaib hembus angin yang merapal malam, ada pasangan muda-mudi yang tengah bermesraan, seperti sepasang kekasih yang dimabuk oleh cinta pertama mereka, seperti yang pernah kau alami sendiri. 

Sementara kau memikirkan kata, kalimat, umpama, dan ‘mata’ makna untuk sajak yang kau tulis, kau sempat juga membayangkan bagaimana ia tersenyum dan tertawa saat ia bercanda riang denganmu di sudut café itu. 

Bagaimana ia menggodamu saat ia memintamu untuk membacakan baris-baris puisi cinta, namun kau malah mengelak dengan berpura-pura tak satupun kau hapal puisi cinta yang ia minta kau bacakan padahal kau telah menuliskannya. 

Masih saja terus kau kenang ketika kau dan ia bergandengan tangan berjalan bersama di kota itu, berangkat bersama-sama dari rumahnya ketika kau sampai di depan pintu rumahnya, dan ia menyambutmu dengan rambut tergerai dan sepasang mata nyala berbinar bercahaya, berjalan sedikit cepat menghampirimu yang letih setelah melakukan perjalanan jauh hanya untuk menemuinya. 

Dalam tebaran lampu-lampu jalan dan trotoar, kau dan dia begitu akrab, seperti sepasang bocah berlainan jenis yang bercanda tanpa beban, bergembira dengan bebas. Tapi seperti kau tahu dan kau alami sendiri, setelah itu kau dilanda dan dirundung kekecewaan. Untungnya kau tidak jatuh dalam curam keputusasaan dan bisa menjalani hari-harimu yang lain dengan lebih bergairah, seperti ketika kau jalani jam-jam riangmu bersamanya. 

Kau tersenyum saat kau kenang bagaimana rambutnya yang panjang tergerai itu tergelar di pundakmu saat ia bersandar di tubuhmu. Itulah kenanganmu yang telah menganugerahi kelembutan dan kiasan ketika kau mulai menyukai menulis puisi dan roman. Sejak saat itu pula kau mulai memahami perbedaan cinta dan keikhlasan, bahwa berkat dirinya-lah kau bisa belajar mencintai secara ikhlas dengan tulus untuk merelakannya pergi. Kau sudah mendapatkan sebuah pelajaran untuk tetap mampu mencintai dengan ikhlas. 

Terkadang, sebagai perbandingan, kau jelajahkan pikiran dan angan-anganmu ke masa silam, untuk menjumpai kehidupan masa kanak-kanak dan remajamu, sebagai penghiburan dan pelajaran untuk rasa kecewa yang kau alami. Bahwa kau sudah akrab dengan rasa bosan sejak lama, dengan kesepian dan kesunyian yang hingga kini masih kau akrabi dengan tabah. 

Masa-masa ketika kau memang sudah akrab dengan kesepian dan kesunyian sebagai bocah yang kelak menjadi seorang lelaki, berkarib dengan rimbun bambu, dengan para itik dan angsa di telaga kecil di mana kau duduk di serimbun bambu tempatmu menjalankan tugas yang diperintahkan Ibumu untuk menunggui padi-padi yang telah menguning dari serbuan para burung, dengan matahari dan udara. 

Tentu kau masih ingat ketika kau bermain dengan seekor kelinci kesayanganmu yang berlarian di sela-sela pohon-pohon Rosella yang ditanam Ibumu. Sebagai seorang bocah, kau mengendap-ngendap untuk mengetahui di mana seekor kelinci kesayanganmu itu bersembunyi. Dialah sahabatmu dalam kesepian dan kesunyian dari siang hari sepulang sekolah hingga senja saat kau menjalankan tugas yang diperintahkan Ibumu. 

Tiba-tiba kau teringat adik perempuan tersayangmu yang meninggal di kala masih balita karena demam. Itulah kesedihan pertamamu sebagai seorang bocah yang kesepian, sebagai kanak-kanak yang membutuhkan teman bermain bersama. Kau kenang adik perempuanmu yang jelita sebagai satu-satunya temanmu bermain di masa kanak-kanakmu. Ingatan-ingatan dan kenangan-kenanganmu itu memang seakan kekal dalam benak dan pikiranmu. 

Setelah itu kau kembali teringat dengan kisah asmaramu lagi, setelah kau kenang adik perempuanmu yang jelita itu. Selepas azan asar itu kau dan ia berbincang akrab untuk yang kesekian kalinya, juga di sebuah café, tapi kali ini di kota yang berbeda. Senyumnya yang menawan, tatapan matanya yang sendu, tingkahnya yang nakal, dan kata-katanya yang kau ibaratkan sebagai burung-burung yang terbang di senjakala, telah mengajarkanmu untuk menulis sejumlah puisi cinta. 

Tanpa kau sadari, jam dinding di ruanganmu telah menunjuk angka tiga dan enam, tapi lagu-lagu jazz yang kau dengarkan masih terus mendenting-dentingkan tuts-tuts pianonya. Kau masih setia tafakkur di mejamu, memungut dan mengumpulkan kembali ingatan dan kenangan-kenanganmu di masa silam untuk kau jadikan sebagai sejumlah sajak dan beberapa prosa, sejumlah roman. 


Tidak ada komentar: