SBY Antek Amerika dalam Mengkhianati Iran



Oleh Redaksi Islam Times

Di forum-forum resmi internasional, Indonesia nyaris tak pernah menyetujui sanksi apapun atas Iran. Pernyataan pejabat negara sekaitan program pembangkit nuklir Iran selalu bernada positif, mendukung hak Iran dalam pengembangan energi nuklir damai, dan cenderung jauh dari keinginan Amerika dan negara-negara sekutu yang gemar menhancurkan citra Iran dan menghukum Iran lewat aneka sanksi ekonomi. Tapi sejumlah telegram WikiLeaks menunjukkan kalau Jakarta bermuka dua dengan mendukung diam-diam sanksi ilegal Amerika atas Iran di dalam negeri. Telegram juga memunculkan kesan kalau Amerika begitu paranoid pada setiap kabar yang berisi kemungkinan Iran bisa berinvestasi dan membangunan hubungan dengan kalangan sipil dan militer di Indonesia

[1] Telegram bertajuk “Demarche Delivered Regarding Preventing Establishment Of Iranian Joint Bank In Indonesia”, dikawatkan pada 10 September 2008, menyebutkan kalau: “orang-orang penghubung di pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi kalau Bank Melli telah menanyakan aturan bisnis bank asing di Indonesia, tapi belum melayangkan surat permohonan untuk membuka cabang, anak perusahaan atau bermitra dengan Bank Panin atau institusi keuangan Indonesia lainnya. Seorang pejabat di Kementrian Luar Negeri bilang kalau Deplu belum lama ini menggelar pertemuan antarlembaga dan sebuah pertemuan dengan kalangan bank dan komunitas bisnis dan membriefing mereka sekaitan implikasi saksi atas Iran dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSCR) belakangan ini.”

(Catatan Islam Times: telegram lainnya mengungkap keleluasaan diplomat Amerika mencari tahu segala hal terkait bisnis perusahaan Iran di Indonesia, utamanya via Pusat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang dalam telegram digambarkan sebagai “lembaga penerima bantuan USAID”. Telegram lain menyebut adanya permintaan bantuan dari Yunus Hussein, bos besar PPATK, ke DOJ/OPDAT (Departement of Justice/ Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance and Training) agar pemerintah Amerika “membantu perumusan draft Rancangan Undang-Undang Pendanaan Terorisme”.

[2] Dalam sebuah telegram bertajuk “Iran — Indonesia To Urge For Release Of Detained Amcits”, dikawatkan pada 19 Februari 2010 dengan marka SECRET//NOFORN, Duta Besar Amerika, Cameron Hume, menulis: “Jurubicara presiden, Dino Patti Djalal, bilang ke DCM pada 19 Februari kalau Indonesia akan meminta Iran melepas tiga warga Amerika yang ditahan di Iran dengan peritmbangan kemanusiaan. Bekas Sekretaris Jenderal D-8, Dipo Alam (kini Menteri Sekretaris Kabinet) akan bertandang ke Tehran pada 1 Maret sebagai bagian dari serangkaian kunjungan ke para pemimpin negara-negara D-8. Dipo Alam dijadwalkan bertemu Menteri Luar Negeri Manouchehr Mottaki dan kemungkinan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Djalal bilang ke kami kalau atas nama Pemerintah Indonesia (dan bukan Amerika Serikat), Dipo Alam akan meminta Iran melepas warga Amerika yang ditahan dengan pertimbangan kemanusiaan….”

(Catatan Islam Times: di telegram lain, ada terekam kalau Dino Patti Djalal menjadi ‘mata dan telinga’ Kedutaan Amerika dalam melaporkan pertemuan antara Presiden Yudhoyono dan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Sayyid Ali Khamenei.)

Kedutaan Amerika ‘Memberi Restu’ pada Rencana Jahat Eksekutif Newmont
Sebuah telegram bertajuk “Rick Ness Testifies In Newmont Case This Week”, dikawatkan dari Jakarta pada 24 Agustus 2006, merekam pengamatan diplomat Amerika atas persidangan Richard Ness, bos besar PT Newmont Minahasa Raya. Lepas memaparkan jalannya persidangan, telegram menyebutkan: “di sela-sela persidangan, kami mendengar sejumlah isyarat dari eksekutif NMR kalau mereka telah menyiapkan sebuah rencana darurat sekiranya Ness diputus bersalah. Dalam sebuah pertemuan sosial lepas persidangan di Manado, mereka memberi isyarat kalau Newmont telah mengontak sebuah perusahaan keamanan swasta untuk menyelundupkan Ness ke luar Indonesia sekiranya dia dinyatakan bersalah setelah semua peluang banding habis. Mengingat minimnya bukti-bukti adanya kejahatan, dan nada-nada politik yang jelas di balik keputusan masuknya kasus ini ke pengadilan, eksekutif Newmont memberi kesan pembenaran pada rencana mereka melarikan Ness ke luar negeri agar dia tak sehari pun menginap di terungku.”

(Catatan Islam Times: Dalam telegram, tak ada informasi apapun yang mengungkap adanya keberatan diplomat Amerika lepas mendengar rencana penyelundupan Ness oleh para pejabat senior Newmont. Pada 2007, pengadilan di Manado membebaskan Richard Ness dan PT Newmont Minahasa Raya dari semua tuduhan sekaitan gugatan pencemaran di Teluk Buyat.)

Kedutaan Amerika Ingin Menaklukkan Setiap Penentangan atas Hegemoni Amerika
Pada 12 November 2009, dalam sebuah telegram bertajuk “Indonesian Foreign Policy–realizing The Potential Of President Yudhoyono’s Second Term”, Ted Osius, Charge d’Affaires menulis kebijakan yang patut diambil Washington seiring kembali terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pemilu di bulan sebelumnya. Marka “CONFIDENTIAL” di awal telegram mengisyaratkan kalau semua yang dia kawatkan hari itu bisa ‘merusak’ keamanan nasional Amerika bila sampai terungkap ke publik.

Pemeriksaan Islam Times menunjukkan kalau dokumen ini memuat semacam grand design Kedutaan Amerika yang ingin memotong kaki perlawanan anak bangsa atas hegemoni Amerika – dan juga Israel yang diam-diam mereka wakilkan kepentingannya – atas Jakarta. Sebuah skenario besar berbungkus sarung tangan belundru “Kemitraan Komprehensif”, dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai partner utama mereka.

Di awal bagian awal dari telegram, Osius (masih aktif sebagai Wakil Duta Besar Amerika di Jakarta hingga saat ini) banyak bercerita tentang sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Osius bilang presiden ingin ‘tampil’ di forum internasional di luar Asia, (forum G20 mungkin venue yang tepat, katanya), ingin dilihat sebagai sosok yang bisa menjembatani perbedaan-perbedaan dunia. Dengan “pendekatan yang tepat”, kata Osius, besar kemungkinan Presiden Susilo Bambang Yuhdoyono berdiri di belakang Amerika dalam soal Afghanistan, Myanmar, Iran, Climate Change dan Palestina. Katanya, Misi Amerika di Jakarta “sedang mengekspolorasi kemungkinan melibatkan Indonesia dalam melatih polisi di Afghanistan”. Jika ini berhasil, Indonesia bisa berperan lebih besar di Afghanistan, katanya. Dia juga bilang kalau dalam periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia ada kemungkinan menunjukkan “kelonggaran” atas Israel.

Osius lalu bercerita tentang orang-orang yang bisa membantu mewujudkan visi Presiden – dan sekaligus Amerika. Dia menyebut nama Menteri Marty Natalegawa, yang dia gambarkan sebagai sosok yang ‘berpikiran terbuka’, pragmatis dan menyukai ‘pendekatan inklusif dalam diplomasi’. Dia juga ada menyebut nama Kemal Stamboel, wakil Partai Keadilan Sejahtera di Komisi I DPR (bidang luar negeri, keamanan) yang, menurutnya, berpandangan positif dalam soal climate change, anti korupsi dan isu-isu lain ‘yang penting bagi Amerika’.

Di bagian berikutnya, dia menyebut pihak-pihak yang berpotensi mengganjal visi presiden. Yang paling pertama adalah yang dia identifikasi sebagai pejabat Kementrian Luar Negeri – “khususnya yang berada di level madya”, katanya – yang “masih penuh dengan pandangan dunia kabur Gerakan Non-Blok yang anti-Barat”. “Reaksi pertama mereka biasanya menentang inisiatif-inisiatif kita, khususnya dalam konteks multilateral. Mereka juga cenderung memberontak dalam sejumlah pesoalan semisal protokol, hak-hak istimewa dan imunitas, dan banyak urusan formal lainnya.”

Pihak kedua yang disebutkan bisa menggagalkan langkah Presiden Yudhoyono – dan ini juga berarti inisiatif Amerika Serikat di Indonesia – adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Kata telegram, suara-suara moderat (baca: pro Amerika) di DPR kerap dalam tekanan saat yang jadi urusan adalah hal-hal yang sensitif terhadap Muslim.

Telegram juga menyebut kalau Indonesia secara reguler masih mengekor pada sikap Negara-negara Non-Blok dan OKI dalam penentuan suara di PBB, seperti yang terkait Laporan Goldstone soal konflik Gaza. Ada juga keluhan soal “lambatnya kemajuan pendirian Indonesia-United States Center for Biomedical and Public Health Research akibat kencangnya serangan bermotif politik pada Menteri Kesehatan (Endang Sedyaningsih, red. Islam Times), yang telah dituduh terlalu dekat pada Amerika”. 

“Hambatan serupa ini tak bakal hilang dalam semalam,” kata Ted.


Di bagian akhir, Ted menuliskan resep yang dia anggap manjur agar Amerika bisa keluar dari semua kemelut dan sampai pada tujuannya: “Sebuah visi strategis yang menjangkau jauh dan pelibatan kukuh pejabat senior pemerintahan Amerika dengan pihak Indonesia adalah sebuah kemestian demi mewujudkan potensi penuh peluang-peluang kerjasama.

Ted juga bilang kalau Amerika “perlu menaklukkan kebiasaan-kebiasaan yang tertanam dalam di birokrasi Kementrian Luar Negeri dan legislatif”. Katanya lagi: “Kita juga perlu memenangkan opini publik yang tak selalu simpati pada posisi Amerika. Pengembangan Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika adalah mekanisme kunci untuk menjalankan semua itu. Seiring upaya kita mengembangkan Kemitraan, kita seharusnya bisa mencapai kesepakatan atas sejumlah prinsip-prinsip strategis bersama. Penting pula bagi kita untuk melembagakan forum-foum konsultasi bilateral yang rutin di tingkat kementrian dan level di bawahnya.” 




Tidak ada komentar: