Mungkin para pembaca dapat menerka kisah
selanjutnya setelah Anda semua membaca dan mengetahui kisah sebelumnya. Anda semua
bisa membuat kisah versi Anda sendiri setelah membaca dan mengetahui
kisah-kisah sebelumnya. Tapi, kisah ini tentu saja, sesuai dengan paparan sang
naratornya. Dan marilah kita teruskan......Di kota Damas itu,
sementara pasukan Siis tengah dalam perjalanan mereka menuju Negeri Suryan,
Ilias dan Jenderal Reham mendapatkan informasi yang sangat berharga dari
salah-seorang intelijen Negeri Suryan bahwa pasukan Siis pimpinan Rakab itu
juga disokong oleh Dagoner dari Negeri Turik.
Berdasarkan laporan intelijen yang memberikan
informasi kepada Ilias dan Jenderal Reham itu, Dagoner dari Negeri Turik
mendukung pasukan Siis karena ‘disuap’ oleh Negeri Amarik dengan bayaran yang
cukup besar dan menggiurkan, juga mendapatkan kompensasi dari Negeri Najdan
yang dikuasai Pangeran Wilad Nibtalal, dan Negeri Asrail yang dipimpin Ziva
Kamarin, sehingga markas pelatihan pasukan Siis cadangan telah disiapkan di Negeri
Turik. Selain itu, Dagoner juga memiliki kepentingan untuk memerangi Bangsa Rudik
ketika ia mendukung pasukan Siis pimpinan Rakab yang bengis dan keji itu.
Sebab, Bangsa Rudik memang dikenal ‘bermusuhan’ secara politik dengan Bangsa Turik
untuk waktu yang terbilang lama hingga saat ini.
Ketika mengetahui hal tersebut, Ilias pun mengirimkan
utusan khusus untuk menyampaikan informasi penting itu ke Negeri Farisa, ke
Jenderal Roshtam agar dikirim pasukan khusus tambahan sebagai tindakan
preventif alias jaga-jaga demi sekali kemungkinan yang bisa saja terjadi tanpa
terduga, setelah Ilias mendapatkan persetujuan dari semua yang hadir dalam
rapat rahasia di kota Damas di Negeri Suryan itu.
Rapat rahasia dan terbatas di kota Damas itu pun
berhasil memutuskan untuk mencegat dan memberi kejutan demi menyambut
kedatangan pasukan Siis pimpinan Rakab, yang setiap pasukannya langsung
dipimpin Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri. Sementara divisi-divisi
yang lain, yang bukan merupakan dua pasukan utama yang mereka bentuk
berdasarkan strategi yang mereka godok dalam rapat rahasia itu, dipimpin
masing-masing oleh empat orang kepercayaan Jenderal Reham dan dua orang
kepercayaan Jenderal Ilias.
Tanpa sepengetahuan Ilias, informasi yang ia kirim
melalui seorang utusan ke Negeri Farisa itu disampaikan juga kepada dua
adiknya, Hagar dan Sophia, ketika informasi itu telah sampai kepada Jenderal Roshtam.
Tentu saja, setelah mengetahui informasi dari Jenderal Roshtam tersebut, mereka
memutuskan untuk memberitahu Misyaila dengan kembali mengirim Burung Hudan
kesayangan mereka agar menyampaikan pesan dari mereka.
Di kota Damas di Negeri Suryan itu, Jenderal Ilias dan
Jenderal Reham menyepakati bahwa mereka terlebih dahulu mengirim empat batalion
pasukan untuk mencegat secara tak terduga alias memberi kejutan yang akan
menyakitkan pasukan Siis pimpinan Rakab. Empat batalion itu masing-masing
dikirim di perbatasan kota Alepp dan Kota Hama, satu batalion yang lebih besar
di kirim ke kota Ramad, satu batalion menengah di kirim ke kota Palma, dan satu
batalion lagi di kirim ke kota Daraa, sebelum pada akhirnya serangan yang jauh
lebih keras dan mematikan akan dilakukan oleh Ilias dan Jenderal Reham sendiri.
Salah-satu strategi pengiriman batalion itu dengan
cara diam-diam, dan mereka telah dibekali untuk membuat sekian jebakan dan
perangkap untuk menyambuat kedatangan pasukan Siis pimpinan Rakab yang kini
mendapat dukungan juga dari Dagoner, seorang penguasa Negeri Turik yang
terkenal bermusuhan dengan Bangsa Rudik itu. Sementara Jenderal Ilias dan
Jenderal Reham sendiri masing-masing mengirim pasukan khusus rahasia untuk
membuat kekacauan di kota Nakara di Negeri Turik dan di kota Rajna di Negeri Najdan.
Sedangkan masing-masing mereka telah menyiapkan diri dengan pasukan khusus mereka
dalam rangka menggempur pasukan Siis dari udara bila pasukan Siis itu telah
sampai di beberapa kota di Negeri Suryan.
Sedangkan di tempat lain, di Negeri Farisa di kota
Naheret, Hagar dan Sophia telah mengirim si Burung Hudan untuk kembali
memberikan atau menyampaikan kabar kepada Misyaila tentang situasi dunia yang
akan terjadi. Dengan patuh dan tanpa ragu, si Burung Hudan itu segera melesat
cepat menuju ke sebuah negeri di mana Misyaila tinggal dan berada, ke negeri
yang jalur dan arahnya kini telah ia hapal dengan sangat baik melalui
perjalanan intuitif dan telepatik sebelumnya.
Di sisi lain, pasukan Siis yang kini jumlahnya lebih
besar dan lebih banyak telah berhasil mendarat di Negeri Suryan tanpa
perlawanan yang berarti sama-sekali, yang tentu saja hal itu di luar dugaan
mereka yang mengira akan mendapatkan perlawanan dalam pendaratan mereka, yang
memang hal itu ‘disengaja’ oleh Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri untuk
melawan dan menghajar mereka di darat, karena mereka jauh lebih paham dan lebih
mengenal negeri mereka sendiri ketimbang pasukan Siis, dan karena itu,
melancarkan serangan di darat jauh lebih baik bagi mereka dan pasukan-pasukan mereka
ketimbang melakukannya di laut, di mana peperangan di laut akan membutuhkan
banyak kendaraan amfibi dan atau kapal-kapal laut, sementara Negeri Suryan
sendiri dapat dibilang tidak memiliki peralatan lengkap yang dibutuhkan untuk
melancarkan serangan di laut.
Dengan semangat yang gegap-gempita, menggebu, dan
persenjataan lengkap, pasukan Siis itu turun dari kapal raksasa yang mengangkut
mereka. Barisan pasukan Siis pimpinan Rakab itu tampak besar dan begitu banyak
dengan pakaian khas mereka dan rambut mereka yang seperti mirip rambut gimbal,
sebuah pasukan yang tak ragu lagi, akan dapat menguasai Negeri Suryan dengan
mudah karena jumlah dan kekuatan mereka serta lengkapnya persenjataan mereka,
bila tak ada perlawanan yang gigih dan sebanding dari pihak lawan-lawan mereka.
Dan di Negeri Nun yang teramat jauh dan misterius itu,
setelah Misyaila mendapatkan kabar dari si Burung Hudan yang datang kepadanya
atas keinginan Hagar dan Sophia itu, Misyaila pun memutuskan untuk terlebih
dahulu menuju ke Negeri Telaga Kahana, sebelum memenuhi permintaan Hagar dan
Sophia.
Keputusan Misyaila itu tak lain dan tak bukan karena
ia telah lama menahan kerinduan untuk bersua dengan Siswi Karina dan Zipora,
terutama Zipora yang meski tak mengungkapkan kesedihannya, Misyaila tahu bahwa
ada benih-benih duka dalam hati Zipora setelah ia berpisah dengan ketiga anak
kesayangannya: Ilias, Hagar, dan Sophia. Untung saja, benih-benih luka itu
sedikit terobati dengan kehadiran Siswi Karina, sehingga ia tak menjadi lapuk
karena kesepian yang harus ia tanggung.
Dengan kereta kuda ajaib super cepat kesayangannya
itu, Misyaila pun melesat menerbangkan kereta kudanya bersama-sama dengan
terbangnya si Burung Hudan, meski mereka harus berpisah pada separuh jalan,
karena si Burung Hudan harus memberi laporan kepada Hagar dan Sophia, setelah
ia melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya.
Saat mereka berangkat bersama-sama itu, pagi baru saja
terbangun, sementara benih-benih embun masih tampak melekat di milyaran
daun-daun yang sunyi dan tampak masih tertunduk dengan santun. Tentu saja cuaca
masih terasa dingin bagi si Burung Hudan, namun tak begitu dingin bagi Misyaila
yang mengenakan pakaian bulu yang cukup tebal.
Dan di hari itu ada yang berbeda bagi si Burung Hudan,
sebab kini ia telah memiliki sedikit tambahan kesaktian, setelah Misyaila
menyentuhkan tangan ajaibnya ke tubuh si Burung Hudan, sehingga ia tak lagi
akan merasakan kelelahan meski terbang dalam jarak yang sangat jauh, sejauh apa
pun perjalanan yang ia tempuh sebagai si burung yang bekerja sebagai penyampai
pesan dan berita.
Jauh sebelum siang menjadi genap, alias ketika hari
berada di antara batas pagihari dan sianghari, mereka pun telah sampai ke
tempat tujuan mereka masing-masing: Misyaila telah sampai di Negeri Telaga
Kahana dan si Burung Hudan telah sampai di kota Naheret di Negeri Farisa.
Di Negeri Telaga Kahana itu, Zipora cukup merasa
terkejut dengan kehadiran Misyaila.
“Aku tak menyangka kau akan datang tanpa kuduga,” ujar
Zipora.
“Berterimakasih-lah kepada anak-anakmu, Zipora!” balas
Misyaila. “Sebab kedatanganku ini sangat berkaitan dengan kabar yang
disampaikan kedua putri kesayanganmu, Hagar dan Sophia, di negeri Farisa.”
“Berkaitan dengan apa itu?” Tanya Zipora.
“Putra kesayanganmu, Ilias, kini telah menjadi seorang
jenderal, dan saat ini ia tengah mendapatkan tugas dari Negeri Farisa untuk
membantu Negeri Suryan dari gempuran para penjajah yang berusaha menaklukkan
negeri tersebut.”
Ada rasa bangga sekaligus rasa khawatir dalam hati
Zipora ketika mendengar tentang kabar putra kesayangannya tersebut. Bagaimana
pun bagi Zipora, Ilias adalah harapan terakhir yang akan menjadi pemimpin di
keluarganya sekaligus meneruskan kepemimpinan almarhum suaminya di Negeri
Telaga Kahana, sebagaimana juga yang diharapkan oleh warga alias para penduduk
Negeri Telaga Kahana yang memiliki kekayaan Kristal yang diinginkan Bangsa Amarik
itu.
“Ilias terlalu cepat dewasa,” kata Zipora.
“Tak usah kau khawatirkan Ilias, Zipora!” sergah
Misyaila, “percayalah, setelah ia dididik cukup lama di Negeri Farisa, ia akan
mampu menjaga dan mengurus dirinya sendiri, dan kelak ia akan dapat diandalkan
untuk meneruskan tugas almarhum suami tercintamu!”.
“Kekhawatiranku cukup beralasan, Misyaila!” balas
Zipora, “ia adalah satu-satunya putraku dan satu-satunya yang menjadi harapanku
agar ia benar-benar mau pulang ke negerinya sendiri untuk meneruskan tugas
almarhum suamiku!”.
“Sudahlah, jangan kau bebani dirimu dengan segala
kekhawatiranmu, lebih baik kita berdoa saja bagi semua anak-anakmu!”
Pada saat itu pula, Misyaila menyempatkan untuk
menyapa sahabatnya, Siswi Karina, setelah sekian lama mereka tak bersama.
“Bagaimana dengan keadaanmu, Siska?” Tanya Misyaila.
“Aku cukup bahagia di sini, dan mendapatkan banyak
pelajaran berharga dari Zipora.”
Mendengar jawaban Siswi Karina itu, Zipora tampak
sedikit tersipu, dan hal itu pun diketahui oleh Misyaila.
“Syukurlah jika demikian!” ujar Misyaila, “dan aku
harap kalian telah menjadi sahabat satu sama lain setelah sekian lama hidup
bersama.”
Di tempat lain, di kota Naheret di Negeri Farisa, si Burung
Hudan menceritakan semua perihal tugas yang telah dilaksanakannya untuk memberi
kabar kepada Misyaila seperti yang diperintahkan Hagar dan Sophia. Ia ceritakan
dan sampaikan kepada Hagar dan Sophia bahwa Misyaila saat itu tengah berada di
Negeri Telaga Kahana untuk menjenguk dan mengunjungi ibunda Hagar dan Sophia.
Tak ragu lagi, Hagar dan Sophia merasa sangat gembira
dengan apa yang diceritakan si Burung Hudan. Betapa kangen dan rindunya mereka
kepada ibunda mereka, rasa rindu yang selama ini mereka tanggung dengan sabar
demi menuntut ilmu di Negeri Farisa. Karena rasa gembira itulah, mereka pun
menghadiahi kalung Kristal yang memiliki daya magis dan kekuatan mantra ajaib
kepada si Burung Hudan. Hadiah kalung Kristal tersebut tentu saja sangat
bernilai istimewa, sebab kalung Kristal itu merupakan salah-satu warisan Zipora
bagi Sophia dan Hagar.