Kerjasama Israel, Amerika dan al Qaida



Koran Al-Akhbar di Lebanon pada 29 Januari silam menurunkan tulisan Radwan Mortada seputar rencana strategis Al-Qaeda yang beredar luas di kalangan salafi-takfiri. Mortada mengulas isi rencana strategis itu dengan memperhadapkannya dengan situasi saat ini. Dari uraian itu terlihat jelas bahwa al-Qaeda bergerak dengan suatu rencana strategis yang terukur: dimulai dari serangan 11 September 2001 sebagai titik-tolak spektakuler dan berpuncak pada tahun 2020 dengan tegaknya Kekhalifahan Islam. Selebaran berisi rencana strategis dalam kurun waktu 20 tahun itu menepis miskonsepsi yang berkembang luas bahwa aksi-aksi berdarah al-Qaeda selama ini bersifat serampangan, tanpa pola dan strategi yang jelas. Miskonsepsi itu terbantahkan oleh terkuaknya puluhan dokumen yang memuat sejumlah cetak-biru dan rencana strategis jangka-panjang al-Qaeda, dengan tujuan-tujuan spesifik yang terencana.

Sekitar setahun pasca meletusnya konflik di Suriah, sebuah lembaga keamanan berhasil menyadap korespondensi antara pemimpin Jabhah al-Nusra (JN), Abu Mohammad Julani (AMJ), dan seorang tokoh al-Qaeda di Lebanon. Korespondensi itu merangkum rencana-rencana al-Qaeda setelah jatuhnya rezim Suriah, yang mencakup rekrutmen para pakar di bidang kedokteran, kimia, teknologi informasi, telekomunikasi, dan penempatan mereka di seluruh Lebanon sebagai persiapan untuk melaksanakan berbagai operasi.

Sejumlah dokumen yang diperoleh lembaga keamanan itu mengungkapkan bahwa strategi al-Qaeda di Lebanon dan di kawasan meliputi beberapa target, baik di tingkat lapangan maupun di tingkat rekrutmen dan mobilisasi. Beberapa ciri-khas rencana yang tertuang dalam tumpukan dokumen sadapan itu sebenarnya tertera dalam sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 2005 silam. Buku karya jurnalis Yordania, Fuad Husein, yang berjudul “Al-Zarqawi—Generasi Kedua Al-Qaeda” (Al-Zarqawi—Al-Jayl Al-Tsani li Al-Qa’edah) dapat dibilang satu di antara sedikit karya otentik yang membahas organisasi misterius ini. Dalam buku itu, Husein, yang pernah mendekam bersama Al-Zarqawi di penjara Swaqa, Yordania, mengungkapkan banyak pikiran dan rencana komandan al-Qaeda itu. Di situ, Husein juga memuat wawancara mendalam dengan Syaikh Abu Mohammad al-Maqdisi, ideolog ternama al-Qaeda.

Buku lain yang beredar di forum-forum dan situs-situs jihadi takfiri, berjudul “Beginilah Kami Memandang dan Menginginkan Jihad” (Hakadza Nara Al-Jihad wa Nuriduh), karya Hazim Al-Madani, lebih jauh menjelaskan sejumlah tujuan, rencana dan tahap pergerakan al-Qaeda dalam rangka merebut kekuasaan di seluruh dunia Islam. Buku yang dibuka dengan seruan kepada seluruh ‘mujahidin’ untuk memperluas aktivitas jihad hingga mencakup seantero dunia, “dalam rangka memperbesar kekuatan umat dan meneror musuh-musuhnya.” Di buku itu juga terkuak rencana merebut kekuasaan yang dibagi dalam tujuh fase, terentang dalam dua dekade, dari tahun 2000 sampai tahun 2020, yang disebutnya sebagai tahun tergapainya “kemenangan akhir”.

Fase pertama dimulai dari tahun 2000 sampai tahun 2003. Fase ini disebut sebagai tahap “siuman” yang berpusat pada upaya “penyadaran kembali umat” dengan “melancarkan hantaman keras pada kepala ular di New York”. Tujuannya: membuat Amerika Serikat giras, panik dan bereaksi sedemikian rupa hingga dapat “memahkotai al-Qaeda sebagai pemimpin umat.” Ini mengacu pada apa yang disebut oleh pimpinan al-Qaeda sebagai “perang salib” AS atas Islam yang ditandai dengan invasi militer atas Afghanistan dan Irak, yang — menurut al-Qaeda — dapat memperluas medan tempur, membuat rakyat Amerika sebagai incaran mudah dan mengibarkan bendera al-Qaeda setinggi hari ini. Fase ini berakhir dengan pendudukan AS atas Irak tahun 2003. Tahap ini telah tercapai dengan bercokol-kuatnya al-Qaeda di Afghanistan dan Irak, jauh melampaui tenggat akhir keberadaan militer AS dan sekutunya.

Fase kedua bermula dari tahun 2003 sampai tahun 2006. Fase ini disebut sebagai “tahap membuka mata.” Pada tahap ini, al-Qaeda berencana menyeret musuh-musuhnya dalam pertempuran panjang tanpa batas waktu dan tempat, sambil mengembangkan apa yang disebutnya sebagai kapabilitas “jihad elektronik”, dalam persiapan memasuki fase ketiga. Sejalan dengan itu, al-Qaeda berupaya melakukan ekspansi terselubung di berbagai bagian strategis dunia Arab dan Islam, dengan memakai Irak sebagai pangkalan militer untuk membangun pasukan jihadi yang tangguh agar dapat digelar dalam berbagai operasi intelijen, keamanan maupun militer di berbagai negara kawasan. Rencana ini juga menandai bermulanya fase ketiga. Masih pada fase kedua ini, al-Qaeda dan turunannya akan menyemarakkan majlis kajian Islam guna melipatgandakan upaya penggalangan dana umat dari zakat dan infak untuk mendukung aktivitas dan perjuangan al-Qaeda.

Perhatian utama akan diberikan pada Syam (Suriah Raya yang mencakup Lebanon, Palestina dan Yordania). Inilah wilayah yang sesuai dengan berbagai nubuat yang diyakini kaum salafi-takfiri berasal dari Nabi ihwal yang bakal dilanda prahara pasca prahara serupa yang melilit Irak.

Fase ketiga berlangsung dari 2007 sampai 2010. Dalam rencana strategisnya, fase ini disebut sebagai tahapan “bangkit dan berdikari”. Inilah tahapan pergerakan proaktif dalam tiap-tiap wilayah operasi al-Qaeda. Di fase ini, al-Qaeda akan mengalami lompatan besar sejalan dengan perubahan krusial di wilayah sekitar Irak. Perhatian utama akan diberikan pada Syam (Suriah Raya yang mencakup Lebanon, Palestina dan Yordania). Inilah wilayah yang sesuai dengan berbagai nubuat yang diyakini kaum salafi-takfiri berasal dari Nabi ihwal yang bakal dilanda prahara pasca prahara serupa yang melilit Irak.

Menariknya, rencana strategis al-Qaeda itu ‘kebetulan’ sejalan dengan desain besar sejumlah badan intelijen Barat, termasuk CIA, untuk menata ulang Timur Tengah Baru (The New Middle East) dengan membentuk negara-negara mini yang berwatak sektarian dan etnis. Dalam berbagai kesempatan, mantan penasihat Dewan Keamanan Nasional dan Menteri Luar Negeri AS, Condoleezza Rice, mengungkapkan tekad AS dan sekutunya untuk mengimpimentasikan desain tata ulang itu sejak tahun 2000-an. Ada apa di balik kesamaan rencana strategis antara Al-Qaeda dan CIA? Logika mengajarkan tak ada kebetulan di dunia ini.

Kembali soal rencana strategis al-Qaeda. Fuad Husein menyebutkan bahwa ide pembentukan Balatentara Syam (Jund Al-Syam) sebenarnya telah muncul sejak Al-Maqdisi dan Al-Zarqawi masih sama-sama berjihad di Afghanistan pada era 80-an. Invasi AS-NATO atas Afghanistan tahun 2001 sedikit menghambat persiapan pembentukan balatentara tadi. Tapi, setelah tahun 2004, sebagian besar pengusung ide tersebut telah menyebar kembali di Suriah, Lebanon dan Irak. Eks mujahidin yang dikenal dengan ‘Afghan Arab’ ini bertekad memanfaatkan peluang sekecil apapun demi merealisasikan ide pembentukan Balatentara Syam di Lebanon dan, tak lama setelah itu, di Suriah. (Catatan: Buku Fuad Husein tentang generasi kedua al-Qaedah terbit pada tahun 2005, jauh sebelum rangkaian peristiwa yang disebut dengan Arab Spring dan pemberontakan Suriah). Pada tahap ini, legitimasi al-Qaeda sebagai kepemimpinan umat yang sesuai syariat akan kian terkukuhkan.

Fase keempat bermula dari tahun 2010 hingga tahun 2013. Pada tahap ini, al-Qaeda akan mengambil momentum berbagai pergolakan dan kekacauan yang meriap di Timur Tengah dan dunia Islam, terutama sekali di Suriah. Itulah sebabnya mengapa fase ini disebut sebagai tahap “pemulihan kesehatan”. Fase ini akan ditandai dengan keterlibatan langsung jaringan al-Qaeda dalam menjatuhkan rezim-rezim Islam, baik dengan bertempur secara fisik maupun non-fisik. Di tahap ini juga al-Qaeda akan menggerakkan mesin-mesin propagandanya untuk mengekspose fakta-fakta (atau tuduhan-tuduhan) tentang pengkhianatan dan penindasan rezim-rezim itu atas umat dan ketundukan mereka pada atau setidaknya persekongkolan mereka dengan AS.

Untuk mengisi fase ini, al-Qaeda merencanakan empat aksi: 1.Menguras energi umat dan berbagai lembaganya dalam perang panjang melawan AS, dus menghidupkan industri militer sejagat; 2. Menciptakan instabilitas di negara-negara penghasil minyak; 3. Menggunakan emas sebagai pengganti dolar dalam kegiatan ekonomi, demi melenyapkan kemungkinan pelacakan aliran dana dan sebagainya; dan 4. Memperbesar arus al-Qaeda di seluruh kawasan dunia Arab dan Islam. Jika empat cara itu berhasil, maka otomatis rezim-rezim Arab pro Barat akan kehilangan cengkramannya. Kekacauan (chaos) pun akan timbul, seiring dengan tumbuhnya keraguan pada kekuatan lama dan kebutuhan pada kekuatan baru. Di sini, al-Qaeda akan memfait-accompli dirinya sebagai kekuatan real yang harus diperhitungkan.

Fase kelima yang dimulai dari tahun 2013 sampai tahun 2016 akan ditandai dengan “deklarasi kekhalifahan atau negara Islam,” sebagai tujuan akhir gerakan al-Qaeda. Dalam pikiran para penyusun rencana strategis al-Qaedah itu, pada fase ini dunia akan menyaksikan transformasi radikal, dimulai dengan runtuhnya poros Anglo-Saxon dan munculnya kekuatan-kekuatan baru di dunia yang tidak secara langsung bermusuhan keras dengan umat, seperti India dan Cina, yang bakal bertandem dengan pertumbuhan eksponensial al-Qaeda di dunia, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat dari kalangan imigran Muslim yang menetap di sana.

Jelas sekali bahwa permusuhan yang berkobar-kobar pada Iran dan Hizbullah ini sebuah tarian tango maut antara dinas intelijen Amerika Serikat dan Al-Qaeda untuk menggiring umat memiliki momok baru, musuh buatan, untuk mengalihkan pandangannya dari musuh yang sebenarnya.

Para ideolog al-Qaeda kini seperti mendapat angin segar. Rencana-rencana strategis mereka tampak tak terlalu jauh melenceng dari situasi yang ada. Bumi Irak dan Suriah yang mereka idam-idamkan sebagai pijakan jihad masih membara. Poros Anglo-Saxon, yang dapat direpresentasikan sebagai Uni Eropa pun kian lunglai. Lagi-lagi seperti yang sudah mereka prediksikan.

Secara khusus, menyaksikan apa yang kini terjadi di kawasan Timur Tengah dan berbagai belahan dunia Islam lain, pimpinan al-Qaeda bisa jadi sedang kipas-kipas. Kini, mereka menyongsong fase keenam dalam rencana strategis mereka sambil membusungkan dada. Fase yang dimulai dari tahun 2016 dan berakhir pada 2020, dalam rencana mereka merupakan tahap Armagedon alias perang pamungkas antara “kaum beriman melawan kaum kafir”.

Fase ini akan berpuncak pada tegaknya Kekhalifahan Islam di bawah panji hitam Al-Qaeda — atau begitulah yang mereka yakini.

Para perumus strategik al-Qaeda percaya bahwa tahun 2016 adalah babak awal menjelang tegaknya kekhalifahan Islam. Babak ini akan ditandai dengan meluasnya usaha mujahidin mendirikan ‘kekhalifahan Islam’, menggaungkan apa yang kerap dinyatakan oleh Usama bin Laden sebagai “penerapan hukum Allah di muka bumi”. Fase ini digambarkan bakal ditandai dengan kian meratanya aspirasi umat untuk kembali pada ‘sistem kekhalifahan’. Periode kekerasan dan perang bakal terus berlanjut hingga kemenangan telak tercapai sekitar tahun 2020.

Pada saat itu, menurut para ‘pemikir al-Qaeda’, “kapabilitas negara Islam telah sampai pada tingkat di mana semua musuh akan gentar menghadapinya.” Apalagi, dalam hitungan mereka, 1.5 milyar umat di seantero dunia akan mendukung cita-cita khilafah tersebut, setelah gagalnya berbagai eksperimen umat dengan berbagai sistem sekuler yang dipaksakan.

Menariknya, dokumen-dokumen yang bocor dan memuat cerita seputar rencana strategis al-Qaeda, umumnya terbit antara tahun 2000 hingga tahun 2006. Artinya, sebelum ada tanda-tanda meleduknya gonjang-ganjing yang dikenal dengan ‘Arab Spring’ di akhir 2010 hingga hari ini, al-Qaeda telah bersiap memasuki suatu era konfrontasi akbar dan kemenangan puncak. Rencana strategis yang konon merangkum berbagai ide, pengalaman, dan prediksi para perumus al-Qaeda yang beraliran salafi jihadi takfiri itu, tersusun sedemikian realistis hingga lebih akurat dari naskah pra produksi dari sebuah film. Rangkaian adegannya berurut seperti film kolosal: adegan serangan atas New York dan Washington tahun 2001; serangan AS-NATO atas Afghanistan dan Irak yang kini justru berbalik jadi pangkalan membangun “pasukan jihadi”; Arab Spring yang merentang dari Afrika Utara hingga jantung Arab, Suriah; dan terakhir, deklarasi Negara Islam Irak dan Syam pada tahun 2013 (yang lebih dikenal dengan singkatan ISIS/ISIL atau Al-Daulah al-Islamiyyah fi Al-Iraq wa Al-Syam [DAIIS]), sejalan dengan berbagai dokumen yang dipublikasi tahun 2005.

Pertanyaannya, akankah al-Qaeda terus menguat sampai benar-benar mampu meraih kemenangan pamungkas pada tahun 2020 dan mendirikan ide kekhalifahan Islam internasional? Orang bisa berbeda di sini.

Para perumus dan simpatisan al-Qaeda yang merasa ‘mewakili Allah’ di bumi, barang tentu melihat semua yang terjadi sejauh ini sebagai ‘pertolongan Allah’ atas apa yang mereka perjuangkan. Mereka bakal kian berhalusinasi melihat ‘kemenangan akbar’ saat Abu Bakar Baghdadi mendeklarasikan negara Islam di Suriah dan Irak (DAIIS). Bagaimana tidak? Dua negara yang pernah menjadi ibukota dua imperium besar Islam, Umayyah dan Abbasiyah, kini telah menjadi satu negara dalam kekuasaan mereka. Apalagi jika kita ikuti riwayat-riwayat yang mereka yakini berasal dari Nabi seputar nubuat kemenangan Islam yang dimulai dengan prahara di Suriah dan Yaman. (Catatan: Suriah yang dikenal dengan Syam dan Yaman memiliki signifikansi khusus dalam sejarah teologi Islam. Riwayat-riwayat yang menubuatkan kedatangan Imam Mahdi seragam menyebutkan posisi strategis bagi kedua negara tersebut. Meski demikian, sejumlah mazhab Islam berselisih ihwal identitas dan proses kemunculan Imam Mahdi).

Tapi, benarkah demikian? Benarkah situasi kiwari menunjukkan kian dekatnya al-Qaeda dengan cita-cita kekhalifahan Islam yang mereka impikan?

Analisis lebih jauh akan situasi yang terjadi saat ini tampaknya menunjukkan trend yang bertolak belakang dengan rencana strategis al-Qaeda. Seperti yang pernah disinyalir Sekjen Hizbullah Sayyid Hasan Nashrallah, tahun lalu, krisis Suriah adalah ‘jebakan batman’ (baca: perangkap) bagi al-Qaeda dan organ haus darah sebangsanya. Bagaimana bisa? Sedikitnya ada beberapa alasan: Pertama, perancang jebakan ini tak lain adalah perumus al-Qaeda itu sendiri –bukan hanya sejak tahun 2000 silam, tapi bahkan sejak era 80-an. Karenanya, para penjebak itu paham betul bagaimana menjinakkan ‘hewan’ piaraannya sendiri. Berbagai keselarasan yang demikian mencolok antara rencana strategis al-Qaeda dan rencana strategis dinas intelijen Amerika Serikat (dan Israel) di Timur Tengah memperkuat teori ini.

Kedua, al-Qaeda adalah organisasi jihad yang dirancang, dibesarkan (atau dibesar-besarkan), dan diperalat justru untuk mengubur jihad yang sebenarnya.

Menurut teori ini, absurditas ideologi salafi jihadi takfiri yang dikembangkan al-Qaeda tak mungkin dapat tumbuh dalam masyarakat Muslim yang plural. Ia hanya bertahan saat ada kekerasaan dan kekacauan, karena raison d’etre-nya adalah untuk membunuh, merusak dan menghancurkan. Tidak ada unsur kehidupan dalam ideologi al-Qaeda dan segenap turunannya. Absurditas ideologis al-Qaeda dapat berguna membidas kelompok pengusung jihad sejati sekaligus melindungi dalang yang sebenarnya. Toh, al-Qaeda berhasil mengalihkan ribuan “mujahid” Palestina dan Arab dari tanah air mereka yang dijajah untuk memerdekakan tanah air lain. Pada gilirannya pula, penjajah yang sebenarnya dapat hidup tenang dalam negeri jajahannya senyampang mengirim kaum terjajah untuk membebaskan tanah air yang lain.

Ketiga, krisis Suriah adalah perangkap tuan besar untuk melumat senjata-makan-tuan bernama al-Qaeda dan turunannya. Mujahidin yang pada dekade sebelumnya dikenal sebagai sekrup AS-NATO untuk melawan Uni Soviet kini sudah mulai membahayakan keamanan anak-anak emas tuan besarnya, yakni rezim-rezim Arab dan Israel. Untuk itu, para perancang ini memancing al-Qaeda dengan umpan paling menggiurkan: peluang menguasai Irak dan Syam sekaligus!

Para pembuat perangkap tentu yakin bahwa penerimaan rakyat Irak dan Suriah terhadap al-Qaeda takkan seperti rakyat Afghanistan. Akibatnya, mayoritas rakyat kedua negara itu akan bangkit melawan al-Qaeda dengan segala cara. Mereka terlalu berbudaya untuk dapat menerima ideologi al-Qaeda. Dan perlawanan rakyat dua negara itu, ujung-ujungnya, akan membabit al-Qaeda dalam lingkaran setan perang yang takkan bisa dimenangkan. Tentu, dalam prosesnya, ratusan ribu –bahkan mungkin jutaan — nyawa yang tak berdosa bakal jadi tumbalnya.

Keempat, perpecahan antara organisasi induk al-Qaeda dan DAIIS adalah bukti lain keabsahan teori jebakan ini.

Fakta perpecahan antara ISIS/DAIIS di satu sisi dan Jabhah Al-Nusrah- Al-Jabhah Al-Islamiyyah-Ahrah Al-Syam dan sebagainya di sisi lain, atau antara Abu Bakar Al-Baghdadi dan Abu Muhammad Al-Julani, memperlihatkan adanya penetrasi intelijen asing yang menyusup sampai ke otak al-Qaeda — untuk tidak menyebut al-Qaeda adalah virus yang sengaja disebar untuk menggerogoti imunitas umat itu sendiri.

Terakhir, dan paling mencemaskan, upaya mati-matian al-Qaeda dan sekutunya untuk mengobarkan perang sektarian di tengah Muslimin. Permusuhannya pada Iran dan Hizbullah, dua musuh bebuyutan AS dan Israel di kawasan, tidak mungkin dianggap ‘polosan’, sekadar persoalan historis. Jelas sekali bahwa permusuhan yang berkobar-kobar pada Iran dan Hizbullah ini sebuah tarian tango maut antara dinas intelijen Amerika Serikat dan Al-Qaeda untuk menggiring umat memiliki momok baru, musuh buatan, untuk mengalihkan pandangannya dari musuh yang sebenarnya.

Khusus untuk alasan kelima, kita dapat merujuk pada berbagai buku yang beredar luas di situs-situs salafi jihadi takfiri, seperti situs Minbar al-Tauhid wa al-Jihad yang banyak memuat pikiran-pikiran Abu Muhammad Al-Maqdisi, mentor Abu Mush’ab Al-Zarqawi. Di antara buku terbitan internal al-Qaeda yang menyerang habis Hizbullah adalah karya Syaikh Abu Abdul Mun’im Mushtofa Halimah (Abu Bashir Al-Tharthusi) yang berjudul “Hizbullah Al-Lubnani wa Tashdir Al-Madzhab Al-Syi’i Al-Rafidhi” (Hizbullah Lebanon dan Penyebaran Mazhab Syiah Rafidhoh).

Dalam buku itu, penulis pada intinya memperingatkan masyarakat Sunni Timur Tengah bahwa Hizbullah adalah gerbang terbesar gerakan Syiah internasional, menggunakan pintu Palestina, untuk menyebarkan Syiah ke segenap penjuru dunia.

Seorang Muslim yang waras tentu akan bertanya: Apakah pentingnya mazhab dalam menghadapi penjajahan dan penindasan rezim Zionis Israel atas kiblat pertama umat dan pengusiran bangsa Palestina? Mengapa perlu ada peringatan seperti ini, di saat tanah air dan tempat-tempat suci umat dinistakan bukan alang kepalang? Bukankah ini suatu pengalihan yang nyata atas fokus jihad yang sejati? Bukankah ini cara paling ampuh untuk memutar senjata agar dapat saling membunuh satu barisan, dan mengamankan musuh dari bidikan peluru kita? (IT/MK) 




Tidak ada komentar: