Libanon, Multikulturalisme, dan Hizbullah (Bag. 1)




Libanon berada di benua Asia sebelah Barat Daya laut tengah. Sebelah utara dan timur berbatasan dengan Suriah. Sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Palestina yang diduduki oleh Israel, dan sebelah barat berbatasan dengan laut tengah. Luas wilayah Lebanon mencapai 10.452 km dan jumlah penduduknya kurang lebih 5.000.000 jiwa.

Libanon mendapatkan kemerdekaannya secara resmi pada tahun 1943 setelah beberapa lama berada dalam jajahan Prancis. Sistem pemerintahan Libanon adalah gabungan antara republik, parlementer dan presidensil. Presiden harus dipilih oleh 2/3 suara mayoritas dewan perwakilan. Syarat utama seorang presiden adalah bahwa ia harus seorang penduduk asli Libanon dengan agama Kristen Manorit. Presiden dipilih untuk 6 tahun. Sementara itu, jabatan Perdana Menteri diangkat oleh Presiden. Syarat Perdana Menteri adalah harus dari kalangan Muslim Sunni. Pemilihan anggota dewan perwakilan Libanon dilakukan dengan prinsip one man one vote, bebas, langsung dan rahasia. Selain itu, sistem pemilihan tersebut memperhatikan representatif etnis. Memilih dan dipilih adalah hak setiap penduduk di Libanon, baik laki-laki maupun perempuan. Selanjutnya, ketua parlemen Libanon mesti dari kalangan Muslim Syi’ah.

Berbicara mengenai Libanon tidak akan terlepas dari sebuah konflik politik yang sering terjadi di Negara berjulukan Swiss Timur Tengah ini dan juga tentang sebuah organisasi militer, bukan partai politik yang bercokol di Lebanon, yaitu Hizbullah.

Nama Hizbullah mulai mencuat seiring dengan agresi Israel ke Libanon. Sejarah kelahiran Hizbullah memiliki kaitan erat dengan revolusi Islam di Iran, di bawah pimpinan Ruhullah Al-Musawi Khomeini pada tahun 1979.  Hizbullah lahir pada Tahun 1984 dan pada tahun 1985 Hizbullah secara resmi mendukung Revolusi Islam di Libanon. Strategi politik dan militer Hizbullah pun dinilai sukses, terbukti dengan hengkangnya Zionis (imperialisme) Israel dari tanah Libanon, pada tahun 2000 yang selama 22 tahun bercokol di tanah Libanon dan pada tahun 2006 saat Israel menyerang Libanon.

Pluralitas aliran keberagaman atau agama dan tendensi politik warga Libanon menjadikan tempat yang ideal bagi Hizbullah yang memiliki dasar atau berlandaskan Syi’ah. Dari sinilah Hizbullah tumbuh besar dan membangun jejaring perlawanannya terhadap imperialisme Amerika dan Zionis Israel yang selama puluhan tahun menjajah di wilayah Arab. Di negeri Libanon inilah Hizbullah membangun sayap militer yang handal, mengendalikan opini dunia Arab dan Islam sekaligus memainkan peran king maker dalam kontelasi politik Libanon.

Kondisi politik Lebanon juga membuat masyarakat terbiasa dengan keberadaan partai dan organisasi. Karena itu, saat pertama kali mendengar Hizbullah, mereka mengiranya seperti parta-partai atau organisasi lainnya. Juga, pendudukan Israel dan kondisi internal masyarakat Libanon memaksa Hizbullah untuk memiliki perangkat militer, sosial dan media informasi.

Singkat kata, Hizbullah adalah organisasi yang membuat dunia Barat dan Zionis Israel harus berpikir ulang lagi untuk memasuki wilayah Libanon yang merupakan tempat bercokolnya kelompok Hizbullah.

Hizbullah adalah sebuah gerakan perlawanan yang beroperasi di episentrum tarik-menarik politik kawasan Timur Tengah (Tim-Teng) dan Barat. Berbicara Hizbullah sangat dekat dengan organisasi kelompok Syi’ah di Lebanon dan memiliki hubungan dengan Negara Islam Iran. Sebab, pendiri utama Hizbullah adalah kebanyakan dari kalangan tokoh Syia’h. Salah seorang tokoh kalangan Syi’ah tak lain adalah Musa Al-Shadr. Beliau lahir di kota Qum, Iran, di salah satu daerah yang bernama Zaqaq ‘Isyaq Ali (Asyq Ali), di mana ia disebut sebagai Bapak Spritual Hizbullah.

Ketika langit perpolitikan Libanon mulai nampak keruh pada tahun 1978, As-Shadr tiba-tiba menghilang dari kancah perpolitikan. Pada tanggal 25 Agustus 1978, Musa Al-Shadr pergi ke Libya dan bertemu dengan Kolonel Qadafi. Namun setelah itu beliau hilang tanpa jejak.

Beberapa media mengatakan bahwa Libya dicurigai telah membunuh Musa Al-Shadr akibat perselisihan tajam antara Qadafi dengan Musa Al-Shadr perihal peran Libya di balik perang saudara Libanon pada tahun 1970-an. Bersamaan dengan itu muncullah nama Ayatullah Sayyid Muhammad Husain Fadlullah sebagai figur di dunia pendidikan dan politik, yang secara tidak langsung mempengaruhi kondisi perpolitikan di Libanon. Sayyid Muhammad Husein Fadlullah adalah sosok yang unik, yang mana ia bukan hanya ulama, tapi juga aktivis dan pemimpin politik. Namanya kian mencuat seiring dengan berdirinya Hizbullah. Ia juga salah satu kreator lahirnya Hizbullah. Bahkan ia sempat dinobatkan sebagai pimpinan spiritual Hizbullah. Akan tetapi ia menolaknya. Namun tak seorangpun memungkiri kiprah Fadlullah dalam memajukan Hizbullah, baik dalam bidang politik maupun militer.

Berdirinya organisasi Hizbullah juga tidak terlepas dari gerakan intelektual dan politik Syi’ah yang berkiblat ke Madrasah Ad-Diniyah Najaf dan partai dakwah Islam yang diketuai oleh Sayyid Muhammad Baqir As-Sadr di Irak. Lembaga ini telah mencetak generasi-generasi militan yang mengembangkan Syi’ah di Lebanon. Satu diantaranya adalah Musa As-Shadr, pendiri Harakah AMAL (Batalyon Perlawanan Libanon) yang dipimpin oleh Nabih Berre yang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Libanon.

Hizbullah menganut konsep di mana lembaga eksekutif berada di bawah pengawasan ulama. Mereka tidak menganut konsep organisasi politik seperti yang lazim dikenal. Hal inilah yang membedakan konsep Hizbullah dengan partai, organisasi dan gerakan Islam lainnya.

Banyak orang menyangka Hizbullah adalah kelompok berbentuk organisasi sebagaimana partai dan organisasi lainnya. Padahal, sejak dulu sampai sekarang Hizbullah selalu berusaha menentang bentuk organisasi atau sistem partai. Sebab, Hizbullah menghendaki anggotanya tetap berjuang bersama kaum ulama yang berbasis di masjid dan masyarakat. Dengan begitu, Hizbullah terbuka bagi seluruh kaum muslim. Bukan hanya satu golongan saja, karena kita tahu sendiri bahwa Hizbullah memiliki dasar perjuangan yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh Islam Syi’ah. Sehingga, Hizbullah menyatakan prinsip perjuangannya bukan untuk kepentingan internal saja, melainkan untuk kebangkitan Islam dari genggaman dunia Barat dan Zionis Israel (Bersambung ke Bag. 2).

Tidak ada komentar: