Julian Assange, Wikileaks, Borok SBY, dan Politik Amerika (Bag. 2)



Berikut adalah sejumlah orang dan lembaga yang dalam telegram kedutaan Amerika di Jakarta mendapat predikat “Please Protect”:

Sydney Jones
Dalam sebuah telegram bertajuk “With Death Of Key Terrorist Confirmed, Police Continue Full-court Press”, dikawatkan dari Jakarta pada 23 September 2009 oleh perwira politik kedutaan, Joseph L. Novak, disebutkan: “Banyak ahli konterterorisme telah berspekulasi ihwal siapa yang bisa mengambil alih pucuk pimpinan organisasi pecahan JI…Penasihat Senior International Crisis Group (ICG) Sidney Jones (Amcit—please protect) berspekulasi bahwa seorang teroris bernama Reno (hanya satu nama) bisa jadi mengambil-alih pucuk pimpinan organisasi pecahan, kendati dia dengan cepat bilang bahwa JI tak perlu struktur pimpinan formal untuk menggelar operasi….”

(Catatan Islam Times: atribusi Please Protect juga melekat pada nama Sydney Jones dalam sedikitnya lima telegram lain bertema penungkapan kasus “terorisme”.)

Kontak di Indonesia Corruption Watch (ICW)
Sebuah telegram bertajuk “Scrutiny Of Bank Century Bailout Iccreases”, dikawatkan dari Jakarta pada 6 November 2009, langsung oleh Duta Besar Cameron Hume, menyebutkan: “Seorang informan Kedutaan yang terpercaya di Indonesia Corruption Watch (PLEASE PROTECT) bilang ke kami kalau dia mengetahui bahwa dana-dana Bank Century telah digunakan untuk membiayai kampanye pemilihan ulang Presiden Yudhoyono. Dia percaya kalau informasi itu kredibel….

(Catatan Islam Times: penulisan huruf kapilita “Please Protect” hanya tercantum dalam telegram ini dari 3.059 telegram yang berasal dari Kedutaan Amerika di Jakarta di situs WikiLeaks sejauh ini).

Henry Durant Centre for Humanitarian Dialogue
Sebuah telegram bertajuk “Papua — Tentative New Efforts To Address Grievances”, dikawatkan dari Jakarta pada 6 Maret 2009, membahas penilaian diplomat Amerika atas The Papua Roadmap besutan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Di salah satu bagian telegram tertera keterangan: “para pejabat LIPI terus membangun dukungan untuk Roadmap dalam pemerintahan dan telah mencari masukan dari Henry Durant Centre for Humanitarian Dialogue yang berbasis di Jenewa (please protect).”

David Cohen
Dalam telegram bertajuk “Human Rights — Encouraging Indonesia To Implement Truth Commission Report”, dikawatkan dari Jakarta pada 20 Oktober 2008, perwira politik kedutaan, Joseph L. Novak, menyebutkan kalau dalam sebuah pertemuan, seorang warga Amerika yang bekerja sebagai penasihat untuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste (CTF) telah mengungkap sejumlah cara “mempercepat implementasi rekomendasi CTF untuk reformasi sektor keamanan di Indonesia via pendidikan hak asasi”.

Sang penasihat itu juga menyarankan kalangan LSM melapangkan jalan dengan gencar mempublikasi laporan CTF, agar kesimpulan tentang pelanggaran hak asasi di Timor Timur dan perlunya reformasi bisa diketahui orang banyak. Telegram menggambarkan lebih jauh tentang sang penasihat: “David Cohen (AmCit – please protect), Direktur Barkeley War Crimes Studies Center di University of California, membriefing DepPol/C pada 10 Oktober sekaitan kemajuan implementasi laporan CTF, disebarkan untuk umum pada 15 Juli. (Catatan: Cohen saat ini adalah seorang konsultan bagi pemerintah Indonesia dan Sekretaris ASEAN, di luar pekerjaannya di Berkeley….”)

Komunitas Yahudi Surabaya
Dalam sebuah telegram bertajuk “Special Envoy Rickman Meets With Jewish Community In Surabaya”, dikawatkan dari Jakarta pada 7 Augustus 2008, Principal Officer Konsulat Amerika di Surabaya, Caryn R. McClelland, menuliskan ikhtisar berikut: “Utusan Khusus untuk Pengamatan & Perlawanan Anti Semitisme, Gregg Rickman, berkunjung ke Surabaya pada 30 Juli 2008, usai mampir di Jakarta. Rickman, ditemani Karen Paikin, dari Kantor Pengamatan dan Perlawanan Anti-Semitisme, dan Yakov Barouch, seorang Rabbi yang tinggal di Jakarta, berkunjung ke synagogue, satu dari hanya dua di Indonesia, dan sebuah pekuburan Yahudi, dan bertemu dengan anggota komunitas Yahudi, yang jumlahnya kurang dari 20 orang.”

Telegram lalu menjelaskan lagi: “Sinagog di Surabaya, awalnya sebuah rumah dan kantor dari seorang dokter warga negara Belanda, telah berfungsi sebagai sinagog sejak 1939. Tak ada pengamanan kcuali sebuah pagar besi rendah yang membalut bangunan. Anggota Keluarga Sayur bertindak sebagai pengurus sinagog dan tinggal di sebuah rumah yang bertetanggaan…Joseph Sayer dan istrinya Rivka tinggal di sana dengan seorang anak perempuan, Hanna, dan seorang cucu (please protect). Dua cucu lainnya saat ini sedang belajar di luar negeri: satu di Inggris dan satu di Amerika. Keluarga Sayer memegang paspor Belanda, tapi menetap di Indonesia seumur hidup mereka.

“…Rickman juga menemui Helen Nasim (please protect) di kediamannya. Dia punya seorang putra dan seorang cucu. Dia mengungkapkan pesimisme seputar peluang keluarganya tetap di Indonesia, dan bilang kalau dia selalu berusaha merahasiakan identitas ke-Yahudiannya….”

Doug Ramage
Dalam sebuah telegram bertajuk “Major Political Party Under Pressure”, dikawatkan dari Jakarta pada 16 Juli 2008, diplomat Amerika di Jakarta menuliskan: “…Doug Ramage (AmCit–please protect), pimpinan Asia Foundation Office di Jakarta, bilang ke kami belum lama ini kalau “Golkar tak memproyeksikan sebuah citra bahwa ia siap menyelesaikan persoalan-persoalan yang ditanggung rata-rata orang….”

Arief Budiman
Diplomat Amerika menggambarkan Arief sebagai “asisten” Ketua DPR Agung Laksono. Beberapa telegram menunjukkan kalau dari Arief lah kalangan diplomat Amerika bisa mengetahui langkah-langkah Agung dalam membina hubungan dengan kalangan parlemen di Iran. Dari sumber yang sama pula, diplomat Amerika bisa mendengar lebih awal tentang langkah-langkah politik pilihan pemerintah sekaitan program pembangkit nuklir Iran yang ditentang habis-habisan oleh Amerika, tentang hal-hal yang dikerjakan Presiden Yudhoyono kala berkunjung ke Tehran dan apa saja isi pembicaraan antara Agung dan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, saat yang terakhir berkunjung ke Jakarta. Di telegram lainnya, diplomat Amerika menggambarkan Agung sebagai sudah lama bersimpati pada Iran.

Michael Vatikiotis
Dalam sebuah telegram tertanggal 31 Oktober 2007, diplomat Amerika di Jakarta menggambarkan pertemuan mereka dengan Michael Vatikiotis, Direktur Regional Henry Dumont Centre for Humanitarian Dialogue, sehari sebelumnya. Subjek diskusi adalah politik Myanmar. Kata telegram: “Vatikiotis, (please protect), yang berbasis di Singapura, rutin dan very lucid interlocutor dalam sejumlah isu resolusi konflik, termasuk di Timur Tengah.” Telegram lebih jauh menyebutkan gagasan Vatikiotis seputar diplomasi di Myanmar dan bilang kalau pandangannya saat pertemuan “tidak sepenuhnya menggambarkan pandangan pemerintah Indonesia.”

Edwin Gerungan
Sebuah telegram sekaitan langkah Bank Mandiri membekukan rekening perusahaan Korea Utara menyebut nama Edwin Gerungan. Dalam telegram bertajuk “Bank Mandiri Closes Dprk Accounts”, dikawatkan pada 14 Agustus, disebutkan: “Pimpinan Board of Commissioners di Bank Mandiri Indonesia, Edwin Gerungan (please protect), bilang ke kedutaan pada 9 Augustus kalau Mandiri telah menghentikan hubungan dengan dua bank Korea Utara pada Juli: Korea Daesong Bank dab Foreign Trade Bank….”

Dr. Djaloeis
Dalam rangkuman telegram bertajuk “Political Intrigue Imperils Bapeten’s Chairman Job”, dikawatkan pada 28 Mei 2004, tercantum keterangan: Pimpinan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) Dr. Djaloeis (please protect) mengungkapkan ke kami pada 25 Juli bahwa sebuah intrik politik yang melibatkan salah seorang deputinya dan Menteri Riset dan Teknologi Hatta Rajasa, dan sebuah kelompok radikal yang sebelumnya tak diketahui dan bernama Tharbyah kemungkinan mengancam posisinya.”

Djaloies, kata telegram, juga mengungkapkan kalau sebuah surat yang memuat pencapaiannya dan rencana-rencananya untuk Bapeten di masa datang berhasil meyakinkan Presiden Megawati untuk memperpanjang masa jabatannya lebih dari usia pensiun pegawai negeri umumnya, yakni 60 tahun.

Di Jakarta hari-hari ini, orang-orang yang berstatus “strictly protect” dan “please protect” di dalam dokumen WikiLeaks mungkin masih bisa sedikit tenang. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejauh ini memilih ‘menganggap sepi’ semua bocoran WikiLeaks, mungkin sebab banyak di antaranya bercerita tentang rumor miring keluarga presiden, mungkin pula sebab membicarakan dokumen sama saja ‘mengamputasi’ diri sendiri, di tengah fakta banyaknya telegram yang memuat cerita kontak rutin hampir semua kalangan, dari politisi, pejabat, polisi, tentara, birokrat, pegiat media dan LSM, dengan kalangan diplomat Amerika.

Sementara itu, media-media nasional, besar maupun kecil, nampaknya memilih menggunakan ‘kaca mata kuda’; seperti sengaja hanya memfokuskan pemberitaan pada informasi ‘percintaan gelap’ FPI-Polisi-Intelijen plus soal kasus pembunuhan Munir dalam dokumen WikiLeaks dan melupakan puluhan ribu dokumen lainnya yang notabene menawarkan kontroversi dan keaktualan yang tinggi — dan semua ini otomatis menjadikan publik buta dari kebenaran.

Di sisi lain, pihak Kedutaan Amerika di Jakarta – sejauh ini memilih tak mengomentari apapun sekaitan dokumen di WikiLeaks– mungkin pula telah menghubungi para penyandang status “strictly protect” untuk meminta ‘permakluman’, meredam ‘kekagetan’ dengan harapnya bisa tetap mendapatkan ‘loyalitas’ dari pihak yang telah mereka sedot informasinya.

Tapi dokumen WikiLeaks adalah gulungan kawat rahasia yang kini bebas diakses siapa saja. Cepat atau lambat, mata orang banyak bakal terbuka. Kini, di hadapan penguasa Jakarta, ada peluang emas, kesempatan besar untuk menunjukkan moral tinggi bangsa. Mereka hanya perlu merangkul kembali anak-anak mereka yang telah terpedaya oleh ‘kedigdayaan’ dan mulut manis para diplomat Amerika di Jakarta. Siapa tahu dari situ kita semua bisa melihat sisi-sisi lain laku diplomat Amerika yang tak terekam dalam gulungan kawat WikiLeaks.

Hak cipta © Redaksi Islam Times

Tidak ada komentar: