LELAKI SENJA (Bagian Keempat) oleh Gary Gulaiman



Di waktu-waktu malam, di waktu-waktu kau sendirian bersandar pada dinding kamar atau duduk menghadap meja tempatmu merenung dan menulis, kau mencurahkan kegelisahan-kegelisahan yang merundung hatimu di lembar-lembar catatan harian kesayangan milikmu, mungkin sebagai topeng dan selubung untuk menutupi kesepianmu, atau mungkin hanya sekedar untuk mencurahkan agar tidak menjadi beban hati dan pikiranmu yang acapkali terdesak rasa bosan dan gundah, yang datang dan hadir kapan saja tanpa kau tahu.

Sementara itu, di waktu-waktu pagi dan sore hari, kau berusaha menyibukkan diri dengan menanam dan menyirami tanaman yang telah kau tanam. Kesibukan tambahan itu kau lakukan dan kau pilih sebagai penghiburan diri, mungkin juga untuk mengalihkan kesepian dan kebosananmu agar kau tak terlampau menyibukkan diri dengan membaca atau pun menulis.

Seringkali juga terpikir di saat-saat kau membaca dan menulis itu, bahwa mungkin saja orang-orang yang selama ini tidak membaca buku-buku filsafat dan kesusasteraan lebih merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka, yah orang-orang bersahaja seperti para petani yang menurutmu lebih terlihat tulus ketika mereka bekerja di sawah-sawah dan di ladang-ladang di pagihari, sianghari, atau sorehari.

Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang siang, dari sore hari hingga di ujung senja. Kau kadangkala memandangi mereka bekerja di waktu-waktu jedamu ketika kau sedang menulis atau membaca di gubuk yang memang tak jauh dari hamparan sawah-sawah itu. Sebagian adalah ibu-ibu dan beberapa di antara mereka adalah perempuan-perempuan yang masih terhitung muda dan belia.

Mereka, para petani itu, tentu saja tidak pernah menyibukkan dirinya dengan persoalan-persoalan epistemologis dan pertanyaan-pertanyaan axiomatik seperti halnya seorang pemikir atau pun penulis seperti dirimu. Jikalau pun mereka berpikir, tentu sebatas bagaimana memenuhi kebutuhan wajib keseharian mereka untuk menghidupi diri dan keluarganya, dan itu memang sama terhormatnya dengan para sarjana dan penulis yang mencari nafkah dan gengsi sosial dari pengetahuan dan keterampilan mereka.

Sebenarnya, saat itu, kau tengah dirundung dan digundahkan sejumlah pertanyaan, yang barangkali muncul dari kegelisahan dan kebosananmu. Pertanyaan-pertanyaannya itu, bagaimana pun, muncul silih berganti dalam benakmu ketika kau meragukan apa yang kau lakukan selama ini dengan menulis dan membaca. Kebuntuan yang tiba-tiba segera mengingatkanmu pada puisi Tukang Batu-nya Rabindranath Tagore:

“Kau kira aku anak kecil, Ibu, tapi kau keliru, sebab aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.

Tiap pagi kunaiki kereta dan pergi ke kota dan kususun batu demi batu dengan semen dan kapur dan kugambar dinding layaknya gambar menangkapku.
Kau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi kukatakan padamu aku membangun rumah sungguh-sungguh.

Ini bukanlah rumah-rumah kecil sebab kudirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.

Tetapi bila kau tanyakan padaku kenapa aku berhenti di sana dan kenapa aku tak meneruskan membangun tingkat demi tingkat hingga atapnya mencapai bintang-bintang, kuyakin aku tak dapat mengatakannya padamu dan kuherani diriku sendiri kenapa aku berhenti di mana saja pada segala.

Kunaiki perancah saatku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar ketimbang sekedar bermain-main. Kudengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang-pedagang dan para penjual barang logam dan buah-buahan; pada petang hari bocah-bocah lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarang mereka.

Kau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga.

Tetapi bila kau tanyakan padaku mengapa kutinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami meski kubisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya, kuyakin aku tiada dapat mengatakan padamu.”

Apa yang kau tulis dalam buku catatan harian kesayanganmu itu barangkali tak lebih ikhtiar penghiburan dirimu sendiri di sela-sela waktu menulis dan membaca, di mana kau dapat menemukan kenyamanan dalam kesendirianmu di waktu malam, pagi, dan sore hari. Kau akan menuliskan apa saja yang ingin kau tuliskan di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayanganmu itu kapan pun kau ingin menuliskannya.

Dengan menulis di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayanganmu itu, kau pun menemukan kebebasan yang paling menyenangkanmu. Kadang-kadang kau menuliskannya sembari mendengarkan musik-musik klasik dan jazz, dan kadang-kadang dalam keadaan senyap di antara suara kersik daun dan desiran angin yang samar-samar pada waktu tengah malam hingga subuh menjelang.


Ilustrasi: Lukisan Sea Bench karya Emmy Go (atas) dan Weaving karya Basuki Abdullah (bawah). 



Tidak ada komentar: